Jumat, 14 Oktober 2011

LIBERALISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan formal tertinggi dimana ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan disemaikan. Perguruan tinggi mempunyai tiga kewajiban (tridharma) yang harus diamalkan oleh segenap civitas akademiknya, yaitu: belajar, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Ini berarti bahwa perguruan tinggi harus berada di tengah-tengah masyarakat, bukan berada di “menara gading” yang jauh dari rakyat. Perguruan tinggi harus mengembangkan pendidikan yang ilmiah dan berorientsi untuk kepentingan masyarakat, melakukan penelitian tentang apa yang menjadi kebutuhan rakyat dan mampu mengabdi untuk kepentingan rakyat. Mahasiswa sebagai salah satu civitas akademik perguruan tinggi yang memiliki waktu cukup untuk mengakses seluas-luasnya media guna mengembangkan ilmu pengetahuan dan mendapat informasi harus mampu menunaikan tridharma perguruan tinggi. Bagi mahasiswa, belajar bukanlah hanya dari buku dan ceramah dosen di ruang kelas tetapi juga mempertanyakan dan memahami tentang realitas sosial dan lingkungan sekitarnya. Menurut Paulo Freire, belajar adalah proses mencapai kesadaran kritis sehingga mampu memaknai hidup dan memecahkan masalah-masalah kehidupan. Dengan kata lain belajar adalah keseluruhan proses untuk menyadari tentang situasi kongkrit dimana dia hidup, memahami bagaimana situasi dan masalah kehidupan muncul dan bagaimana merubah realitas menjadi lebih baik lagi. Untuk itu belajar tidak bisa dipisahkan dari penelitian yang rasional, obyektif dan pengabdian yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Sebagai langkah awal, mahasiswa harus berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang dialogis dan partisipatif, bukan lagi monologis dan dominatif sehingga mahasiswa dan dosen adalah sama-sama subyek yang belajar Selanjutnya mahasiswa mendorong demokratisasi dan transparansi di lingkungan terdekatnya, yaitu kampus. Sehingga tidak ada lagi hegemoni dan dominasi di dalam kehidupan perkuliahan dan di kampus. Di sinilah peran organisasi mahasiswa sebagai wadah perjuangan untuk terpenuhinya hak dan kewajiban mahasiswa menjadi sangat penting, bukan hanya terjebak dalam penyelenggaraan even-even yang hanya berorientasi profit saja. Berdiskusi tentang relitas sosial saat ini, tidak bisa dilepaskan dari kata globalisasi. Globalisasi alias neo-liberalisme alias pasar bebas adalah angin kencang yang telah memporak-porandakan banyak tatanan dunia, khususnya tatanan dunia ketiga. Untuk memahami apa itu globalisasi, kita harus memahami poin-poin pokok dari neo-liberal, yaitu: Mekanisme pasar bebas, di mana batas negara dan kekuasaan pemerintah menjadi menghilang dan melemah, karena masalah perekonomian dan kontrol harga sepenuhnya merupakan kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa. Pemotongan subsidi untuk rakyat sehingga sektor-sektor layanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan dikuasai oleh swasta dan dijadikan lahan bisnis. Deregulasi, yaitu pengurangan atau penghapusan peraturan yang memberatkan dan membatasi pengusaha dalam mencari keuntungan sebesar-besarnya. Privatisasi, yaitu penjualan BUMN-BUMN yang melayani kepentingan orang banyak pada pihak swasta, sehingga mengakibatkan pemusatan kekayaan ke tangan segelintir orang. Berdasarkan poin-poin pokok tersebut, jelaslah bahwa dengan zaman globalisasi atau neo-liberal, kita tengah memasuki kehidupan hutan belantara yang liar dan ganas di mana yang berlaku adalah hukum rimba. Yang kuat yang menang, yang punya uang yang berkuasa. Karena berlakunya prinsip persaingan bebas. Institusi pendidikan dari mulai play group sampai Perguruan Tinggi diperdagangkan secara bebas. Yang berlaku adalah logika pasar. Murah sama dengan tidak berkualitas. Mahal sama dengan berkualitas. Kalau tidak punya uang walaupun cerdas jangan harap masuk sekolah yang berkualitas. Karena sekolah yang berkualitas harus mahal. Ini jelas tidak sesuai dengan konstitusi kita yang menyebutkan bahwa negara harus mencerdaskan kehidupan bangsa, menyelenggarakan pendidikan bagi rakyatnya dan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Kenyataan berbicara bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan asalkan mampu membayar. Pendidikan menjadi barang mewah di Indonesia. Perguruan tinggi negeri yang dahulu dikenal berkualitas dan terjangkau, kini hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berkantong tebal karena adanya perubahan status menjadi BHMN. Dengan dalih otonomi kampus, pemerintah mengubah perguruan tinggi negeri menjadi BHMN. Padahal sesungguhnya ini adalah kebijakan yang tidak bijak yang harus ditaati oleh pemerintah sebagai akibat dari aturan tertulis dalam SAPs (Structural Adjusment Programs) atau LoI (Letter of Intent) dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, WTO dan Bank Dunia. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan peraturan yang menghambat atau mengganggu masuknya modal asing (deregulasi). Sehingga investor banyak yang menanamkan modalnya ke Indonesia. Investor cukup jeli melihat bahwa bidang pendidikan adalah lahan yang cukup subur untuk ditanami modal dengan dalih sebagai upaya ikut serta dalam usaha “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kondisi ini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan tak lebih dari perusahaan bisnis dengan produknya mas-mas sarjana yang siap mengabdi untuk kepentingan om-om pemodal. Berangkat dari pemahaman terhadap realitas sosial tersebut, kita dapat mengatakan bahwa masalah-masalah yang terjadi di Indonesia, seperti; kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan adalah akibat dari kesalahan sistemik, karena sebagian besar masyarakat kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan untuk keluar dari belenggu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan dengan adanya sistem yang bernama neo-liberalisme. Untuk itu mahasiswa, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan yang sejati harus membangun pendidikan berparadigma kritis. Di mana tugas utama pendidikan adalah “proses memanusiakan manusia kembali”, yang telah mengalami proses dehumanisasi dikarenakan ketidakadilan sistem sosial ekonomi, politik dan budaya. Agenda utama pendidikan adalah tidak hanya menjawab kebutuhan praktis tetapi juga menjawab kebutuhan strategis untuk memperjuangkan transformasi sosial dalam suatu proses penciptaan sistem yang lebih adil. Dengan paradigma pendidikan kritis kita akan lebih memahami bahwa kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan bukanlah kutukan Tuhan atau hanya karena kemalasan, tetapi adalah karena sistem neo-liberal yang dipaksakan. Sehingga rakyat kecil seperti pak tani dan mas buruh serta mbak-mbak pedagang kecil yang mempunyai modal dan pengetahuan terbatas harus bersaing secara bebas dengan raksasa-raksasa jahat yang haus kekayaan bernama Trans-National Corporations (TNCs) atau Multi-National Corporations (MNCs). Berdasarkan pada pemahaman terhadap realitas tersebut, maka sikap, peran dan posisi mahasiswa dalam menghadapi “globalisasi” atau pasar bebas perlu dipertegas. Apakah kita akan menjadi mahasiswa “modis atau trend setter” yang hanya sibuk berdandan habis-habisan dan memakai fashion atau aksesoris mahal untuk tidak disebut ketinggalan zaman di era globalisasi? Apakah kita akan menjadi mahasiswa pragmatis yang sibuk menjual proposal dan keterampilan untuk kepentingan sendiri dan berorientasi profit? Apakah kita memilih menjadi mahasiswa kritis yang benar-benar berpihak pada rakyat? Dengan mempertanyakan dan melawan hegemoni dan sistem yang ada? Karena Indonesia rindu figur seperti; HOS Cokroaminoto, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan tokoh lainnya yang bisa menjadi intelektual organik dan raushan fikir bangsa ini."Th3"

Selasa, 04 Oktober 2011

Kritis Progres

Saat ini kita dihadapkan sejumlah wacana keagamaan yang semakin gegap-gempita. Munculnya gerakan keagamaan dari pelbagai corak, baik yang liberal, fundamentalis, dan radikal menunjukkan intensitas perbedaan pemikiran yang kian tajam. Namun, satu hal yang amat memprihatinkan adalah tatkala perbedaan tersebut berakhir dengan munculnya sikap keberagamaan yang tidak toleran, provokatif, dan menolak keragaman. Perbedaan, lalu dianggapsebagai 'barang haram' yang mesti dibumihanguskan.
Karenanya, fenomena mutakhir ini mesti ditinjau secara kritis untuk menghidupkan kembali pemikiran keagamaan. Sehingga perbedaan dan keragaman pandangan keagamaan sebisa mungkin dapat mematangkan demokrasi, civil society dan pluralisme. Ini penting, agar agama tidak dimonopoli sebagai justifikasi kepentingan tertentu oleh kelompok tertentu.
Belajar dari sejarah peradaban Islam, bahwa pasangnya peradaban Islam sangat ditentukan sejauh mana pengetahuan dan pemikiran keagamaan lahir secara kreatif dan produktif. Agama dijadikan sebagai sumber dan energi untuk melahirkan pemikiran, pandangan, dan teori yang inovatif. Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah menggambarkan khazanah keislaman yang sangat kaya, tidak hanya dalam ranah keagamaan, melainkan juga dalam ilmu-ilmu sosial. Ini,
disebutnya sebagai puncak peradaban.
Satu hal yang ditulis Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah bahwa kunci darimaraknya peradaban Islam adalah tradisi kebebasan berpikir dan independensi ulama dari ranah politik. Ulama, menurutnya, adalah sosok yang mampu melakukan analisis dan menangkap makna-makna yang tersirat, baik dalam ranah sosial maupun teks keagamaan. Konsentrasi ulama dalam ranah pengetahuan
keagamaan, dalam sejarah peradaban Islam, telah membuktikan lahirnya peradaban yang sangat adiluhung serta membawa pada pencerahan yang dapat dirasakan masyarakat di seantero dunia. Buah dari itu semua, menurut Murad Wahbah, pemikir kristiani asal Mesir (1998), pemikiran Islam telah menjadi gerbang pencerahan bagi Eropa dan Barat.
Namun, apa yang terjadi saat ini --di Tanah Air misalnya-- adalah kebalikan dari itu semua. Pemikiran keagamaan cukup memprihatinkan, karena dalam beberapa dekade terakhir, kita tidak menemukan lahirnya pemikiran keagamaan yang brilian, bahkan bisa dikatakan berjalan di tempat. Ini bisa dilihat dengan beberapa indikator. Pertama, miskinnya gagasan. Perdebatan antara kelompok liberal dan fundamentalis hanya sebatas isu-isu yang amat simbolik, seperti busana (jilbab, jubah, cadar). Termasuk juga isu formalisasi syariat yang terkesan simbolik. Karenanya, isu yang diangkat ke permukaan bersifat
individual dan komunal. Ini menyebabkan pandangan keagamaan tidak menyentuh hajat kebanyakan masyarakat, terutama kalangan lemah yang sedang dilanda krisis. Agama hanya didorong untuk membicarakan doktrin keagamaan, bukan untuk mematangkan visi kemanusiaan yang bersifat universal.
Kedua, krisis ketokohan. Apa yang disebut pemikiran sering kali harus mengikutsertakan pemikir-pemikir terdahulu. Merujuk pemikir-pemikir terdahulu penting, tapi akibatnya kita kehilangan independensi. Pemikiran selalu merujuk kepada salaf al-shalih. Kita selalu beranggapan bahwa yang dikatakan ulama salaf adalah yang paling benar. Ini sebenarnya dampak negatif dari tradisi kodifikasi yang telah memandekkan tradisi berpikir.
Padahal, ulama besar seperti Imam Abu Hanifah memberikan pesan yang sangat berharga untuk senantiasa keluar dari kungkungan salaf.
Bila dibandingkan dengan belahan dunia Islam, seperti Mesir, Sudan, Tunisia, Maroko, dan Suriah, dalam hal pemikiran keislaman, negara kita bisa dianggap mundur ke belakang. Dalam satu dasawarsa terakhir muncul pemikir-pemikir muslim yang menyemangati demokrasi, pluralisme, dan civil society.
Di Mesir, lahir pemikir besar seperti Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Athif Eraqi, Khalil Abdul Karim dan lain-lain. Secara garis besar, mereka membawa semangat untuk mengkritisi tradisi keagamaan yang bersifat dogmatis, normatif, dan konservatif. Harus diakui, bahwa doktrin keagamaan klasikturut mendorong bagi mandeknya pemikiran keagamaan. Karenanya, kritikterhadap tradisi klasik menjadi penting untuk menyegarkan pemikirankeagamaan dan menghidupkan tradisi ijtihad yang bersifat kontekstual.
Di Suriah, muncul sejumlah pemikir seperti Ali Harb, Jabir al-Anshari danlain-lain. Mereka memunyai concern pada pembongkaran terhadap otoritas agamayang menyebabkan mahalnya tradisi ikhtilaf. Menurut mereka, ini disebabkanadanya penyeragaman dalam pandangan keagamaan. Agama dilihat sebagai'lembaga otoritas', bukan spirit kebebasan. Karena itu, yang terjadi justruhilangnya mozaik pemikiran keagamaan dan munculnya sikap intoleran. Otoritasagama, menurut mereka, telah memantapkan kekuasaan untuk mengeksploitasipemikiran keagamaan. Dan di Maroko, kita mengenal Abid al-Jabiri, ThayebTizini, Thaha Abdurrahman dan lain-lain. Mereka memunyai proyek besar untukmenghidupkan kembali rasionalitas yang hilang dalam disket keagamaan.
Tentu saja, apabila melihat pemandangan tersebut, kita bisa mengatakan bahwapemikiran keagamaan di Tanah Air terbelakang, mundur, dan ketinggalankereta.Sejauh pengamatan saya, satu hal yang sangat membedakan antara tradisiintelektual kita dan belahan dunia muslim lainnya adalah tradisi kebebasanberpikir. Kita tidak memunyai ruang bebas untuk mengekspresikan pemikiran,pandangan, dan gagasan. Apabila muncul pemikiran baru yang berbeda denganmainstream sering kali dianggap sebagai penyesatan dan penyimpangan dariagama. Kritik terhadap pandangan keagamaan kadang kala dianggap sebagaikritik terhadap Tuhan, nabi dan lain-lain. Di sini, agama lalu dijadikansebagai otoritas baru untuk memasung dan membonsai pemikiran-pemikiraninovatif.
Karena itu, kita perlu menghidupkan kembali tradisi intelektual yang bebas,dialogis, inovatif, dan kreatif. Ibnu Rushd dalam Fashl al-Maqal bi ma baynal-Hikmah wa al-Syari'ah min al-Ittishal, memunyai pesan menarik, bahwahikmah, penalaran, dan filsafat adalah sahabat agama (syariat), dan saudarasesusuan. Agama dan kebebasan berpikir merupakan dua mata uang logam yangtidak bisa dipisahkan. Bahkan Alquran dalam puluhan ayatnya menyebutkanpentingnya berpikir (QS 51:20-21, 7:185, 29:20). Di sini, kebebasan berpikirmutlak diperlukan untuk melahirkan pandangan keagamaan yang baru, segar, danjernih. Dan, kita berharap agar tahun 2011 ini menjadi era berembusnya
kebebasan berpikir, sehingga mendorong lahirnya pemikiran keagamaan yang kritis ilmiah, transformatif, inovatif, dan konstruktif.(Th3)