Sabtu, 18 Februari 2012

TIDAK ADA KONSEP NEGARA ISLAM


Interaksi Islam dan politik mengalami pasang surut. Islam bermula dari suatu komunitas umat di bawah bimbingan Nabi Muhammad SAW. Kemudian umat Islam berhasil memperoleh kekuasaan politik dengan membentuk suatu negara dalam bimbingan langsung Nabi. Nabi tidak menyebutnya sebagai negara Islam, sedangkan dasar pendirian negara adalah Konstitusi Madinah, suatu piagam yang dibuat oleh Nabi Muhammad dan disaksikan oleh berbagai kelompok dalam suatu masyarakat yang plural, sebagai rambu-rambu untuk mengatur suatu masyarakat yang plural itu dan mereka secara bersama-sama akan mengahadapi segala ancaman dari luar. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka negara dipimpin oleh seorang khalifah (pengganti Nabi) dan kemudian umat Islam menyebut sistem pemerintahan kekhalifahan. Umat Islam masih memiliki satu negara yang utuh pada masa Khulafaur Rasyidin, namun pada masa berikutnya kekhalifahan tidak lagi tunggal. Bahkan sistem kekhalifahan dihapus pada tahun 1924 ketika kekhalifahan Turki Utsmani diganti menjadi negara modern. Dan sejak itu berdirilah beberapa negara bangsa di daerah yang mayoritas penduduknya umat Islam. Beberapa diantaranya mengatasnamakan sebagai negara Islam walaupun masing-masing memiliki bentuk negara maupun pemerintahan yang berbeda dan mungkin malah saling bertentangan.
Umat Islam di suatu daerah tertentu memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk bersama-sama merumuskan bentuk sistem sosial yang tepat bagi penerapan nilai-nilai Islam. Demikian juga dengan bentuk negara hendaknya dimusyawarahkan oleh sekelompok umat Islam yang berdomisili di suatu daerah tertentu. Dalam kasus minoritas umat Islam di Ethiopia pada zaman Nabi Muhammad SAW tidak dibebani dan memang tidak mungkin bagi mereka mendirikan negara Islam (2000b: 56). Bentuk negara Islam yang ada merupakan hasil ijtihad yang mencari legitimasi pada Islam, dan Gus Dur tidak menentang keberadaan negara yang mengatasnamakan Islam.
Di Indonesia, umat Islam tidak mendirikan negara Islam tetapi negara bangsa yang berdasarkan pada ideologi Pancasila. Negara Pancasila bukan negara agama dan bukan negara sekuler karena Pancasila mengakui adanya Tuhan Yang Esa, disamping adanya suatu kementerian/lembaga yang mengurusi kepentingan umat Islam dalam menjalankan ibadahnya. Keberadaan negara Pancasila dilegitimasi oleh hukum fiqih NU dan diakui eksistensinya selama negara masih diikuti pola perilaku formal negara yang tidak bertentangan dengan hukum fiqh. Kasus-kasus penyimpangan dari “pola umum” perilaku formal negara itu tidaklah sampai kepada penolakan bentuk kenegaraan dan proses pemerintahan yang sudah ada.
Penerimaan bentuk final negara Pancasila didasarkan pada keyakinan Gus Dur kalau Islam tidak punya konsep negara Islam. Dia mengikuti argumen Ali Abdel Raziq dalam bukunya Al-Islam wa Qawa’id al-Sulthanan (Islam dan Sendi-Sendi Kekuasaan). Pertama, dalam Al-Qur’an tidak pernah ada doktrin. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, melainkan moral. Ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya (Wahid, 2000a: 1). Tidak adanya konsep negara dalam Islam karena sesuai dengan pendekatan universalitas agama Islam itu sendiri.
1.                   Maka Bijaksana Allah yang tidak menentukan (secara qath’i) sistem kenegaraan. Karena Maha Mengetahui-Nya, bentuk negara di jagad raya ini bervariasi; sesuai dengan letak geografi dan demografi masing-masing kawasan.
2.                   Tugas para Nabi dan Rasul tidak untuk membentuk negara, tetapi membentuk kemanusiaan manusia; memberi pribadi manusia dan membentuk watak manusia. Hadits: “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan duniamu)”. Meskipun demikian, dasar-dasar pengelolaan negara –jika diinginkan stabil- telah diletakkan sedemikian rupa, dengan signifikan. Dua sisi kecenderungan sebuah negara disiratkan dengan firman Allah: “Wa syaawirhum fil amr” (QS Al-Imran 159), bagi negara monarkhi dan “Wa amruhum syuura bainahum”, bagi negara demokrasi (Bisri, 2000: viii-ix).
Memang sangat ideal bila kita dapat mendirikan negara Islam. Namun caranya harus secara evolusioner agar tidak terjadi kekerasan atas nama Islam. Pemikiran para teoritisi politik terkenal dalam Islam tidaklah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan. Ibn Abi Ruba’i, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan Al-Mawardi jelas-jelas menempuh perbaikan keadaan secara gradual, dengan mencoba mencari masukan dari fiqh untuk menyempurnakan bentuk-bentuk negara yang telah ada. Hanyalah Al-Farabi yang mencoba menyusun sebuah utopia berjudul “Negara utama” (Al-Madinah Al-Fadhilah).
Ada tiga jenis negara menurut mazhab Syafi’i, mazhab Islam yang dominan di Indonesia: dar Islam (negara Islam), dar Harb (negara perang), dan dar Sulf (negara damai). Menurut paham ini, negara Islam harus dipertahankan dari serangan luar, karena ia merupakan perwujudan normatif dan fungsional dari cita-cita kenegaraan dalam Islam, dengan ciri utama berlakunya syariah Islam sebagai undang-undang negara. Negara perang atau anti-Islam, harus diperangi, karena berbahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, dan dengan demikian akan mengakibatkan dihilangkannya pemberlakuan syariah Islam dari undang-undang negara. Negara damai harus dipertahankan, karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara (Wahid, 1989: 10).
Berdasarkan kategori tersebut maka Indonesia bukan termasuk negara Islam, karena syariah tidak dijadikan sebagai dasar negara. Indonesia dapat dikategorikan sebagai dar Sulf (negara damai) sehingga harus dipertahankan karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara. Pada zaman Nabi Muhammad SAW dikenal juga negara damai seperti negara Habsyi (Ethiopia) yang melindungi minoritas umat Islam di dalamnya. Umat Islam di Ethiopia ini tidak dibebani dengan kewajiban mendirikan negara Islam, paling tidak mereka mengikuti hukum agama yang termaktub dalam fiqih. Dari uraian ini kita tahu bahwa jangkauan syariah dapat bersifat sangat luas mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam bidang ibadah maupun bidang kehidupan duniawi (muammallah), disamping penerapan hudud law. Sementara jangkauan syariah di Malaysia, suatu negara yang berdasarkan Islam, tidak mencakup hudud law dan pemberlakuannya ditunda. Sementara jangkauan syariah yang berlaku di Indonesia identik dengan yang dijalankan minoritas umat Islam di Ethiopia pada zaman Nabi Muhammad SAW.

SUBORDINASI ISLAM TERHADAP NEGARA PANCASILA


Menurut Gus Dur pada garis besarnya, ada tiga macam responsi dalam hubungan antara Islam dengan negara di Indonesia, yaitu responsi integratif, responsi fakultatif, dan responsi konfrontatif. Dalam responsi integratif, Islam sama sekali dihilangkan kedudukan formalnya dan umat Islam tidak menghubungkan ajaran agama dengan ursan negara. Hubungan antara kehidupannya dengan negara ditentukan oleh pola hidup kemasyarakatan yang disepakati bersama. Dengan kata lain, kalau mereka menjadi muslim yang sesuai dengan standar, itu terjadi karena latar belakang pendidikan dan kultural masing-masing.
 Sedangkan sikap responsif fakultatif adalah jika kekuatan gerakan Islam cukup besar di parlemen atau di MPR maka mereka akan berusaha membuat perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mereka juga tidak memaksakan, melainkan menerima aturan yang dianggap berbeda dari ajaran Islam. Sedangkan sifat konfrontatif, sejak awal menolak kehadiran hal-hal yang dianggap “tidak Islami”.
  Gus Dur sejalan dengan organisasi afiliasinya NU mengambil bentuk yang pertama. Mayoritas umat Islam Indonesia mendukung negara Pancasila dan hanya sedikit yang menginginkan berdirinya negara Islam dan itupun dilakukan dengan cara damai karena mereka tidak melawan otoritas pemegang kekuasaan negara melainkan dengan membangun “masyarakat ideal” yang diyakini sebagai pelaksanaan konsep negara dalam Islam. Konsep “masyarakat ideal” ini yang secara konsisten dirumuskan oleh para pemikir Muslim modern sejak al-Afghani hingga Sayid Qutb dan al-Maududi (Wahid, 1998: 69).

Landasan Menerima Negara Pancasila


Pilihan NU untuk menerima konsep negara bangsa didasarkan pada kenyataan Indonesia sebagai negara pluralistik adalah sulit untuk mendirikan negara Islam formal. Bila negara formal Islam dipaksakan maka akan melahirkan kekerasan-balik (counterviolence) yang mungkin lebih hebat dan berakibat pada peningkatan kekerasan yang tidak terkontrol. Karena itu agama diperankan sebagai penjamin martabat manusia (Wahid, 1998: 72).
Pertimbangan menerima konsep negara bangsa juga didasarkan pada pertimbangan fiqh (hukum Islam). Memang sudah seharusnya sebagai organisasi keagamaan, setiap langkah NU dilakukan untuk mengamalkan dan melaksanakan ajaran Islam. Pilihan mensubordinasikan hukum Islam pada negara didasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang menjadi pedoman NU berikut ini. Dalam mengantisipasi berbagai gejala sosial NU tidak bersikap mutlak-mutlakan. Kewajiban untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan memperhatikan berbagai faktor lain. Jika kemampuan hanya menghasilkan sebagian saja, maka yang sebagian itu tidak ditinggalkan. Orientasinya dalam melaksanakan kewajiban diukur seberapa jauh dampak positif dan negatif itu. Kewajiban tidak bisa dipaksakan jika ternyata dengan itu berakibat munculnya dampak negatif yang menimbulkan kerugian bagi diri atau orang lain. Jika ternyata hal itu harus menghadapi pilihan, langkah yang diutamakan ialah memilih yang paling kecil resiko negatifnya. Tradisi pemikiran ini tidak berarti NU bersifat pesimis, menyerah sebelum bertanding, karena NU juga melakukan jalb al-masalih (melaksanakan kewajiban), tidak dalam kaitannya dengan aspek darurah (temporer) yang mungkin akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) (Haidar, 1998: 6).
Keputusan mensubordinasikan Islam pada negara bangsa didasarkan juga pada tradisi keilmuan yang dianut NU. Tradisi keilmuan NU mempertautkan secara organis antara tauhid, fiqh dan tasauf secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Pada satu sisi NU percaya kepada barokah yang memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba kepada Tuhannya. Pada sisi lain, spritualitas yang dikongkritkan kedalam  rangkaian kegiatan ritualistik yang intensif memungkinkan adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin, sehingga terpelihara kontinuitas antara pandangan serba fiqih di satu ujung dan intensitas penghayatan iman yang tinggi di ujung lain, membentuk sebuah kesejarahan tersendiri (Wahid, 1999c: 154-5).
Berdasarkan tradisi keilmuan ini, NU memandang persoalan kehidupan (kemasyarakatan/ bernegara) yang tidak bercorak “hitam-putih”, karenanya penerapan hukum Islam tidak mensyaratkan ditegakkannya negara Islam. Walaupun umat Islam tidak dapat mendirikan negara Islam, tetapi itu tidak menghalangi mereka melaksanakan hukum Islam karena perpautan kedua dimensi duniawi dan ukhrowi dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan penolakan mutlak kepada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Dengan kata lain, seburuk-buruk kehidupan dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan (Wahid, 1999c: 155).

Negara condition sine qua non Mencegah Anarkhi

Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah utama yang dihadapi suatu bangsa yang telah membentuk negara. Dengan demikian, cara-cara yang digunakan dalam melakukan perbaikan keadaan senantiasa bercorak gradual. Pandangan tentang negara barulah akan bersifat penolakan bentuk yang ada, jika keseluruhan tradisi keilmuagamaan yang dianut NU telah memberi legitimasi untuk itu, seperti terjadi dengan fatwa “perang jihad” yang dikeluarkan Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy’ari pada permulaan perang kemerdekaan, yang mendukung bentuk negara baru RI (Wahid, 1999c: 156).
Bagi NU, siapa yang memegang pemerintahan tidak penting karena yang harus dijaga adalah tetapnya negara. Prinsip adanya negara harus diterima terhadap kenyataan tidak adanya negara (faudla) (Wahid, 2000b: 9). Karena tujuan didirikannya negara adalah untuk mencegah anarkhi, dimana tertib sosial sebagai prasyarat bagi tertib agama. Bahkan Imam Ghazali mengatakan seratus hari pemerintahan yang otoriter adalah lebih baik daripada keadaan anarkhis.
Dengan maksud mencegah anarkhi maka pada tahun 1936 Muktamar NU di Banjarmasin membuat keputusan yang sangat unik, yang nantinya akan melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik dan pemerintahan di Indonesia, yakni mengklasifikasikan Indonesia yang sedang diperintah Hindia Belanda sebagai negara Muslim (dar al-Islam). Hal itu sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai status tanah Hindia Belanda yang sedang diperintah oleh para penguasa non-Muslim Belanda, apakah harus dipertahankan dan dibela dari serangan luar. Karena statusnya sebagai dar al-Islam maka wajib hukumnya secara fiqih untuk membela dari serangan luar. Jawabannya diambil dari salah satu kitab kuning yang berjudul Bughyatul Mustarsyidin karya Syaikh Hasan Al-Hadhrami, dikemukakan alasan pendapat berikut: negara ini pernah mengenal adanhya kerajaan-kerajaan Islam; penduduknya masih menganut dan melaksanakan ajaran Islam; dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu atau diusik (Wahid, 1989: 9).
Justifikasi Hindia Belanda sebagai dar al-Islam  (negeri muslim), padahal dalam kenyataannya pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah Hindia Belanda yang kafir, memiliki dua makna yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa atau masyarakat. Di satu pihak, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan ajaran agamanya, sebagai condition sine qua non bagi penerimaan Islam atas esksistensi negara tersebut, dan dengan demikian memberikan tolak ukur yang jelas bagi kaum Muslimin dalam kehidupannya. Di lain pihak, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politiknya ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu langsung memungkinkan kaum Muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada ajaran Islam, disamping kesetiaan pada negara yang bukan negara Islam. Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi keagamaan yang kuat (Wahid, 2004: 1).
Selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragamanya secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat perhatian. Pemikiran seperti ini pula yang melandasi pandangan dasar kaum Al-ahlus sunnah wa al-jama’ah, seperti penerimaan mereka atas Kekhalifahan Usmaniyah di Turki atas seluruh dunia Islam, padahal mereka bukan dari suku Quraisy. (Menurut pandangan klasik paham Sunni, kepemimpinan negara (imamah), termasuk yang berbentuk kekhalifahan, haruslah berada di tangan orang Quraisy, karena adanya hadits tentang hal ini). Dengan kata lain, pemerintahan ditilik dan dinilai dari fungsionalisasinya, bukan dari norma formal dari eksistensinya, negara Islam atau bukan.
Dasar NU melegitimasi keberadaan suatu negara didasarkan pada kesediaan negara memfasilitasi suatu lembaga yang akan mengurus kepentingan hukum Islam. Pada zaman Hindia Belanda, adanya lembaga kepenghuluan yang memungkinkan umat Islam menjalankan syariat agama, walaupun bersifat sebagian, dan sangat terbatas, menjadi alasan adanya celah kelembagaan yang dapat mengatur kehidupan syariat Islam dijalankan oleh orang-orang Islam sendiri (Haidar, 1998: 95). Kebijakan yang serupa juga dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Setelah Indonesia merdeka dan menjadi negara Pancasila maka eksistensinya dilegitimasi oleh fiqih NU, dengan konsekuensi Menteri Agama pertama KH A. Wachid Hasyim (1946-1956) mensubordinasikan syariah (hukum agama) pada supremasi ideologi Pancasila. Kalau mempertahankan pemerintahan nonmuslim dilihat dari sudut pandang agama adalah kewajiban utama, maka mempertahankan pemerintah oleh kaum muslimin (Soekarno, Hatta, dan Syahrir) adalah kewajiban agama juga.
Ketentuan yang sama itu juga yang membuat NU menolak kehadiran “NII” yang didirikan oleh Kartosuwiryo, bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat (pemberontak) yang harus dibasmi. Untuk keperluan itulah, dikukuhkan kedudukan Kepala Negara RI menjadi waliyyul amri dharuri bissyaukah (pemegang pemerintahan sementara dengan kekuasaan penuh), oleh sebuah pertemuan ulama yang didominir ulama NU. Presiden RI diterima sebagai pemegang pemerintahan, karena negara telah ada dan harus ada yang memimpin. Kedudukannya bersifat sementara (hingga hari kiamat), karena ia tidak dipilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu (halul halli wal aqdi), melainkan melalui proses lain, sehingga tidak sepenuhnya memiliki keabsahan di mata hukum fiqh. Namun kekuasaannya harus tetap efektif, karenanya ia berkuasa penuh. Atas dasar kekuasaannya itu, ia berwewenang mengangkat pejabat-pejabat agama melalui pendelegasian wewenang itu kepada menteri agama (Wahid, 1999c: 156-164).
Pemikiran progresif KH A. Wachid Hasyim diteruskan dan dikembangkan lebih jauh lagi oleh duet kepemimpinan KH Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang masing-masing terpilih sebagai Rais `Am NU dan Ketua Umum PBNU NU dalam Mukhtamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Perlu diketahui KH Achmad Siddiq pernah menjadi sekretaris pribadi Menteri Agama KH Wachid Hasyim; sedangkan Gus Dur mewarisi pemikiran progressif ayahnya KH Wachid Hasyim. Kebijakan NU menyangkut hubungan Islam dengan negara Pancasila cenderung bersifat pragmatis, mengikuti perkembangan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam mensikapi perkembangan tersebut NU hanya mendasarkan pada prinsip-prinsip fiqih (hukum agama) seperti yang saya kemukakan di atas, terutama mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada menegakkan kewajiban agama. Karena itu NU tidak memaksakan pendirian negara Islam, baik pada waktu menjelang kemerdekaan maupun dalam sidang-sidang Dewan Konstituante (1957-1959); tetapi NU tidak pernah berhenti berusaha di dalam usahanya memberikan penerangan agama supaya umat siap menerima negara Islam. Bisa diibaratkan hubungan agama dan negara seperti hubungan pesantren dan masyarakat sekitarnya. Pesantren puas dengan kedudukannya sebagai sub-kultur yang menjadi panutan bagi masyarakat di sekitarnya; dan pihak masyarakat cukup mengakui peranan sentral ini. Pesantren merumuskan produk-produk hukum agama yang tidak bersikap mengikat semua masyarakat, dan pesantren memberi teladan pelaksanaan hukum-hukum agama di dalam masyarakat tersebut.
Hubungan Islam dan negara Pancasila dirumuskan secara jelas pada tahun 1984 dalam Mukhtamar NU yang dikomandoi oleh KH Ahmad Siddiq dan Gus Dur. Hal ini dilakukan sebagai jawaban terhadap kebijakan deideologisasi partai politik Islam yang dilancarkan oleh regim Soeharto yang otoriter. Diputuskan bahwa negara Pancasila adalah bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia. Akhirnya dengan kesadaran NU menolak strategi perjuangan Islam dan mengikuti strategi pembangunan nasional yang diprakarsai oleh Abdurrahman Wahid. Dia menolak kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam karena hanya akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Karena itu Gus Dur mengajak untuk menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain dan kepribadian global (Wahid, 1998: 72).
Gus Dur sejalan dengan Asghar Ali Engineer dalam papernya Islamic State dan the Secular State. Tujuan berdirinya negara Islam sudah penuhi oleh gagasan negara modern yang bersifat sekuler karena persamaan tujuan antara negara sekuler dan negara Islam, yaitu sama-sama melindungi hak-hak pribadi para warga negaranya, sedangkan masalah selainnya itu hanya bentuk luar yang dapat saja diubah oleh rakyat melalui lembaga perwakilan (Wahid, 1999b : 22). Gus Dur juga sejalan dengan mantan Mahkamah Agung di Mesir, Muhammad Said Al-Ashmawi, bahwa hukum Napoleon dari Barat yang menjadi landasan Hukum Pidana Mesir saat ini telah memenuhi ketentuan-ketentuan syariah karena hukum itu telah menampung dua hal penting dari syariah, yaitu unsur ketahanan (detterence) dan hukumnya (punitive) (Wahid, 2000b: 7).

DUALISME HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA PANCASILA

Gus Dur mengemukakan konsep dualisme legitimitas antara agama dan negara, yakni negara memberikan legitimasi pada agama-agama yang ada, termasuk agama Islam, dan agama Islam yang dipeluk mayoritas bangsa ini memberikan legitimasi pada negara. Gus Dur dengan tegas menandaskan negara Pancasila tidak berkepentingan dengan negara agama, dalam hal ini negara Islam. Karena itu negara Pancasila tidak dimaksudkan untuk menerapkan hukum-hukum Islam (Wahid, 2000b: 11). Komitmen umat Islam pada negara Pancasila berkaitan dengan urusan keduniawian (muamalah), yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian hal ini mempunyai dimensi ibadah, karena umat Islam melakukan semua urusaan keduniawian itu sebagai bagian dari pengabdiaannya kepada Allah. Mereka ikhlas melakukan semua urusan keduniawian demi kemaslahatan umum, menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Sebaliknya negara tidak perlu terlalu jauh mencampuri urusan agama. Karena itu Gus Dur tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan suatu agama sebagai agama resmi. Pemerintah Orde Baru hanya mengakui 5 agama resmi, yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu, dan Budha, disamping diakui juga aliran kepercayaan kepada Tuhan YME. Dengan hal ini pemerintah Orde Baru sudah terlalu jauh memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Kebijakan seperti ini jelas sangat berbahaya bila digunakan oleh pemerintah untuk mengadu domba kekuatan di dalam masyarakat demi mempertahankan kekuasaannya. Bila suatu lembaga keagamaan bentukan pemerintah seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi Islam dan PGI (Persekuan Gereja Indonesia) bagi Protestan, diberi legitimasi oleh pemerintah untuk menindas suatu cabang yang tumbuh dalam suatu agama maka kehancuran suatu cabang itu berarti juga akan melemahkan kekuatan umat beragama itu secara keseluruhan; lalu pemerintah akan dengan mudah mengendalikan dan mengontrol umat beragama tersebut. Ketika muncul kasus Kong Hu Cu misalnya, Gus Dur   termasuk salah seorang yang menentang sikap pemerintah yang terlampau jauh menggunakan otoritasnya sampai memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama. Pada waktu itu pemerintah, dalam hal ini catatan sipil, tidak mau mengakui perkawinan dua warga Kong Hu Chu karena Kong Hu Chu bukanlah agama yang diakui secara resmi negara.
Dalam pandangan Gus Dur, negara hendaknya hanya bertugas mengatur jalannya kehidupan antar maupun inter umat beragama. Karenanya negara dituntut bersikap adil dan tidak boleh berpihak kepada salah satu agama. Dalam pandangan Gus Dur, pemerintah bertindak sebagai polisi lalulintas, yang mengatur jalannya lalu lintas hubungan antara umat beragama. Dasar untuk mengatur hubungan itu adalah dasar negara Pancasila. Negara tidak boleh memonopoli penafsiran Pancasila, mengingat Pancasila adalah ideologi terbuka, sebagai suatu kompromi politik dari berbagai kekuatan, sehingga semua umat beragama diberi kebebasaan untuk berpartisipasi dalam memaknai ideologi Pancasila. Gus Dur menyakini demokrasi adalah nilai yang paling prinsip dalam Pancasila dan harus dijunjung tinggi untuk menyelesaikan berbagai persoalan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun bermasyarakat. Termasuk persoalan ideologi. Pancasila sebagai ideologi terbuka harus mengakomodasi semua ideologi/isme yang berkembang di masyarakat, termasuk politik Islam (Wahid, 1991). 
Dualisme hubungan agama dan negara sepintas nampak bersifat sekuler. Tapi jika kita coba memahami lebih mendalam lagi, justru Gus Dur ingin mengembalikan agama kepada keadaannya yang genuine dan autentik. Yaitu agama yang bersifat memperibadi, sebagai tindakan privat yang lebih menekankan pada pencapaian pengalaman spiritual. Keadaan seperti ini dapat dicapai jika agama terbebaskan dari segala bentuk objektivikasi yang biasanya muncul dari wilayah publik. Bisa jadi yang publik itu berasal dari habitat yang sama seperti organisasi keagamaan, maupun dari wilayah publik lain seperti politik. Dalam konteks kehidupan agama di Indonesia, realitas publik yang disebut terakhir patut memperoleh perhatian mengingat daya penetrasinya yang kuat, terutama ketika dalam suatu epoch politik menjadi sesuatu yang paling dominan. Apa pun wilayah politiknya, baik yang ada dalam lingkup negara maupun masyarakat, resistensi agama seringkali kurang begitu kokoh dalam menghadapi praktek manipulasi, seperti kecenderungan mengatasnamakan tindakan politik tertentu dengan simbol agama.
Gus Dur sangat menyadari kalau agama tidak bisa dipisahkan dari politik karena agama merupakan sumber nilai. Apalagi Islam sebagai agama hukum sangat berkepentingan untuk menundukkan semua persoalan kepada syariah (hukum agama). Oleh karena itu, agar politik dapat memberikan kemaslahatan kepada publik maka agama perlu diperankan, bukan dalam wujudnya yang bersifat formalistik, melainkan yang substantif dalam pengertian agama diarahkan pada upaya pemberian dasar-dasar etik dan moral terhadap seluruh proses politik.
Ini berarti jalannya pemerintahan tidak lalu terlepas sama sekali dari kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijakan pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan-ketentuan fiqih, sehingga sikap itu sendiri sering diterima oleh kalangan pemerintah sendiri sebagai hambatan di kala melaksanakan wewenangnya. Untuk kepentingan penilaian apakah jalannya pemerintahan tidak bertentangan dengan ketentuan fiqh, digunakan tolok ukur sejumlah kaidah fiqh, seperti “kebijakan kepada pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat” (tasharruful imam ‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah) (Wahid, 1999c: 159).

Gejala Sosial yang Terjadi dalam Masyarakat Muslim Indonesia


Dari paparan di atas, ditemukan bagaiman Islam harus berhadapan dengan dinamika tiga lapisan realitas, yaitu lapisan-lapisan universal dan internasional, nasional dan lokal. Kenyataan di atas juga berarti bahwa Islam tidak mengenal doktrin tunggal, apalagi mutlak. Masing-masing dari kelompok di atas tentu sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-ekonomis, masalah penghayatan agama serta kecenderungan doktrin dalam proses pembentukannya. Maka perubahan sosial-ekonomis bisa mempengaruhi perubahan pemahaman seseorang terhadap agamanya.
            Menurut Taufik Abdullah, agama tidak sekedar gejala sosiologis yang bisa dikategorikan begitu saja menurut pengamat seorang pengamat. Sebab bagi penganutnya, agama menyangkut masalah makna sebagai landasan untuk melihat dan mengerti realitas. Dalam kaitan inilah terdapat adanya hubungan dialektis antara system makna yang dipercayakan agama dan pengertian yang dihayati oleh para pemeluk, yang secara obyektif juga terkait oleh konteks relitasnya. Perubahan sosial-ekonomi dapat merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya kemajemukan pemahaman terhadap doktrin yang utuh itu.[1]
            Dalam proses dialektis antara doktrin agama sebagai landasan sistem makna dan pengertian pemeluk ini, para pemeluk juga secara aktif memberi makna terhadap perbuatannya. Jadi bukan saja perbuatan itu muncul sebagai hasil interpretasi terhadap struktur situasi, tetapi perbuatan itu juga diberi nilai dan makna oleh mereka yang melakukannya. Maka proses sakralisasi dari perbuatan pun bisa pula terjadi.[2]
            Perubahan ekonomi, spesialisasi kerja dan mobilitas sosial, serta perubahan politik ikut menjadi faktor utama dalam pembentukan pemahaman seseorang terhadap suatu ajaran agama. Maka tidak mustahil jika ideology seseorang akan selalu mengalami perubahan, karena adanya perubahan pengetahuan yang dimilikinya (pendidikan), perubahan lingkungan di sekitarnya, dan perbuahan pekerjaan atau ekonomi yang dialaminya.
Hal ini bisa dilihat dari penelitian Munir Mulkhan tentang Islam murni dalam masyarakat petani, yang menemukan adanya empat varian masyarakat Muhammadiyah berdasarkan pada aspek-aspek sosiologis yang mengitarinya; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas), Islam murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan), Islam neo-tradisionalis (kelompok MUNU, Muhammadiyah-NU), dan Islam neosinkretis (kelompok MUNAS, Muhammadiyah-Nasionalis).[3]
            Kenyataan ini penting, karena semula beberapa orang termasuk penulis melihat bahwa Muhammadiyah hanya terdiri dari satu kelompok saja, yaitu Islam murni. Padahal kenyataan di lapangan tidak demikian.
            Kenyataan semacam ini mungkin tidak saja terjadi dalam masyarakat Muhammadiyah, tetapi juga dalam masyarakat NU, di mana terdapat beragam varian mengenai masyarakat NU yang tradisional, ada NU yang sinkretik, seperti yang digambarkan oleh Geertz, ada NU yang akulturatif seperti yang digambarkan oleh Muhaimin, ada NU yang Muhammadiyah (NUMU) karena sudah terpengaruh oleh kondisi sosial dan ekonomi yang lebih modern


[1] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3ES, 1996), 10.
[2] Ibid., 11.
[3] Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000).

Perbedaan Simbolik antara Tradisionalisme dan Modernisme Islam di Indonesia


Di dalam konteks keindonesiaan, dikotomi antara kaum tradisional dengan modernis bisa kita lihat di antaranya dari bentuk cara melakukan beberapa praktek ritual keagamaan serta penggunaan simbol yang berbeda satu sama lainnya.
Kaum tradisional adalah mereka yang gemar dengan ritual diba’iyah, tahlilan, ziarah kubur, sholat subuh dengan menggunakan qunut, membaca pujian setelah adzan, dan mengeraskan bacaan setelah sholat, serta bentuk masjid yang memiliki beduk, kentongan, dan mimbar khotib yang menggunakan tongkat dan kursi singgasana layaknya seorang raja. Sementara kaum modernis adalah mereka yang anti slametan, tahlilan, ziarah kubur untuk meminta berkah, tidak memakai sorban atau peci haji dalam sholat, membaca dzikir setelah sholat sendiri-sendiri, tanpa suara keras, menolak qunut di waktu sholat subuh, tidak menggunakan pujian setelah adzan, serta bentuk masjid yang tidak menggunakan beduk, kentongan serta mimbar khotib yang lebih modern dan tanpa tongkat.[1]
Beberapa hal lain yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan), syarat dengan simbol tradisional (dulu disimbolkan dengan pakaian sarung dan serban), berlebihan dalam pengamalan ibadah, lebih mempercayai kata ulama’, lebih terikat dengan jama’ah, lemah inisiatif dan lebih hirarkis-struktural dalam hal status sosial,[2] tidak menolak beberapa praktek ritual yang tidak tertulis di dalam hadith sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih itu bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum tradisionalis adalah ‘adam al wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.[3]
Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala perkotaan) yang sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan dengan memakai dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus perhatian, penuh inisiatif, menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.[4]
Dalam bentuk peraktek ritual di waktu sholat jum’at misalnya, NU menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan satu adzan. Bentuk mimbar yang digunakan juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkat, sementara Muhammadiyyah menggunakan bentuk mimbar modern.[5]
Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan awal puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah berpegang pada hisâb. Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20 raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada jumlah 8 raka’at. Dalam pelaksanaan sholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid, sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka.[6]
Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik.[7] Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari kitab kuning.[8] Kelompok tradisionalis ini mengklaim bahwa pintu interpretasi telah tertutup, sementara kaum modernis menganggap bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka.[9]
            Proses individu melakukan identifikasi diri di dalam dunia sosio-kulturalnya tadi bisa disebut sebagai internalisasi. Secara kodrati memang manusia memiliki kecenderungan untuk mengelompok. Artinya, manusia akan selalu berada di dalam kelompoknya yang kebanyakan didasarkan atas rasa seidentitas. Sekat interaksi tidak dijumpai jika manusia berada di dalam identitas yang sama. Jika sesama warga NU, maka secara leluasa juga dapat melakukan interaksi yang intensif. Demikian pula sesame warga Muhammadiyah. Interaksi antara orang Muhammadiyah dan NU akan sangat terbatas pada persoalan-persoalan segmental. Dalam segmen tertentu bisa berkomunikasi tetapi dalam segmen lain akan membatasi diri.
            Itulah sebabnya terdapat penggolongan sosial, misalnya orang NU dan orang Muhammadiyah. Penggolongan sosial itu tentunya memiliki basis nilai dan historis yang bisa dirujuk pada sejarah panjang dua organisasi sosial keagamaan ini. Muhammadiyah ofensif untuk memberantas tradisi lokal yang tidak genuine, sedangkan NU sibuk untuk melakukan resistensi dengan mempertahankan tradisi-tradisi lokalnya. Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal termasuk dalam kategori furu'iyat, sementara orang Muhammadiyah beranggapan bahwa tradisi lokal adalah persoalan teologis, dan sangat menentukan Islam yang genuine atau Islam yang ditambah-tambah. Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal adalah persoalan 'urf, sementara orang Muhammadiyah menggapnya sebagai penyimpangan dari genuinitas Islam.


[1] Deliar Noer, Gerakan Modern, 108.
[2] Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban, 88.
[3] Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam, 14-15.
[4] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 19.
[5] Deliar Noer, Gerakan Modern, 108.
[6] Ibid.
[7] Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad,  126.
[8] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah, 107-108.
[9] Andrew Rippin, Muslim, 127.

Modernisme Islam


Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional harus dipertanyakan dan diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa lampau tidak relevan lagi di masa sekarang.[1]
Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena perubahan makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki makna yang kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna baru lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun demikian, apa yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan budaya, tidak akan memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau dalam konteks yang lain.
Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh budaya menurut sebuah kerangka jangka panjang, tidak harus lupa meletakkan pada persepsi perubahan perspektif dari apa yang disebut baru dan kuno. Karena penilaian tentang apa yang disebut modern adalah persoalan perspektif dari orang yang melihat, fenomena yang kelihatannya sama bisa jadi sangat berbeda tergantung pada konteks yang berbeda. Oleh karena itu, contoh karya arsitektur modern pada pertengahan abad ke-20 sekarang sudah terlihat kuno.         
            Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri dari penjajahan Barat, tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat, tantangan sosial-ekonomi adalah bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan tantangan keagamaan adalah bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta mendorong umat untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.[2]
            Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang dipandang selalu sesuai dengan semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi kaum modernis tugas setiap muslim adalah mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam memiliki watak ajaran yang universal. Universalitas ajaran Islam ini dilihat dari sapek isi mencakup semua dasar norma bagi semua aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun sosial, dari aspek waktu, Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk, Islam berlaku untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik maupun geografis.
Dalam masalah ijtihad kaum modernis menganggap bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka, sehingga kelompok ini mengajak kepada seluruh ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu melakukan interpretasi sepanjang masa.[3]
            Rumusan modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan mengalami perkembangan yang luar biasa di tangan Muhammd ‘Abduh. Tokoh terakhir ini disebut inspirator gerakan pembaharuan dalam Islam yang sampai ke Indonesia. Kaum modernis di Indonesia sering digolongkan kepada organisasi sosial keagamaan bernama Muhammadiyyah, PERSIS, al-Irsyad dan sejenisnya.[4]     
Di antara cirri dari gerakan Islam modern adalah menghargai rasionalitas dan nilai demokratis. Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat kepemimpinan dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan ulama menyangkut hak dan kewajiban organisasi.[5]
            Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan kelas menengah kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para professional. Sebagai sebuah fenomena kota, di antara karakteristik gerakan ini adalah "melek huruf", yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan. Sehingga pendidikan merupakan program yang paling utama.[6]
Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung menginterpretasikan ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk dari Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola pikir rasional,[7] memiliki sikap untuk mengikuti model Barat di bidang pendidikan, teknologi, dan industri atau telah terbawa oleh arus modernisasi.[8] Pemikiran kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang teknologi ataupun industri, akan tetapi juga merambah ke dalam bidang pemikiran Islam yang bertujuan untuk mengharmonikan keyakinan Agama dengan pemikiran modern.
Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan social kemasyarakatan.
Dikotomi di atas sering kita kelompokkan dalam dua organisasi besar yaitu Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai representasi kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah sebagai representasi kelompok modernis.[9] Namun  dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap modernitas.[10] Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Menurutnya, Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.[11]
Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yaitu paham Jabariyyah yang mengakui kehendak mutlak Tuhan, ketidak bebasan manusia dalam memilih perbuatannya dan memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi masalah-masalah akidah.[12]
Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern ketimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.[13] Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh kalangan pemuda NU.


[1] Deliar Noer, Gerakan Modern,
[2] Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern (Surabaya: LPAM, 2004), 94.
[3] Ibid., 127.
[4] Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, 41.
[5] Ibid., 97.
[6] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S, 1996).
[7] Kacung Marijan, Quo Vadis NU.
[8] Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31.
[9] Ibid., 125.
[10] Azyumardi Azra, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7.
[11] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 185.
[12] Ibid., 183.
[13] Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), 89.