Saat ini kita dihadapkan sejumlah wacana keagamaan yang semakin gegap-gempita. Munculnya gerakan keagamaan dari pelbagai corak, baik yang liberal, fundamentalis, dan radikal menunjukkan intensitas perbedaan pemikiran yang kian tajam. Namun, satu hal yang amat memprihatinkan adalah tatkala perbedaan tersebut berakhir dengan munculnya sikap keberagamaan yang tidak toleran, provokatif, dan menolak keragaman. Perbedaan, lalu dianggapsebagai 'barang haram' yang mesti dibumihanguskan.
Karenanya, fenomena mutakhir ini mesti ditinjau secara kritis untuk menghidupkan kembali pemikiran keagamaan. Sehingga perbedaan dan keragaman pandangan keagamaan sebisa mungkin dapat mematangkan demokrasi, civil society dan pluralisme. Ini penting, agar agama tidak dimonopoli sebagai justifikasi kepentingan tertentu oleh kelompok tertentu.
Belajar dari sejarah peradaban Islam, bahwa pasangnya peradaban Islam sangat ditentukan sejauh mana pengetahuan dan pemikiran keagamaan lahir secara kreatif dan produktif. Agama dijadikan sebagai sumber dan energi untuk melahirkan pemikiran, pandangan, dan teori yang inovatif. Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah menggambarkan khazanah keislaman yang sangat kaya, tidak hanya dalam ranah keagamaan, melainkan juga dalam ilmu-ilmu sosial. Ini,
disebutnya sebagai puncak peradaban.
Satu hal yang ditulis Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah bahwa kunci darimaraknya peradaban Islam adalah tradisi kebebasan berpikir dan independensi ulama dari ranah politik. Ulama, menurutnya, adalah sosok yang mampu melakukan analisis dan menangkap makna-makna yang tersirat, baik dalam ranah sosial maupun teks keagamaan. Konsentrasi ulama dalam ranah pengetahuan
keagamaan, dalam sejarah peradaban Islam, telah membuktikan lahirnya peradaban yang sangat adiluhung serta membawa pada pencerahan yang dapat dirasakan masyarakat di seantero dunia. Buah dari itu semua, menurut Murad Wahbah, pemikir kristiani asal Mesir (1998), pemikiran Islam telah menjadi gerbang pencerahan bagi Eropa dan Barat.
Namun, apa yang terjadi saat ini --di Tanah Air misalnya-- adalah kebalikan dari itu semua. Pemikiran keagamaan cukup memprihatinkan, karena dalam beberapa dekade terakhir, kita tidak menemukan lahirnya pemikiran keagamaan yang brilian, bahkan bisa dikatakan berjalan di tempat. Ini bisa dilihat dengan beberapa indikator. Pertama, miskinnya gagasan. Perdebatan antara kelompok liberal dan fundamentalis hanya sebatas isu-isu yang amat simbolik, seperti busana (jilbab, jubah, cadar). Termasuk juga isu formalisasi syariat yang terkesan simbolik. Karenanya, isu yang diangkat ke permukaan bersifat
individual dan komunal. Ini menyebabkan pandangan keagamaan tidak menyentuh hajat kebanyakan masyarakat, terutama kalangan lemah yang sedang dilanda krisis. Agama hanya didorong untuk membicarakan doktrin keagamaan, bukan untuk mematangkan visi kemanusiaan yang bersifat universal.
Kedua, krisis ketokohan. Apa yang disebut pemikiran sering kali harus mengikutsertakan pemikir-pemikir terdahulu. Merujuk pemikir-pemikir terdahulu penting, tapi akibatnya kita kehilangan independensi. Pemikiran selalu merujuk kepada salaf al-shalih. Kita selalu beranggapan bahwa yang dikatakan ulama salaf adalah yang paling benar. Ini sebenarnya dampak negatif dari tradisi kodifikasi yang telah memandekkan tradisi berpikir.
Padahal, ulama besar seperti Imam Abu Hanifah memberikan pesan yang sangat berharga untuk senantiasa keluar dari kungkungan salaf.
Bila dibandingkan dengan belahan dunia Islam, seperti Mesir, Sudan, Tunisia, Maroko, dan Suriah, dalam hal pemikiran keislaman, negara kita bisa dianggap mundur ke belakang. Dalam satu dasawarsa terakhir muncul pemikir-pemikir muslim yang menyemangati demokrasi, pluralisme, dan civil society.
Di Mesir, lahir pemikir besar seperti Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Athif Eraqi, Khalil Abdul Karim dan lain-lain. Secara garis besar, mereka membawa semangat untuk mengkritisi tradisi keagamaan yang bersifat dogmatis, normatif, dan konservatif. Harus diakui, bahwa doktrin keagamaan klasikturut mendorong bagi mandeknya pemikiran keagamaan. Karenanya, kritikterhadap tradisi klasik menjadi penting untuk menyegarkan pemikirankeagamaan dan menghidupkan tradisi ijtihad yang bersifat kontekstual.
Di Suriah, muncul sejumlah pemikir seperti Ali Harb, Jabir al-Anshari danlain-lain. Mereka memunyai concern pada pembongkaran terhadap otoritas agamayang menyebabkan mahalnya tradisi ikhtilaf. Menurut mereka, ini disebabkanadanya penyeragaman dalam pandangan keagamaan. Agama dilihat sebagai'lembaga otoritas', bukan spirit kebebasan. Karena itu, yang terjadi justruhilangnya mozaik pemikiran keagamaan dan munculnya sikap intoleran. Otoritasagama, menurut mereka, telah memantapkan kekuasaan untuk mengeksploitasipemikiran keagamaan. Dan di Maroko, kita mengenal Abid al-Jabiri, ThayebTizini, Thaha Abdurrahman dan lain-lain. Mereka memunyai proyek besar untukmenghidupkan kembali rasionalitas yang hilang dalam disket keagamaan.
Tentu saja, apabila melihat pemandangan tersebut, kita bisa mengatakan bahwapemikiran keagamaan di Tanah Air terbelakang, mundur, dan ketinggalankereta.Sejauh pengamatan saya, satu hal yang sangat membedakan antara tradisiintelektual kita dan belahan dunia muslim lainnya adalah tradisi kebebasanberpikir. Kita tidak memunyai ruang bebas untuk mengekspresikan pemikiran,pandangan, dan gagasan. Apabila muncul pemikiran baru yang berbeda denganmainstream sering kali dianggap sebagai penyesatan dan penyimpangan dariagama. Kritik terhadap pandangan keagamaan kadang kala dianggap sebagaikritik terhadap Tuhan, nabi dan lain-lain. Di sini, agama lalu dijadikansebagai otoritas baru untuk memasung dan membonsai pemikiran-pemikiraninovatif.
Karena itu, kita perlu menghidupkan kembali tradisi intelektual yang bebas,dialogis, inovatif, dan kreatif. Ibnu Rushd dalam Fashl al-Maqal bi ma baynal-Hikmah wa al-Syari'ah min al-Ittishal, memunyai pesan menarik, bahwahikmah, penalaran, dan filsafat adalah sahabat agama (syariat), dan saudarasesusuan. Agama dan kebebasan berpikir merupakan dua mata uang logam yangtidak bisa dipisahkan. Bahkan Alquran dalam puluhan ayatnya menyebutkanpentingnya berpikir (QS 51:20-21, 7:185, 29:20). Di sini, kebebasan berpikirmutlak diperlukan untuk melahirkan pandangan keagamaan yang baru, segar, danjernih. Dan, kita berharap agar tahun 2011 ini menjadi era berembusnya
kebebasan berpikir, sehingga mendorong lahirnya pemikiran keagamaan yang kritis ilmiah, transformatif, inovatif, dan konstruktif.(Th3)