Jumat, 20 April 2012

Agama dan Pekerjaan Sosial


Bahasan ini sebaiknya diawali dengan pemaparan secara singkat menyangkut pemahaman-pemahaman Agama dan Pekerjaan sosial sehingga kemudian dapat dengan mudah menelisik lebih dalam pada aspek-aspek dimana urgensi integrasi antara pendekatan keagamaan dan pendekatan modern dalam praktek pekerjaan sosial. Agama dalam konteks ini akan  didefinisihkan secara operasional sehingga dapat dipahami lebih membumi sedangkan pendekatan modern pekerjaan sosial akan di artikulasikan kedalam wacana keilmuan modern pekerjaan sosial.
Pemahaman Agama, suatu definisi yang dapat mewakili secara keseluruhan tentang agama yang begitu banyak ragam dan jenisnya bukanlah mudah bahkan mungkin tidak dapat dilakukan. Namun mendefinisikannya haruslah tetap dilakukan untuk dapat membatasi arah sesuai tujuan pendefinisian dimaksud. Dalam kaitan itu, ada beberapa pendapat yang akan dikemukakan dalam tulisan ini.
Agama bagi Giddens (2005)[1] adalah media pengorganisasian bagi kepercayaan yang tidak sekedar satu arah. Bukan hanya iman dan kekuatan religius yang menyediakan dukungan yang secara takdir dapat dijadikan sandaran: Demikian juga para fungsionaris keagamaan. Yang terpenting adalah bahwa kepercayaan religius biasanya menginjeksikan reliabilitas  ke dalam pengalaman pelbagai peristiwa dan situasi dan dari suatu kerangka
            Agama juga disinonimkan dengan Religion berasal dari kata Latin “religio”, berarti  “tie-up” dalam bahasa Inggris, Religion dapat diartikan “having engaged ‘God’ atau ‘The Sacred Power’.
Secara umum di Indonesia, Agama dipahami sebagai sistem kepercayaan, tingkah laku, nilai, pengalaman dan  yang terinstitusionalisasi, diorientasikan kepada masalah spiritual/ritual yang disalingtukarkan dalam sebuah komunitas dan diwariskan antar generasi dalam tradisi.
Berangkat dari beberapa pemahaman diatas, dapat ditarik beberapa point tentang pengertian agama bahwa agama adalah kodifikasi kepercayaan, praktik ibadat, hukum etika, keanggotaan   denominasi, eksternal dan memasukkan spiritualitas di dalamnya.
Penegasan yang ingin ditekankan pada pemahaman keagamaan disini adalah bahwa konsekwensi pemahaman keagaman yang kaku dan tidak bersifat scientific justru akan memunculkan berbagai stigmatisasi negative terhadap peran penting agama dalam relasi kemanusiaan sesuai mandat pekerjaan sosial. Stigmatisasi tersebut berpandangan bahwa agama adalah dogmatism, rigidity dan gender bias,  excessive self-blaming,  Fatalistik dan status quo serta  dianggap tidak peduli dengan urusan kekinian di dunia.
Apa itu  pekerjaan sosial, pekerjaan sosial adalah profesi kemanusiaan yang telah lahir cukup lama. Sejak kelahirannya sekitar 1800-an.[2] Purifikasi peksos terus berlanjut sejalan dengan tuntutan perubahan dan aspirasi masyarakat. Namun demikian, seperti halnya profesi lain (Guru, Dosen, Dokter), fondasi dan prinsip dasar pekerjaan sosial tidak mengalami perubahan.
Pekerjaan sosial berbeda dengan profesi lain, semisal psikolog, dokter atau psikiater. Dalam praktek kerjanya dia senantiasa harus melibatkan aspek-aspek diluar klien dalam penyelesaian masalahnya. Artinya, bahwa mandat utama pekerja sosial adalah memberikan pelayanan sosial baik kepada individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat yang membutuhkannya  sesuai dengan nilai-nilai, pengetahuan dan ketrampilan professional pekerjaan sosial.
Selain itu, pekerjaan sosial juga merupakan aktivitas professional untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan dimaksud. Sebagai suatu aktivitas professional, pekerjaan sosial dilandasi dengan vondamen utama berupa; kerangka pengetahuan, kerangka keahlian dan kerangka nilai.
Dalam konferensi internasional di Montreal Kanada, juli 2000, IFSW mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai Profesi yang mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan. Perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan teori-teori perilaku  manusia dan sistem-sistem sosial. Pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik dimana orang berinteraksi dan keadilan sosial merupakan sangat penting bagi pekerjaan sosial.


[1] Lihat Anthoni Giddens, Konsekwensi-Konsekwensi Modernitas, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005)
[2] Lihat Zasstrow dalam Edi Suharto, Membangun Masyarakatm, Memberdayakan Rakyat; Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung : Revika Aditama, 2005) h.

Urgensi Integrasi Pendekatan Agama dan Modern dalam Pekerjaan Sosial


Dalam memberikan pengantarnya terhadap buku Caputo “ Agama Cinta Agama Masa Depan”, Sugiharto[1] berargumen bahwa Untuk menjadi sungguh-sungguh berarti kembali, maka agama perlu melakukan kritik-diri secara structural, mengenali persoalan-persoalan mendasar dunia modern, dan mampu menawarkan visi peradaban dan kemanusiaan yang baru. Tanpa itu, ia hanya akan berakhir sebagai kekuatan disintegrasi peradaban paling mengerikan, atau semangat nostalgis naif yang berbahaya.
Secara substansial pernyataan tersebut mengandung makna bahwa sesungguhnya peran agama dalam praktek  pekerjaan sosial sangat urgen mengingat adanya tanggung jawab etis peksos terhadap klien dan terhadap masyarakat yang juga terinternalisasi dalam nilai-nilai universal keagamaan. Namun, hal yang sangat ironis adalah tingginya signifikansi agama dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, tidak dibarengi dengan perkembangan yang memadai dalam hal  integrasi pendekatan agama dalam ilmu-ilmu sosial dan pendampingan masyarakat.  Agama nampaknya hanya bersifat experential, yang kita dapatkan dan pelajari dari pengalaman, tapi tidak bersifat  scientific.
Pendekatan agama dalam terapi klinikal ataupun pemberdayaan masyarakat secara luas, misalnya, masih bersifat tradisional karena belum dikembangkan secara  ilmiah. Pendekatan agama, dengan demikian, tidak ”layak” sebagai bagian dari pendekatan modern dan selanjutnya, tidak mampu menjadi  model intervensi dan pendampingan di masyakarat.
Dengan demikian, integrasi terhadap kedua jenis pendekatan (modern dan Agama) merupakan sebuah keharusan dengan mengemukakan beberapa alasan : (1) Secara historis dan filosofis, Peksos memiliki pertalian erat dengan agama. Sejarah telah membuktikan bahwa pekerjaan sosial sendiri tumbuh dan berkembang dari kalangan agamais (Kristen katolik di Inggris). Sedangkan secara filosofis baik peksos dan agama, sama-sama menaruh perhatian pada aspek mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan tanpa pilih buluh. (2) Peksos dan spiritualitasdan agama  saling belajar dan memberi kontribusi satu sama lain.(3) Pengetahuan tentang spiritualitas dan agama  membantu peksos membangun kosmologi dan antropologi spiritual. (4) Tidak ada alasan peksos dan pemimpin agama untuk tidak berkerjasama. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa sesungguhnya islam baik dan relevan di setiap masa dan tempat
Dalam agama islam sendiri, keterpautan antara Ilmu pengetahuan  dan ajarannya sangatlah erat (Al–Islam Shalih Li Kulli Zaman Wa Makan).  Bahkan para ilmuan seperti Ernest Gellner[2] misalnya,  berpendapat bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama yang transformatif dan bahkan menurutnya, Islamlah yang paling memiliki kedekatan dengan ilmu pengetahuan. Pengakuan ini dijelaskannya dalam beberapa aspek sebagai berikut: Pertama, universalisme ajaran Islam, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam dapat diterapkan dimana saja dan kapan saja bahkan Islam mapu menyerap tradisai dan budaya lokal. Kedua, Skripulisme Islam,  bahwa Islam mengajarkan bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipelajari oleh siapa saja, bukan monopoli kelompok tertentu dalam hirarki keagamaan. Ketiga, Egalitarianisme spiritual,  dalam arti tidak terdapat sistem kependetaan atau kerahiban dalam Islam, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi spiritualnya. Keempat, Sistematis rasional dalam kehidupan sosial. Kelima, Semangat keilmuan yang tinggi, sehingga setiap pemeluk Islam meyakini betapa tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu.
Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pengintegrasian antara pendekatan agama dan pendekatan moderen dalam pekerjaan sosial merupakan sebuah keniscayaan. Baik ilmu pengetahuan dan agama yang saling tidak bertegur sapa, telah terbukti secara faktual mengalami kegagalan dalam melakukan misi kemanusiaannya. Melalui pembahasan yang komparatif ini, terlihat bahwa integrasi antara keduanya adalah sebuah keharusan.


[1] Lihat Caputo, D. Jhon, Agama Cinta Agama Masa Depan, (Bandung : Mizan, 003), h. XIX-XXI

[2] Ernest Gellner, Muslim Society, (Cambridge University Press, 1981), h. 264-265

Pendekatan Agama dalam Praktek Pekerjaan Sosial


Berbeda dengan modernisme yang bertumpu pada rasionalitas dengan sistem berfikir bi-logical, agama memiliki nilai spiritualitas yang berfungsi secara transenden; Hanya spiritualitas yang mampu memaafkan kejadian yang menyakitkan dan traumatis. Dalam konteks inilah seorang pekerja sosial melalui pendekatan agama akan mampu sensitive dan responsive terhadap kebutuhan spiritualitas klien sebagai mahluk yang Unik.[1]
Dalam hal intervensi kesehatan mental misalnya, peran spiritualitas sebagai bagian integral dari agama sangat memegang peranan penting untuk keberhasilan intervensi pada klien mengingat dalam spiritulitas sesungguhnya terkandung daya dimana klien dapat beradaptasi dalam menyelesaikan masalah.
Dalam konteks tradisional sendiri, berbagai program kemanusian dimana peran pekerja sosial inklut didalamnya telah banyak dilaksanakan oleh berbagai agama sebagai pembawa misi kemanusiaan. Namun landasan tersebut lebih bersifat karikatif dan belas kasih belaka sehingga yang terjadi kemudian adalah acap kali menimbulkan ketergantungan klien terhadap pekerja sosial. Dengan kata lain tidak menyentuh aspek substansial keberfungsian sosial sebagaimana yang di maksudkan oleh pendekatan modern.
Keberfungsian sosial menitik beratkan pada kemandirian klien dan menjauhkannya pada sifat-sifat ketergantungan. Maka itu, karikatif dan rasa belas kasih semata sangat tidak sejalan dengan ruh pekerjaan sosial sebab pada gilirannya hanya akan menimbulkan sifat ketergantungan dan bukan kemandirian. Hal ini dapat terlihat pada penyaluran zakat misalnya yang kemudian hanya disalurkan secara tradisional-konsumtif sehingga penerima tetap pada posisi sebagai penerima dan tidak berfikir bagaimana pada kesempatan berikutnya dapat menjadi pemberi.


[1] Andayani, Islam Dakwah dan Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Jurusan PMI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Bekerja sama dengan IISEP – CIDA, 2005), h. 143

Selasa, 10 April 2012

KONSEP ‘CIVIL SOCIETY’ DALAM LINTASAN SEJARAH


Sebagai  sebuah  konsep,  harus  diakui bahwa civil society memiliki akar dari proses sejarah  Barat.  Istilah  ini  sendiri  telahberedar dalam pembicaraan tentang filsafat sosial pada abad ke-18 di Eropa Barat dan masih berlanjut hingga akhir abad ke-19. Untuk waktu yang lama istilah tersebut sempat tenggelam hingga tahun 1990-an muncul  kembali  dan  menjadi  bahan perdebatan  lagi  di  Eropa  Barat. 

Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18, istilah civil society pada dasarnya merujuk kepada negara (state), yaitu sebagai suatu kelompok/kekuatan  yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Namun pada paruh  abad  ke-18,  sejalan  dengan proses pembentukan sosial dan perubahan struktur politik di Eropa sebagai akibat era Pencerahan  (E n l i g h t e n m e n t)  dan modernisasi,  negara  dan  civil  society merupakan  dua  entitas  yang  berbeda. Adam  Ferguson  dan  Tom Paine  adalah sedikit filsuf Pencerahan
saat itu yang ada dibalik ide pemisahan tersebut. Bahkan dalam  perkembangannya  kemudian, pemisahan  ini  berlanjut  menjadi berhadapan-hadapannya  civil  society
dengan  aspek  kemandiriannya  versus kekuasaan negara.1

Pada titik ini, ada baiknya dikutip apa yang menjadi  pemikiran  Hegel  dan  Marx mengenai civil  society,  karena,  dari  dua tradisi pemikir besar ini kemudian Antonio Gramsci mengadopsi dan mengembangkan gagasan pemikirannya sendiri mengenai civil  society.  Hegel  bisa  dibilang  filsuf Jerman yang mulai melakukan pembedaan antara negara dan civil society. Menurutnya, civil  society  adalah  wilayah  kehidupan orang-orang  yang  telah  meninggalkan kesatuan keluarga dan masuk ke dalam kehidupan ekonomi yang kompetitif. Ia adalah  buergerliche  Gesellschaft  atau masyarakat borjuis yang berada di antara keluarga dan negara yang tersusun dari unsur-unsur keluarga, korporasi/asosiasi, dan aparat admisnistrasi/legal. Ia adalah salah satu bagian saja dari tatanan politik (political  order)  secara  keseluruhan. Sementara  itu  tatanan  politik  yang  lain adalah  negara  (state)  atau  masyarakat politik (political society).

Sebagai  pemikir  yang  mengagungkan peran  dan  posisi  negara,  Hegel  melihat civil society sebagai pra-political society atau pra-political  terrain,  sehingga  seluruh kegiatan politik hanya mungkin berjalan di dalam domain negara. Civil society, masih menurutnya, adalah kekuasaan yang penuh kerisauan, kesengsaraan, dan korupsi baik secara etis maupun fisik.2 Ia adalah arenadi mana kebutuhan-kebutuhan tertentu dan kepentingan-kepentingan  individu saling berbeda, dan bahkan berbenturan. Dikatakan  dengan  cara  lain,  ia  pada dasarnya adalah sebuah medan laga yang tidak  pernah  sepi  dari  perbedaan kepentingan. Ini menimbulkan perpecahan- perpecahan  sehingga  memiliki  potensi besar  untuk  menghancurkan  dirinya sendiri (a self-cripping entity). Karenanya, kembali merujuk Hegel, civil society harus ‘diatur  dan  didominasi  oleh  kapasitas intelektual  superior  dari  negara,  yang merupakan bentuk tertib moral dan etika manusia yang paling tinggi.3

Marx  dan  Engles,  masih  tetap mempertahankan  istilah  civil  society, sebagaimana  dinyatakan  oleh  Hegel, sebagai  buergerliche  Gesellschaft  atau masyarakat  borjuis.  Tapi  dalam penjelasannya kemudian ada pemahaman yang sangat berbeda, bahkan berlawanan sama sekali. Mereka melihat negara sebagai
tertib  politik  justru  merupakan  elemen subordinat (suprastruktur), dan sebaliknya, civil society yang direduksi sebagai wilayah hubungan-hubungan  ekonomi  atau hubungan  produksi  kapitalis  adalah
elemen yang desesif (struktur atau basis). Civil society adalah kelas borjuis itu sendiri. Yang  terjadi  adalah  c i v i l   s o c i e t y mendominasi negara atau struktur (basis) menentukan suprastruktur. Dengan lebih tegas dikatakan bahwa civil  society yang mendefinisikan  negara  dan  mengelola organisasi dan tujuan-tujuan negara yang dikaitkan  dengan  hubungan  produksi material  dalam  tahap  tertentu  dariperkembangan kapitalisme.4

catatan kaki,,
 1. Untuk lengkapnya lihat  Jean L. Cohen dan Andrew Arato,  Civil  Society  and  Political  Theory, (Massachusetts  Institute  of  Technology,  1992). Sementara itu, Kwi-Hee Bae dan Joon Hyoung Lim dari University of Southern California dalam salah satu kertas kerjanya, membagi menjadi tiga tradisi pemikiran dalam kaitannya dengan konsep civil society. Yang  pertama  adalah  tradisi  (Neo)liberal  dengantokohnya yang terkenal antara lain Tocqueville dan Putnam.  Kemudian  tradisi  Habermasian  di  mana Arato  dan  Cohen  adalah  salah  satu  penggagas utamanya. Yang terakhir adalah tradisi Hegel-Marxis di mana Gramsci adalah salah satu pengikut garis tersebut yang menjadi kajian dari tulisan ini. Lihat Kwi-Hee Bae dan Joon Hyoung Lim, “Bringing the Civil Society Back In: The Implication of Civil Society in  Democratic  Governance,”  kertas  kerja  yang dipresentasikan  dalam  60th  ASPA  National
Conference,  10-14  April  1999,  Orlando,  Florida, Amerika Serikat.
2.  Diambil  dari  “Gramsci  and  the  State,” dalam Martin Carnoy, The State and Political Theory. (Princeton  University  Press,  1984),  hlm.  65-77.
3. Ibid., hlm. 67.
4. Ibid., hlm. 67-68; dan lihat juga Tom Bottomore, et. al. (eds.), A Dictionary of Marxist Thought, (Harvard University Press, 1983), hlm. 72-74.

Jumat, 06 April 2012

Islam Pesisir versus Islam Pedalaman



Islam datang ke Nusantara melalui pesisir dan kemudian masuk ke pedalaman. Itulah sebabnya ada anggapan bahwa Islam pesisir itu lebih dekat dengan Islam genuine yang disebabkan oleh adanya kontak pertama dengan pembawa islam. Meskipun Islam yang datang ke wilayah pesisir, sesungguhnya sudah merupakan Islam hasil konstruksi pembawanya, sehingga Islam yang pertama datang adalah Islam yang tidak murni. Terlepas dari teori kedatangan Islam ke Nusantara dari berbagai sumbernya, namun yang jelas bahwa Islam datang ke Nusantara ketika di wilayah ini sudah terdapat budaya yang berciri khas. Islam yang datang ke Nusantara tentunya adalah Islam yang sudah bersentuhan dengan tradisi pembawanya (da’i), seperti yang datang dari India Selatan tentunya sudah merupakan Islam hasil penafsiran komunitas Islam di India Selatan dimaksud. Demikian pula yang datang dari Gujarat, Colomander, bahkan yang bertradisi Arab sekalipun.
Bukan suatu kebetulan bahwa kebanyakan wali (penyebar Islam) berada di wilayah pesisir. Sepanjang pantai utara Jawa dapat dijumpai makam para wali yang diyakini sebagai penyebar Islam. Di Jawa Timur saja, jika dirunut dari yang tertua ke yang muda, maka didapati makam Syeikh Ibrahim Asmaraqandi di Palang Tuban, Syeikh Malik Ibrahim di Gresik,  makam Sunan Ampel di Surabaya, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan Drajad di Lamongan, makam Wali Lanang di Lamongan, makam Raden Santri di Gresik dan makam Syekh Hisyamudin di Lamongan. Makam para wali ini hingga sekarang tetap dijadikan sebagai tempat suci yang ditandai dengan dijadikannya sebagai tempat untuk berziarah dengan berbagai motif dan tujuannya.
Secara geostrategis, bahwa para wali menjadikan daerah pesisir sebagai tempat mukimnya tidak lain adalah karena mudahnya jalur perjalanan dari dan ke tempat lain untuk berdakwah. Bisa dipahami sebab pada waktu itu jalur laut adalah jalur lalu lintas yang dapat menghubungkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Sehingga tidak aneh jika penyebaran Islam oleh Sunan Bonang sampai ke Bawean, Sunan Giri sampai ke daerah Sulawesi, Lombok dan sebagainya. Jalur laut pada masa awal penyebaran Islam, terutama laut Jawa telah mencapai puncaknya. Pada abad ke 12, jalur laut yang menghubungkan Jawa, Sumatera, Malaka dan Cina, sudah terbangun sedemikian rupa. Maka, para wali pun telah melakukan dakwahnya ke seluruh Nusantara melalui pemanfaatan jalur laut tersebut. 
Islam pesisiran Jawa hakikatnya adalah Islam Jawa yang bernuansa khas. Bukan Islam bertradisi Arabyang puris karena pengaruh gerakan Wahabiyah, tetapi juga bukan Islam sinkretis sebagaimana cara pandang Geertz yang dipengaruhi oleh Islam tradisi besar dan tradisi kecil. Islam pesisiran adalah Islam yang telah melampaui dialog panjang dalam rentang sejarah masyarakat dan melampaui pergumulan yang serius untuk menghasilkan Islam yang bercorak khas tersebut. Corak Islam inilah yang disebut sebagai Islam kolaboratif, yaitu Islam hasil konstruksi bersama antara agen dengan masyarakat yang menghasilkan corak Islam yang khas, yakni Islam yang bersentuhan dengan budaya local. Tidak semata-mata islam murni tetapi juga tidak semata-mata Jawa. Islam pesisir merupakan gabungan dinamis yang saling menerima dan memberi antara Islam dengan budaya local.[1]
Varian Islam pesisir juga didapati di wilayah pesisir utara Jawa. Di pesisir Tuban bagian timur –tepatnya di Karangagung, Kecamatan Palang—juga didapati corak pengamalan Islam yang puris. Kelompok Muhammadiyah di desa ini cukup dominant dan bahkan jika dibandingkan dengan wilayah Tuban lainnya, maka di desa inilah kekuatan Muhammadiyah bertumpu. Jika pelacakan dilakukan ke arah timur di pesisir utara Lamongan, maka geliat Islam murni juga semakin nampak. Di sepanjang pesisir utara Lamongan –kecamatan Brondong terus ke timur sampai Gresik sebelah barat, maka dapat dijumpai Islam yang bertradisi puris. Meskipun tidak seluruhnya seperti itu, namun memberikan gambaran bahwa corak Islam pesisir, sesungguhnya sangat variatif. Wilayah pesisir Tuban ke barat, tampak didominasi oleh Islam local. Dari Tuban ke barat sampai Demak, corak Islam local masih dominan. Namun demikian juga bukan berarti bahwa di sana sini tidak dijumpai adanya pengamalan Islam yang bercorak murni tersebut.
Pada komunitas pesisir,  ada satu hal yang menarik adalah ketika di suatu wilayah terdapat dua kekuatan hampir seimbang, Islam murni dan Islam lokal, maka terjadilah tarikan ke arah yang lebih Islami terutama yang menyangkut  istilah-istilah, seperti slametan yang bernuansa bukan kesedihan berubah menjadi tasyakuran, misalnya slametan kelahiran, pindah rumah, mendapatkan kenikmatan lainnya, maka ungkapan yang digunakan bukan lagi slametan tetapi syukuran. Upacara memperingati kematian atau dulu disebut manganan kuburan sekarang diubah dengan ungkapan khaul. Nyadran  di Sumur sekarang berubah menjadi sedekah bumi. Upacara petik laut atau babakan di pantai disebut sedakah laut. Upacara babakan untuk menandai datangnya masa panen bagi para nelayan. Dari sisi substansi juga terdapat perubahan. Jika pada masa lalu upacara nyadran di sumur selalu diikuti dengan acara tayuban, maka sekarang dilakukan kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Sama halnya dengan upacara sedekah laut, jika dahulu hanya ada acara tayuban, maka sekarang ada kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Secara simbolik hal ini menggambarkan bahwa ada pergerakan budaya yang terus berlangsung dan semakin mendekati ke arah tradisi Islam.[2]
Suasana keagamaan yang berbeda tampak pada suatu wilayah yang kecenderungan umum pelakunya adalah kebanyakan penganut NU. Di desa-desa pesisir yang aliran keagamaannnya seperti itu, maka tampak bahwa pengamalan beragamanya cenderung masih stabil, yaitu beragama yang bercorak lokalitas. Jika terjadi perubahan pun kelihatannya sangat lambat. Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa upacara-upacara di medan budaya –sumur dan makam—sudah berubah menjadi lebih islami. Hal itu juga tampak dari sederetan upacara ritual yang menampakkan wajah islam secara lebih dominan, meskipun hal itu merupakan penafsiran atau hasil konstruksi yang mempertimbangkan lokalitasnya.
Islam pedalaman pun menggambarkan wajah varian-varian yang menonjol. Kajian Nakamura (1983) dan Mulkhan (1999) tentang Islam murni di wilayah pusatnya Jogyakarta maupun Islam murni di Wuluhan Jember tentunya merupakangambaran varian Islam ketika berada di dalam lokus sosial budayanya. Muhammadiyah yang merupakan gerakan keagamaan anti takhayul, bidh’ah dan churafat (TBC) ketika berada di tangan kaum petani juga mengalami naturalisasi. Muhammadiyah di Wuluhan juga menggambarkan fenomena seperti itu. Gerakan Muhammadiyah belumlah tuntas, sehingga Muhammadiyah di tangan Petani juga memberikan gambaran bahwa belum semua orang Muhammadiyah melakukan Islam sebagaimana penafsiran para elitnya tentang Islam. Empat tipe penggolongan orang Muhammadiyah di Wuluhan yang dilakukan oleh Mulkhan yaitu: Islam-Ikhlas yang lebih puris, Islam-Munu atau golongan Muhammadiyah-NU yang orientasinya kurang puris dan ada lagi Islam-Ahmad Dahlan yang tidak melakukan praktik bidh’ah tetapi membiarkan dan ada Islam-Munas atau Muhammadiyah-Nasionalisme yang tidak mengamalkan ajaran Islam atau disebut juga Marmud atau Marhaenis-Muhammadiyah.[3]
Di sisi lain, Nakamura juga memberikan gambaran bahwa gerakan tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah juga berada dalam proses terus menjadi dan bukan status yang mandeg. Di dalam penelitiannya diungkapkan secara jujur bahwa islam diJawa ternyata tidak mandeg atau sebuah peristiwa sejarah yang paripurna, akan tetapi peristiwa yang terus berlangsung. Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bercorak sosial dan agama sekaligus. Muhammadiyah dalam pengamatannya ternyata tidak sebagaimana disangkakan orang selama ini, yaitu gerakan keagamaan yang keras, eksklusif, fundamental, namun merupakan gerakan yang berwatak inklusif, tidak mengedepankan kekerasan dan berwajah kerakyatan. Nakamura memang melakukan penelitian tentang Muhammadiyah di pusatnya yang memang menggambarkan corak keberagamaan seperti itu.[4]
Dalam banyak hal, Islam pedalaman memang menggambarkan corak varian yang bermacam-macam. Selain gambaran Muhammadiyah sendiri yang juga terdapat varian-varian pengamalan keagamaannya, maka di sisi lain juga menggambarkan watak keislaman yang sangat variatif. Corak Islam tersebut misalnya dapat dilihat dari semakin semaraknya tradisi-tradisi lokal di era pasca reformasi. Tradisi-tradisi yang pada masa lalu dianggap sebagai ritual, maka dewasa ini lebih dikemas sebagai festival-ritual. Artinya bahwa upacara ritual tersebut dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada tradisi masa lalu, namun dikemas sebagai peristiwa festival yang bisa menghadirkan nuansa budaya dan ekonomi. Tradisi Suroan di beberapa wilayah Mataraman  dewasa ini, sungguh-sungguh telah masuk ke dalam wilayah festival budaya. Memang masih ada ritual yang tetap bertahan sebagai ritual dan dilakukan dengan tradisi sebagaimana adanya, sehingga coraknya pun tetap seperti semula. Tradisi itu antara lain adalah upacara lingkaran hidup,  upacara hari-hari baik dan upacara intensifikasi.[5] Namun untuk upacara kalenderikal kelihatannya telah memasuki perubahanyang mendasar, yaitu sebagai ritual-festival dimaksud.
Dalam banyak hal, tradisi Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah berbeda. Jika pun berbeda hanyalah pada istilah-istilah yang memang memiliki lokalitasnya masing-masing. Perbedaan ini tidak serta merta menyebabkan perbedaan substansi tradisi keberagamaannya. Substansi ritual hakikatnya adalah menjaga hubungan antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos. Hubungan mana diantarai oleh pelaksanaan ritual yang diselenggarakan dengan corak dan bentuk yang bervariasi. Nyadran laut atau sedekah laut bagi para nelayan hakikatnya adalah upacara yang menandai akan datangnya masa panen ikan. Demikian  pula upacara wiwit dalam tradisi pertanian hakikatnya juga rasa ungkapan syukur karena penen padi akan tiba. Upacara lingkaran hidup juga memiliki pesan ritual yang sama. Upacara hari-hari baik dan intensifikasi hakikatnya juga memiliki pesan dan substansi ritual yang sama. Dengan demikian, kiranya terdapat kesamaan dalam tindakan rasional bertujuan atau in order to motive bagi komunitas petani atau pesisir dalam mengalokasikan tindakan ritualnya. Jika demikian halnya, maka perbedaan antara tradisi Islam pesisir dengan tradisi Islam pedalaman hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan, namun dalam struktur dalamnya memiliki kesamaan. Atau dengan kata lain, substansinya sama meskipun simbol-simbol luarnya berbeda.



[1] Periksa Nur Syam, Islam Pesisir…
[2] Periksa Nur Syam, Islam Pesisir…
[3] Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni Pada Masyarakat Petani. Jogyakarta: Bentang Budaya, 1999.
[4] Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin. (Jogyakarta: Gajah Mada Press, 1983)
[5] Upacara lingkaran hidup terdiri dari upacara perkawinan sampai kematian. Upacara hari-hari baik seperti pindah rumah, bepergian, dan membuat rumah dan sebagainya. Upacara intensifikasi seperti upacara penutupan tahun, penerimaan tahun baru, upacara tolak balak dan sebagainya. Upacara-upacara ini dilakukan secara intensif pada masyarakat Islam pedalaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tadjoer Rijal, Tamparisasi Tradisi Santri Jawa. (Surabaya: Kampusiana, 2004) masih menggambarkan nuansa fenomena seperti itu. Demikian juga penelitian Woodward, Islam Jawa…,  dan bahkan tulisan Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa… juga masih memiliki relevansi dengan kecenderungan keberagamaan masyarakat Islam pedalaman hingga dewasa ini. Meskipun dikhotomi Santri-Abangan sudah memudar, namun dalam segmen tradisi keberagamaan masih dijumpai fenomena yang terus berlangsung. 

Kamis, 05 April 2012

Liberalisme dan Sekularisme



Paham ‘kebebasan’ merupakan konsep yang sangat penting dalam worldview sekuler. Dalam pandangan paham ini jagad raya tidak mempunyai kewujudan dan makna rohani. Tidak ada alam rohani, alam arwah, alam malakut, jabarut. Tidak ada surga dan neraka. Dalam pandangan alam sekuler, semua nilai dianggap tidak memiliki watak sakral, suci, dan kekal abadi. Kegiatan dan tujuan politik hanya terbatas kepada kepentingan dunia saja, tidak ada ukhrawi. Serta alat untuk mencapai kesejahteraan duniawi ini hanyalah akal fikiran manusia dan saling membantu antara mereka.
Menurut Wan Daud, prinsip-prinsip ini disimpulkan setelah Barat melewati pengalaman yang amat memilukan dengan agama Kristen selama lebih seribu tahun. Pengalaman pahit ini kemudian digeneralisasikan sebagai suatu hukum tetap perkembangan manusia, seperti yang diungkapkan Max Weber dan lain-lain. Yakni, sebelum manusia mencapai tahap evolusi intelektual dan saintifik, mereka sangat memerlukan Worldview berbasis magis, kemudian yang berbasis agama untuk menguraikan segala fenomena alam dan menafsirkan jatuh bangun roda kehidupan yang tidak menentu.
Paham ‘kebebasan’ (liberty/freedom) secara resmi digulirkan oleh kelompok Free Mason yang mulai berdiri di Inggris tahun 1717. Kelompok ini kemudian berkembang pesat di AS mulai tahun 1733 dan berhasil menggulirkan revolusi tahun 1776. Patung liberty menjadi simbol kebebasan. Prinsip freedom dijunjung tinggi. Tahun 1789, gerakan kebebasan berhasil menggerakkan revolusi Perancis juga dengan mengusung jargon “liberty, equality, fraternity”. Pada awal abad ke-20, gerakan kebebasan ini menyerbu Turki Ustmani.
Paham ini kemudian merasuk ke jantung dunia Islam dan merusak tatanan syariah yang sudah mapan. Menurut Adian Husaini, secara sistematis liberalisasi Islam di Indonesia sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an. Secara umum, ada tiga bidang penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi, yaitu:
1. Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama
2. Liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan
3. Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur’an
Dalam pembahasan epistemologi, salah satu pembahasan yang paling penting adalah mengenai jawaban dari sebuah pertanyaan: ”apa yang bisa diketahui?” Menurut Dr. Syamsuddin Arif, dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, manusia dapat mengetahui (’ilm) dan mengenal (ma’rifah), memilih (ikhtiyaar) dan memilah (tafriq), membedakan (tamyiz), menilai dan menentukan (hukm) mana yang benar dan yang salah, yang haq dan yang baathil, yang sejati dan yang palsu, yang ma’ruf dan yang munkar, yang berguna dan yang berbahaya. Dengan kata lain, dalam epistemologi Islam, mengetahui itu tidaklah mustahil.
Hal ini berlawanan dengan pemikiran kaum Sofis yang cenderung relativistik. Menurut mereka, kebenaran itu relatif. Sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran oleh seseorang belum tentu dibenarkan oleh yang lain. Sebagian diantaranya bahkan mengatakan bahwa hanya Tuhan-lah yang mengetahui kebenaran, sedangkan manusia takkan pernah mencapai pengetahuan itu.
Sekularisme adalah aliran pemikiran yang sepenuhnya diimpor dari Barat. Oleh karena pengalaman masa lalu Barat yang dipenuhi dengan pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama, maka mereka pun membedakan antara science (ilmu pengetahuan) dan knowledge (pengetahuan). Ilmu-ilmu yang sifatnya fisik dan dapat dibuktikan secara empiris dimasukkan dalam kelompok science, sedangkan sisanya, termasuk ilmu agama, tidak dianggap ilmiah. Tidak heran jika dari pemikiran yang semacam ini muncul pemikiran bahwa untuk menjadi ilmuwan yang baik harus melepaskan diri dari agama.
Kaum sekuler seringkali beretorika dengan mengatakan bahwa karena agama itu tinggi, maka ia tidak dilibatkan dalam mengatur kehidupan manusia. Ungkapan ini sering dijadikan pembenaran untuk menjauhkan agama dari urusan-urusan sosial dan politik. Sebaliknya, Islam justru mengingatkan manusia akan ketinggian derajatnya sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi, dan sebagai makhluk yang hanya boleh menghamba pada-Nya. Konsekuensinya, manusia diajarkan untuk mencintai segala hal yang baik, suci dan mensucikan, luhur dan terhormat. Oleh karena itu, agama justru dilibatkan dalam setiap aspek kehidupannya.
Para pengekor Barat di Indonesia secara terang-terangan mendukung sekularisasi Indonesia, bahkan secara nyata menyatakan persetujuannya pada kemaksiatan. Ulil Abshar-Abdalla, tokoh dari Jaringan Islam Liberal (JIL), telah menyatakan bahwa ”Islam liberal bisa menerima bentuk negara sekular... sebab, negara sekular bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus.” Dengan demikian, persetujuan terhadap negara sekuler ternyata berdampingan dengan sikap membiarkan kemaksiatan; sebuah sikap yang sangat tercela bagi seorang Muslim.
Jika sekularisme mencegah agama memasuki ranah sosial-politik, maka liberalisme memaksanya untuk tetap dalam ruang privat. Kebebasan manusia untuk memeluk agama sesuai keyakinannya masing-masing, yang diyakini sebagai hak asasi manusia, ditarik lebih jauh lagi sehingga agama itu sendiri tak memiliki batasan yang jelas. Konkretnya, setiap orang bebas menyatakan dirinya menganut agama apa saja, baik mengikuti secara konsekuen agama-agama yang ada, memodifikasi agama untuk dirinya sendiri, atau bahkan menciptakan agama yang benar-benar baru.
Menurut kalangan sekularis-liberalis, tidak ada orang yang berhak menentukan mana agama yang benar dan mana yang salah. Setiap penafsiran keagamaan harus dianggap relatif. Oleh karena itu, mereka selalu membela aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah dan sebagainya.

Jamaluddin al-Afghani dan Para Pembaharu Arab



                      Salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Gagasannya mengilhami Muslim di Turki , Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun sangat anti-imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasannya untuk mendirikan sebuah universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki menghadapi tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari negeri itu.
                      Bagi Afghani, ilmu pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi itu, sebab itu kaum Muslim harus juga menguasainya agar dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh agama Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian, dan sama sekali tak berbicara tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya bahwa Islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama mandek.
                     Gagasan al-Afghani amat berpengaruh, khususnya di dunia Arab dan Iran . Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab adalah pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, dan amat terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid Ridha, yang mendapat pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa asing (Perancis dan Turki), yang menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern, secara umum. Karena itulah, ketika gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, dengan jurnal Al-’Urwah al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di Mesir, tak sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu.
                      Seperti Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan al-Qur’an. Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al-Qur’an itulah yang mesti dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat dari Abduh. Jika seruan keras Abduh untuk ijtihad – untuk menafsirkan kembali Islam agar memiliki vitalitas baru – dapat diartikan sebagai adopsi total model Barat untuk ilmu pengetahuan, maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan menyarankan dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi bagian-bagian yang akan diadopsi. Namun, sama seperti Abduh, dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi ia menyeru agar kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan maupun ketrampilan teknik Barat. Bagi Abduh dan Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri adalah baik, yang menjadi masalah adalah tujuan penggunaannya.
              Selain kedua figur itu, ada Thaha Husayn (1889-1971), seorang sejarawan dan filosof, yang amat mendukung gagasan yang mulai dilancarkan oleh Muhammad Ali di awal abad. Husayn adalah pembela gigih modernisme dan saintisme. Adopsi terhadap ilmu pengetahuan modern bukan saja penting demi nilai praktisnya, tetapi juga sebagai perwujudan kebudayaan. Inilah pandangan sekularis sejati yang meminggirkan peran agama, dan mengunggulkan positivisme ilmu pengetahuan. Meskipun kontroversial, gagasan ini mendapat dukungan yang kuat di dunia Arab, khususnya di kalangan intelektual Kristen.
                 Untuk menunjukkan hal ini, perlu disebut di sini satu fenomena penting di dunia Arab pada awal abad ini, yaitu perdebatan yang amat marak tentang Darwinisme. Debat itu dipicu oleh tulisan Syibli Syumayyil (1853-1917), seorang Kristen dari Suriah yang hidup dalam pengasingan di Mesir, yang membela Darwinisme. Tulisan ini disambut para ulama dengan pernyataan bahwa menerima teori Darwin sama dengan menolak Tuhan dan pandangan al-Qur’an tentang penciptaan. Beberapa pemikir lain – Muslim maupun Kristen – tampil membela Syumayyil.
                   Debat historis ini dibukukan oleh Adel A. Ziadat dalam Western Science in The Arab World: The Impact of Darwinism, 1860-1930 (Ilmu Pengetahuan Barat di Dunia Arab: Dampak Darwinisme, 1860-1930), diterbitkan tahun 1986. Kesimpulan Ziadat, bahwa agama para penulis dalam debat itu tak terlalu penting. Debat itu terutama mempolarisasikan pemikir “religius” dengan “sekularis” secara hitam-putih. Dalam rangka itu, Thaha H., misalnya, sering dituduh keluar dari Islam. Untuk selanjutnya, perdebatan di sekitar teori Darwin dan Darwinisme kerap muncul di banyak negara Muslim hingga beberapa dasawarsa terakhir.
                    Kebanyakan pemikir Muslim tidak mengambil sikap “religius” atau “sekularis” seekstrem itu. Yang tampak tetap dominan di dunia Arab adalah gagasan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi Barat harus dikuasai, dan bahwa itu tak bertentangan dengan ajaran Islam. Ini tampak hingga pada beberapa tokoh ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb dan Yusuf al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog Ikhwanul Muslimin, menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi tak berarti pembaratan, dan terbatas pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern dan penerapan teknologinya, maka Islam tak menolaknya.
                Pandangan Qardhawi ini cukup mewakili pandangan mayoritas Muslim. Secara umum, dunia Islam relatif terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat praktisnya. Pandangan instrumentalis ini kelak terbukti tetap bertahan, hingga kini, di kalangan masyarakat Muslim. Tetapi di kalangan pemikir yang mempelajari sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tak cukup memuaskan mereka. 

Pandangan Instrumentalis tentang Ilmu Pengetahuan


                 Di dunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak Napoleon menduduki Mesir pada 1798 dan semakin meningkat setelah sebagian besar dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau pengaruh Eropa. Serangkaian peristiwa kekalahan berjalan hingga mencapai puncaknya dengan jatuhnya Dinasti Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi militer Barat.
                  Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran penting dalam kampanye militer melawan Perancis. Ia diangkat oleh penguasa Usmani menjadi “pasya” pada tahun 1805 dan memerintah Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang pertama didirikan di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab diterbitkan. Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah teknik dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. di beberapa wilayah Arab lain, seperti Oman dan Aljazair, upaya pengislaman informasi sosial serupa tampak di Turki Usmani.
                 Di Turki, Sultan Salim III (1761-1808) mengembangkan teknologi militer Eropa, menerjemahkan buku-buku Eropa, dan memasukkan pengajaran ilmu pengetahuan dan teknologi modern ke dalam kurikulum sekolah dengan pengajar-pengajarnya orang Eropa. Puncaknya adalah ketika Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) melakukan revolusi di Turki dengan gagasan sekularismenya.
                   Dalam situasi seperti ini, ketika teknologi Muslim jauh tertinggal dari Eropa dan usaha mengejar ketertinggalan ini dilakukan Muslim memberikan tanggapan dalam dua hal, yaitu merumuskan sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peradaban Barat modern, dan terhadap tradisi Islam. Kedua unsur ini sampai kini masih mewarnai pemikiran Muslim hingga kini. 

Selasa, 03 April 2012

NEO-LIBERALISME DAN NASIONALISME



            Seperti halnya  sistem pemerintahan dan politik, sebuah sistem ekonomi pastilah didasarkan atas pemikiran atau aliran filsafat tertentu. Demikian pula halnya dengan dua sistem ekonomi yang sedang diperdebatkan  di negeri kita, yaitu neo-liberalisme dan ekonomi kerakyatan. Karena itu dua sistem ini tidak saja dapat diperdebatkan dari perspektif ekonomi, tetapi juga dari perspektif filsafat sebagaimana akan saya  lakukan.
            Aliran pertama lazim disamakan dengan ekonomi pasar bebas dan berakar dalam perpaduan pemikiran sosial, politik dan ekonomi, serta anthropologi falsafah seperti liberalisme, utilitarianisme, individualisme, materialisme, kapitalisme, hedonisme, dan lain sebagainya. Yang kedua lahir dari paham seperti  altruisme, kolektivisme, dan sosialisme,  baik sosialisme bercorak sekular maupun keagamaan. 
            Ekonomi kerakyatan dipandang sebagai sistem yang sesuai dengan semangat UUD 45, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Karena itu sering dihubungkan apa yang disebut sebagai Ekonomi Konstitusi.  Mohamad Hatta (1959) menyebutnya sebagai Ekonomi Terpimpin. Dalam perkataan ‘kerakyatan’ itu tersimpul dasar keadilan sosial atau demokratis, yaitu satu untuk semua, semua untuk satu, dan semua untuk semua (Hadori Junus, dalam Mubyarto 1980). Dalam sistem ini dikehendaki produksi dikerjakan untuk kepentingan bersama dan secara bersama-sama pula, melalui koperasi, dengan pengawasan masyarakat secara terpimpin.
            Tetapi malang, sistem yang dipandang berpihak kepada rakyat ini tidak dilaksanakan dengan baik sebagaimana terbukti dengan mandegnya perkembangan koperasi. Sarjana-sarjana ekonomi mencari sumber kegagalannya pada strategi pembangunan ekonomi yang cenderung bersifat liberal-materialistis, terutama yang dijalankan pada masa pemerintahan Orde Baru (Jan Mokoginta 1979). Menurut Mubyarto (1980) sistem yang tersimpul dalam kebijakan pembangunan Orde Baru tidak sesuai dengan GBHN, sebab dalam GBHN jelas sekali ciri-ciri negatif dari sistem ekonomi liberal ditolak seperti misalnya free-fight liberalism, etatisme dan kecenderungan monopoli serta oligapoli. Di bawah strategi pembangunan seperti itu, yang kelak memberi jalan lempang bagi neo-liberalisme, bangsa Indonesia menderita dan lumpuh, serta akhirnya jatuh ke tangan eksploitasi asing. Dampak dahsyatnya pula tidak kalah sangat dirasakan secara cultural, berupa suburnya pola dan gaya hidup konsumtif dan hedonis.

Sejarah Neo-liberalisme



Istilah neo-liberalisme sebenarnya telah lama diperkenalkan di Indonesia, yaitu oleh Mohammad Hatta dalam bukunya Ekonomi Terpimpin (1959). Sebutan ini merujuk kepada pemikiran tiga filosof ekonomi terkemuka pasca-Perang Dunia II – Walter Euchen, Friedrich von Hayek, dan Wilhelm Ropke.  Mereka menuntut adanya peraturan yang menjamin lancarnya persaingan bebas dapalm kehidupan ekonomi seperti ketetapan nilai mata uang, adanya pasar terbuka di banyak negara, pemilikan swasta atas sarana produksi, kebebasan membuat perjanjian yang tepat mengenai tanggung jawab perusahaan dan politik perekonomian sesuai.           
            Secara umum paham ini lahir dari rahim aliran filsafat liberalisme atau paham serba bebas. Pencetusnya dua filosof Inggeris abad ke-17 M, Thomas Hobbes dan John Locke.  Aliran ini berkembang pasat pada abad ke-18 M. Menurut dua filosof ini dalam kodratnya manusia bukanlah mahluk altruistik atau cinta kepada masyarakat. Karena itu cenderung pula tidak kooperatif atau bekerja sama dengan sesama anggota masyarakat. Bawaan manusia sebagai hewan berakal (animal rationale)  adalah mengutamakan kepentingan pribadi.
Dalam bukunya Leviathan Thomas Hobbes mengatakan bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” (homo homini lopus). Semboyannya yang lain yang terkenal ialah “a war of all against all”. Untuk mengatasi situasi hukum rimba yang serba kejam itu harus ada negara yang dikuasai oleh satu orang secara mutlak, yaitu monarki absolute. Bentuk kekuasaan absolut ini dijumpai dalam pribadi Raja Louis IX yang terkenal dengan semboyannya “Le`etat est moi” (negara adalah saya).  
            Dengan jalan piikiran yang sama John Locke membawa liberalismenya ke tempat lain. Kebebasan, menurutnya, tak punya nilai instrinsik. Nilai ditambahkan manusia dalam kehidupan sosialnya. Ia menunjuk property sebagai sumber nilai yang membawa manusia mau hidup bermasyarakat. Hanya hal-hal yang bersifat kebendaan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun suatu masyarakat. Lebih jauh baginya kehidupan sosial tak lebih daripada gelanggang persaingan bebas antar individu. Sebaik-baiknya cara agar masyarakat maju dan berkembang ialah dengan membiarkan persaingan itu berlangsung tanpa campur tangan negara.
Berdasarkan pemkiran dua fiolosof abad ke-17 itu Adam Smith (1723-1790) mengembangkannya menjadi aliran pemikiran ekonomi. Menurutnya pusat kehidupan sosial yang ideal adalah pasar. Di sini liberalisme, dalam pengertian ekonomi, ia artikan sebagai  pemeliharaan kebebasan individu untuk berjual beli dan saling bersaing dengan bebas di pasar. Motivasi jual beli bukan kerjasama, melainkan kepentingan pribadi. Hasil akhir persaingan yang fair ialah keadilan, asal saja setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk bersaing (Mead 1972:14-6).
Dalam bukunya An Enquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) Adam Smith mengatakan bahwa sebagai mahluk ekonomi manusia cenderung memburu kenikmatan dan keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya. Jika tabiat bawaan manusia yang individualistik, egosentrik dan condong pada kebebasan ini dibiarkan berkembang tanpa campur tangan pemerintah/negara, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang memadai dari faktor-faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan,  dan dengan demikian inovasi dan kreativitas dapat  berkembang.
Bersumber dari pemikiran Adam Smith, pada akhir abad ke-18 bersamaan dengan berkobarnya Revolusi Perancis dan lahirnya Revolusi Industri di Inggeris,  lahir pula dua aliran pemikiran yang dominan.  Yaitu  individualisme di bidang hukum dan anthropologi filsafat, dan ide psar terbuka yang berkaitan dengan perkembangan industri.  Menurut paham inidividualisme, manusia yang lahir dengan bawaan bebas dan hidup bebas, tidak boleh dikekang kebebasannya. Paham ini sangat dominant pada abad ke-20 dalam kehidupan politik, ekoomi, dan seni.
Aliran kedua berkenaan dengan berpindahnya pusat usaha dari kaum merkantilis (pedagang) ke tangan kaum industrialis. Kaum industri yang menguasai modal ini pantang berkoalisi seperti partai-partai politik, dan hanya bisa membuat persekutuan modal dalam bentuk perseroan terbatas. Semakin lama persekutuan ini kian kuat dan mengancam kehidupan kaum pekerja yang dilarang berserikat. Dari perkembangan inilah lahir badan-badan monopoli atau oligopoly yang begitu berkuasa. Tetapi sebagai hasil dari perjuangan kaum sosialis, negara-negara industri di Eropa memperkenankan kaum buruh membentuk serikat pekerja untuk memperjuangkan nasibnya.
Pada awal abad ke-20 zaman keemasan individualisme ekonomi mulai pudar. Perag Dunia I (1914-1918) mendorong negara-negara kapitalis memberlakukan banyak auran yang mengekang sistem pasar bebas. Krisos ekonomi pada decade 1920an juga mendorong negara-negara Eropa untuk menyusun industrinya masing-masing dengan berbagai proteksi. Pada tahun 1929 krisis hebat melanda kapitalisme disusul dengan bayangan bangkitnya kembali Fascisme Jerman dan Italia. Berbagai regulasi diberlakukan agar ekonomi rakyat tidak ambrug. Pada masa inilah gagasan Ekonomi Terpimpin atau yang semacam itu mulai diterapkan di beberapa negara Eropa.
            Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, seorang ahli ekonomi terkenal Karl Polanyi menerbitkan buku yang kemudian masyhur The Great Transformation (1944). Dia mengecam keras masyarakat industri kaplitalis yang mendasarkan perkembangan ekonominya pada sistem pasar bebas. “Dengan mengakui mekanisme pasar sebagai satu-satunya penentu nasib manusia dan kondisi alam lingkungannya,” kata Polanyi, “kerusakan besar akan menimpa masyarakat.” (hal 73).  “Kerusakan itu tidak akan terjadi jika kepentingan masyarakat tidak diabaikan di atas kepentingan individu.”
            Pandangan Polanyi dan lain-lain berpengaruh besar di dunia, ditopang lagi dengan Perang Dingin antara Blok Barat yang kapitalis dengan Bolok Timur yang sosialis-komunis. Neo-liberalisme untuk sementara waktu harus bertiarap.
Memasuki dekade 1970an sistem sosialisme mulai memperlihatkan kegagalan dan negara-negara industri mulai mengalami krisis. Keyakinan akan keunggulan sistem pasar bebas mulai bertunas kembali. Pada tahun 1974 Robert Nozick, seorang filosof politik Amerika, menerbitkan buku Anarchy, State and Utopia yang kemudian masyhur dan dianggap sebagai tanda nyata lahirnya kembali liberalisme dalam bentuknya baru. Dalam bukunya itu Nozick mengatakan bahwa tugas negara bukanlah memaksakan sistem dan pola tertentu bagi kehidupan warna negara, termasuk kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaannya.
Menurutnya, gagasan tentang keadilan dan pemerataan bertentangan dengan kodrat manusia yang menginginkan kebebasan penuh. Negara karenanya tidak boleh melakukan intervensi atas apa yang berlalu di pasar. Biarkan pemodal dengan modalnya saling bersaing. Peranan negara dengan demikian harus ditekan seminimal mungkin dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Urusan negara yang terpenting adalah menentukan kebijakan luar negeri. Berdasar pemikiran Nozick, seorang ahli ekonomi terkenal dari Universitas Chicago Friedrich von Hayek dan para pengikutnya seperti Milton Friedman mengembangkan pemikiran yang dikenal dengan sebutan ekonomi pasar bebas atau neo-liberalisme
Pada akhir 1970an gagasan neo-liberalisme mulai tersebar luas dan diterima banyak sarjana dan pemimpin negara maju. Antara lain Ronald Reagan dan Margareth Tatcher. Tatcher sendiri adalah seorang pengikut von Hayek, yang meyakini kebenaran teori Darwin tentang survival of the fittest.  Begitu terpilih jadi PM Inggeris pada tahun 1979, ia mencanangkan doktrin neo-liberalismenya yang dikenal dengan sebutan TINA (There is No Alternative). Dalam doktrinnya itu dikemukakan keutamaan persaingan bebas dalam kehidupan manusia, termasuk persaingan antar bangsa, negeri, perusahaan besar, dan umat berbeda agama, serta persaingan antar individu dalam masyarakat (Susan George 1999).
Persaingan bagi Tatcher adalah kebajikan tertinggi. Akibat-akibat daripadanya tidak boleh dipandang buruk. Pasar adalah pusat kebijakan dan kebajikan tertinggi, menggantikan peranan Tuhan. Sebagaimana Tuhan pula ia dapat menelorkan kebaikan dari sesuatu yang tampaknya jahat dan buruk. Melalui kebijakannya itu sector public dihancurkan. Akibatnya antara tahun 1979-1995 jumlah pekerja di Inggris dikurangi dari 7 juta menjadi 5 juta. Sementara itu income yang diperoleh negara dari pajak bukannya digunakan untuk kepentingan public, melainkan untuk menutupi hutang perusahan-perusahaan besar dan memberikan suntikan modal baru agar bangkit kembali dari kebangkrutan.

Ciri-ciri Neo-liberalisme



Seperti liberalisme klasik, neo-liberalisme menolak nilai-nilai moral dan agama yang diangkapkan dalam slogan Hak Asasi Manusia. Masyarakat tidaklah penting, sebab yang asasi adalah kebebasan individu. Pendek kata sebagai doktrin ekonomi, neo-liberalisme menghendaki perluasan perdagangan bebas tanpa kontrol dan regulasi. Idea utamanya ialah persaingan bebas antara pemilik modal yang satu dengan yang lain. Tujuannya menciptakan keuntungan sebesar-besarnya bagi penguasa pasar, yaitu pemilik modal besar. Seperti dikatakan Marcos, pemimpin gerakan Zapatista di Meksiko, “Kaum neo-liberalis ingin menciptakan seluruh dunia menjadi Mall raksasa  sehingga dengan mudah dapat membeli penduduk pribumi, wanita dan anak-anak mereka dengan harga murah sebagai tenaga kerja, berikut tanah milik dan sumber kekayaan alam mereka.”
Sebagai paham ekonomi jelas neo-liberalisme bukan suatu yang baru.  Kebaruannya disebabkan penyebarannya yang begitu luas ke seluruh dunia,. Walau kata-kata tersebut jarang terdengar di AS, kata Elizabeth Martinez  dan Arnoldo Garcia (2005), dampak buruknya pada akhirnya dirasakan di negeri asalnya sendiri. Di sana yang kaya (20%) bertambah kaya, dan yang miskin (80%) bertambah-tambah miskinnya. Di seluruh dunia kebijakan neo-liberalis  dipaksakan melalui tangan lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan dunia seperti IMF, ADB, WTO, IGGI (untuk Indonesia), Bank Dunia, dan lain-lain. Yang memicu lahirnya kembali liberalisme konomi ini ialah krisis kapitalis sepanjang 25 tahun terakhir, berupa anjlognya keuntungan yang mereka peroleh sejak awal dekade 1970an yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengagguran.
Istilah neo-liberalisme untuk pertama kali memang muncul di Amerika Latin, anak benua yang paling awal merasakan dampak buruknya. Sejak itu kaum intelektual negeri itu berkeyakinan bahwa kendati neo-liberalisme merupakan fenomena negara Barat kapitalis, namun yang paling menderita disebabkan dampaknya ialah negara-negara berkembang. Secara garis besar pendirian neo-liberalisme dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, ia merupakan paham yang menekankan pada kekuasaan pasar. Menurut paham ini adanya pasar bebas tanpa pengawasan dan regulasi yang ketat akan memungkinkan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Reagan menyebutnya sebagai kebijakan ekonomi suply side, yaitu suatu kebijakan yang dapat mengucurkan kemakmuran secara cepat dan meluas dari atas ke bawah. Dalam perkembangannya terbukti bahwa kemakmuran menumpuk di atas, sedangkan milik yang di bawah semakin terkuras. Kesenjangan kaya dan miskin semakin menjadi-jadi. Jika terjadi krisis ekonomi, maka yang menanggung beban ialah mayoritas penduduk yang miskin,
Kedua, untuk meminimalkan peranan negara dilakukan pemotongan besar-besaran anggaran negara untuk sektor-sektor seperti  pelayanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan juga kebudayaan dan keagamaan. Suplai dan subsidi bahan bakar dan air juga dikurangi, sehingga beban masyarakat bertambah berat. Biaya pendidikan dan kesehatan bertambah mahal.
Ketiga, deregulasi. Perusahan-perusahaan besar wajib mengenyampingkan regulasi dari pemerintah apabila keuntungan yang mereka peroleh berkurang.  Dalam kaitan ini pasar mempunyai kekuasaan untuk mengatur opini dan pemikiran masyarakat, yaitu melalui media yang mereka miliki atau kuasai. Termasuk selera seni atau budaya. Pasar juga berusaha melakukan hegemoni penafsiran terhadap konstitusi, wacana keagamaan, politik, dan falsafah. Misalnya melalui LSM dan lembaga pendidikan yang mereka danai.
Keempat, privatisasi. Dengan privatisasi perusahaan negara terbuka peluang bagi investor asing untuk menguasai dunia perbankan , sarana transportasi, media informasi dan komunikasi, bahkan media cetak, elektronik, dan penerbitan buku, sekolah, lembaga penelitian sosial dan keilmuan, lembaga keagamaan, dan lain sebagainya. Tidak mengherankan di banyak negeri berkembang seperti Indonesia, Filipina, Thailand, dan lain-lain neo-liberalisme sanggup menjadikan negara sebagai benar-benar sebuah pasar bebas.
Kelima, tak kalah penting ialah apa yang disebut penciutan komunitas-komunitas besar dalam masyarakat menjadi komunitas-komunitas kecil yang terpecah belah serta sukar terintegrasikan. Neo-liberalisme lihai menciptakan komunitas-komunitas kecil di bidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi, keuangan, politik, bahkan dalam bidang keagamaan, seni, dan lain sebagainya. Dengan demikian masyarakat kian terpecah belah.
Pada peringkat internasional,  neo-liberalisme dapat disebut sebagai paham yang memberi tekanan kepada: (1) Keleluasan perdagangan barang komoditi dan jasa, termasuk film, hiburan, senjata, dan lain-lain kendati komoditi-komoditi tersebut menimbulkan kerusakan moral. Biasanya ini ditamengi dengan hiruk pikuknya wacana seperti kebebasan berekspresi, pluralisme, multikulturalisme, relativisme nilai, dan lain sebagainya; (2) Perputaran modal yang lebih bebas, dengan akibat hancurnya modal kecil dan menengah dibawah kekuatan modal besar; (3) Kebebasan menanamkan investasi dalam berbagai sektor kehidupan asal saja mendatangkan keuntungan berlipat ganda. Termasuk di dalamnya sektor pendidikan, kesehatan, penerbitan buku, massmedia, telekomunikasi, transportasi, dan lain sebagainya.
Dalam bukunya La Mondialisation du capital (Penduniaan Modal) Dumeil dan Levy mengatakan bahwa neoliberalisme telah merebut kekuasaan negara di dunia melalui modal finansial. Tujuan kudeta itu ialah untuk merintangi negara-negara lain di dunia menjalankan kebijakan ekonomi yang memihak rakyat.  Karena itu ia juga menghalangi bangkitnya kembali nasionalisme, yang di dalamnya kebudayaan nasional dimungkinkan tumbuh dengan subur melalui kebijakan yang mandiri.

Ekonomi Kerakyatan dan Terpimpin



            Semangat UUD 45 cenderung ke sosialisme religius. Ini dapat dilihat pada pasal 33 dasar konstitusi negara kita tersebut. Sistem ekonomi kerakyatan atau terpimpin adalah pengejawantahannya. Ia juga sejalan dengan cita-cita nasionalisme Indonesia sebagaimana diyakini para pendiri negara ini. Ia, nasionalisme kita, lahir pada awal abad ke-20 sebagai bentuk perlawanan atau penentangan terhadap kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan negara kapitalis.
Dalam kolonialisme terkandung tiga hal: (1) Politik dominasi dan hegemoni; (2) Eksploitasi ekonomi; (3) Penetrasi budaya.  Karena itu nasionalisme Indonesia mengandung juga  tiga aspek penting yang berlawanan:  (1) Aspek politik. Nasionalisme Indonesia bertujuan  menghilangkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat (lihat pidato-pidato Bung Karno, Hatta, dan pemimpin yang lain seperti Ruslan Abdulgani); (2) Aspek sosial ekonomi. Nasionalisme Indonesia muncul untuk menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang mandiri dan kreatif; (3) Aspek budaya. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman.
Sistem ekonomi yang sesuai dengan jiwa nasionalisme Indonesia ialah ekonomi kerakyatan yang oleh Bung Hatta disebut ekonomi terpimpin. Ada pula yang menyebutnya sebagai Ekonomi Kesejahtaraan yang merupakan percampuran kapitalisme dan sosialisme. Menurut Bung Hatta, ekonomi terpimpin merupakan konsekwensi dari nasionalisme Indonesia yang timbul sebagai perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme. Dalam menancapkan kekuasaannya pemerintah kolonial menggunakan sistem kapitalisme perdagangan yang eksploitatif dan menjadikan negeri ini  sebagai perkebunan raksasa. Dengan itu rakyat Indonesia dieksplotasi sebagai buruh perkebunan dengan gaji rendah, sedangkan pemerintah Belanda memperoleh keuntungan yang besar.
             Ekonomi terpimpin adalah juga lawan dari ekonomi liberal yang melahirkan sistem kapitalisme. Ekonomi liberal menghendaki pemerintah tidak campur tanganm dalam perekonomian rakyat dengan membuat peraturan-peraturan ketat (regulasi) yang membatasi gerak bebas pasar. Ekonomi terpimpin adalah sebaliknya. Pemerintah harus aktif bertindak dan memberlakukan peraturan terhadap perkembanan ekonomi dalam masyarakat agar rakyat tidak dieksploitasi, harga tidak dipermainkan dan dengan demikian tercapai keadilan sosial. 
Alasan mengapa ekonomi terpimpin dipandang sesuai dengan cita-cita nasionalisme Indonesia ialah: Karena membiarkan perekonomian berjalan menurut permainan bebas dari tenaga-tenaga masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan yang kuat. Ekonomi liberal bercita-cita memberikan kemakmuran dan kemerdekaan bagi semua orang, tetapi hasilnya menimbulkan pertentangan dan kesengsaraan. Yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah melarat. Sebab kebebasan atau liberalisme yang disandang oleh sistem itu dalam kenyataan hanya dimiliki ioleh segolongan kecil orang (yaitu pemilik modal atau kapital) dan kepada mereka yang segelintir itu sajalah keuntungan dan kemakmuran berpihak, bukan kepada rakyat banyak.
            Tetapi dalam sistem  ekonomi terpimpin itu tedapat banyak aliran. Antara lain: (1) Ekonomi terpimpin menurut ideologi komunisme; (2) Ekonomi terpimpin menurut pandangan sosialisme demokrasi; (3) Ekonomi terpimpin menurut solidaroisme; (4) Ekonomi Terpimpin menurut paham Kristen Sosialis;
(5) Ekonomi Terpimpin berdasar ajaran Islam; (6) Ekonomi Terpimpin berdasarkan pandangan demokrasi sosial.
Semua aliran ekonomi terpimpin ini menentang dasar-dasar individualisme, yang meletakkan buruk baik nasib masyarakat di tangan orang-orang yang mengemudikan kehidupan dan tindakan ekonomi. Ekonomi liberal berdasarkan pada individualisme. Individu (baca kepentingan individu) didahulukan dari masyarakat. Tetapi ekonomi terpimpin mendahulukan masyarakat dari individu. Sekalipun demikian di antara paham-paham ekonomi terpimpin itu ada yang menolak kolektivisme, karena bagi mereka kolektivisme sebenarnya hanya berlaku dalam ideologi komunisme dan sosialisme.
Tetapi terdapat persamaan pula dari sistem ekonomi terpimpin yang berbeda-beda itu, yaitu: (1) Dalam hal menentang individualisme; (2) Dalam hal pemberian tempat yang istimewa kepada pemerintah untuk mengatur dan memimpin perekonomian negara. Perbedaan antara sistem-sistem itu berkenaan dengan seberapa besar campur tangan kekuasaan publik dan bagaimana coraknya campur tangan itu dalam perekonomian individu dan masyarakat. Ideologi komunisme menghendaki campur tangan besar dan menyeluruh dari pemerintah atau negara, sehingga individu ditindas. Sistem ekonomi kpmunis bersifat totaliter, dikuasai oleh negara.
Tetapi ekonomi terpimpin yang lebih sesuai dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah ekonomi bercorak sosialis, yang berkehendak melaksanakan cita-cita demokrasi ekonomi. Dengan diimbangi demokrasi ekonomi, maka sifat individualistis dari demokrasi liberal dapat dikurangi. Di dalamnya campur tangan negara terbatas dan peranan individu tidak sepenuhnya dimusnahkan, hanya saja gerak mereka dibatasi dan diatur demi melindungi kepentingan masyarakat. Bung Hatta bertolak dari pemikiran Lerner, penulis buku The Economics of Control (1919). Unsur-unsur ekonomi kapitalis dan kolektif digabungkan ke dalamnya, menjadi sistem yang disebut  “Welfare economics” atau ekonomi kemakmuran
Dalam sistem tersebut tiga hal yang harus dilaksanakan: Pertama,  segala sumber perekonomian yang ada harus dikerjakan supaya semua orang memperoleh pekerjaan; kedua, melaksanakan pembagian pendapatan yang adil, agar perbedaan atau jurang  besar dalam pendapatan dan kekayaan antara yang kaya dan yang miskin dikurangi; ketiga, menghapuskan monopoli dan oligapoli dalam perekonomian, sebab keduanya melahirkan eksploitasi yang melampaui batas dan pemborosan ekonomi yang besar pula.
Tujuan ekonomi terpimpin dalam bidang demokrasi, menurut Hatta, ialah mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya, dengan tiada menghilangkan kepribadian manusia. Masyarakat didahulukan, bukan individu. Tetapi manusia sebagai individu tidak lenyap sama sekali dalam kolektivitas. Secara umum cita-cita ekonomi terpimpin ialah: (1) Terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat secara keseluruhan sehingga pengangguran dikurangi; (2) Adanya standar hidup yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan; (3) Semakin berkurangnya ketidaksamaan ekonomi dengan memeratakan kemakmuran; (4) Terciptanya keadilan sosial.