BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah manusia, minim sekali pengajar yang sekaligus menerangi jalan kemanusiaan, mengantar mereka pada kebaikan dan menunjukkan jalan yang benar. Dalam hal ini al-Ghazali adalah pribadi yang berjiwa sensitif, berwawasan luas, banyak berkarya dalam aspek pengetahuan. Berawal dari teladan yang telah diberikan oleh al-Ghozali, maka setiap siswa yang cinta ilmu akan senang sekali belajar, menggunakan seluruh waktunya melakukan penelitian, dan studi, yang akan berdaya upaya memecahkan problematik ilmiah, mencernakan ilmu pengetahuan yang didapatinya. Siswa seperti ini akan merasakan lezatnya menggali ilmu pengetahuan dan masalah-masalah ilmiah tanpa segan-segan bertekun siang malam mempersiapkan pelajaran dibuat keesokan harinya. Dapat dikatakan, bahwa aspek kecerdasan, keilmuan dan cinta kebenaran yang dikemukakan Al-Ghazali hampir seribu tahun yang lalu masih mempunyai relevansi dengan dunia pendidikan modern, karena sama-sama menganjurkan untuk menggalakan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan secara meluas dan merata, terutama dalam rangkaian perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin tinggi di abad 21 ini.
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Konsep Belajar Menurut Al-Ghozali
2. Hal-hal Harus Diperhatikan Peserta Didik dalam Belajar
3. Kemuliaan Belajar dan Mengajar Menurut al-Ghazali
Tujuan Pembahasan
1. Mendeskripsikan Konsep Belajar Menurut Al-Ghozali
2. Mendeskripsikan Hal-hal yang Harus Diperhatikan Peserta Didik dalam Belajar
3. Mendeskripsikan Kemuliaan Belajar dan Mengajar Menurut al-Ghozali
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. KONSEP BELAJAR MENURUT AL-GHOZALI
Konsep belajar al-Ghozali merupakan hasil dari aplikasi dan responsi jawabannya terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya pada saat itu. Konsep tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang nampak bahwa sebagianya masih ada yang sesuai dan sebagian lainnya ada yang perlu disempurnakan. Perkembangan intelektualitas al-Ghozali sebenarnya telah mulai kelihatan sejak ia sebagai seorang pelajar. Pada waktu itu, ia selalu menunjukkan sikap keraguan terhadap apa-apa yang dipelajarinya. Hal tersebut terus berlanjut hingga ia belajar di Bagdad. Pertanyaan yang selalu muncul dipikirannya adalah “apakah yang dimaksud dengan pengetahuan?.
Rangkaian pertanyaan dan keraguan tersebut membuatnya terus berfikir dan mencari guru yang dapat menjawab berbagai pertanyaan yang ada dalam pikirannya. Melalui perjalanan panjang dalam mencari jawaban tersebut akhirnya telah membentuk dan memperkaya khazanah intelektualitasnya. Setelah mengajar diberbagai tempat seperti Bagdad, Syam, dan Naisaburi, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya, Thus pada tahun 1105 M. Disini kemudian ia mendirikan sebuah madrasah dan mengabdikan dirinya sebagai pendidik pada tahun 1111 M.
Diantara pemikirannya tentang pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga buku karangannya, yaitu Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad, dan Ihya’ Ulum al-Din. Dari karangan-karangannya ini terlihat jelas bahwa al-Ghazali merupakan sosok ulama’ yang menaruh perhatian terhadap proses transisi sebuah ilmu dan pelaksana pendidikan.
Menurutnya hal tersebut merupakan sarana utama untuk menyiarkan agama Islam, memelihara jiwa, dan Taqarrub ila Allah. Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri. Pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia akherat. Secara sistematis pemikirannya memiliki corak tersendiri. Ia secara jelas dan tuntas mengungkapkan pendidikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen. Totalitas pandangannya meliputi hakekat tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, materi, dan metode.
Menurut al-Ghozali jalan yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam proses belajar tidak bisa seperti halnya yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul, karena mereka menjadi ahli ilmu tanpa belajar dan didik dalam bangku pendidikan. Bagi manusia biasa untuk mencapai arah tersebut harus dilalui dengan jalan usaha dan belajar. Hal ini sangat mungkin karena manusia mempunyai fitrah yang harus dikembangkan. Menurut al-Ghozali apabila seorang hendak belajar maka mereka harus membersihka jiwa mereka dengan perbuatan baik. Sedangkan pendidik harus menjadi uswatun hasanah. Dengan kebersihan dan kesucian jiwa mereka akan mudah dalam belajar.
B. HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN PESERTA DIDIK DALAM BELAJAR
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghozali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabi’at dasarnya yang memang cenderung kepada agama tauhid (Islam). Untuk itu tugas seorang pendidik adalah membimbing dan mengarahkan fitrah tersebut agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya.
Menurutnya pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Untuk itu, pendidik dalam perspektif Islam melaksanakan proses pendidikan hendaknya diarahkan pada aspek Tazkiyah An-Nafs.
Menurut Al-Ghozali dalam menuntut ilmu (belajar), peserta didik memiliki tugas dan kewajiban yaitu:
a. Mendahulukan kesucian jiwa
b. Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan
c. Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya
d. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan
Dalam belajar, peserta didik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlak al-karimah (Q.S.Al-An’aam:162 ; Adz-Dzariyat :56)
ö@è% ¨bÎ) ÎAx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan dengan masalah ukhrawi (Q.S. Adh-Dhuha: 4)
äotÅzEzs9ur ×öy{ y7©9 z`ÏB 4n
“Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).”
Maksud dari ayat ini ialah bahwa akhir perjuangan nabi Muhammad s.a.w. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan ulama dengan arti kehidupan dunia.
3. Bersikap tawadhu’ ( rendah hati ) dengan cara menanggalkan kepentingan pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ghozali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi, dan bimbingan dari guru.
4. Hendaknya tujuannya dalam belajar di dunia adalah untuk menghias dan mempercantik batinnya dengan keutamaan, dan di akherat adalah untuk memndekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bisa berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang di dekatkan. Hendaklah murid tidak bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan, pangkat, harta atupun untuk mengelabuhi orang-orang bodoh dan membanggakan diri kepada sesama orang yang berilmu.di samping itu tidak boleh meremehkan semua ilmu, yakni ilmu fatwa, ilmu nahwu dan bahasa yang berkaitan dengan al-Qur’an, as-Sunah dan ilmu-ilmu lainnya yang merupakan fardhu kifayah.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi.
6. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran ysng mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu kifayah (Q.S. Al-Fath: 9).
(#qãZÏB÷sçGÏj9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur çnrâÌhyèè?ur çnrãÏj%uqè?ur çnqßsÎm7|¡è@ur Zotò6ç/ ¸xϹr&ur ÇÒÈ
“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9. Memprioritaskan ilmu yang diniyah sebelum memasuki ilmu yang duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu yang dapat bermanfaat yang dapat membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia dan akherat.
11. Mendahulukan kesucian hati dari akhlak yang rendah dansifat tercela, karena ilmu adalah ibadah dan sholatnya dari hati, dan pendekatan pada Allah SWT .
12. Merasa satu bangunan dengan murid lainnya sehingga merupakan satu bangunan yang saling menyayangi dan menolong serta berkasih sayang.
Ciri-ciri murid yang demikian itu nampak juga masih terlihat dari perspektif tasawuf yang menempatkan murid. Untuk masa sekarang hendaknya masih ditambah lagi dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada kreatifitas dan kegairahan dalam belajar.
Menurutnya pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan khaliqnya. Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia. Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Untuk itu pendidik dalam perspektif Islam melaksanakan proses pendidikan hendaknya diarahkan pada aspek penyucian diri. Seorang pendidik juga dituntut memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi kepribadiannya. Diantara sifat tersebut tersebut yaitu:
1. Sabar dalam menaggapi pertanyaan murid
2. Senantiasa bersifat kasih, tidak pilih kasih ( objektif ).
3. Duduk dengan sopan, tidak riya’atau pamer.
4. Tidak takabur, kecuali terhadap oarang yang zalim dengan maksud mencegah tindakannya.
5. Bersikap tawadhu’ dalam setiap pertemuan ilmiah.
6. Sikap dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan.
7. Memilki sifat bersahabat terhadap semua murid-muridnya.
8. Menyantuni dan tidak membentuk orang-orang bodoh.
9. Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
10. Mengajar sesuai dengan kognisi pelajar, sehingga tidak memberuikan pengetahuan yang tak terjangkau oleh akalnya dan membuatnya trauma.
11. Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam kondisi yang salah, ia bersedia merujuk kembali kepada rujukan yang benar.
Selanjutnya yang menjadi titik perhatian al-Ghozali dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik adalah ilmu yang digali dari kandungan al-Qur’an, karena ilmu model ini akan jauh lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan akherat, karena dapat menenangkan jiwa dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Hal terpenting yang harus menjadi perhatian tarbiyah para murabbi ialah memperbaiki hati dan perilaku:
!$yJx. $uZù=yör& öNà6Ïù Zwqßu öNà6ZÏiB (#qè=÷Gt öNä3øn=tæ $oYÏG»t#uä öNà6Ïj.tãur ãNà6ßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur Nä3ßJÏk=yèãur $¨B öNs9 (#qçRqä3s? tbqßJn=÷ès? ÇÊÎÊÈ
“Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
C. KEMULIAAN DALAM BELAJAR Dan MENGAJAR MENURUT Al-GHOZALI
a. Bersumber dari al-Qur’an (QS. At-Taubah: 122)
* $tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4 wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÊËËÈ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Ayat tersebut mendorong setiap individu maupun kelompok untuk belajar, menuntut ilmu dan memperdalam ilmu pengetahuan dalam rangka meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan, seperti komentar al-Ghazali pada ayat tersebut, yaitu:
“Rupanya mereka tidak mengetahui bahwa fiqih itu adalah penguasaan paham tentang Allah dan ma’rifat terhadap sifat-sifat-Nya, sehingga dapat mengingatkan dan menjaga dirinya, di mana hatinya merasa takut dan memenuhi ketentuan taqwa yang sebenarnya.”
b. Bersumber dari Al-Hadits
“Nabi Muhammad saw mengatakan, sesungguhnya malaikat itu membentangkan sayapnya kepada penuntut ilmu, sebagai tanda ridha dengan usahanya itu.(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Sofwan ban Assal).
Dari hadis ini dapat difahami bahwa para malaikat juga mendoakan orang yang menuntut ilmu di jalan Allah. Dengan kata lain selain orang itu menuntut ilmu untuk mencari ridho Allah SWT, orang tersebut (peserta didik) juga harus berusaha (berikhtiar).
c. Bersumber dari Perkataan Sahabat
“Ibnu Mubarak mengatakan: aku heran kepada orang yang tidak menuntut ilmu pengetahuan. Bagaimanakah jiwanya dapat mengajaknya kepada kemuliaan.”
Sedangkan kemuliaan dari mengajar yaitu:
1. Bersumber dari al-Qur’an (QS. At-Taubah: 122)
* $tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4 wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÊËËÈ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Dari perkataan sahabat dan ayat Al-Qur’an tersebut terdapat korelasi bahwasannya menuntut ilmu itu sangat penting. Menuntut ilmu berarti juga jihad fi sabilillah, dalam artian jihad fi sabilillah di sini tidak hanya berperang di medan perang akan tetapi menun tut ilmu adalah salah satu jihad untuk menambah pengetahuan.
2. Bersumber dari Al-Hadits
Rasulullah saw telah mengatakan :
“Misal aku diperintahkan Allah dengan petunjuk dan ilmu pengetahuan adalah seumpama hujan lebat yang menyirami bumi. Di antara ada sebidang tanah yang menerima air hujan itu, lalu menumbuhkan banyak rumput dan ilalang. Di antara ada yang dapat membendung air itu, lalu diberikan oleh Allah kepada manusia, maka mereka minum, menyiram dan bercocok tanam. Dan diantaranya ada sebagian tempat yang rata-rata tidak dapat membendung air itu dan tidak dapat menumbuhkan rumput”.
Kemudian al-Ghozali memberikan komentarnya sebagai berikut:
“Pertama, Dia (Nabi) menyebut perumpamaan bagi orang yang dapat mengambil manfaat dengan ilmunya.
“Kedua, ia menyebut perumpamaan bagi orang yang tidak memperoleh apa-apa dari keduanya itu.
Jadi orang yang menuntut ilmu itu adakalanya bermanfaat dan tidak. Yakni bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Orang yang menuntut ilmu. Apabila ilmunya tidak diamalkan maka ilmu tersebut akan sia-sia dan hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri bukan untuk orang lain.
3. Bersumber dari Perkataan Para Sahabat
“Umar ra. Berkata : barang siapa yang mengatakan (memberitakan) suatu hadits, lalu diamalkan orang, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya.”
Hadis tersebut menerangkan tentang orang yang memberitakan ilmu pengetahuan kepada orang lain yang kemudian diamalkan maka pahalanya sama dengan orang yang mengamalkannya.