Rabu, 21 Maret 2012

adaptasi kapitalis


Menurut Bernstein, sistem kredit, sarana komunikasi yang disempurnakan dan persekutuan-persekutuan baru kapitalis, adalah faktor-faktor penting yang memajukan adaptasi ekonomi kapitalis.

Kredit memiliki beragam aplikasi dalam kapitalisme. Dua fungsinya yang paling penting adalah untuk memperluas produksi, dan untuk memfasilitasi pertukaran. Ketika kecenderungan-dalam (inner tendency) produksi kapitalis untuk meluas secara tak terhingga membentur dimensi-dimensi terbatas dari kepemilikan pribadi, maka kredit muncul sebagai suatu sarana untuk mengatasi batas-batas ini dengan cara kapitalis yang luarbiasa. Melalui kepemilikan saham, kredit menggabungkan besarnya modal dari sejumlah besar modal-modal individu. Hal ini memungkinkan masing-masing kapitalis untuk menggunakan uang para kapitalis lainnya – dalam bentuk kredit industri. Sebagai kredit komersial, ia mempercepat pertukaran komoditas, sehingga juga mempercepat kembalinya modal ke dalam produksi, dan dengan begitu berarti membantu keseluruhan siklus produksi. Cara bagaimana kedua fungsi utama kredit ini mempengaruhi terbentuknya krisis juga cukup jelas. Jika benar bahwa krisis timbul sebagai akibat dari kontradiksi yang ada di antara kapasitas perluasan, kecenderungan produksi untuk meningkat serta kapasitas konsumsi pasar yang terbatas, maka kredit tepatnya justru merupakan -dalam pandangan seperti dinyatakan di atas- sarana spesifik yang menyebabkan kontradiksi ini meledak sesering mungkin. Sebagai permulaannya, kredit secara tidak sebanding meningkatkan kapasitas perluasan produksi, sehingga menimbulkan suatu kekuatan motif-dalam (inner motive) yang secara konstan mendesak produksi untuk melampaui batas-batas pasar. Akan tetapi, kredit menggempur dari dua sisi. Setelah (sebagai faktor dalam proses produksi) memprovokasi terjadinya produksi berlebihan, kredit (sebagai faktor dalam pertukaran) juga menghancurkan -selama masa krisis- kekuatan-kekuatan sangat produktif yang ia ciptakan sendiri.

Kamis, 15 Maret 2012

Ketidakpastian dan ketidakjelasan


            Dalam mendefinisikan pengetahuan, ada dua hal lebih lanjut untuk dipertimbangkan, yaitu tingkat kepastian dan tingkat presisi. Semua pengetahuan lebih atau kurang tidak pasti dan lebih atau kurang jelas. Ini adalah, dalam arti, menentang karakter: pengetahuan yang samar-samar memiliki kemungkinan lebih dari kebenaran dari pengetahuan yang tepat, tetapi kurang berguna. Salah satu tujuan ilmu adalah untuk meningkatkan presisi tanpa kepastian berkurang. Tapi kita tidak bisa membatasi kata "pengetahuan" untuk apa memiliki tingkat tertinggi kedua kualitas ini; kita harus menyertakan beberapa proposisi yang agak samar-samar dan beberapa yang hanya agak mungkin. Hal Ini penting, namun, untuk menunjukkan ketidakjelasan dan ketidakpastian di mana mereka hadir, dan, jika mungkin, untuk memperkirakan gelar mereka. Dimana hal ini dapat dilakukan dengan tepat, menjadi "kesalahan mungkin" dan "kemungkinan". Tetapi pada kebanyakan kasus presisi dalam hal ini adalah mustahil.

KATA-KATA


    Dalam rangka untuk membawa pandangan ini ke dalam harmoni dengan fakta-fakta perilaku manusia, tentunya diperlukan untuk memperhitungkan pengaruh kata-kata. Binatang yang menginginkan teduh di hari yang panas tertarik oleh pemandangan kegelapan, pria bisa mengucapkan kata "teduh", dan bertanya di mana itu harus ditemukan. Menurut behavioris, itu adalah penggunaan kata-kata dan keberhasilan mereka dalam memproduksi respon kondisional yang merupakan "berpikir". Saya Hal ini perlu untuk tujuan kita untuk menanyakan apakah pandangan ini memberikan seluruh kebenaran tentang masalah ini. Yang penting untuk disadari adalah bahwa perilaku verbal memiliki karakteristik yang membawa kita untuk menganggapnya sebagai pra-tanda nyata "kepercayaan", bahkan ketika kata-kata yang berulang sebagai suatu kebiasaan tubuh belaka. Sama seperti kebiasaan pergi ke rumah tertentu ketika Anda ingin melihat teman Anda dapat dikatakan untuk menunjukkan bahwa Anda "percaya" dia tinggal di rumah itu, sehingga kebiasaan mengatakan "dua dan dua adalah empat", bahkan ketika hanya lisan , harus diadakan untuk membentuk "keyakinan" dalam proposisi ilmu hitung. Kebiasaan verbal, tentu saja, tidak infallible bukti kepercayaan. 
       Kita dapat mengatakan setiap hari Minggu bahwa kita adalah orang berdosa sengsara, sementara benar-benar berpikir sangat baik dari diri kita sendiri. Namun demikian, berbicara secara luas, kebiasaan verbal yang mengkristal keyakinan kita, dan mampu cara yang paling nyaman membuat mereka eksplisit. Untuk mengatakan kata-kata yang lebih adalah untuk jatuh ke dalam rasa hormat takhayul bagi mereka yang telah menjadi kutukan filsafat sepanjang sejarah.

Minggu, 11 Maret 2012

Metode Pengajaran


Metode dapat diartikan dari dua sudut pandang. Adapun secara etimologis, istilah metode berasal dari bahasa Yunani yaitu "metodos". Kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu "metha" yang berarti melalui atau melewati dan kata "hodos" yang berarti jalan. Dengan kata lain metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang diinginkan (Tardif dalam Syah, 1989).
Adapun secara terminologi, metode diartikan sebagai cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan pada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi bila dipandang secara lebih jelasnya, metode dapat diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis. Dalam kegiatan belajar mengajar, metode adalah cara yang berisi prosedur baku untuk melaksankan kegiatan kependidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada siswa (Tardif dalam Syah, 1989).
Namun berbeda dengan strategi mengajar, metode mengajar tidak langsung berhubungan dengan hasil belajar yang dikehendaki. Artinya, dibandingkan dengan strategi metode pada umumnya kurang berorientasi pada tujuan karena metode dianggap sebagai konsep yang lebih luas daripada strategi. Gagasan ini tidak berarti mengurangi signifikansi metode mengajar, lantaran strategi mengajar itu ada dan berlaku dalam kerangka metode mengajar (Syah, 1995).
Pada prinsipnya, tidak ada satupun metode mengajar yang dapat dipandang sempurna dan cocok dengan semua pokok bahasan yang ada dalam setiap bidang studi. Oleh karena itu, guru yang professional dan kreatif akan memilih suatu metode mengajar yang lebih tepat setelah menetapkan topik pembahasan materi dan tujuan pelajaran serta jenis kegiatan belajar siswa yang dibutuhkan (Syah, 1995).
Sedangakan kata pengajaran adalah berarti proses penyajisan bahan pelajaran yang akan disajikan, jadi metode pengajaran yaitu suatu cara yang harus dilalui untuk mencapai bahan pengajaran.
Metodologi pengajaran tidak akan ada artinya jika tidak akan dilakasanakan dalam praktik pendidikan, pelaksanaan metodologi pengajaran dalam pendidikan disebut dengan metode mengajar. Jadi metode pengajaran merupakan alat dalam dunia pendidikan.
Hasan Langgulung mengemukakan tiga prinsip yang mendasari metode mengajar dalam islam. Yaitu :
a.       Sifat metode dan kepentingan yang berkenaan dengan tujuan utama pendidikan islam, yaitu pembinaan manusia mukmin yang mengakui sebagai hamba Allah.
b.      Berkenaan dengan metode mngajar yang prinsip-prinsipnya terdapat dalam al-qur’an atau disimpulkan dari padanya.
c.       Membangkitkan motivasi dan adanya kedisiplinan yang dalam istilah dalam al-qur’an disebut ganjaran Tsawab dan hukuman I’qab.
Metode pendidikan islam merupakan jembatan dan sarana mencari keseimbangan antara kepentingan siswa dan masyarakat (termasuk di dalamnya guru) dalam proses belajar mengajar. Metode pendidikan islam sangatlah menghargai kebebasan individu selama kebebasan itu sejalan dengan fitrahnya. Sebaliknya, guru harus bertanggung jawab dalam membentuk karakter peserta didiknya.
Agar metode pengajaran dapat diaplikasikan secara efektif dalam proses belajar mengajar, maka perlu diperhatikan beberapa factor dalam memilih metode yang lebih tepat untuk diterapkan. Antara lain :
1. Tujuan yang hendak dicapai
Tujuan merupakan pengarah dari tindakan dalam menjalankan fungsinya sebagai guru serta sebagai criteria pemilihan dan penentuan alat-alat yang akan digunakan dalam mengajar.
2. Peserta didik
Penggunaan metode yang tepat akan mempermudah siswa dalam menyerap materi pelajaran, seperti belajar kelompok.
3. Bahan atau materi yang disajikan
Dalam hal ini metode yang akan digunakan harus sesuai dengan bobot, isi dan sifat mata pelajaran yang akan diajarkan
4. Fasilitas
Factor fasilitas seperti alat peraga, ruang, waktu, kesempatan, buku dan lain sebagainya turut menentukan metode mengajar yang akan disampaikan.
5. Guru
Berhasil atau tidaknya suatu metode adalah tergantung kemampuan dan keterampilan seorang guru dalam mengelola metode.
6. Situasi
Situasi disini berarti keadaan para siswa yang nantinya sangatlah berpengaruh terhadap penerapan suatu metode.
7. Partisipasi
Partisipasi yaitu tutur aktif dalam suatu kegiatan. Apabila guru ingin agar semua siswa turut aktif secara merata dalam suatu kegiatan, tentunya seorang guru akan menggunakan metode kerja kelompok.
Dari uraian tersebut, jelas menunjukkan bahwa pemilihan metode tersebut sangatlah penting guna mencapai tujuan dari dari pendidikan atau proses belajar mengajar yang akan diinginkan. Pemilihan metode ini sangat erat hubungannya dengan kemampuan dan keterampilan seorang guru dalam mengapliksikan serta mengembangkan metode yang akan dipilihnya.

Sabtu, 03 Maret 2012

Permasalahan Agama dan Nasionalisme


Masalah kebudayaan nasional tidak menjadi kendala bagi Jepang, sehingga dia berhasil memodernisasi negerinya secara cepat, disamping adanya komitmen yang kuat terhadap kepercayaan yang diyakininya kalau pendidikan merupakan kunci bagi kemajuan suatu bangsa. Jepang tidak menghadapi ketegangan yang berarti antara agama dengan nasionalisme. Tidak mengherankan bila dalam upaya menanamkan semangat nasionalisme, guru menyuruh murid-muridnya mengunjungi tempat-tempat ibadah agama Shinto.
Gejala perkawinan agama dan nasionalisme seperti itu tidak dijumpai di Indonesia, dimana guru sejarah mengajak murid-muridnya mengunjungi masjid atau tempat ibadah lainnya dalam rangka menanamkan semangat nasionalisme. Yang terjadi bahkan sebaliknya, pemerintah berusaha memperlemah posisi kelompok-kelompok umat beragama vis-à-vis pemerintah (Rochmat, 2005a: 136). Hal ini jelas merugikan bangsa secara keseluruhan, karena posisi kelompok-kelompok umat beragama yang lemah menjadikan mereka tidak berdaya menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Tidak heran bila praktek KKN mewabah di kalangan birokrasi pemerintah kita, suatu yang tidak dijumpai di Jepang (Rochmat, 2004: 8).
Praktek KKN di negara kita, negeri Muslim terbesar di dunia, jelas memberi citra negatif Islam pada dunia. Penyakit KKN ini disinyalir terjadi karena kita sedang mengalami split identity (kepribadian terbelah) karena agama dan nasionalisme belum dapat melangsungkan perkawinan seperti yang terjadi di Jepang. Agama jalan sendiri dan nasionalisme juga jalan sendiri, bahkan keduanya saling mencurigai dan kadang terjadi konflik yang tidak perlu.
Berdasarkan kenyataan di atas, kebudayaan nasional merupakan faktor kunci bagi pembangunan suatu bangsa. Kebudayaan nasional merupakan identitas bangsa yang harus kita gali dari khasanah budaya bangsa. Yang menjadi masalah, Indonesia sebagai suatu bangsa (nation state) adalah suatu yang baru, secara legal baru diproklamasikan 17 Agustus 1945. Bangsa bukan hanya merupakan material identity, tetapi juga harus termanifestasi dalam bentuk kebudayaan dan kita belum memiliki wujud kongkrit dari kebudayaan nasional itu. Padahal, budaya inilah yang merupakan elan vital suatu masyarakat, sehingga menjadi penentu bagi kesuksesan suatu bangsa.
Memang tidak mudah merumuskan budaya nasional ini, karena harus melalui proses panjang mewujudkan solidaritas sosial; baru dapat dirumuskan suatu budaya nasional sebagai suatu bentuk dari kesadaran bersama (conscience collective). Kesadaran bersama inilah yang merupakan moralitas suatu bangsa, yang akan menjadi pedoman bagi semua komponen bangsa dalam berinteraksi satu dengan lainnya. Bila hal ini sudah berhasil dirumuskan akan memungkinkan semua komponen bangsa berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan (Bellah, 1973: ix).
Sebenarnya soal kebudayaan nasional ini tidak menjadi masalah karena kita sudah punya pedoman normatif berupa ideologi bangsa Pancasila dan UUD 1945. Memang dari pedoman normatif ini perlu disusun rumusan operasionalnya berdasarkan pendekatan induktif, melalui observasi terhadap kondisi sosologis, historis, maupun warisan budaya yang ada.
Titik awal bagi bergulirnya proses pembentukan budaya nasional ini adalah komitmen semua komponen bangsa untuk mengamalkan perjanjian luhur yang termuat dalam dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Semua komponen bangsa harus terlibatkan dan atau dilibatkan secara aktif dalam penafsiran Pancasila ini. Pada kenyataannya, rezim Soekarno dan Soeharto telah memonopoli penafsiran ideologi Pancasila bagi kelanggengan kekuasaannya. Dengan demikian, pendidikan sejarah telah dikooptasi oleh pemerintah agar mendukung legitimasi kekuasaannya.
Pemerintah Order Baru, misalnya, akan menuduh siapa saja yang berani mengkritisi pemerintahannya dengan sebutan yang tidak membangkitkan buku kuduk sebagai ekstrim kanan bagi mereka dari kalangan kelompok agama maupun ekstrim kiri bagi mereka yang mendasarkan diri pada ideologi sosialisme dan komunisme. Memang nasionalisme, agama, sosialisme, maupun komunisme berangkat dari dasar pijakan yang berbeda, kalau bukan saling bertolak belakang, tetapi hal tersebut jangan sampai menuduh kelompok lain sedang melakukan makar terhadap Pancasila bila mereka tidak nyata-nyata menginjak-injak hukum positif negara melalui tindakan kekerasaan. Dan bila inipun terjadi maka hendaknya diperlakukan sebagai tindakan oknum, tidak bisa dinisbatkan kepada semua anggota organisasi itu, apalagi kepada isme-isme yang ada.
Perbedaan titik tolak semua isme tersebut jangan sampai menciutkan hati untuk mengembangkan rasa saling percaya antar sesama komponen bangsa. Atas dasar keyakinan ini dikembangkan dialog yang sebenarnya. Dialog tidak dijadikan sarana untuk meyakinkan keberanaran pendirian kelompoknya, yang tentunya didukung berbagai klaim superioritas kelompoknya tersebut. Dialog hendaknya berangkat dari pengakuan yang setara atas eksistensi kelompok lain, lalu ada kesediaan take and give (memberi dan menerima) sebagai syarat bagi tersusunnya program bersama yang operasional. Dengan demikian, kebenaran tidak didasarkan pada klaim kebenaran masing-masing kelompok yang masih bersifat normatif itu, apalagi bila subyektif sifatnya. Kebenaran hendaknya dirumuskan bersama oleh semua komponen bangsa dalam bentuk tindakan bersama yang bermanfaat bagi kemanusiaan (Rochmat, 2005a: 65).
Adapun arah bagi proses dialog itu adalah merealisasikan nilai-nilai universal, yang akan menjadi landasan bagi fondasi kebudayaan nasional yang baru. Sebenarnya nilai-nilai universal ini sudah disebutkan dalam sila-sila Pancasila, namun Pancasila memiliki keterbatasan, karena sifatnya sebagai suatu kontrak sosial, sehingga perlu bantuan dari agama maupun budaya lokal dalam mengela-borasikannya secara operasional di masyarakat. Memang agama dan budaya dimaksudkan sebagi sumber nilai! Sedangkan Pancasila sebagai kontrak sosial lebih merupakan suatu kompromi, yang tentunya akan dimaknai sesuai dengan keyakinan masing-masing berdasarkan agama atau budaya yang dianutnya.
Bila kita bicara masalah nasionalisme dan agama maka sebenarnya kita membicarakan dua komponen dasar yang membentuk pendidikan identitas itu, yaitu pendidikan sejarah/PPKn/PSPB di satu pihak dan pendidikan agama pada pihak lain. Selama ini kedua pihak berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menunjukkan pendidikan kita mengikuti paham sekulerisme, yaitu memisahkan pendidikan “keduniawian” dengan pendidikan agama. Padahal agama tidak mengenal pemisahan tegas semacam itu, karena hal yang bersifat keduniawiaan akan bermakna ibadah (kegiatan agama) bila memang kita niatkan sebagai wujud pengabdian kepada Tuhan atau wujud pelaksanaan amanah Tuhan sebagai khalifah fil ardhi (penguasa di bumi).
Selama ini pendidikan identitas, yaitu pendidikan yang berusaha menanamkan semangat nasionalisme, hanya diemban oleh pendidikan sejarah/PPKn/PSPB. Hal ini jelas berbeda dengan pengalaman Jepang yang dicontohkan di atas, dimana pendidikan sejarah dan pendidikan agama saling bersinergi, bila tidak disatukan. Yang terjadi di Indonesia, pemerintah mengklaim dirinya sebagai vanguard nasionalisme yang sebenarnya karena sebagai pembela NKRI yang didasarkan pada ideologi nasional Pancasila. Secara tidak langsung, pemerintah memaknai Pancasila dengan nasionalisme. Ini jelas suatu wujud sekulerisme. Bukankah sila pertama Pancasila, Ketuhanan YME, mengamanatkan Ketuhanan itu menjiwai sila-sila yang lain!
Dalam sejarahnya, Pancasila, terutama aspek nasionalismenya, sering salah paham dengan agama, karena keduanya memiliki sejarah yang berbeda-beda dan keduanya telah berselingkuh dengan politik, yaitu berusaha menguasai suatu daerah tertentu sebagai lahan untuk mengimplementasikan sistem politik yang diyakininya. Sebagai suatu konsep, keduanya bisa diimplementasikan secara berbeda dalam sistem politik yang sama maupun berbeda, sesuai dengan situasi dan kondisi khas suatu daerah. Oleh karena itu keduanya tidak layak mengklaim dirinya secara eksklusif. Apalagi bagi agama yang memiliki kebenaran universal, sangat tidak layak bila mencari kekuatan politik tertentu untuk mendukung kebenarannya. Kepentingan politik justru akan membiaskan kebenaran agama yang universal itu (Rochmat, 2005b: 67).
Seharusnya nasionalisme tidak menentang agama, karena sudah diamanatkan Pancasila bahwa sila pertama menjiwai sila-sila yang lain. Dengan demikian, Pancasila sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang mengakui eksistensi Tuhan, sehingga semua aktivitas manusia harus mengarah kepada-Nya. Sebaliknya, agama hendaknya melepaskan klaim politik yang tidak layak itu agar dapat membimbing nasionalisme menuju kebenaran yang universal. Bila agama dapat memerankan misi mulia ini dampaknya sangat besar: (1) nasionalisme terhindar dari sekulerisme, (2) nasionalisme terhindar dari chauvinism, (3) dan kita terhindar dari split identity.
Agar pendidikan agama bisa mengemban misi pendidikan identitas, pendidikan agama harus meninggalkan paradigma lama yang menekankan pendekatan doktriner normatif. Memang pendekatan ini tidak bisa ditinggalkan sama sekali, tetapi doktrin-doktrin yang normatif itu mungkin hanya meliputi 10% dan 90%-nya berupa deskripsi analitis kritis praktek pengamalan beragama dalam kehidupan masyarakat (Abdullah, 2001: 7). Hal ini menuntut penggunaan pendekatan induktif dalam pendidikan agama, yang akan menjelaskan penerapan suatu doktrin agama dalam praktek kehidupan keagamaan di suatu daerah, dengan mengingat situasi, kondisi, dan sejarah  daerah tersebut sebagai tempat kontekstualisasi ajaran agama. Lalu praktek kehidupan beragama itu dibandingkan atau dievaluasi berdasarkan suatu doktrin tertentu, dan keterkaitannya dengan doktrin-doktrin yang lain, sehingga pengamalan agama tidak bersifat monoton dan kita akan mendapatkan berbagai alternatif dalam pengamalan agama itu, disamping kita akan mendapatkan penilaian yang obyektif dengan mengetahui kelebihan dan kelemahan dari suatu pengamalan agama itu.
Inti pendidikan agama adalah pembelajaran tauhid (sila ke-1 Pancasila), yaitu menumbuhkan kesadaran dan komitmen ketuhanan melalui pengkayaan pengalaman ketuhanan dan pengalaman mengalahkan tradisi setan atau kekafiran, bukan isolasi siswa dari segala persoalan kekafiran dan tradisi setan. Hal ini menuntut pendidikan agama yang tidak doktriner, tetapi agama sebagaimana diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai peperangan abadi antara kekuatan Tuhan dengan kekuatan setan (Mulkhan, 2001: 20).
Pendidikan agama juga jangan terjebak oleh pola pengajaran konvensional, dimana hubungan antar agama ditandai oleh antagonisme polemik dan upaya menundukkan dan mengajak pihak lain ke agama kita. Hendaknya pendidikan agama menekankan dialog dan dijelaskan sebagai upaya membangun saling pengertian antara umat beragama maupun sesama umat beragam yang berbeda alirannya. Pola pendekatan konservatif yang antagonis tidak dapat mendorong timbulnya conscience collective (kesadaran bersama) karena agama telah terseret ke arah kepentingan politik tertentu (Zada, 2001: 3). Agar bisa keluar dari jebakan itu maka agama harus dibebaskan dari kepentingan politik, disamping umat beragama dituntut dapat merumuskan musuh bersama agama di era modern sekarang ini, lalu mereka baru bisa merumuskan program bersama, sebagai perekat conscience collective itu. Hemat saya, musuh bersama agama di era modern ini adalah sekulerisme (Rochmat, 2005c: 67).
Dengan demikian, pendidikan identitas yang berpretensi dengan pewarisan dan sosialisasi semangat nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari pendidikan agama atau budaya sebagai pemberi makna dari nasionalisme itu. Pendidikan sejarah/PPKn/PSPB harus dikaitkan dengan nilai-nilai agama; dan sebaliknya pendidikan agama harus tidak melulu doktriner tetapi pengamalan agama yang aplikatif di masyarakat, termasuk juga ditampilkan sebagai wujud penanaman semangat nasionalisme. Perkawinan antara pendidikan nasionalisme dengan pendidikan agama akan memfasilitasi lahirnya budaya nasional, sebagai elan vital bagi usaha-usaha modernisasi.
Secara kuantitatif, modernisasi Indonesia sudah cukup berhasil. Bukankah kita memiliki jumlah lulusan sarjana, master, dan doktor yang cukup banyak! Hanya saja mereka belum diberdayakan secara optimal bagi kemajuan bangsa, sehingga mereka dimanfaatkan oleh negara lain yang membutuhkan keahliannya. Namun bila dibandingkan dengan negara lain, modernisasi Indonesia berjalan lambat karena kita belum berhasil merumuskan kebudayaan nasional. Padahal kebudayaan nasional merupakan fondasi bagi berlangsungnya modernisasi. Berikut penilaian kritis Tony Barnet (1995: vii) terhadap modernisasi di dunia ketiga:
The main problems in the Third World are not, by and large, the absence of technical specialists –countries such as India and Pakistan have these aplenty; … The main problems are sociological and political problems, the contexts within which apparently “technical” decision are taken [garis tebal adalah penekanan penulis].

Peningkatan Pemahaman Materi Fiqih Melalui Metode Kerja Kelompok Pada Siswa Kelas IIC MTs. Almaarif 02 Singosari”


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dalam kegiatan belajar mengajar, terdapat di dalamnya dua komponen yang saling berhubungan satu sama lain. Guru sebagai pendidik dan pengajar serta murid-murid sebagai pelajar. Mengajar pada umumnya diartikan dengan usaha guru untuk mencapai kondisi-kondisi atau mengatur lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjadi interaksi antara murid dengan lingkungan termasuk guru, alat pelajaran, kurikulum dan instrumen pendidikan lainnya, yang disebut proses belajar sehingga tercapai tujuan pelajaran yang telah ditetapkan.
            Dalam kegiatan belajar mengajar ada metode-metode tersendiri yang digunakan. Dengan pemakaian metode-metode mengajar tersebut diharapkan tujuan pengajaran tercapai, salah satunya adalah metode kerja kelompok.
            Salah satu tugas sekolah adalah memberikan pengajaran pada anak didik, mereka harus memperoleh kecakapan dan pengetahuan kepada anak didik yang merupakan proses pengajaran itu dilakukan para pendidik disekolah dengan menggunakan cara-cara atau metode tertentu.
            Seorang pendidik yang selalu berkecimpung dalam proses belajar mengajar, kalau benar-benar menginginkan agar tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka penguasaan materi saja tidaklah cukup. Ia harus menguasai berbagai teknik atau metode penyampaian materi yang tepat dalam proses belajar mengajar sesuai dengan materi yang diajarkan dan kemampuan anak didik yang menerima.
            Pemilihan teknik atau metode yang tepat kiranya memerlukan keahlian tersendiri. Para pendidik harus pandai memilih dan mempergunakan teknik atau metode yang akan dipergunakannya. Hal ini sesuai dengan kedudukan metode itu sendiri dimana kedudukan metode dalam proses belajar mengajar itu ada tiga. Pertama, metode sebagai alat ekstrinsik, maksudnya dengan menggunakan metode yang tepat dan bervariasi. Kedua sebagai strategi pengajaran. Metode ini dimaksudkan seorang pendidik harus memiliki strategi agar anak didik dapat belajar secara efektif dan efisien, mengena pada tujuan yang diharapkan. Ketiga, metode sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan belajar mengajar tidak akan pernah tercapai selama komponen-komponen lainnya tidak akan diperlukan, salah satunya adalah metode. Metode adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan. Dengan memanfaatkan metode secara akurat seorang pendidik akan mampu mencapai tujuan.
( Djamarah dan Zain, 1996 : 82)
Sebagaimana telah diketahui bahwa metode mengajar merupakan sarana interaksi antara pendidik dengan anak didik didalam kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian yang perlu diperhatikan adalah ketepatan metode mengajar yang dipilih dengan tujuan, jenis dan sifat materi pelajaran serta denmgan kemamapuan pendidik dalam memahami dan melaksanakan metode tersebut.
Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam memilih metode mengajar antara lain :
1.                                                                                        Tujuan yang hendak dicapai
2.                                                                                        Peserta didik
3.                                                                                        Bahan atau materi yang diajarkan
4.                                                                                        Fasilitas
5.                                                                                        Guru
6.                                                                                        Situasi dengan berbagaiu keadaan
7.                                                                                        Kebaikan dan kelemahan metode tertentu
8.                                                                                        Partisipasi ( Zuhairini dkk,1993 : 70 ).
Didalam pengajaran agama terdapat banyak sekali metode yang diperguanakan seperti yang dikemukakan oleh Zuhairini, dkk (1993 : 47) dalam bukunya  “ Metodologi Pengajaran Agama Islam “ bahwa mengajar PAI dapat menggunakan metode antara lain : ceramah, tanya jawab, demonstrasi, diskusi, latihan, pemberian tugas, kerja kelompok, karya wisata, sosio drama, system regu, problem solving dan proyek.
Harus disadari bahwa sangat sulit untuk menyebutkan metode mengajar mana yang baik, yang paling sesuai atau efektif. Sebab suatu macam metode mengajar menjadi metode yang baik sekali pada seorang pendidik, sebaliknya pada pendidik yang lain, pemakaian menjadi jelek. Itu semua tidak lepas dari kemampuan guru untuk mengorganisir, memilih dan menggiatkan seluruh program kegiatan belajar mengajarnya. Apakah siswa akan terangsang atau tertarik dan ikut serta aktif dalam kegiatan belajar sangat tergantung pada metode yang dipakai. Artinya siswa dalam kegiatan belajar berarti makin melekatnya hasil belajar itu dalam ingatan.
Perlu diperhatikan oleh pendidik agama yang mengajar di madrasah, khususnya di MTs bahwa kebanyakan para siswa berasal dari kalangan keluarga yang heterogen dari latar belakang yang berbeda. Selain kebanyakan siswa adalah anak pondokan, yang terbiasa dengan metode ceramah (halaqah) yag diberikan oleh ustadz/pendidik. Oleh karena itu para pendidik agama harus dapat mendidik dan mengajarkan agama dengan metode pengajaran yang dapat dipertanggung jawabkan. Kalau sudah demikian, maka kegiatan belajar mengajar bisa lebih efektif dan efisien.
Berdasarkan pemikiran diatas, maka peneliti menjadikan Kelas IIC MTs. Almaarif 02 Singosarisebagai bahan penelitian, dengan judul “Peningkatan Pemahaman Materi Fiqih Melalui Metode Kerja Kelompok Pada Siswa Kelas IIC MTs. Almaarif 02 Singosari”

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti perlu memebuat rumusan masalah, sehingga apa yang dibahas pada baba berikutnya bisa dipahami atau merupakan pertanyaan dari rumusan masalah ini. Rumusan masalahnya adalah apakah dengan implementasi metode kerja kelompok bisa meningkatkan pemahaman materi fiqh siswa Kelas IIC MTs. Almaarif 02 Singosari ?    
  

C.    Tujuan

Berangkat dari latar belakang dan rumusan masalah diatas maka peneliti berharap bisa mencapai tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa Kelas IIC MTs. Almaarif 02 Singosari terhadap materi fiqh.       

D.    Hipotesis

Setelah mengkaji lebih dalam tentang implementasi metode kerja kelompok dalam meningkatkan pemahaman materi fiqh siswa kelas IIC MTs. Almaarif 02 Singosaari, maka dapat diambil kesimpulan sementara yaitu : bahwa pemahaman siswa kelas IIC meningkat jika menerapkan metode kerja kelompok.

E.     Manfaat

1.                                                             Bagi siswa.
Dengan metode kerja kelompok pengetahuan para siswa dapat bertambah disamping itu wawasan siswa tentang materi fiqh meningkat sehingga dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.                                                             Bagi Guru
Merupakan sumbangan pemikiran bagi guru agama dalam mengajar dan akan mempermudah bagi guru dalam menyampaiakan materi fiqh kepada para siswanya.
3.                                                             Bagi Sekolah
Pengguanaan metode ini dapat dijadikan bahan pertimbangan atau pijakan dasar bagi lembaga, sekaligus kerangka acuan dalam mengembangkan hal yang terkait dengan pengajaran proses belajar fiqh yang lebih baik.
4.                                                             Bagi Pengembang Kurikulum
Dapat dijadikan acuan dasar bagi pengembang kurikulum selanjutnya, khususnya tentang penyesuaian kurikulum dengan metodologi pengajaran agama Islam.
5.                                                             Bagi Khasanah Ilmu
Mengembangkan dan memperluas wacana tentang metodologi pengajaranAgama Fiqih terhadap para pendidik khususnya dan sebagai bahan tambahan bagi perencana pendidikan.  

BAB II

KAJIAN PUSTAKA


A.    Metode kerja Kelompok

1. Pengertian Kerja Kelompok
Metode berasal dari bahasa Yunani (Greek) yaitu “metha” dan “hodos”. ”Metha” berarti melalui dan “hodos” berarti jalan atau cara.yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan tertentu.(Ramayulis,1990 :104)
Istiah kerja kelompok mengandung arti bahwa murid-murid dalam suatu kelas dibagi kedalam beberapa kelompok, baik dalam kelompok besar  yang didasarkan pada prinsip pencapaian  tujuan bersama. (Yusuf dan Anwar,1997:58)
Ramayulis berpendapat bahwa metode kerja kelompok adalah penyajian materi dengan pemberian tugas-tugas untuk mempelajari sesuatu kepada kelompok-kelompok belajar  yang sudah ditentukan dalam rangka mencapai tujuan bersama tugas-tugas itu dikerjakan dalam kelompok secara bergotong-royong. Suatu kelas dapat dipandang sebagai suatu kesatuan kelompok tersendiri dapat pula dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok  yang kemudian dapat dibagi-bagi pula menjadi beberapa kelompok  yang lebih kecil lagi. Semua pembagian kelompok itu amat bergantung dari tujuan dan kepentingannya.
Kemudian menurut Drs. Mahfudz Salahuddin bahwa metode kerja kelompok adalah suatu metode mengajar, murid-murid disusun dalam kelompok-kelompok pada waktu menerima pelajaran atau pada waktu mengerjakan tugas-tugas tertentu. (Drs.Mahfudz Salahuddin 1987:61)
Jadi metode kerja kelompok dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menyajikan materi pelajaran dimana guru mengelompokkan murid-murid kedalam beberapa kelompok tertentu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang telah ditetapkan, dengan cara bersama-sama dan tolong menolong.
2.   Bentuk-bentuk kerja kelompok
a.       Kelompok jangka pendek
Disebut juga rapat kilat. Biasanya kelompok jangka panjang hanya memakan waktu lebih kurang 15 menit, misalnya : ketika seorang guru sedang menerangkan suatu pekerjaan, tiba-tiba ada suatu masalah yang harus dipecahkan.
Guru membagi murid menjadi beberapa kelompok untuk memecahkan masalah tersebut dalam waktu yang telah ditentukan.
Selama rapat kilat, guru harus berkeliling untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
       Apakah murid-murid tetap pada persoalan semula ?
       Kalau ada yang keluar dari persoalan perlu dicari sebab-sebabnya.
       Apakah murid memilih ketua kelompok dan seorang pencatat ?
       Apakah murid menyetujui yang demikian?
       Apakah ada murid-murid yang menguasai pembicaraan?
       Apakah ada saling harga menghargai untuk setiap para anggota?  (Ramayulis,1990 : 167-168)
b.      Kelompok jangka panjang
Yaitu kerja kelompok yang memakan waktu lama, sesuai dengan tugas-tugas yang akan dibahas dan masalah yang akan diselesaikan. (Ramayulis, 1990 : 168)
c.                                                             Kerja kelompok campuran
Ini dapat dilaksanakan dengan membagi siswa menjadi beberapa kelompok sesuai dengan kesanggupannya. Karena didalam suatu kelas terdapat perbedaan tingkat kepandaian siswa, sehingga sulit untuk memberikan tugas-tugas yang sama. Untuk itu guru harus membagi siswa sesuai dengan kemampuannya.
2.      Variable-variable yang menentukan terhadap hasil kerja kelompok.
Adapun variable-variable yang menentukan terhadap hasil kerja kelompok adalah sebagai berikut :
       Kecerdasan setiap anggota kelompok dalam memahami masalah, merencanakan dan melaksanakan secara efisien .
       Sifat-sifat kepribadian setiap anggota kelompok terutama dalam hubungan dengan orang lain.
       Lapangan masalah yang menjadi perhatian kelompok merupakan hal yang sudah dikenal.
       Pemahaman terhadap kerja kelompok
       Struktur tugas yang harus dilaksanakan oleh pemimpin kelompok
       Motivasi kelompok
       Besarnya  kelompok
       Sukarnya tugas yang dihadapi
       Persiapan diluar kelompok dengan anggota dalam kelompok (Ramayulis,1990:171)
1.      Langkah-langkah pengelompokan yang perlu diperhatikan.
Agar metode kerja kelompok dapat mencapai sasarannya, guru harus memperhatikan langkah-langkah pelaksanaanya,  sebagai berikut :
       Guru membagi murid-murid kedalam kelompok-kelompok yang mempertimbangakan minat dan kemampuan murid.
       Hendaknya diusahakan, agar jumlah masing-masing anggota kelompok tidak terlalu besar ( cukup terdiri dari 5-7 orang )
       Jumlah anggota setiap kelompok hendaknya seimbang dan merata dalam hal perbandingan murid yang pandai dan yang kurang pandai, perimbangan anggota pria dan wanita.( Mahfudh Salahuddin dkk,1987 :64)
2.      Keuntungan dan kelemahan metode kerja kelompok
a.                                                             Keuntungan
       Dari segi paedagogis, kegiatan kerja kelompok akan meningkatkan kualitas kepribadian siswa, meliputi : kerja sama, toleransi, sikap kritis dsb.
       Dari segi psikologis, akan timbul persaingan, kompetisi yang sehat dan bertambah, karena akan lebih giat melaksanakan tugas dalam kelompok masing-masing
       Dari segi didaktik, murid-murid yang pandai dalam kelompoknya dapat membantu teman-temannya yang kurang pandai, terutama dalam rangka memenangkan kompetisi antar kelompok
b.                                                            Kelemahan
       Metode ini memerlukan persiapan yang lebih rumit ketimbang metode-metode lain, sehingga memerlukan dedikasi yang lebih tinggi dari pihak guru.
       Apabila ada persaingan yang negatif, hasil pekerjaan menjadi buruk.
       Bagi murid yang malas, memperoleh kesempatan untuk tetap pasif dalam kelompok itu dan kemungkinan besar akan mempengaruhi anggota lainnya, sehingga, usaha kelompok kerja itu akan gagal. (Zuhairini dkk, 1993 : 89)

B.     Pengertian Fiqih
Kata “Fiqih” menurut bahasa adalah mengetahui sesuatu secara mendalam. Adapun sacara terminologi menurut Fuqaha (ahli fiqih) ada beberapa definisi diantaranya adalah:
1.      Tajuddin Al-Subki mendefinisikan Fiqih yaitu ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali (praktis) yang digali dari dalil-dalilnya yang bersifat tafsili (rinci).
2.      Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan  fiqih yaitu kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali (praktis) yang digali dari dalil-dalilnya yang tafsili (rinci).
Jadi materi Fiqih merupakan salah satu materi pendidikan agama Islam yang khusus membahas tentang hukum-hukum syara’ yang digali secara qath’i maupun dlanni untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. 

BAB III

METODE PENELITIAN


A. Setting Penelitian
1. Latar Belakang Obyek Penelitian
            Penelitian ini dilaksanakan di MTs Almaarif 02 Singosari yang beralamatkan di jalan Sidorejo No. 55 Singosari Malang. MTs. Almaarif 02 Singosari memiliki sebelas kelas yang terdiri dari empat lokal kelas satu, tiga lokal kelas dua, dan empat lokal kelas tiga. MTs Almaarif 02 Singosari memiliki visi dan misi sebagai berikut :
a.       Visi :
Bersama umat untuk membentuk insan berilmu, terampil, beriman, dan bertaqwa
b.      Misi :
1.            Melaksanakan KBM setiap hari
2.            Keterampilan komputer dan ekstrakurikuler
3.            Sholat Ashar berjama’ah dan di absen
4.            Pembinaan SKU (Syarat Kecakapan  Ubudiyah)
5.            Peringatan hari-hari besar Islam (PHBI)

2. Sejarah Berdirinya MTs. Almaarif 02 Singosari
MTs. Almaarif 02 Singosari berdiri dengan mengacu pada beberapa alternatif yang menjadi pertimbangan atau pijakan. Keinginan mendirikan Madrasah ini telah muncul dua tahun sebelum berdirinya (1996) yaitu pada tahun ajaran 1994 / 1995. Karena melihat banyaknya dorongan dari masyarakat sekitar Desa Pagentan terutama dari para tokoh masyarakat yang menginginkan adanya pendidikan setingkat SLTP, karena pendidikan yang sudah ada di bawah naungan  Lembaga Pendidikan Ma’arif  NU (selanjutnya di bawah naungan yayasan “Darul Mannan”) sementara ini  adalah pendidikan TKI dan SDI 01.
            Selain adanya pertimbangan atau pijakan terhadap keinginan mendirikan Madrasah ini, adalah bermula dari banyaknya lulusan SDI 01 yng harus melanjutakan belajarnya pada jenjang yang lebih tinggi dan tentunya searah dengan kompetensi lulusan SDI, yaitu pada sekolah atau Madrasah yang syarat akan materi pendidikan Agama Islam. Disamping itu, besarnya jumlah dana yang dibebankan oleh Lembaga Pendidikan tertentu kepada calon siswa baru yang ingin melanjutkan pendidikannya pada Lembaga Pendidikan yang dimaksud tergolong eksklusif, sehingga kondisi tersebut semakin mendorong atas berdirinya madrasah ini untuk menampung para calon siswa yang kurang mampu.
            Adapun faktor lain yang mendorong terhadap berdirinya MTs. Almaarif 02 Singosari ini adalah karena bertujuan untuk menampung para calon siswa yang tidak lulus seleksi disekolah-sekolah atau  Madrasah-Madrasah Negeri (SLTPN / MTsN) dan untuk menampung para calon siswa yang tidak di terima oleh sekolah / madrasah lain karena kelebihan kapasitas.
            Berdasarkan pada beberapa pertimbangan diatas, maka lembaga ini memberanikan diri untuk mendirikan madrasah yang setingkat dengan SLTP dengan nama Madrasah Tsanawiyah (MTs) Almaarif 02. Langkah-langkah yang pertama kali ditempuh untuk merealisasikan cita-cita ini adalah  dengan menyusun sekaligus melengkapi kepengurusan yayasan tersebut secara lengkap, kemudian diadakan rapat pengurus untuk mendirikan madrasah sebagaimana dimaksud yang berlangsung sampai tiga kali pertemuan.
            Langkah berikutnya adalah membentuk kepengurusan Madrasah Tsanawiyah Almaarif 02, sekaligus penunjukkan ketua panitia Penerimaan Siswa Baru (PSB), yang dalam hal ini dipasrahkan kepada bapak Drs. Luqman Arif, dengan dana bantuan dari sekolah terdekat yaitu saudara kandungnya SDI 01.
            Pada tanggal 17 juni 1996, pengurus Madrasah atau panitia Penerimaan Siswa Baru MTs. 02 Almaarif untuk pertama kalinya menjalankan satu dari beberapa agenda, yaitu membuka pendaftaran PSB yang kemudian diketahui bahwa jumlah formulir yang terpakai sebanyak kurang lebih 80 (delapan puluh) eksemplar, dengan kata lain bahwa para pelajar yang mendaftarkan diri menjadi siswa MTs. Almaarif 02 sebanyak delapan puluh orang. Jumlah tersebut amatlah jauh dari perkiraan, di mana para pengurus hanya memprediksikan bahwa formulir yang akan terpakai kurang lebih 45 % (empat puluh lima persen) dari jumlah diatas.
            Berkenaan dengan dibukanya pendaftaran penerimaan siswa baru ini, panitia mengadakan publikasi terhadap masyarakat sekitar, yang diawali dengan menginformasikan kepada sekolah-sekolah / madrasah-madrasah terdekat (baik negeri maupun swasta). Dengan mengirim atau mengedarkan brosur-brosur pendaftaran PSB. Kemudian panitia juga membuat beberapa pamflet dan spanduk yang berisi tentang pendaftaran PSB pula.
            Selain  dari pada itu, usaha (langkah-langkah)  yang dilakukan oleh pengurus adalah dengan mengadakan koordinasi tentang mendirikan Madrasah Tsanawiyah dengan berbagai lembaga yang terkait, seperti Depdiknas kecamatan Singosari, Depag kabupaten Malang, dan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU kabupaten Malang.
            Manuver-manuver tersebut dilakukan dalam rangka mendapatkan status eksistensi daripada Madrasah, sehingga pada tanggal 17 juli 1996 Depag mengeluarkan tanda bukti sebagai Madrasah yang statusnya masih “tercatat” dengan nomor : Wm 06. 03/PP. 03. 2/2521/ 1997. status ini didapatkan setelah pengurus madrasah mengajukan permohonan mendirikan madrasah swasta dengan nomor : Pc./36/a-6/II/1997 atas nama pengurus pimpinan cabang lembaga pendidikan Ma’arif NU Kabupaten Malang, yang surat tembusannya dikiramkan  (diajukan) pada kantor wilayah Depag Jawa Timur
            Pada tanggal 4 juni 1998, Madrasah ini mendapatkan surat rekomendasi dan pengawasan Depag kantor wilayah Depag Jawa Timur, dengan nomor : Wm. 01. 04/ P.P. 00. 63/ 88. sebagai pertimbangan status terdaftar dengan syarat sudah melangsungkan kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Dan tepat pada tanggal 19 Oktober 1998 MTs Almaarif 02 Singosari resmi memperoleh status terdaftar.
            Sejarah singkat perjalanan MTs. Almaarif 02 Singosari ini bukan berarti tidak memiliki rintangan atau halangan dalam merealisasaikan cita-cita tersebut, namun yang paling teringat oleh bapak Drs. Moh. Mahfudz, sebagai salah satu pencetus ide mendirikan madrasah ini adalah ketika mengkonfirmasikan pendirian madrasah ini kepada pengurus Diknas kecamatan yang pada waktu itu kepala Diknasnya beragama nasrani. Bisa dibayangkan masalah apa yang akan didapat oleh pengurus madrasah ketika ia atau mereka harus berhadapan dengan kepala Diknas kecamatan yang beragama nasrani tersebut. Yaitu karena ketidaksepahaman aliran, agama, dan kepercayaan antara pihak madrasah dan kepala Diknas kecamatan itu, sehingga pihak sekolah tidak mendapatkan legitimasi dari pihak Diknas kecamatan. Namun hal ini dapat segera diatasi dengan solusi menempuh pihak Depag yang kemudian mendapatkan SK dengan nomor sebagaimana tersebut diatas.
            Sekedar informasi bahwasanya pada awalnya madrasah ini mampu meluluskan siswa-siswi kurang lebih sebanyak tujuh puluh siswa. Dan karena perkembangannya yang amat pesat pada tahun-tahun berikutnya madrasah ini mampu meluluskan sekitar seratus empat puluhan siswa-siswi.
            Dari segi fisik, pada saat ini MTs. Almaarif 02 Singosari memiliki ruang PBM sebanyak sebelas ruangan, dan pada saat ini madrasah yang berada dibawah naungan yayasan Darul Mannan ini sedang membangun gedung-gedung tambahan mengingat animo masyarakat yang begitu besar terhadap eksistensi madrasah ini.
            MTs. Almaarif 02 Singosari – yang pada awal berdirinya ini – secara administratif masih bernaung dibawah MTs. Almaarif 01. Madrasah Almaarif 02 Singosari merupakan madrasah yang berada ditengah-tengah masyarakat pasar singosari, tepatnya dibelakang pasar dengan alamat Jl. Sidorejo 55, kel. Pagentan Singosari Malang sekitar 100 (seratus) meter dari jalan raya.

B.     Rencana tindakan
1.      Perencanaan tindakan
     Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui implementasi metode kerja kelompok dalam meningkatkan pemahaman materi Fiqh pada siswa kelas IIC MTs. Almaarif 02 Singosari. Untuk itu perlu kiranya dirumuskan skenario penelitian dari hal persiapan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi.
2.      Implementasi tindakan
    Penelitian ini dilaksanakan selama 2 pekan mulai tanggal 24 Agustus 2005 sampai tanggal 31 Agustus 2005. Adapun kegiatan penelitian yang dilakukan dua kali pertemuan, sbb :
Pertemuan pertama (10 Agustus 2005)
Tahap awal :    Salam pembuka, appersepsi, motivasi, pretest, observasi kelas dan perkenalan antara peneliti dan siswa.
Tahap inti   :    1. Siswa dikelompokkan menjadi 4 kelompok
2. Masing-masing kelompok terdiri dari 10-11 anak.
3. Tugas masing-masing kelompok antara lain :
a.       Kelompok I
       Pengertian puasa dan dalil tentang puasa
       Syarat dan rukun puasa
b.      Kelompok II
       Amalan sunnah dan makruh ketika berpuasa
       Hal-hal yang membatalkan puasa
c.       Kelompok III
       Orang-orang yang boleh tidak berpuasa dan cara menggantinya.
       Macam-macam puasa
d.      Kelompok IV
       Cara melaksanakan puasa
       Manfaat puasa
4.  Siswa diberi kesempatan untuk bertanya.
Tahap akhir :   Post test, kesimpulan, salam penutup 
Pertemuan kedua (24 Agustus 2005)
Tahap awal  :  Salam pembuka, appersepsi, motivasi, pretest.
Tahap inti     : Menjelaskan materi dengan metode ceramah, kemudian peneliti membagi siswa menjadi beberapa kelompok untuk menjawab pertanyaan yang sudah ditetapkan, yang berhubungan dengan puasa ramadhan. Dengan metode kerja kelompok siswa berdiskusi dengan kelompoknya. Setelah itu 3 orang perwakilan masing-masing kelompok mempresentasikan hasil jawabannya didepan kelas.
Tahap akhir  : Post test, kesimpulan hasil kerja kelompok oleh siswa, guru memberi kesimpulan dan penilaian, diakhiri kegiatan belajar mengajar dengan  salam penutup 
Pertemuan Ketiga ( 31 September 2005)
Tahap awal   :  Salam pembuka, appersepsi, motivasi, pretest.
Tahap inti     :  Menjelaskan materi kepada siswa tentang Puasa nadzar dan puasa Sunnah, dengan metode ceramah, kemudian peneliti membagi siswa menjadi beberapa kelompok untuk menjawab pertanyaan yang sudah ditetapkan, dengan metode kerja kelompok, setelah itu masing-masing kelompok mempresentasikan hasil jawabannya di depan kelas.
Tahap akhir  :  Post test, kesimpulan, salam penutup.
Pertemuan Keempat (1 September 2005)
Tahap awal   :  Salam pembuka, appersepsi, motivasi, pretest.
Tahap inti     :  Menjelaskan materi secara umum tentang zakat fitrah dengan mempergunakan metode ceramah. Kemudian siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk membahas sub bahasan materi zakat , dengan metode kerja kerja kelompok, setelah itu masing-masing perwakilan dari kelompok mempresentasikan jawabannya di depan kelas.
Tahap akhir  :  Post test, kesimpulan, salam penutup.
Pertemuan Kelima (8 September 2005)
Tahap awal   :  Salam pembuka, appersepsi, motivasi, pretest tentang zakat.
Tahap inti     :  Peneliti membagi siswa menjadi beberapa kelompok untuk menjawab pertanyaan yang sudah ditetapkan, yang berhubungan dengan materi zakat harta, dengan metode kerja kelompok, setelah itu masing-masing kelompok mempresentasikan hasil jawabannya di depan kelas.
Tahap akhir  :  Post test, kesimpulan, salam penutup.

3.      Observasi dan Interpretasi
Dalam kegiatan belajar mengajar, ketika metode kerja kelompok digunakan, guru atau peneliti bertugas sebagai fasilitator yaitu memfasilitasi jalannya kerja kelompok antar sesama anggota kelompok dengan memberi pertanyaan terlebih dahulu. Sebagaimana yang telah peneliti amati, dalam proses kerja kelompok berlangsung siswa terlihat antusias mengikuti jalannya diskusi antar sesama anggota. Mereka mendiskusikan tentang jawaban atas pertanyaan.
Setelah selesai mengerjakan, siswa mempresentasikan hasil jawaban mereka. Selama proses kerja kelompok sampai presentasi peneliti mulai menilai hasil kerja mereka.

4.      Analisis dan refleksi
Setelah peneliti mendapatkan data lapangan peneliti perlu kiranya untuk mengolah data tersebut atau perlu mengadakan analisis terhadap data yang diperoleh. Peneliti memproses data yang diperoleh dengan menganalisis kembali data-data dengan cara mengumpulkan berbagai data yang diperoleh dan memilah-milahnya dengan harapan data yang terpilih adalah data yang bisa mewakili apa yang dicari oleh peneliti. Setelah data diperoleh peneliti mulai menganalisisnya untuk mendapatkan apa yang diperoleh dari data tersebut.
Setelah data didapat dan peneliti menemukan apa yang diinginkan yaitu adanya data yang mendukung bahwa dengan penggunaan metode kerja kelompok  ternyata dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi fiqh yang dibuktikan dengan hasil presentasi, post test dan hasil selama diskusi.

C. Siklus Penelitian.
Dalam melaksanakan metode kerja kelompok, metode ini dilakukan satu kali pertemuan pada setiap pokok bahasan yaitu :
Siklus              : I
Waktu             : 10 Agustus 2005
PB                   : Puasa
Perlakuan        :
       Membagi siswa menjadi beberapa kelompok berdasarkan jumlah bangku, dengan cara perkelompok terdiri dari dua bangku terdiri dari min: 10 siswa dan maksimal: 11 siswa, kemudian menjelaskan tentang manfaat dari pada kerja kelompok
       Peneliti memberi dua buah sub bahasan yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan harus dibahas oleh masing-masing kelompok dengan berdiskusi dan hasilnya dituilis dalam satu lembar kertas jawaban / kelompok
       Peneliti mengamati jalannya kerja kelompok dan menilai jalannya kerja kelompok. Setelah selesai, setiap kelompok diwakili salah satu anggotanya untuk mempresentasikan hasil jawabannya secara bergantian.
       Kemudian peneliti menerangkan jawaban yang sebenarnya.

Siklus              : II
Waktu             : 24 Agustus 2005
PB                   : Puasa Ramadhan

Perlakuan        :
       Seperti halnya dengan siklus pertama, hanya saja pada setiap kelompok diberi beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan situasi dan kondisi sekarang ini,yang perlu pemecahan masalah.
       Setelah selesai menjawab dan lembar jawabannya dikumpulkan, peneliti kembali memberi pertanyaan yang sama pada masing-masing kelompok secara bergantian. Hal ini dimaksudkan apakah jawaban mereka sesuai dengan jawaban yang ada pada lembar jawaban mereka?.
       Setelah itu peneliti menerangkan kembali jawaban yang dikemukakan oleh masing-masing kelompok tadi.

Siklus              : III
Waktu             : 31 Agustus 2005
PB                   : Puasa Nadzar dan Puasa Sunnah

       Seperti halnya dengan siklus kedua, setiap kelompok diberi beberapa pertanyaan tentang puasa nadzar dan puasa sunnah yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi sekarang ini,yang perlu pemecahan masalah.
       Peneliti mengamati jalannya kerja kelompok dan menilai jalannya kerja kelompok. Setelah selesai, setiap kelompok diwakili salah satu anggotanya untuk mempresentasikan hasil jawabannya secara bergantian.
       Setelah itu peneliti menerangkan kembali jawaban yang dikemukakan oleh masing-masing kelompok tadi.

Siklus              : IV
Waktu             : 1 September  2005
PB                   : Zakat Fitrah

       Seperti halnya siklus kedua dan ketiga, disini setiap kelompok diberi beberapa pertanyaan tentang zakat fitrah  yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi sekarang ini, yang perlu pemecahan masalah.
       Setelah selesai menjawab dan lembar jawabannya dikumpulkan, peneliti kembali memberi pertanyaan yang sama pada masing-masing kelompok secara bergantian. Hal ini dimaksudkan apakah jawaban mereka sesuai dengan jawaban yang ada pada lembar jawaban mereka?
       Setelah itu peneliti menerangkan kembali jawaban yang dikemukakan oleh masing-masing kelompok tadi.
       Kemudian peneliti menerangkan jawaban yang sebenarnya.

Siklus              : V
Waktu             : 8 September 2005
PB                   : Zakat Harta
       Seperti halnya siklus kedua dan ketiga, tetapi disini peneliti tidak memberikan pertanyaan untuk dijawab, tetapi setiap kelompok ditugasi untuk membuat pertanyaan yang berkaitan dengan pokok bahasan, kemudian pertanyaan tadi ditukar dengan kelompok lain untuk dijawab.
       Kemudian lembar jawaban diserahkan kepada peneliti untuk diperiksan jawabannya terlebih dahulu.
       Peneliti selanjutnya menunjuk salah satu kelompok yang menjawab pertanyaan dari kelompok yang lain, kemudian peneliti mengembalikan lagi pertanyaan pada kelompok yang memberi jawaban.
       Peneliti menerangkan jawaban yang dikemukakan oleh kelompok yang menjawab pertanyaan.

D.    Pembuatan Instrumen

Untuk menentukan instrumen penelitian yang digunakan dalam peneitian ini sangat terkait dan tergantung pada teknik pengumpulan data yang digunakan. Adapun yang dimaksud dengan instrumen adalah “alat pada waktu peneliti menggunakan sesuatu metode”.(Suharsimi Arikunto, 1992 : 121 )
Dalam melakukan penelitian tentang peningkatan pemahaman siswa kelas IIC terhadap materi fiqh, dan agar penelitian dapat berjalan sesuai rencana tindakan, maka peneliti menggunakan beberapa instrumen diantaranya yaitu:
a.       Tes. Tes ini berbentuk post test, yakni tes yang dilakukan pada akhir bab selesai.
b.      Observasi, adalah “menggunakan pengamatan atau penginderaan langsung terhadap suatu benda, kondisi, situasi, proses dan perilaku”. (Sanapiah Faisal, 1990 : 52)
Dalam hal ini peneliti mengamati jalannya kerja kelompok, selain itu yang paling penting adalah mengamati jawaban kelompok yang di presentasikan.

E.     Pengumpulan Data

Persiapan yang matang akan suatu penelitian akan menghasilkan data-data yang akan diperoleh sampai akurat. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa prosedur atau cara dalam mengumpulkan data yaitu:
1.      Pengamatan partisipatif
Penelitian pasrtisipatif adalah terlibat secara langsung  dan bersifat aktif dalam turut mengumpulkan data yang diinginkan, peneliti juga sering mengarahkan obyek yang diteliti untuk melakukan tindakan yang mengarah pada keperluan data yang di inginkan oleh peneliti.
2.      Observasi aktivitas kelas
Observasi semacam ini digunakan oleh peneliti pada saat peneliti terjun dalam KBM di kelas dengan menggunakan metode kerja kelompok. Dari sini peneliti mendapat gambaran secara langsung suasana kelas, sehingga peneliti bisa mengambil tindakan selanjutnya untuk meningkatkan metode kerja kelompok yang lebih efektif dan efisien.
3.      Pengumpulan hasil belajar
Data yang ada dilapangan akan diukur oleh peneliti dengan perolehan dari nilai pada saat post tes. Peningkatan nilai dapat dikatakan sebagai bukti  penggunaan metode kerja kelompok, sehingga hal ini bisa direkomendasikan pada guru-guru P.A.I guna meningkatkan pemahaman siswa terutama dalam materi fiqh.


F.   Indikator Kinerja 
Sebelum ditentukan kriteria keberhasilan siswa dalam melaksanakan metode kerja kelompok perlu diketahui sebab-sebab mengapa siswa kurang begitu memahami materi fiqh?. Setelah diketahui sebab-sebabnya, peneliti menggunakan metode kerja kelompok sebagai cara yang paling efektif untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang materi fiqh.
Pemahaman siswa dapat meningkat jika memenuhi kriteria keberhasilan yaitu sbb:
             Hasil jawaban yang dipresentasikan memuaskan
             Peran serta siswa dalam mengeluarkan ide-ide untuk menambah jawaban.
             Keaktifan siswa dalam menjawab pertanyan kelompok lain
Dan kriteria keberhasilan  dapat diukur dengan :
             Tepat tidaknya jawaban yang dikemukakan melalui presentasi
             Lengkap tidaknya jawaban yang diperoleh dari ide-ide para anggota kelompok.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil Penelitian

Dalam meneliti permasalahan tentang peningkatan pemahaman siswa kelas IIC MTs. Almaarif 02 Singosari, terhadap materi fiqh dengan menerapkan metode kerja kelompok, peneliti melakukan penelitian melalui beberapa siklus. Agar penelitian ini berhasil peneliti sebelumnya menggunakan beberapa tahapan yaitu:
1.      Perencanaan
Dengan menggunakan metode kerja kelompok akan memberi kesempatan pada siswa dalam mengembangkan ide-ide mereka tentang jawaban dari pertanyaan, sehingga wawasan mereka tentang materi kaifiyat puasa luas. Disamping itu sifat saling menghargai dapat berkembang dalam diri mereka.
2.      Pelaksanaan
Agar perencanaan dapat berjalan dengan lancar, maka ada beberapa proses yang harus dilalui yaitu :
b                                                                                Membentuk kelompok
Peneliti bersama murid membentuk kelompok-kelompok belajar. Pada kesempatan ini peneliti menjelaskan tujuan dan gambaran mengenai kegiatan–kegiatan yang harus dikerjakan, sehingga murid-murid menyadari mengapa dan untuk apa dibentuk kelompok.
c                                                                                 Pemberian tugas-tugas pada kelompok
Peneliti memberi tugas pada setiap kelompok dengan pertanyaan yang sama yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan puasa.
d        Masing-masing kelompok mengerjakan tugasnya.
Disamping itu peneliti mengawasi, menggairahkan atau menjawab beberapa pertanyaan dalam rangka menjamin ketertiban dan kelancaran kerja kelompok.
e         Peneliti melakukan penilaian.
Dalam hal penilaian peneliti bukan saja menilai terhadap hasil kerja yang dicapai kelompok, melainkan juga terhadap cara bekerja sama dan yang paling penting adalah hasil presentasi mereka.
3.      Pengamatan
Untuk mengamati tingkat pemahaman siswa terhadap materi fiqh, peneliti menggunakan beberapa instrumen yaitu :
a.                                                                               Evaluasi
Pada tahap evaluasi ini peneliti menggunakan evaluasi bentuk post test, yaitu evaluasi yang dilakukan pada akhir pokok bahasan habis. Dimana tingkat pemahaman siswa kelas IIC dapat dilihat dibawah ini :
            a.1. Analisis post test
NO
NAMA
NILAI
NO
NAMA
NILAI
1
ACHMAD AFANDI
72.5
24
MOHAMMAD NURI
60

2
AGUS SUPRIYANTO
65
25
MOCH. MIFTAH
75

3
ANIS KHADROTUL  L
71
26
MUH.  ISROFI
82.5

4
AYU PUTRI PRATIWI
100
27
MUH. NOVIATO
56

5
BELGIS FERDINA N
93.5
28
MUH. RUDIANSYAH
0

6
CHOIRUN NASIR
97.5
29
MUH. YASIN


7
DEBBY NUR CAHYO
97.5
30
NIVITASARI
55

8
DIAN LUTFI
46
31
NURUL MUFIDAH
55

9
EKO YULIANTONO
82.5
32
RISA UTAMI NINGSIH
88.5

10
ELIS NURSIANA
73.5
33
ROIDHATUL KH
92.5

11
FANDI AGUS R
70
34
RR. NOFITA FIRDA
78.5

12
FARIDA MASLUCHAH
92.5
35
SAIFUL ANWAR


13
FARIS DWI PURNOMO
60
36
SEPTIAN DWI C
77.5

14
FARITA MAULANA
56
37
SHOFIATUM M
77.5

15
IKA WAHYUNING I
90
38
SITI KHOTIMAH
73.5

16
IMAM GHOZALI
0
39
SOFIATI
66

17
IMAM ISRODIANSYAH
0
40
SRI WAHYUNINGSIH
61

18
IRJI’ ZULKARNAIN
80
41
SUCIK RAHMAWATI
90

19
IWAN WAHYYUDI
50
42
SUGENG MULYONO
67

20
LUKMAN HAKIM
72.5
43
SUWAYBATUL I
90

21
MILHAN KOMALA
0
44
WIKA WIDAYANTI
55

22
MISTAKHUL ANITA
75
45
NADLIFATUS ZAAHRO
100

23
MOCHAMMAD IQBAL
70
46
ANA MUNTADHIROH
87.5


Untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa kelas II C MTs al-Ma’arif 01 Singosari Malang, maka dalam hal ini peneliti menggunakan beberapa keterangan untuk hasil nilai yang dicapai yaitu :
       Nilai 85-100          :  sangat baik
       Nilai 70-85            :  baik
       Nilai 65-70            :  cukup baik
       Nilai 50-65            :  kurang
Pada hasil post test diatas dapat diketahui bahwa siswa yang mendapat :
       Nilai 85-100          : 16 siswa
       Nilal 70-85            : 14 siswa
       Nilai 65-70            :  2 siswa
       Nilai 50-65               :  7 siswa

Dari hasil yang diperoleh, maka dapat dapat disimpulkan bahwa dengan menerapkan metode kerja kelompok siswa kelas II C MTs al-Ma’arif 02 Singosari Malang dapat memahami materi Fiqih.


a2. Analisis sikap siswa selama kerja kelompok  berlangsung.
NO
NAMA
Kesungguhan
Inisiatif
Kerjasama
Jumlah
1
ACHMAD AFANDI
20
20
30
70
2
AGUS SUPRIYANTO
20
20
30
70
3
ANIS KHADROTUL  L
30
10
20
60
4
AYU PUTRI PRATIWI
30
30
30
90
5
BELGIS FERDINA N
30
30
30
90
6
CHOIRUN NASIR
30
30
30
90
7
DEBBY NUR CAHYO
30
20
30
80
8
DIAN LUTFI
20
10
20
50
9
EKO YULIANTONO
30
20
30
80
10
ELIS NURSIANA
20
30
30
80
11
FANDI AGUS R
20
20
30
70
12
FARIDA MASLUCHAH
30
30
30
90
13
FARIS DWI PURNOMO
20
10
20
50
14
FARITA MAULANA
20
10
20
50
15
IKA WAHYUNING I
30
30
30
90
16
IMAM GHOZALI
20
10
20
50
17
IMAM ISRODIANSYAH
10
20
20
50
18
IRJI’ ZULKARNAIN
30
30
30
90
19
IWAN WAHYYUDI
10
20
20
50
20
LUKMAN HAKIM
20
20
30
70
21
MILHAN KOMALA
10
20
20
50
22
MISTAKHUL ANITA
20
20
20
60
23
MOCHAMMAD IQBAL
20
30
30
80
24
MOHAMMAD NURI
20
20
20
60
25
MOCH. MIFTAH
20
20
30
70
26
MUH.  ISROFI
20
30
30
80
27
MUH. NOVIATO
10
30
30
70
28
MUH. RUDIANSYAH
10
20
30
60
29
MUH. YASIN
Keluar

30
NOVITASARI
10
30
20
60
31
NURUL MUFIDAH
10
30
30
70
32
RISA UTAMI NINGSIH
30
30
30
90
33
ROIDHATUL KH
30
30
30
90
34
RR. NOFITA FIRDA
20
30
30
80
35
SAIFUL ANWAR
Keluar

36
SEPTIAN DWI C
20
30
30
80
37
SHOFIATUM M
20
10
20
50
38
SITI KHOTIMAH
20
20
30
70
39
SOFIATI
20
30
30
80
40
SRI WAHYUNINGSIH
10
30
20
60
41
SUCIK RAHMAWATI
30
30
30
90
42
SUGENG MULYONO
20
20
30
70
43
SUWAYBATUL I
30
30
30
90
44
WIKA WIDAYANTI
20
10
20
50
45
NADLIFATUS ZAAHRO
30
30
30
90
46
ANA MUNTADHIROH
30
30
30
90

Sedangkan untuk mengetahui sikap siswa selama menerapkan metode kerja kelompok, maka nilai sikap terdiri tiga  kategori, yaitu : kesungguhan, inisiatif dan kerja sama. Semua sikap tersebut dikatakan :
       Sangat baik, jika nilai mencapai 90
       Baik, jika nilai mencapai 80
       Cukup baik, jika nilai mencapai 70
       Kurang baik, jika nilia mencapai 60
       Sangat kurang, jika nilai mencapai 50
Dari analisa sikap diatas, maka dapat diketahui bahwa :
       Siswa yang mencapai nilai 90       :  12 siswa
       Siswa yang mencapai nilai 80       :  8 siswa
       Siswa yang mencapai nilai 70       :  9 siswa
       Siswa yang mencapai nilai 60       :  7 siswa
       Siswa yang mencapai nilai 50       :  8 siswa
Melihat perolehan nilai siswa kelas II C diatas, maka sikap siswa selama mengerjakan tugas kelompok adalah sebagian besar sangat baik.
Dari hasil pengamatan yang peneliti lakukan, dalam mengerjakan tugas kelompok, para siswa sangat antusias, hal tersebut dapat dilihat dari :
       Siswa ikut serta dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan
       Kerja sama antar anggota kelompok
       Kesungguhan mereka dalam mengerjakan tugas kelompok.
       Ide atau inisiatif jawaban
       Dari hasil post test
       Dari hasil sikap kerja kelompok

B.     Pembahasan

Melihat dari data yang diperoleh dan beberapa temuan dari penelitian baik tingkah laku atau yang lainnya yang diperlihatkan oleh objek penelitian. Maka dapat digaris bawahi bahwa ada peningkatan siwa Kelas IIC MTs. Almaarif 02 Singosari dalam memahami materi fiqh. Hal ini sesuai dengan dengan hasil penelitian yang dilakukan dengan mengadakan observasi baik secara mendalam maupun dengan mengadakan post test. Sehingga dari kedua kegiatan ini diperoleh data yang akurat dan valid.
Dan melihat dari hasil observasi terhadap objek penelitian ternyata ada beberapa sebab kekurang pahaman siswa terhadap materi fiqh yaitu : pertama, dari faktor internal yaitu  dari siswa sendiri yang kurang memperhatikan penjelasan peneliti. Serta sulit diaturnya siswa kelas IIC, sehingga sering gaduh terutama siswa laki-laki. Kedua, gaduhnya suasana di luar kelas; siswa kelas lain mengganggu jalannya KBM.
Oleh karena itu penyebab diatas harus diminimalisasikan agar perhatian siswa terhadap materi fiqh meningkat. Salah satu cara yang ditempuh oleh peneliti adalah dengan menggunakan metode kerja kelompok. Dengan metode ini siswa dapat bertukar pikiran  tentang jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Sehingga pemahaman siswa dapat meningkat.
Setelah metode kerja kelompok terlaksana, dan peneliti sendiri mengamati jalannya diskusi dari beberapa kelompok dan peneliti memerintah mereka utnuk mempresentasikan hasil jawaban mereka didepan kelas, ternyata pemahaman mereka meningkat. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa kriteria keberhasilan yaitu :
             Hasil presentasi siswa, yaitu jawaban mereka memuaskan
             Peran serta siswa dalam berinisiatif tentang jawaban dari pertanyaan yang diberikan.
             Kemudian kriteria keberhasilan dapat diukur jika :
             Siswa dapat menjawab pertanyaan dengan tepat dan benar
             Inisiatif yang dikelurkan oleh anggota kelompok dapat melengkapi jawaban.


BAB V

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah dengan adanya data yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Maka dapat dikatakan bahwa antara hipotesa peneliti ada kecocokan  dengan hasil penelitian yaitu diketahui bahwa penerapan metode kerja kelompok dalam penyampaian materi fiqh dapat meningkatkan pemahaman siswa kelas IIC MTs. Almaarif 02 Singosari. Hal ini dapat diketahui dengan perolehan nilai post tes dan melalui sikap selama siswa bekerja kelompok. Jadi inti dari kesimpulan ini yaitu :
       Untuk siswa meningkatkan pemahaman siswa serta  meningkatkan hasil belajar siwa terhadap materi Fiqh perlu digunakan metode yang sesuai dengan keadaan siswa.
       Metode kerja kelompok yang digunakan dianggap sesuai dengan materi yang yang diajarkan yaitu materi fiqh dapat meningkatkan pemahaman siswa.
       Respon serta minat belajar siswa baik jika mengggunakan metode kerja kelompok. Hal ini dapat dilihat dari sikap siswa selama mengerjakan tugas secara berkelompok.

B.     Saran

Ada beberapa saran yang bersifat konstruktif yang bisa peneliti berikan yang semua ini untuk meningkatkan kemampuan dan keefektifan penggunaan metode kerja kelompok dalam pembelajaran materi Fiqh yaitu :
1.   Sebaiknya guru lebih mempersiapkan diri dengan menguasai materi yang diajarkan serta mampu memperluas penjelasan tentang materi yang akan dibahas khususnya guru PAI.
2.   Guru PAI diharapkan bisa meyakinkan siswa serta berusaha mencari cara agar materi PAI tidak membosankan dan dapat menggairahkan semangat belajar mereka.
3.   Seorang guru harus mengetahui kondisi siswanya, sebelum menggunakan metode yang tepat  dalam kegiatan belajar mengajar.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara,Yogyakarta, 1989.
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam,Kalam Mulia, Jakarta,1990.
Subroto,B. Suryo, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 1997.
Thoha, Chabib, dkk, Metodologi Pengajaran Agama, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang, 1999.
Zuhairini, dkk, Methode Khusus Pendidikan Agama, Biro Fak.Tar.IAIN Sunan Ampel malang, Malang, 1983 .