Minggu, 29 Januari 2012

Pendidikan dan Kepentingan Pasar


Persoalan pertama yang kita hadapi adalah adanya tegangan antara dimensi humanistis pendidikan dan tuntutan praktis kepentingan pasar (baca, kepentingan tenaga profesional dalam dunia industri dan teknologi). Ada tegangan antarpendidikan manusia vs pelatihan untuk ekonomi pasar. Ada ketimpangan atau ketidakterkaitan antara keluaran (output) suatu lembaga pendidikan dengan tuntutan yang ada dalam dunia kerja. Dunia kerja membutuhkan masukan (input) berupa orang-orang yang memiliki kemampuan profesional teknis agar mereka tetap dapat menjaga keberlangsungan roda produksinya di tengah persaingan bebas.
Dunia industri, perusahaan jasa, dll, akan macet jika tidak disertai kehadiran tenaga-tenaga profesional yang menyokong eksistensi mereka. Dari mana mereka memperoleh tenaga-tenaga profesional ini? Tenaga-tenaga profesional ini hanya dapat dipenuhi dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Karena itu secara struktural dunia industri dan jasa mesti memiliki hubungan erat dengan lembaga pendidikan jika ingin tetap hidup. Dunia industri memperoleh sumber-sumber personalia yang handal dan terampil dari lembaga pendidikan. Karena itu, hubungan antara dunia industri dan dunia pendidikan adalah mutlak.
Sebaliknya, meskipun lembaga pendidikan merupakan satu-satunya tempat di mana perusahaan memperoleh sumber tenaga profesional yang dapat diandalkan, tidak berarti bahwa tujuan pendidikan secara mutlak adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dalam kerangka ini, hubungan antara dunia pendidikan dengan dunia industri menjadi relatif karena pendidikan memiliki tujuan lebih luas daripada sekedar memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan pasar.
Ada dua tujuan yang perlu dipertimbangkan peranannya dalam dunia pendidikan. Yang pertama adalah pendidikan yang memiliki tujuan lebih filosofis (philosophical), mengarahkan dirinya untuk mengkontemplasikan dan menemukan gagasan-gagasan umum. Yang lainnya memiliki tujuan lebih mekanik berupa pengetahuan praktis terapan terhadap dunia di luar dirinya.
Pendidikan yang memiliki tujuan filosofis menganggap bahwa kegiatan belajar itu bernilai di dalam dirinya sendiri karena kondisi alamiah manusia menuntut agar dirinya senantiasa belajar secara terus menerus tentang banyak hal, tentang diri, lingkungan, keterbatasan dan kemungkinan dari keberadaannya. Belajar dan mencari ilmu merupakan salah satu proses aktualisasi diri manusia yang autentik. Bahkan seandainya tidak memiliki kepentingan praktis atas kepemilikian ilmu itu sendiri. Menjadi orang yang berilmu sudah merupakan nilai di dalam dirinya sendiri.
Meminjam kata-kata Henry Newman, "pengetahuan.itu bernilai karena karena ia ada dan hadir dalam diri kita, meskipun ia sama sekali tidak dipergunakan untuk satu kepentinganpun, atau bahkan jika tak diarahkan demi tujuan tertentu.
Keinginan mencari ilmu adalah tanda kesempurnaan keluhuran manusia yang secara alamiah dibekali oleh Sang Pencipta dengan akal budi. "Kita semua terdorong untuk mencari ilmu setinggi langit karena setiap usaha dalam mengejar kesempurnaan merupakan perilaku luhur (exellent), sedangkan kesalahan, kekeliruan, ketidaktahuan, keterkecohan (to be deceived) merupakan cacat dan perendahan martabat (disgrace)."Selain itu, "ada pengetahuan yang diinginkan meski tak ada hasil apapun dari kepemilikan pengetahuan ini, ia menjadi semacam harta karun di dalam dirinya sendiri, cukuplah bila dianggap sebagai upah atas kerja keras bertahun-tahun."
 Rupanya pemahaman akan tujuan pendidikan yang integral seperti inilah yang tidak disadari para pengambil keputusan ketika menerapkan program Link and Match dengan memperkenalkan Pendidikan Sistem Ganda (PSG).
Pendidikan Sistem Ganda, sering secara populer disebut dengan model belajar sambil magang kerja, merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja dan terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.
Tidak ada yang salah dengan Pendidikan Sistem Ganda. Yang salah adalah kedok ideologis dan kerancuan visi pendidikan dibalik program ini. Link and match digembar-gemborkan sebagai sebuah keharusan yang mesti diterapkan di seluruh jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Link and match lantas menjadi jargon populer. Semua orang mengucapkannya. Berbagai macam kerja sama yang terjadi antara sekolah dan dunia usaha lantas segera diberi label Link and Match. Orang tak bisa membedakan antara Link and Match dengan promosi gratis dan publikasi produk dengan sasaran kaum terpelajar. Inilah kekerasan terselubung dunia industri yang dibiarkan begitu saja merangsek dunia pendidikan kita.
Di Madiun misalnya, ketika perusahaan Telkom menggelar acara pawai kebudayaan, konser, pengenalan produk-produk terbaru telkom melalui pameran terbuka yang melibatkan berbagai instansi pendidikan baik di dalam maupun luar negeri, kegiatan inipun lantas dicatut sebagai realisasi Link and Match. Orang semakin rancu melihat apa yang sesungguhnya di link dan apa yang di match.
Program mata pelajaran muatan lokal seperti tercantum dalam PP No. 28 Tahun 1990 yang diterapkan di jenjang pendidikan dasar pun tak luput dari jargon Link and Match ini. Mata pelajaran muatan lokal pun juga dilihat dalam kerangka mempersiapkan ketrampilan kerja siswa pada tingkat dasar begitu ia lulus.
Di daerah Bantul, misalnya di Kasongan, kerajinan tradisional yang terkenal dan secara ekonomis menghidupi banyak warga serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) adalah keramik. Semestinya muatan lokal yang diberikan adalah pengetahuan dan ketrampilan tentang seni keramik. Namun ternyata mata pelajaran muatan lokal yang diberikan adalah ketrampilan mengetik, elektronika dan pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK). Karena ketidakcocokan atas pemberian materi muatan lokal ini, sekolah dasar itu lantas segera dikritik sebagai tidak Link and Match dalam program pendidikannya.
Berharap bahwa pendidikan kita ikut serta mempersiapkan para alumninya untuk memasuki dunia kerja merupakan sebuah harapan yang wajar. Sebab, jika pendidikan dipahami sebagai proses pertumbuhan seorang pribadi dalam totalitasnya, termasuk keberadaannya pada masa kini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan dalam hidupnya, kehadiran sebuah lembaga pendidikan yang mempersiapkan para alumninya terjun ke masyarakat dengan membekalinya berbagai macam kemampuan yang dibutuhkan sehingga kemampuan dan bakat-bakat yang dimilikinya bertumbuh, mempersiapkan para alumni dengan ketrampilan dan kecakapan merupakan sebuah sikap bijak yang mesti dikembangkan oleh setiap lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan tinggi yang responsif terhadap kemajuan iptek, memiliki sumbangan yang besar untuk menciptakan kinerja yang semakin baik bagi sebuah sistem sosial. Untuk ini ia harus tetap terus menerus mampu menyediakan orang-orang yang memiliki berbagai macam ketrampilan (skills) yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sebab hanya dengan demikian masyarakat mampu melanggengkan dirinya dan mempertahankan kohesi internalnya.
Karena itu, menciptakan sebuah kebijakan dalam dunia pendidikan agar tetap relevan kehadirannya dalam masyarakat merupakan sebuah tuntutan yang mendesak. Namun, reformasi pendidikan tidak dapat efektif jika sekedar mendasarkan diri pada sikap reaktif, horison pendidikan terbatas serta kesalahan dalam mendiagnosis permasalahan. Dunia pendidikan memiliki fungsi lebih esensial dalam proses humanisasi daripada sekedar sebuah pabrik robot yang siap mencetak tenaga kerja profesional yang dibutuhkan pasar. Menganggap bahwa tujuan pendidikan semata-mata demi memenuhi kebutuhan praktis sesaat, atau bahkan dunia pendidikan mesti 'menghambakan diri pada kepentingan dunia industri' membuat dunia pendidikan kehilangan relevansi dalam mengemban amanat kemanusiaan, meningkatkan harkat hidup, dan membantu manusia memaksimalkan berbagai macam potensi dan talenta yang dimilikinya.
Mengaitkan kriteria kemajuan pendidikan dengan dimensi eksternal dunia material merupakan perwujudan ketidakpahaman dalam memahami keluhuran sebuah karya pendidikan. Intuisi Antonio Gramsci (1891-1937) tentang situasi pendidikan di Italia pada awal abad-19 dimana mulai terjadi konflik kepentingan antara lembaga pendidikan dan dunia industri membenarkan kenyataan ini. "Tidak ada situasi eksternal dan kondisi material yang dapat memuaskan sebuah kinerja pendidikan. Sebab, karya pendidikan adalah sebuah kenyataan etis, sebuah peristiwa intelektual yang menyentuh kemampuan manusiawi pada tingkatan yang lebih tinggi, dan karena itu tidak dapat begitu saja dengan mudah merupakan cerminan mekanistis suatu masyarakat.
Dunia pendidikan bukanlah sekedar cerminan kebutuhan material masyarakat, melainkan juga sebuah kinerja terus menerus, sebuah usaha pembaharuan yang membutuhkan penegasan berkesinambungan sebab yang terlibat di dalamnya adalah manusia itu sendiri. Manusialah yang mestinya menjadi orientasi pendidikan, bukan kepentingan pasar. Untuk inilah reformasi di bidang pendidikan merupakan kerja keras yang tidak mudah.
"Perjuangan melawan sekolah model kuno memang dibenarkan, namun gerakan pembaharuan atasnya tidaklah semudah seperti yang dibayangkan, sebab pembaharuan tidak berkaitan dengan program yang tersistematis, melainkan berkaitan dengan manusia, bukan manusia yang sejak awal menjadi guru ( maestri ), melainkan seluruh kompleksitas permasalahan sosial di mana manusia merupakan ekspresinya.
Kerancuan dalam visi pendidikan membawa akibat degradasi kemanusiaan. Lembaga pendidikan bukanlah pabrik yang menciptakan orang-orang yang nantinya diletakkan di salah satu fungsi mesin besar industri, seperti sebuah rantai, mur, atau tombol yang membuat seluruh mesin berfungsi. Karena itu, pertama-tama yang perlu dijernihkan adalah pemahaman visi tentang pendidikan dalam relasinya dengan kepentingan pasar. Dunia industri dalam artian tertentu memang mutlak memiliki kaitan dengan dunia pendidikan, namun tidak demikian halnya dengan dunia pendidikan.


Sabtu, 28 Januari 2012

Islam Sebagai Agama Perlawanan


Antara Islam dan kebudayaan Arab adalah dua kenyataan yang berbeda. Islam adalah ajaran yang mempunyai idealitas pembebasan. Sementara, kebudayaan Arab adalah realitas sosiologis, hasil produk ekonomi-politik. Dalam pengertian tegas inilah pembicaraan mengenai Islam dan kebudayaan semestinya dimulai. Sebab, jika masih ada asumsi produk sosial Arab adalah sama dengan ajaran Islam, maka pembahasan mengenai otentisitas Islam, dalam konteks pembaruan pemikiran, barangkali tidak akan pernah beranjak kearah pemikiran kritis.

Penemuan otentisitas ajaran Islam sebagai kajian tentu saja bukan sekedar bertujuan memisah-misahkan antara Islam dengan warisan kebudayaan Arab, melainkan lebih pada tujuan ilmiah, yakni upaya melakukan dekonstruksi dan sekaligus merekonstruksi pemahaman atas ajaran Islam. Dekonstruksi adalah upaya pembongkaran asumsi-asumsi lama yang irasional, irelevan, dan ilutif atas pemahaman otentisistas Islam. Sementara rekonstruksi dihadirkan sebagai wujud pertanggung jawaban intelektual yang memberikan alternatif pemikiran praksis dari dekadensi pemikiran lama tersebut.

Salah satu tokoh pemikir Islam yang layak diberi perhatian dalam hal ini adalah buah pemikiran Dr Hasan Hanafi. Dalam rangka menemukan otentisitas Islam ini, Hanafi mencoba menawarkan pemahaman-pemahaman seputar wacana ke-Islaman yang berdialektika dengan tradisi-tradisi di mana tempat umat Islam hidup. Sebagaimana karya tulis lainnya, latar belakang Hanafi dalam karya “Oposisi Pasca Tradisi” berangkat dari kenyataan bahwa Islam sebagai agama pembebas telah mengalami dekadensi ilmu pengetahuan dan praktik politik selama beberapa abad.

Hasan Hanafi mendefinisikan bahwa tradisi (turas) adalah segala sesuatu yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam peradaban yang dominan, sehingga merupakan masalah yang diwarisi sekaligus masalah penerima yang hadir dalam berbagai tingkatan. (Apa Arti Turas dan Tajdid?1991;11).

Dengan demikian tradisi dianggapnya sebagai “titik awal tanggung jawab kebudayaan dan bangsa, sedangkan pembaruan (tajdid) adalah penafsiran ulang atas tradisi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lama mendahului yang baru.” Oleh karena itu, pembahasan mengenai turas dan tajdid dalam kajian Hanafi tidak dalam konteks filosofis an sich, melainkan dengan menyertakan argumen historis.

Jika selama ini para sosiolog lebih cenderung menganggap tradisi sebagai obyek tanpa kritisisme, maka Hanafi mencoba keluar dari konservatisme tersebut. Tawaran paradigma yang diajukan adalah memahami tradisi suatu masyarakat melalui bentuk kritisisme struktural. Hanafi beranggapan, bahwa “tradisi adalah produk sosial dan hasil dari pertarungan sosial-politik, yang keberadaannya terkait dengan manusia. Jika diacak melalui historisitasnya, tradisi yang demikian itu lahir dari kehendak “seleksi sosial” sebagai salah satu bentuk kekuatan masyarakat yang mempengaruhi pertarungan sosial.

Seleksi sosial, sebagai salah satu bentuk kekuatan sosial yang berpengaruh terhadap pertentangan sosial, berubah-ubah seiring dengan perubahan tingkat kekuatan yang ada. (hal;1) Melalui beberapa fase historis inilah keberadaan tradisi yang hidup dalam ranah ekonomi-politik menjelma dalam dua bentuk yang berdiri secara diametral; di satu sisi hidup tradisi kekuasaan, di lain pihak berkembang pula tradisi oposisi. Jika ada tradisi negara, maka ada pula tradisi rakyat. Dan, karena dalam situasi historis budaya resmi mengalami kemapanan, maka lahirlah budaya perlawanan.

Dalam konteks studi kebudayaan, dialektika yang paling menonjol dalam hal ini terjadi dalam konteks hubungan antara negara dan kebudayaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa kekuasaan negara adalah instrumen yang paling dominan bertindak sebagai hakim mutlak yang berkepentingan memenangkan kekuasaan atas rakyat. Namun demikian negara tidak akan mudah melakukan pemaksaan melalui jalan kekerasan semata dalam menghadapi pihak oposisi. Untuk memperkokoh kekuasaanya tersebut muncullah taktik hegemoni.

Hegemoni sebagaimana dimaksudkan oleh Antonio Gramsci, merupakan konsensus moral dalam rangka penaklukan negara atas rakyat. Melalui propaganda media, figur karismatik, agama dll, negara menawarkan berbagai kesepakatan dan janji-janji yang diharapkan dapat meredam perlawanan pihak oposisi. Dalam memainkan hegemoni ini, negara biasanya melakukan seleksi terhadap tradisi masyarakat yang cocok terhadap kepentingan kekuasaan, yang kemudian dijadikan representasi, dijadikan satu pegangan yang dimutakkan, dan mengkafirkan tradisi selain tradisi negara. Di bawah dominasi “tradisi” kekuasaan negara inilah pluralitas kemudian tenggelam, kebudayaan larut dalam satu orientasi, dan sistem politik hanya memiliki satu partai.

Islam sebagaimana agama samawi lainnya, yang hidup dalam berbagai tradisi sosial-politik setidaknya terus bergulat di atas dua tradisi tersebut. Pada mulanya kehadiran Islam memang menentang tradisi lama masyarakat jahiliyah di jazirah Arabia, terutama tradisi kekuasaan politik yang korup. Pasca wafatnya Nabi Muhamad, muncullah tradisi baru dalam bentuk kekuasaan khilafah. Dalam masa ini fase-fase tradisi Islam mulai menampakkan perubahan; dari tradisi oposisi menjadi tradisi kekuasaan.

Secara lugas Hanafi menyimpulkan, bahwa semenjak Islam hidup dalam istana penguasa feodal, Islam menjadi agama kekuasaan. Tradisi kekuasaan dalam Islam ini dimulai oleh munculnya klaim kebenaran “pengikut nabi” yang menyebut dirinya sebagai kelompok Ahlusunnah wal jama’ah, kelompok yang konsisten (istiqamah), kelompok yang berpegang pada riwayat dan hadis (ahl ar-riwayah wa al-hadis). Semenjak kekuasaan ahlusunnah inilah Islam memulai tradisi (kekuasaan) baru, dengan memukul kekuatan-kekuatan tradisi (oposisi ) seperti Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah.Para pendukung tradisi kekuasaan memiliki gelar-gelar seperti, al-Syekh al-Rais, Hujjatul Islam, Imam al-Haramain, Nasir al-Millah wa ad-Din dan seterusnya. Sementara para pendukung tradisi oposisi mendapat gelar semacam atheis, zindiq, kafir, murtad, munafik, manawi, zoroaster, sabi’, barhamiy, dan lain-lain. Dalam tradisi kekuasaan seperti ini kritik Hanafi dimulai dengan pertanyaan: siapakah diantara kita yang tidak menginginkan gelar pertama, dan siapakah yang tidak membenci gelar kedua?

Awal mula sejarah inilah yang telah menjadi fakta politik kekalahan tradisi oposisi yang sebenarnya menjadi misi utama ajaran Islam. disebabkan oleh kepentingan kekuasaan, Islam menjelma menjadi tradisi kekuasaan. Kekuasaan yang hidup dalam masyarakat Islam dan mampu melegitimasi, akan menjadikan negara menjadi kuat, mampu mengatasi gerakan sosial, dan dapat mengawai persegkongkolan terhadap tradisi oposisi untuk menahan rakyat agar tidak memunculkan tradisi tersebut berlindung di dalamnya, dan mulai menghancurkan legalitas oposisi. Di Indonesia negara memberikan pakaian kebesaran terhadap agamawan yang loyal semisal profesor atau doktor. Atau memberikan kekuasaan di jajaran eksekutif atau legislatif.

Tradisi dalam Islam, sebagaimana tradisi kebudayaan lain pada mulanya adalah musabab, namun merupakan sebab pada akhirnya, konklusi dan premis, isi dan bentuk, efek dan aksi, pengaruh dan mempengaruhi. Dalam konteks inilah pentingnya upaya melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi pemikiran Islam agar tetap hidup sebagai ajaran yang membebaskan. Hasan Hanafi secara kritis memberikan solusi dalam upaya ini. Sikap konsistennya sebagai intelektual beraliran Marxis tidak membuat dirinya bersikap dogmatis dan kekiri-kirian. Melalui penalaran yang kritis dan kreatif ia sanggup melakukan reinterpretasi dalam menerapkan materialisme-dialektik sebagai paradigma kritis yang mampu menjelaskan berbagai persoalan sosial, agama dan kekuasaan.

Jumat, 06 Januari 2012

Ideologi Dalam Keterbatasan Akar Konseptual

Menurut Frans Magnis Suseno,[1] ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan  sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu.  Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan.  Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat.  Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut.  Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan. 

Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga istilah yang sangat tidak jelas.  Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri.  Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya.

Menurut Antonio Gramsci,[2] ideologi lebih dari sekedar sistem ide.  Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.

Secara sederhana, Franz Magnis Suseno[3] mengemukakan tiga kategorisasi ideologi.  Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata.  Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman.  Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve.  Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.

Kedua, ideologi dalam arti terbuka.  Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat.  Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama.  Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.

Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat.  Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.

Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial berkaitan erat.  Memahami format sosial politik suatu masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut.  Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik.
  
Catatan:
  
[1] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 1991, hlm 230.

[2] Gagasan-gagasan Gramsci direkam dengan baik oleh Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999, hlm 83.

[3] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 1992, hlm 232.


DAFTAR PUSTAKA 

Anonim, 1999.  Agenda Ikatan, DPD IMM Jawa Tengah.

Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, 1986.  Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan Pemikiran Islam Masa Orde Baru.  Bandung:  Mizan.

Azra, Azyumardi, 2000.  Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.

Berger, Peter L & Hansfried Kellner, 1985. Sosiologi ditafsirkan Kembali, Essay tentang Metode dan Bidang Kerja.  Jakarta: LP3ES.

-------------- & Thomas Luckmann, 1990.  Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan.  Jakarta: LP3ES.

Feith, Herbert & Lance Castle, 1996.  Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965.  Jakarta: LP3ES.

Huda, Nurul, PMII Kader Minoritas Progresif.  Suara Merdeka, 31/06/2001



Kleden, Ignas, 1988.  Rencana Monografi: Paham Kebudayaan Clifford Geertz.  Jakarta: LP3ES.

Karim, M Rusli, 1997, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung: Mizan.

-------------,  1999. Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijaksanaan Pembangunan Bagi Keberadaan Islam Politik di Indonesia era 1970-an dan 1980-an.  Yogyakarta: Tiara Wacana.

Larrain, Jorge, 1996.  Konsep Ideologi.  Yogyakarta: LKPSM.

Latif, Yudi, 1999. Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan. Bandung: Mizan.

Mannheim, Karl, 1993.  Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik.  Yogyakarta: Kanisius.

Nuswantoro, 2001.  Daniel Bell, Matinya Ideologi.  Magelang: Indonesia Tera.

Rahmat, Andi dan Muhammad Najib, 2001.  Perlawanan dari Masjid Kampus.  Surakarta: Purimedia.

Salim HS, Hairus, dan Muhammad Ridwan, 1999. Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural.  Yogyakarta: LKiS.

Sanit. Arbi, 1999.  Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Simon, Roger, 1999, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suseno, Franz Magnis, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius.

Surur, Bahrus, 2001, Teologi Amal Saleh: Membongkar Logika Sosial Pada Nalar Kalam Muhammadiyah, Jurnal INOVASI, No. 3 Th. X/2001.

Ul Haq, Fajar Riza, 2001, Neo Modernisme Islam Berwawasan Praksis Liberatif (Dari Teologi Inklusif Menuju Teologi Pluralis), Jurnal Shabran, edisi 2 Vol. XV, 2001