Jumat, 30 Desember 2011

Islam Indonesia dan Respon terhadap Perubahan


Menjadi penting untuk membahas Indonesia dengan karakter keislamannya yang khas yang tidak terlepas dari proses transmisi pengetahuan yang secara kronologis adalah berbeda Berdasarkan fakta sejarah keilmuan keislaman Indonesia yang muncul dari Timur Tengah dimulai dengan kedatangan Islam itu sendiri di Nusantara. Hal ini karena Islam bukan hanya sekedar praktik ritual semata, tetapi juga berisi sejumlah aturan dan sistim pengetahuannya sendiri. seperti diketahui Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang telah melewati berbagai fase sejarah di tempat asalnya. Dalam perjalanan historisnya sebelum masuk ke Indonesia, ajaran Islam telah mengalami proses kodifikasi, sistimatisasi, dan pembidangan.[1] Dalam pada ini, ciri khas Islam Indonesia yang sangat terpengaruhi oleh kultur-kultur yang telah hadir pra Islam[2], yang banyak mempengaruhi mode Islam yang berkembang dengan karakternya sendiri sebagai Islam periferal. Kondisi seperti ini memaksa Islam harus hadir berakulturasi dengan konteks keindonesiaan[3] sebagai indikasi logis atas Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai Islam itu bersifat universal, namun pelaksanaan dari ajaran itu sendiri menuntut pada pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio-kultural terhadap masyarakat Indonesia secara keseluruhan, termasuk didalamnya lingkungan politik dalam kerangka konsep negara bangsa (nation state). Kenyataan bahwa Indonesia merupakan suatu bangsa yang mempunyai heterogenitas tertinggi secara fisik (negara kepulauan), maupun dalam soal keragaman suku, bahasa daerah, adat isdiadat dan bahkan agama yang bukan saja merupakan sesuatu yang sudah “given”, tetapi juga harus diperhitungkan. Melihat kenyataan ini ia berijtihad dengan mengatakan bahwa “ setiap langkah melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus memperhitungkan kondisi sosial budaya yang ciri utamanya adalah pertumbuhan, perkembangan dan kemajemukan.”[4]

Sejalan dengan agenda “mengindonesiakan Islam”, umat Islam harus jeli dengan pertimbangan-pertimbangan modernisasi yang sedang berlangsung. Secara definitif modernisasi merupakan proses transformasi masyarakat dalam segala aspeknya. Dalam data empiris menunjukkan, bahwa semua negara baru terlibat dalam proses modernisasi dengan menetapkan rencana-rencana pembangunannya yang menyentuh aspek pembangunan ekonomi, politik, sosial dan pendidikan, yang dianggap sebagai aspek-aspek dominan dalam modernisasi.[5] Secara skematis, hubungan integratif antara Islam dan respon terhadap modernitas harus saling bersimbiosis, sebagai berikut:

Islam sebagai agama rahmat bagi semesta. Ia mempunyai nilai-nilai universal yang menyangkut semua manusia. Ini juga menyangkut dari ciri agama samawi, karena semuanya memang berasal dari sumber yang sama. Dari segi kehidupan Islam mengatur hukum, masalah individu, ketentraan manusia lahir dan batin. Dari sudut antropologi Islam menyangkut semua bangsa dan masyarakat. Ini menandai universalitas agama Islam.[6] Hal ini bersesuaian dengan Islam sebagai negara yang heterogen dengan mayoritas Muslim, kesadaran Islam terhadap modernitas merupakan hal yang tak terelakkan juga sebagai keharusan sejarah (historical necessity) yang menjadi beban psikologis pembangunan umat Islam Indonesia.
             


[1] Muhammad Munip, Transmisi Pengetahuan Timur tengah ke Indonesia: Studi Tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004 (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008),  hlm. 46.
[2] Tradisi Islam yang dibawa oleh orang Muslim yang pulang dari Mekkah dan Madinah dikombinasikan dengan unsur budaya setempat. Dengan demikian lahirlah suatu bentuk yang menarik. Hasil kombinasi tersebut tampak jelas terutama pada arsitektur bangunan Masjid. Secara sadar orang Muslim selalu harus mengkaji ulang keberadaan mereka dalam kerangka ajaran Islam. Adat istiadat pra Islamsetempat tidaklah mudah untuk dihapuskan. Akbar S. Ahmed, Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terj. Nunding Ram dan H. Ramli Yakub (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm.118.
[3] Islam in Indonesia was a very hybrid system that did not much resemble the purer straints found in the Middle East and was even different from that the nearby South Asia. Fauzan Saleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in Twentieth Century Indonesia : A Critical Survey (Leiden: Brill, 2001), p. XIII.
[4] M.Syafi’i Anwar, “Sosiologi Pembaruan pemikiran Islam Nurcholish Madjid” dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No.3, Vol. IV, Th. 1933, hlm. 49.
[5] Menurut  J. W. Schoorl dalam Muhammad Tholchah Hasan, Islam Dalam perspektif Sosio Kultural (Jakarta: lantabora Press, 2000), hlm. 22.
[6] Rifyal Ka’bah “ Wawasan Islam Keindonesiaan dalam konteks Islam Universal” dalam Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia Akmal Nasery dan A. M. Saefuddin (ed.), (Bandung: 1996), hlm. 22.

Biografi



Pada kesempatan yang sebelumnya saya sudah menulis tentang siapa saya! Meski begitu, karena Bapak Saiful Anwar selaku pembimbing mata kuliah jurnalistik telah memerintahkan kami (mahasiswa) untuk membuat tugas akhir dengan cara ini (membuat blog dengan literatur yang sudah ditetapkan oleh beliau dan salah satunya adalah mengisi profil mahasiswa), maka saya akan mengulas lagi tentang saya dan sedikit lebih merincikan siapa saya. Baiklah, langsung saja saya akan memperkenalkan diri…

Nama              : Rohman Darmawan (The Moe3)
Pekerjaan        : Mahasiswa
NIM               : 08110157
Fakultas          : Tarbiyah
Jurusan            : Pendidikan Agama Islam
Tinggal             : Metrojoyo RT. 1 RW. 3 NO. 23 Joyosuko , Merjosari, Malang
Kota Asal        : Mojokerto, Jatim
CP                   : 085749660322

Pengertian Jurnalistik dan Pers (Rohman Darmawan)

Pengertian Jurnalistik  
Kegiatan   Jurnalistik   (journalistic)  sebenarnya  sudah  lama  dikenal  oleh manusia, karena tanpa kita sadari kegiatan Jurnalistik selalu hadir dan ada di tengah-tengah masyarakat, sejalan dengan kegiatan pergaulan hidup  manusia yang dinamis, terutama sekali dalam masyarakat Modern sekarang ini.
Dalam perjalanannya, Jurnalistik sebagai suatu disiplin ilmu telah mengalami perkembangan yang hebat. Di mulai dari jaman jayanya kerajaan Romawi Kuno saat di bawah kekuasaan Raja Julius Caesar. Pada masa itu kegiatan Jurnalistik dilakukan oleh  para  budak  yang  diminta  oleh  para  majikannya  untuk  mengutip  informasi tentang  segala  peristiwa  pada  hari  itu,  yang  berkaitan  dengan status atau  kegiatan usaha majikannya dan diberitakan dalam acta diurnal (rangkaian kata hari itu) yang dipasang di Forum Romanun (Stadion Romawi).
Kata jurnal sendiri berasal dari bahasa Prancis, journal  yang  berarti catatan harian. Hampir sama bunyi pengucapannya dengan kata yang ditemukan pada bahasa Latin,  diurn    yang  mengandung  arti  hari  ini.  Adapun  kata  istik  merujuk  kepada masalah Estetika  yang berarti ilmu pengetahuan tentang keindahan. Keindahan yang di  maksud  adalah  “mewujudkan  berbagai  produk  seni  dan  keterampilan  dengan menggunakan yang di perlukan seperti, kayu, batu, kertas, cat, atau suara. Dalam hal ini meliputi semua macam bangunan, kesusastraan dan musik  ( Pringgodigdo, 1973 :383 ).
Dengan demikian secara Etimologi, Jurnalistik dapat  diartikan  sebagai suatu karya seni dalam hal membuat catatan tentang peristiwa sehari–hari, karya yang mana memiliki keindahan dan dapat  menarik perhatian khalayak sehingga dapat dinikmati dan dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup.
Menurut  Astrid  S.  Susanto  dalam  bukunya,  komunikasi  massa  (1986:73). Jurnalistik  adalah sebagai kejadian pencatatan dan atau  pelaporan serta  penyebaran tentang kejadian sehari-hari. Begitu pula dengan Onong Uchana Effendy ( 1981:102 ) yang  mengatakan bahwa Jurnalistik merupakan kegiatan pengolahan laporan harian yang  menarik  minat  khalayak,  mulai  dari  peliputan  sampai  dengan  penyebaran kepada  masyarakat.  Dan  lebih  ringkas  lagi  Djen  Amar  (1984:30)  mendefinisikan Jurnalistik   sebagai  kegiatan  mengumpulkan,  mengolah,  dan  menyebarkan  berita kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.
Secara  umum  Jurnalistik  dapat  di  artikan  sebagai  teknik  mengolah  berita, mulai dari mencari berita sampai dengan menyebarkankannya kepada khalayak yang membutuhkan. Segala sesuatu  yang  dianggap  menarik  dan penting  untuk  khalayak, bisa dijadikan bahan berita untuk disebarluaskan  kepada  masyarakat,  dengan menggunakan sebuah media. Seperti  yang  diungkapkan  oleh  Sumadiria,  dalam bukunya  Jurnalistik   Indonesia,  Menulis  Berita   dan  Feature,  Jurnalistik  adalah “Kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan   dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak  dengan  secepat-cepatnya” (Sumadiria,2005;3).
Seiring  dengan  berkembangnya  ilmu  komunikasi,  maka  definisi  jurnalistik pun makin berkembang. Hal ini juga sesuai dengan perkembangan media pers. Tetapi akar definisi jurnalistik  yang  perlu  kita catat diantaranya adalah  yang  dikemukakan  Adinegoro, seorang tokoh pers yang menjadi ikon di kalangan para wartawan.
Menurut  Adinegoro  dalam  buku  Jurnalistik  Televisi,  Teori  dan  Praktik, jurnalistik   adalah   kepandaian   mengarang   untuk   memberi   pekabaran   kepada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya.  Sementara  itu definisi jurnalistik  menurut ilmu  komunikasi adalah suatu  bentuk  komunikasi yang menyiarkan berita  atau  ulasan  berita  tentang  peristiwa  sehari-hari  yang  umum  dan aktual dengan secepat-cepatnya.
Dari  pengertian  di  atas  dapat  dikatakan  bahwa  Jurnalistik  adalah  sebuah proses  pencarian  berita  sampai  berita  tersebut  disebarluaskan  kepada  khalayak dengan menggunakan media berkala. Terkait dengan hubungan antara jurnalistik dan pers, kita  harus  mengetahui  dulu  apa arti dari pers  itu  sendiri.

Pengertian Pers
Adapun  istilah  pers adalah   berasal  dari  istilah  asing  dan  ditulis  dengan  kata  press,  yang  berarti “percetakan‟  atau  “mesin  cetak‟.  Mesin  cetak  inilah  yang  memungkinkan  untuk terbitnya sebuah surat kabar, sehingga orang–orang mengatakan pers itu adalah surat kabar.
Dari gambaran tersebut kita dapat memahami adanya dua pengertian umum dari  pers.  Yang  pertama,  arti  pers  secara  sempit  adalah  “Persurat  kabaran  yang menjalankan kegiatan Jurnalistik”, sedangkan yang kedua, arti pers secara luas adalah “Suatu lembaga kemasyarakatan  yang  menjalankan  kegiatan Jurnalistik”. Hubungan antara   pers   dan   jurnalistik   menurut   Suhandang   didalam   bukunya   Pengantar Jurnalistik,  Seputar  Organisasi, Produk  dan  Kode  Etik, Pers dan  Jurnalistik  secara luas  adalah  “Merupakan  suatu  kesatuan  (Institusi)  yang  bergerak  dalam  bidang penyiaran informasi, hiburan, keterangan dan penerangan tadi dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan hati nurani manusia sebagai makhluk  sosial dalam kehidupan sehari-hari”. (Suhadang, 2004;40).
Oleh karena itu, kalau berbicara mengenai pers mau tidak mau kita harus pula mempelajari ilmu tentang Jurnalistik. Dengan kata lain, pers sangat erat hubungannya dengan Jurnalistik. Pers sebagai media komunikasi massa tidak akan berguna apabila semua sajiannya sangat jauh dari prinsi-prinsip Jurnalistik. Seperti yang dikemukakan oleh Effendy, dalam buku Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Pers adalah
 “Lembaga  atau   badan  atau   organisasi  yang   menyebarkan  berita sebagai karya jurnalistik kepada khalayak. Pers dan jurnalistik dapat di ibaratkan  sebagai  raga  dan  jiwa.  Pers  adalah  aspek  raga,  karena  ia berwujud,  konkret,  nyata;  oleh  karena  itu  ia  dapat  di  beri  nama.Sedangkan jurnalistik adalah aspek jiwa, karena ia abstrak, merupakan kegiatan, daya hidup, menghidupi aspek pers”. (Effendy, 2003;90)”.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan pers merupakan suatu  kesatuan, pers tidak  mungkin  dapat  beroperasi   tanpa  jurnalistik,  dan sebaliknya  jurnalistik  tidak akan membuat suatu karya berita tanpa adanya pers.

Sejarah Pers Indonesia
Pers Indonesia dimulai Sejak dibentuknya Kantor berita ANTARA didirikan tanggal 13 Desember 1937 sebagai  kantor  berita  perjuangan  dalam  rangka  perjuangan  merebut  kemerdekaan  Indonesia,  yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Kantor  berita  Antara  didirikan  oleh  Soemanang  saat  usia  29  tahun,  A.M.  Sipahoentar  saat  usia  23 tahun, Adam  Malik saat berusia 20  tahun  dan  Pandu  Kartawiguna Adam  Malik  pada usia  21 tahun diminta untuk mengambil alih sebagai pimpinan ANTARA, dikemudian hari Ia menjadi orang penting dalam memberitakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Karena kredibilitasnya, Adam Malik setelah menduduki jabatan semula sebagai ketua Kantor berita Antara, ia diangkat sebagai Menteri Perdagangan, Duta Besar, Menteri  Utama Bidang Politik, Menteri Luar Negeri, Presiden Sidang Majelis Umum PBB, Ketua DPR/MPR dan Wakil Presiden.



Nama : Rohman Darmawan
NIM   : 08110157
Kelas  : E

Minggu, 25 Desember 2011

Alun-alun Kota malang


Hari minggu pukul 14.00 WIB, merupakan hari pertama kali kami dan temen-temen melakukan kegiatan, memahami keadaan dan merasakan yang ada di sekitar kita. Kami semua kelas F matakuliah pendidikan jurnalaistik  Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang melakukan kegiatan pembelajaran di luar ruangan.
Pada hari minggu tanggal 20 november 2011, kita melakukan kegiatan pembelajaran di Alun-alun Kota Malang. Kita melakukan kegiatan ini langsung dibimbing oleh bapak Khoirul Anwar, M. Pd yang kebetulan telah selesai memberikan kuliah di masjid agung kota Malang.
Kami semua menuju alun-alun kota, kemudian duduk melingkar di taman, di bawah pohon. Beliau memberikan mata kuliah lapangan, bagaimna memahami keadaan sekitar. Sunggu sangat bermakna apa yang telah beliau berikan pada kami hingga membuat kita semua belajar untuk menggali kemampuan otak. Untuk meningkatkan kemampuan berfikir.

Kamis, 22 Desember 2011

Kuliah Lapangan "Radar Malang"

Perkuliahan jurnalistik semester 7 lebih banyak di lapangan dari pada di ruangan (kelas) kerena matakuliah ini lebih menekankan kepekaan sosial mahasiswa yang nantinya akan diapresiasikan dalam bentuk karya tulis. Radar Malang salah satu tempat yang dijadikan tempat untuk perkuliahan jurnalistik dilapangan, selain Radar Malang, alun-alun kota malang dan taman depan gedung rektorat juga dijadikan tempat perkuliahan lapangan.


Radar malang dan Malang Post merupakan lembaga penerbitan surat kabar yang berada di wilayah Malang. Dalam kunjungan ke Radar Malang dan Malang Post langsung di bimbing oleh Bapak Khoirul Anwar, M. Pd, beliu adalah dosen mata kuliah pendidikan jurnalistik.


Ia mengampaikan beberapa materi tentang jurnalistik, mulai dari pengertian, media, bagaimana kita memperoleh berita dan bagaimana mencetaknya. Kunjungan pertama yaitu ke kantor Radar mlang yang terletak tidak jauh dari Stadion Gajayana bertempat di jalan arjuna terdekat dengan Bank Bukopin. Kemudian dilanjutkan ke Malang Post yang bertempat didekat stasiun kereta.


Rombongan Mahasiswa semester tujuh pendidikan agama islam diterima oleh Redaktur senior Malang Post oleh Bapak Hasnun N Djuraid. Dalam kunjungan ini bapak Hasnun banyak berbicara tentang berdirinya Malang Post dan proses bagaimana pembuatan koran.


Dalam diskusi banyak yang ditanyakan oleh para temen-temen Mahasiswa pada bagaimana kinerja wartawan dan saya tak luput bertanya bagaimana seorang wartawan memperoleh berita. Beliau juga berpesan kepada mahasiswa yang melakukan kunjungan ke Malang Post kelak bisa menjadi wartawan dan bermartabat.


Dalam kunjungan ke Radar Malang berbasis Malang tempat percetakan. Bapak Khoirul Anwar banyak memberikan penjelasan tentang bagaimana mencetak koran dan surat kabar. Dan disana juga di jelaskan proses pembuatan surat kabar, koran dan juga LKS.

Dialog dan Tantangan Umat Beragama


Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di antara mereka. Yang paling aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan penting.[1] Secara tidak sadar, manusia terkelompok ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Dari klasifikasi di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya. Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar umat  beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
Dialog adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Dialog memang bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar apa yang harus digunakan untuk mencakup beragam peradaban yang ada di dunia. Menurut hemat penulis, perlu adanya standar yang bisa diterima semua pihak. Dengan kata lain, perlu ada standar universal untuk semua. Standar itu hendaknya bermuara pada moralitas internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi, keadilan dan perdamaian. Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu.[2]
Standar universal ini memang bukan persoalan mudah, karena ia adalah gagasan teoritis yang mungkin berbeda dengan kenyataan-kenyataan di lapangan. Namun, sebagai nilai-nilai universal yang bisa melindungi hak-hak semua masyarakat dunia tampaknya nilai-nilai itu bisa mewakili kebutuhan bersama manusia, paling tidak dari stadar kemanusiaan (manusiawi).
Di sinilah kemudian diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang proporsional baik secara intra-agama maupun antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan memperuncing benturan. Tawaran-tawaran yang telah dikemukakan oleh para cendekiawan muslim Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat menjadi moralitas yang bersifat universal atau menjadi global etik yang dapat dipakai oleh semua orang. Apa yang dikemukakan oleh Rasjidi dengan pluralisme agama secara sosiologis, toleransi agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan konsep modus vivendi dan persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama, Mukti Ali dengan agree in disagreement, Djohan Effendi dengan dimensi moral dan etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan pluralisme dalam bertindak dan berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah al-hanîfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap toleransi dan  sikap pluralisme serta perlunya memahami pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat beragama bisa hidup damai dan harmonis. 
Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau  mendengarkan semua pihak secara proporsional,  adil dan setara. Dialog bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga  bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai “agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.[3] 
Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan memang merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada yang berhak menghakimi atas suatu kebenaran atau tidak ada “truth claim” dari salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam memperbincangkan tentang kebenaran agamanya.[4] 
Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. Dengan kata lain, dialog ibarat pedang bermata dua; sisi pertama mengarah pada diri sendiri atau otokritik, dan sisi kedua mengarah pada suatu percakapan kritis yang sifatnya eksternal, yaitu untuk saling memberikan pertimbangan serta memberikan pendapat kepada orang lain berdasarkan keyakinannya sendiri. Agama bisa berfungsi sebagai kritik, artinya kritik pada pemahaman dan perilaku umat beragama sendiri.[5] 
Keempat adalah adanya persamaan. Suatu dialog tidak dapat berlangsung dengan sukses apabila satu pihak menjadi “tuan rumah” sedangkan lainnya menjadi “tamu yang diundang”. Tiap-tiap pihak hendaknya merasa menjadi tuan rumah. Tiap-tiap pihak hendaknya bebas berbicara dari hatinya., sekaligus membebaskan dari beban: misalnya kewajiban terhadap pihak lainnya, maupun kesediaannya pada organisasinya dan pemerintahannya. Suatu dialog hendaknya tidak ada  “tangan di atas’ dan “tangan di bawah”, semuanya harus sama.[6]  
Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar. Masing-masing pihak harus mau berusaha melakukan itu agar pemahaman terhadap orang lain tidak hanya di permukaan saja tetapi bisa sampai pada bagiannya yang paling dalam (batin).  Dari situlah bisa ditemukan dasar yang sama sehingga dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai, meskipun adanya perbedaan juga menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.[7] 
Namun demikian, penulis melihat adanya berbagai permasalahan yang dapat menjadi penghambat dialog antar umat beragama. Di antara sesuatu yang dapat menjadi penghambat itu adalah sebagai berikut: (1)  kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang berlainan. Hal ini  akibat adanya truth claim, atau sesuatu yang akan mengakibatkan adanya truth claim.[8] (2) Faktor-faktor sosial politik dan trauma akan konflik-konflik dalam sejarah, misalnya Perang Salib atau konflik antar agama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu. (3) Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran hitam-putih. (4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan golongan tertentu.[9] (5) Masih adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu. (8) Penafsiran tentang misi atau dakwah yang konfrontatif.  (9) Ketegangan politik yang melibatkan kelompok agama.[10]


[1]Samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993, hlm. 12.
[2]Lihat Bassam Tibi, “Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 163. Lihat juga Parliament of the World’s Religions, Declaration Toward a Global Ethic (Chicago : t.t.), hlm. 5. Lihat juga Zainul Abas, “Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian”, dalam Kompas, No. 213 Tahun Ke-32, 31 Januari 1997.
[3] Ibid.
[4]Lihat Tarmizi Thaher, “Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999), hlm. 2-3. Lihat juga Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama, hlm. 35-36.
[5] Lihat Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama”, hlm. 42.
[6]Ismail Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen, Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya : Pustaka Progressif, 1994), hlm. 12.
[7]Lihat St. Sunardi, “Dialog:Cara Baru Beragama”, hlm. 76.
[8] Hal ini adalah antitesis dari prasyarat dialog yang mengharuskan adanya saling pemahaman terhadap berbagai macam agama. Jika masing-masing tidak memahami secara benar terhadap agama orang  lain maka ini akan menjadi penghambat dialog, karena akan muncul kecurigaan-kecurigaan.
[9]Poin 3 dan 4 lihat A. Ligoy, CP, “Gereja Indonesia”, hlm. 131.
[10]Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.), hlm. 350-351.

Menuju Dakwah yang Arif dan Transformatif


Berbagai gambaran riil di lapangan menunjukkan bahwa merajut tali kerukunan dan toleransi di tengah pluralitas agama memang bukan perkara mudah. Beberapa faktor berikut jelas merupakan ancaman bagi tercapainya toleransi. Pertama, sikap agresif para pemeluk agama dalam mendakwahkan agamanya. Kedua, adanya organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung berorientasi pada peningkatan jumlah anggota secara kuan­titatif ketimbang melakukan perbaikan kualitas keimanan para peme­luknya. Ketiga, disparitas ekonomi antar para penganut agama yang berbeda.[1]  Guna meminimalisir ancaman seperti ini (terutama ancaman pertama dan kedua), maka mau tidak mau umat Islam, demikian juga umat lain, dituntut untuk  menata aktifitas penyebaran atau dakwah agama secara lebih proporsional dan de­wasa.
Kedewasaan ini perlu mendapat perhatian semua pihak karena upaya membina kerukunan umat beragama seringkali terkendala oleh adanya kenyataan bahwa sosialisasi ajaran keagamaan di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh juru dakwah yang kurang peka terhadap kerukunan umat beragama. Semangat berdakwah yang tinggi dari para pegiat dakwah ini seringkali dinodai dengan cara-cara menjelek-jelekan milik (agama) orang lain.
Terkait dengan ini, beberapa hal berikut tam­paknya merupakan persoalan mendasar yang harus senantiasa diupayakan, jika  Islam diharapkan menjadi rahmah untuk seluruh alam.  Ketiga hal itu adalah  (1), penyiapan da’i yang arif sekaligus bersi­kap inklusif, bukan eksklusif; (2), memilih materi dakwah yang menyejuk­kan dan (3), dakwah berparadigma transformatif sebagai modal menuju kerjasama antar umat beragama. Yang pertama, erat kaitannya dengan penyiapan kompetensi personal seorang dai sedang sisanya kompetensi penunjang yang harus menjadi concern seorang pendak­wah atau muballigh.
Da’i yang Arif lagi Inklusif. Adalah tugas setiap umat Islam untuk tidak hanya melaksanakan ajaran agamanya, tetapi juga mendakwahkannya keada diri sendiri maupun orang lain di manapun dan kapan pun. Dakwah sebagai upaya penyebaran ajaran Islam merupakan misi suci sebagai bentuk keimanan setiap muslim akan kebenaran agama yang dianutnya.  Al-Qur’an dalam surat Al-Nahl (16):  125 secara tegas menyebutkan, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan beragumentasilah dengan mereka dengan yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Demikian juga  sebuah hadis yang sering kita dengar secara eksplisit menyerukan agar kita menyampaikan kebenaran dari nabi meskipun satu ayat (sedikit) serta beberepa beberpa dalil lain yang kompatible dengan anjuran berdakwah.
Dari ayat di atas, satu hal yang pasti dan mesti digarisbawahi adalah bahwa dakwah hendaknya dilakukan secara bijaksana dan penuh kedewasaan. Kedewasaan sebagai umat yang akan mengantarkan keluhuran Islam di mata kelompok lain serta  menjadikan orang lain merasa aman (secure) dan tak terancam dengan Islam. Agar tujuan mulia seperti ini  tercapai maka hal-hal berikut seyogyanya dimiliki oleh seorang da’i dalam melakukan dakwah pada masyarakat plural.
Pertama,  menyadari heterogenitas masyarakat sasaran dakwah (mad’u) yang dihadapinya. Keragaman audiens sasaran dakwah menuntut metode dan materi serta strategi dakwah yang beragam pula sesuai kebutuhan mereka. Nabi sendiri melalui hadisnya menganjurkan pada kita untuk memberi nasehat, informasi kepada orang lain sesuai tingkat kemampuan kognisinya (‘uqulihim).
Kedua,  dakwah hendaknya dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian. Esensi dakwah mestilah melibatkan dialog bermakna yang penuh kebijaksanaan, perhatian, kesabaran dan kasih sayang. Hanya dengan cara demikian audiens akan menerima ajakan seorang dai dengan penuh kesadaran. Harus disadari oleh seorang dai bahwa kebenaran yang ia sampaikan bukanlah satu-satunya kebenaran tunggal, satu-satunya kebenaran yang paling absah. Karena, meskipun kebenaran wahyu agama bersifat mutlak adanya, tetapi keterlibatan manusia dalam memahami dan menafsirkan pesan-pesan agama selalu saja dibayang-bayangi oleh  subyektifitas atau horizon kemanusiaan masing-masing orang.
Ketiga, dakwah hendaknya dilakukan secara persuasif, jauh dari sikap memaksa karena sikap yang demikian di samping kurang arif juga akan berakibat pada keengganan orang mengikuti seruan sang da’i yang pada akhirnya akan membuat misi suci dakwah menjadi gagal. “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, silahkan (secara sukarela) siapa yang hendak beriman berimanlah dan siapa yang ingkar silahkan (Qs. Al-Kahfi (18): 29); “Tiada paksaan dalam memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas perbedaan antara yang benar dan yang sesat. (Qs. Al-Baqoroh (2); 256).
Keempat,   menghindari pikiran dan sikap menghina dan men-jelek-jelekkan agama atau menghujat Tuhan yang menjadi keyakinan umat agama lain. Dalam surat al-An’am (6); 108, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. Tak ada salahnya jika etika berdakwah sedikit meniru  etika periklanan. Salah satu etika yang jamak disepakai dalam kegiatan  menawarkan sebuah produk ini adalah di samping tidak memaksa konsumen untuk membeli produk tertentu, juga  larangan menghina atau menjelek-jelekkan produk lain. Jika hal itu dilakukan tentu  pihak–pihak yang dirugikan akan melakukan somasi, protes dan dapat berakibat pada pengaduan pencemaran nama baik.
Kelima, menenggang perbedaan dan menjauhi sikap ekstrimisme dalam bergama. Prinsip Islam dalam beragama adalah sikap jalan tengah, moderat (umatan wasathon). Sejumlah ayat al-Qura’an dan al-Hadis secara tegas menganjurkan umat Islam untuk mengambil jalan tengah, menjauhi ekstrimisme, menghindari kekakuan atau kerigidan dalam beragama. Sikap ekstrimisme biasanya akan berujung pada sikap kurang toleran, mengklaim pendapat sendiri sebagai paling absah dan  benar (truth claim) sementara yang lain salah, sesat, bid’ah (heterodoks). Alwi Shihab (1989) mengungkapkan pernyataan Abû Ishaq Al-Syatibi yang meyatakan, “Kurangnya pengetahuan agama dan kesombongan adalah akar-akar bid’ah serta perpecahan umat, dan pada akhirnya dapat menggiring kearah perselisihan internal dan perpecahan perlahan-lahan”.[2]
Hal-hal di atas dan tentu saja ditambah dengan kompetensi personal yang harus dimiliki seorang dai, jika dilaksanakan secara sungguh-sungguh maka akan sangat berguna bagi upaya menjaga harmoni di antara semua penganut agama. Sebagai tambahan, kompetensi personal yang harus dimiliki seorang da’i di atas hanya dapat tercapai jika da’i tersebut tidak hanya mempunyai pengetahuan yang banyak tentang agamanya, tetapi juga memiliki pemahaman yang benar dalam menterjemahkan pesan-pesan moral agama Islam.
Di samping itu, tentu saja prinsip-prinsip Islam tentang pluralisme dan penghargaan terhadapnya mestilah terinternalisasi secara baik dalam diri setiap da’i. Prinsip Islam tentang pluralisme tergambar baik dalam landasan etik-normatif yang terdokumentasi dalam al-Qur’an dan al-Hadis maupun rekaman historis pengalaman Nabi Muhammad ketika mengalami perjumpaan dengan agama lain.[3]
Contoh ayat-ayat  al-Qur’an yang dapat dijadikan landas tumpu terhadap penghargaan dan penyikapan yang benar terhadap  pluralisme misalnya, Qs. Al-Baqoroh (2); 62 dan 148; dua ayat ini di samping mengandung kenyataan bahwa pluralitas itu bagian dari Sunnat-u Allâh sekaligus juga melaui pluralitas kita dituntut untuk berlomba dalam kebaikan. (fastabiq al-khairât). Pluralisme juga merupakan kebijakan Tuhan yang berlaku dalam sejarah (Qs. Al-Rum (30): 22 dan al-Baqarah (2): 213. 
Artinya kenyataan pluralitas demikian adalah keinginan Allah sendiri, karena jika Allah menghendaki, tentulah Dia menciptakan  manusia dalam satu komunitas saja. Ide semisal ini diulang-ulang di  banyak tempat dalam al-Qur’an dengan penekanan berbeda semisal pengujian kualitas hamba terhadap pemberian-Nya (Qs.Al-Ma’idah (5): 48);  peringatan bahwa mereka suka berselisih pendapat (Qs. Hûd (11):118); pemberian petunjuk bagi mereka yang mau mengikuti Tuhan (Qs. Al-Nahl (16): 93) dan memasukkan orang yang dikehendaki ke dalam rahmat-Nya (Qs. Al- Syûrâ (42): 8).  
Al-Qur’an juga secara eksplisit mengajarkan bahwa pada dasarnya umat manusia adalah tunggal (Qs. Al-Baqorah (2): 213; Yûnus (10): 19). Agama adalah ‘satu’ dalam dimensi substantif dan esoterisnyanya. Namun penting dicatat bahwah “kesatuan bukan berarti “keseragaman”. Meskipun dari luar tampak berbeda, namun dalam setiap agama terdapat kesamaan yakni kesaman realitas tertinggi yang menjadi tujuan akhirnya (ultimate goal; al-gardh) dari setiap agama. Oleh karena adanya kesamaan inilah maka al-Qur’an mengajak seluruh umat beragama untuk mencari titik temu atau yang lazim dikenal dengan istilah  kalimat- un sawâ itu [4] .
“Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahl al-Kitâb! Marilah menuju ketitik pertemuan (kalimat un sawâ’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allâh dan tidak menyekutukan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebaghian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “Tuhan-Tuhan” selain Allah”.
 Ajakan untuk mencarai titik temu di antara penganut agama di luar Islam yang sering disebut sebagai Ahl al-Kitab[5], memberi implikasi lanjut berupa keyakinan bahwa: siapa pun dapat memperoleh “keselamatan” (salvation) asalkan ia beriman kepada Allah, kepada hari kiamat dan berbuat baik. Karena bagi mereka semua, Allah telah menyediakan pahala masing-masing, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula bersedih hati. (Qs. Al-Baqoroh (2); 62 dan ayat yang mirip dengan ini (Qs. al-Mâi’idah (5); 69).
Menarik untuk disebutkan, bahwa perhatian dan pengakuan Islam akan agama lain seperti di atas sesungguhnya merupakan bagian dan sekaligus sayarat bagi kesempurnaan keimanan seorang Muslim.[6] Artinya jika seseorang ingin imannya sempurna maka wajib baginya mengakui dan menghormati agama lain. Tidak lah mengherankan jika toleransi yang sedemikian tinggi ini menjadi catatan tersendiri bagi para pengamat Isam semisal Cyril Glasse yang menyatakan; “Kenyataan bahwa satu wahyu (Islam) menyebut wahyu-wahyu lain sebagai absah adalah sebuah kejadian yang luar biasa dalam sejarah agama-agama”.[7]
Jelas bahwa perhatian al-Qur’an terhadap adanya pluralitas tidak hanya sebatas pengakuan atau akomodasi akan keberadaannya, tetapi juga kedekatan dan saling menghormati (Qs. Al-Ma’idah (5): 82-83). Lebih dari itu, penghargaan al-Qur’an terhadap agama lain, nabi-nabi lain berikut kitab-kitab sucinya, juga bukan hanya sebatas penghormatan formalitas semata, melainkan pengakuan akan kebenaran mereka juga. Bahkan Islam memandangnya bukan sebagai “agama lain” yang harus ditoleransi tetapi sebagai agama yang benar-benar ada secara hukum dan benar-benar agama wahyu dari Tuhan.[8] Berangkat dari pandangan al-Qur’an yang khas tentang pluralisme ini, sesunguhnya kita dapat menarik `ibrah bahwa pemahaman pluralisme tidak cukup dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, berbeda-beda suku bangsa dan agamanya, yang justru terkesan menyiratkan adanay fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversity within the bonds of civility).[9] Singkatnya, pluralisme tidak bisa dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negatif good). Di mana pluralisme hanya digunakan untuk menghilangkan fanatisme (ta’âshû-biyah).[10]
Materi Dakwah yang Menyejukkan. Setelah memiliki kompetensi (atau lebih tepatnya etika dasar)  personal berikut internalisasi nilai-nilai atau prinsip pluralitas pada diri seorang da’i, maka langkah selanjutnya yang harus diperhatikan oleh seorang da’i adalah memilih  materi dakwah.  Memilih materi dakwah yang dimaksud di sini adalah dengan sebisa mungkin mengedepankan pesan-pesan agama yang memberi kesejukkan dan sejauh mungkin menghindari provokasi massa ke arah yang destruktif.
Untuk memilih materi dakwah seperti termaksud di atas, di samping ditentukan oleh apresiasi  positif kepada ‘yang lain’, juga yang terpenting adalah kematangan para dai dalam memahami pesan-pesan atau ide moral Islam secara keseluruhan. Sekedar ilustrasi sederhana, mengapa kita suka menonjolkan ayat semisal “Tidak akan rela orang-orang Yahudi dan Nasrani (terhadapmu) sampai kamu mengikuti agama mereka” tanpa dibarengi dengan penjelasan terhadap konteks ayat tersebut, sementara masih banyak ayat (pluralis) lainnya yang menghargai agama lain seperti terungkap di atas. Atau contoh lain, kenapa hadis Nabi yang artinya, “Ucapkan salam kepada orang lain baik yang kau kenal maupun yang tidak kau kenal (man arofta wa man lam ta’rif)”[11] justeru terdesak oleh larangan atau fatwa yang mengharamkan umat Islam mengucapkan salam kepada orang (agama) lain.[12]
 Fenomena keberagaman yang lebih menggambarkan wajah kusut hubungan antar umat beragama ini memang tidak hanya diakibatkan pilihan dai akan materi dakwahnya saja, tetapi juga  oleh faktor lain. Salah satu di antaranya adalah kurangnya pemahaman akan dialektika teks dan konteks yang berakibat pada kesalahan pengamalan sekaligus penyebaran syariat Islam.[13] Jika kesalahan ini masih sebatas pada praksis individual tentu tidak ada masalah. Persoalan menjadi kompleks ketika kesalahan pemahaman ini dikomunikasikan dan didakwahkan kepada publik secara luas. Sebabnya jelas, syariat Islam yang kaya akan nilai-nilai dan prinsip-prinsip untuk kemaslahatan manusia akan tereduksi hingga akhirnya hilang sama sekali.
Kemaslahatan adalah  inti dari syariat Islam. Al-Syatibi dengan sangat baik mendiskripsikan hal ini. Menurutnya, agama tidak hanya memuat ajaran yang menekankan aspek peribadatan atau ritual (ta‘âbudiyah) semata, tetapi juga membawa kemaslahatan bagi manusia (al-maslahah al-‘âmmah).[14]
Dakwah Berparadigma Transformatif dan Urgensi Kerjasama. Orientasi dakwah yang lebih mengedepankan perbaikan kualitas keimanan individual dengan tekanan hanya pada ketaatan menjalankan ritual keagamaan telah mengabaikan satu dimensi penting dalam dakwah. Dimensi dakwah yang terabaikan tersebut adalah pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Islam secara menyeluruh.[15] Keterbelakangan, ketertinggalan dan keterpinggiran umat Islam dari percaturan (peradaban) global dewasa ini  adalah beberapa realitas yang kurang tersentuh dalam materi dakwah. Dalam pengertian bukan dakwah yang materi pembicaraannya hanya sekedar menggerutu,  mengumpat dan menyalahkan umat atau orang lain yang menjadikan Islam mundur, tetapi dakwah dimaknai secara lebih luas dengan tekanan pada perbaikan kualitas sosial, pendidikkan  dan ekonomi masyarakat.
Sudah waktunya orientasi dakwah diarahkan untuk sebisa mungkin menyentuh persoalan sosial kemasyarakatan semisal perbaikan gizi anak-anak, pelestarian lingkungan, bahaya penyalah-gunaan obat, pemberantasan korupsi, penciptaan pemerintahan yang bersih (good governance), kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan  dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) serta perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara lebih beradab. Dakwah hendaknya  ditujukan antara lain untuk memecahkan kebutuhan mendasar manusia akan jaminan kesejahteraan yang merupakan norma-norma keadilan sosial dan prinsip-prinsip persaudaraan dalam Islam.
Islam sendiri sering disebut sebagai agama pembebas. Banyak preseden baik yang telah dilakukan oleh Nabi dan generasi awal Islam dalam merealisasikan dakwah dalam pengertian seperti ini. Yakni dakwah yang mampu menstransformasikan nilai-nilai Islam untuk kemaslahatan umat manusia secara lebih luas. Beberapa seruan al-Qur’an dan dokumentasi sunnah rasul dalam Hadis dengan sangat jelas mendorong umat Islam melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap sistem sosial sejajar dengan penguatan tawhîd umat.
“Katakanlah: mari kubacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun; dan berbuat baiklah kepada ibu bapakmu; janganlah membunuh anak-anakmu dengan dalih kemiskinan. Kami memberi rizki kepadamu dan kepada mereka. Janganlah melakukan perbuatan keji yang terbuka ataupun yang tersembunyi; jangan hilangkan nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan adil dan menurut hukum. Demikianlah Dia memerintahkan kamu supaya kamu mengerti”
“Janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali untuk memperbaikinya dengan cara yang lebih baik, sampai ia mencapai usia dewasa. Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil; kami tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya; dan jika kamu berbicara, berbicaralah yang jujur, sekalipun mengenai kerabat; dan penuhilah janji dengan Allah. Dia memerintahkan kamu supaya kamu ingat.[16]


[1] Burhanuddin, et. all., Sistem…., 28.
[2] Lebih lanjut Shihab menyatakan bahwa untuk mencegah ekstrimesme, dan menjaga keseimbangan dan toleransi dalam agama  adalah dengan mengefektifkan dakwah di internal umat Islam terlebih dahulu. Sehingga ketika umat Islam mampu melakukan hal demikian maka orang lain akan apresiatif terhadap ideal-ideal islam seperti tasamuh (toleransi), I’tidal (moderasi) dan adl (keadilan). Ibid., 257
[3] Tentang perjumpaan dengan agama lain, Jacques Waardenburg sebagaiman dikutip oleh Harold Coward menyatakan setidaknya Islam mengalami 6 (enam) tahap perjumpaan tersebut. Salah satunya adalah fase pertama, di mana Muhammad tumbuh menjadi manusia dewasa di Makkah di tengah komunitas Kristen, Yahudi, kaum Mazdean, dan barangkali kaum Manikhean dan kaum Sabian. Lima fase berikutnya dapat di lihat pada Harold Coward, Pluralisme, Tantangan Agama-agama, ter. (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 89.
[4] Istilah yang oleh Profesor Doktor Nurcholis Madjid sering diindonesiakan  dengan “semangat kebenaran yang lapang” ini adalah esensi dari Islam. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara tegas menyebutkan; “Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Nabi s.a.w. ditanya, “Agama mana yang paling dicintai Allah?” Nabi menjawab, “Semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyah al-samhah). Juga sebuah hadis, ‘Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat kebenaran yang lapang (Al-hanifiyah al-samhah)” (HR Imam Ahmad) Dikutip dari Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), 21.
[5] Konsep Ahl al-Kitab dalam Islam sesungguhnya menunjuk semua kelompok agama di luar agama Islam tidak hanya sebatas agama Yahudi dan Nasrani. Termasuk di dalamnya Majusi dan Shabi’in yang secara eksplisit diakui oleh al-Quran sebagai  (Qs.al-Baqarah (2): 62; al-Hajj (22): 17). Bahkan banyak ulama yang menyatakan bahwa konsep ahl al-kitab menunjuk pada semua agama termasuk Budha, Hindu, Kong Hu Cu. Adalah Rasyid Ridho yang secara tegas mengafirmasi hal demikian dengan pernyataannya, “Yang namapak ialah bahwa al-Qur’an menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Sabiin dan Majusi dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha dan para pengikut Konfusius karena (hanya) kaum Sabi’in dan Majusi yang dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran  mula-mula al-Qur’an, karena kaum Majusi dan Shabi’in itu berdekatan  dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka (orang-orang Arab) belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka mengetahui golngan yang lain ….” Dikutip dari Nurcholis Madjid, et. al., Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), 52. Hal senada juga diakui oleh Fazlur Rahman, menurut Rahman, kata ahl al-Kitab sering digunakan dalam al-Qur’an bukan untuk mengacu pada suatu kitab khusus yang diwahyukan, “melainkan sebagai suatu istilah generik yang menunjukkan totalitas wahyu Illahi”. Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), 164.
[6] Azumardi Azra, “Bingkai Teologi Kerukunan: Perspektif Islam” dalam Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 34.
[7] Ungkapan Glasse ini dapat dijumpai pada Cyril Glasse, “Ahl al-Kitab”, dalam The Concise Enciclopaedia of Islam, (San Francisco: Harper, 1991), 27
[8] Baca, Al-Faruqi, “The Role of Islam in Global Interreligious Dependence” dalam Toward a Global Conggress of the World an Religions, ed. Waren Lewis, (New York: Bary Town, Univication Theological Seminary), 22-23.
[9] Budi Munawar Rahman, Pluralisme..., 31.
[10] Ibid.
[11] Terjemahan hadis yang ini selengkapnya adalah “Memberi makanan  dan membaca salam kepada siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak kau kenal” Makna zahir man arafta wa man lam ta’rif dalam hadis ini menunjukkan keumuman pada seluruh manusia, baik yang beriman maupun yang “kafir”, baik mengadakan perjanjian damai maupun yang berperang, karena makna zahir ini menunjukkan bahwa salam adalah milik Allah bukan untuk pemenuhan hak pengenalan. Lihat Musa Syahin Lasyin, Fath al-Mu’im: Syarh Shahih Muslim, Bagian I (Kairo: Maktabah al-Jâmiat al-Azhârîyah, 1970), 233, 237.
[12] Larangan mengucapkan salam ini biasanya merujuk pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Anas bin Mâlik yang artinya, “Jangan kamu memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desaklah ia sampai ke pinggir”(HR. Bukhari). Penjelasan lebih lanjut mengenai kelemahan dalil ini lihat Madjid, et.al., Fiqh…, 66-78.
[13] Ibid., 263.
[14] Secara lebih detail al-Syâtibi membagi kemaslahatan ini dalam tiga tingkatan, pertama, kemaslahatan yangb bersifat primer (al-maslahah al-dharûriyah), yaitu kemaslahatan yang menjadi orientasi implementasi syariah. Termasuk dalam hal ini yaitu perlunya melindungi agama, melindungi jiwa, melindungi akal, melindungi keturunan dan melindungi harta benda.  Kedua,kemaslahatan yang bersifat sekunder (al-maslahah al-hajiyât), yaitu kemaslahatan yang tidak menyebabnya ambruknya tatanan sosial dan hukum, melainkan justeru untuk meringankan pelaksanaan humum. Ketiga,  kemaslahatan yang bersifat suplementer (al-maslahat al-tahsînîyat), sebuah kemaslahatan yang memberi perhatian pada etiket sekaligus estetika. Disarikan dari Abû Ishaq al-Syâtibi    dalam al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, Jilid I. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt), 3-23
[15] Ibid., 258.
[16] Qs. Al-An’am (6): 151-153.