Kamis, 22 Desember 2011

Kuliah Lapangan "Radar Malang"

Perkuliahan jurnalistik semester 7 lebih banyak di lapangan dari pada di ruangan (kelas) kerena matakuliah ini lebih menekankan kepekaan sosial mahasiswa yang nantinya akan diapresiasikan dalam bentuk karya tulis. Radar Malang salah satu tempat yang dijadikan tempat untuk perkuliahan jurnalistik dilapangan, selain Radar Malang, alun-alun kota malang dan taman depan gedung rektorat juga dijadikan tempat perkuliahan lapangan.


Radar malang dan Malang Post merupakan lembaga penerbitan surat kabar yang berada di wilayah Malang. Dalam kunjungan ke Radar Malang dan Malang Post langsung di bimbing oleh Bapak Khoirul Anwar, M. Pd, beliu adalah dosen mata kuliah pendidikan jurnalistik.


Ia mengampaikan beberapa materi tentang jurnalistik, mulai dari pengertian, media, bagaimana kita memperoleh berita dan bagaimana mencetaknya. Kunjungan pertama yaitu ke kantor Radar mlang yang terletak tidak jauh dari Stadion Gajayana bertempat di jalan arjuna terdekat dengan Bank Bukopin. Kemudian dilanjutkan ke Malang Post yang bertempat didekat stasiun kereta.


Rombongan Mahasiswa semester tujuh pendidikan agama islam diterima oleh Redaktur senior Malang Post oleh Bapak Hasnun N Djuraid. Dalam kunjungan ini bapak Hasnun banyak berbicara tentang berdirinya Malang Post dan proses bagaimana pembuatan koran.


Dalam diskusi banyak yang ditanyakan oleh para temen-temen Mahasiswa pada bagaimana kinerja wartawan dan saya tak luput bertanya bagaimana seorang wartawan memperoleh berita. Beliau juga berpesan kepada mahasiswa yang melakukan kunjungan ke Malang Post kelak bisa menjadi wartawan dan bermartabat.


Dalam kunjungan ke Radar Malang berbasis Malang tempat percetakan. Bapak Khoirul Anwar banyak memberikan penjelasan tentang bagaimana mencetak koran dan surat kabar. Dan disana juga di jelaskan proses pembuatan surat kabar, koran dan juga LKS.

Dialog dan Tantangan Umat Beragama


Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di antara mereka. Yang paling aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan penting.[1] Secara tidak sadar, manusia terkelompok ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Dari klasifikasi di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya. Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar umat  beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
Dialog adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Dialog memang bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar apa yang harus digunakan untuk mencakup beragam peradaban yang ada di dunia. Menurut hemat penulis, perlu adanya standar yang bisa diterima semua pihak. Dengan kata lain, perlu ada standar universal untuk semua. Standar itu hendaknya bermuara pada moralitas internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi, keadilan dan perdamaian. Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu.[2]
Standar universal ini memang bukan persoalan mudah, karena ia adalah gagasan teoritis yang mungkin berbeda dengan kenyataan-kenyataan di lapangan. Namun, sebagai nilai-nilai universal yang bisa melindungi hak-hak semua masyarakat dunia tampaknya nilai-nilai itu bisa mewakili kebutuhan bersama manusia, paling tidak dari stadar kemanusiaan (manusiawi).
Di sinilah kemudian diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang proporsional baik secara intra-agama maupun antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan memperuncing benturan. Tawaran-tawaran yang telah dikemukakan oleh para cendekiawan muslim Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat menjadi moralitas yang bersifat universal atau menjadi global etik yang dapat dipakai oleh semua orang. Apa yang dikemukakan oleh Rasjidi dengan pluralisme agama secara sosiologis, toleransi agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan konsep modus vivendi dan persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama, Mukti Ali dengan agree in disagreement, Djohan Effendi dengan dimensi moral dan etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan pluralisme dalam bertindak dan berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah al-hanîfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap toleransi dan  sikap pluralisme serta perlunya memahami pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat beragama bisa hidup damai dan harmonis. 
Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau  mendengarkan semua pihak secara proporsional,  adil dan setara. Dialog bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga  bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai “agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.[3] 
Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan memang merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada yang berhak menghakimi atas suatu kebenaran atau tidak ada “truth claim” dari salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam memperbincangkan tentang kebenaran agamanya.[4] 
Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. Dengan kata lain, dialog ibarat pedang bermata dua; sisi pertama mengarah pada diri sendiri atau otokritik, dan sisi kedua mengarah pada suatu percakapan kritis yang sifatnya eksternal, yaitu untuk saling memberikan pertimbangan serta memberikan pendapat kepada orang lain berdasarkan keyakinannya sendiri. Agama bisa berfungsi sebagai kritik, artinya kritik pada pemahaman dan perilaku umat beragama sendiri.[5] 
Keempat adalah adanya persamaan. Suatu dialog tidak dapat berlangsung dengan sukses apabila satu pihak menjadi “tuan rumah” sedangkan lainnya menjadi “tamu yang diundang”. Tiap-tiap pihak hendaknya merasa menjadi tuan rumah. Tiap-tiap pihak hendaknya bebas berbicara dari hatinya., sekaligus membebaskan dari beban: misalnya kewajiban terhadap pihak lainnya, maupun kesediaannya pada organisasinya dan pemerintahannya. Suatu dialog hendaknya tidak ada  “tangan di atas’ dan “tangan di bawah”, semuanya harus sama.[6]  
Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar. Masing-masing pihak harus mau berusaha melakukan itu agar pemahaman terhadap orang lain tidak hanya di permukaan saja tetapi bisa sampai pada bagiannya yang paling dalam (batin).  Dari situlah bisa ditemukan dasar yang sama sehingga dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai, meskipun adanya perbedaan juga menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.[7] 
Namun demikian, penulis melihat adanya berbagai permasalahan yang dapat menjadi penghambat dialog antar umat beragama. Di antara sesuatu yang dapat menjadi penghambat itu adalah sebagai berikut: (1)  kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang berlainan. Hal ini  akibat adanya truth claim, atau sesuatu yang akan mengakibatkan adanya truth claim.[8] (2) Faktor-faktor sosial politik dan trauma akan konflik-konflik dalam sejarah, misalnya Perang Salib atau konflik antar agama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu. (3) Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran hitam-putih. (4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan golongan tertentu.[9] (5) Masih adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu. (8) Penafsiran tentang misi atau dakwah yang konfrontatif.  (9) Ketegangan politik yang melibatkan kelompok agama.[10]


[1]Samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993, hlm. 12.
[2]Lihat Bassam Tibi, “Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 163. Lihat juga Parliament of the World’s Religions, Declaration Toward a Global Ethic (Chicago : t.t.), hlm. 5. Lihat juga Zainul Abas, “Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian”, dalam Kompas, No. 213 Tahun Ke-32, 31 Januari 1997.
[3] Ibid.
[4]Lihat Tarmizi Thaher, “Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999), hlm. 2-3. Lihat juga Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama, hlm. 35-36.
[5] Lihat Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama”, hlm. 42.
[6]Ismail Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen, Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya : Pustaka Progressif, 1994), hlm. 12.
[7]Lihat St. Sunardi, “Dialog:Cara Baru Beragama”, hlm. 76.
[8] Hal ini adalah antitesis dari prasyarat dialog yang mengharuskan adanya saling pemahaman terhadap berbagai macam agama. Jika masing-masing tidak memahami secara benar terhadap agama orang  lain maka ini akan menjadi penghambat dialog, karena akan muncul kecurigaan-kecurigaan.
[9]Poin 3 dan 4 lihat A. Ligoy, CP, “Gereja Indonesia”, hlm. 131.
[10]Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.), hlm. 350-351.

Menuju Dakwah yang Arif dan Transformatif


Berbagai gambaran riil di lapangan menunjukkan bahwa merajut tali kerukunan dan toleransi di tengah pluralitas agama memang bukan perkara mudah. Beberapa faktor berikut jelas merupakan ancaman bagi tercapainya toleransi. Pertama, sikap agresif para pemeluk agama dalam mendakwahkan agamanya. Kedua, adanya organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung berorientasi pada peningkatan jumlah anggota secara kuan­titatif ketimbang melakukan perbaikan kualitas keimanan para peme­luknya. Ketiga, disparitas ekonomi antar para penganut agama yang berbeda.[1]  Guna meminimalisir ancaman seperti ini (terutama ancaman pertama dan kedua), maka mau tidak mau umat Islam, demikian juga umat lain, dituntut untuk  menata aktifitas penyebaran atau dakwah agama secara lebih proporsional dan de­wasa.
Kedewasaan ini perlu mendapat perhatian semua pihak karena upaya membina kerukunan umat beragama seringkali terkendala oleh adanya kenyataan bahwa sosialisasi ajaran keagamaan di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh juru dakwah yang kurang peka terhadap kerukunan umat beragama. Semangat berdakwah yang tinggi dari para pegiat dakwah ini seringkali dinodai dengan cara-cara menjelek-jelekan milik (agama) orang lain.
Terkait dengan ini, beberapa hal berikut tam­paknya merupakan persoalan mendasar yang harus senantiasa diupayakan, jika  Islam diharapkan menjadi rahmah untuk seluruh alam.  Ketiga hal itu adalah  (1), penyiapan da’i yang arif sekaligus bersi­kap inklusif, bukan eksklusif; (2), memilih materi dakwah yang menyejuk­kan dan (3), dakwah berparadigma transformatif sebagai modal menuju kerjasama antar umat beragama. Yang pertama, erat kaitannya dengan penyiapan kompetensi personal seorang dai sedang sisanya kompetensi penunjang yang harus menjadi concern seorang pendak­wah atau muballigh.
Da’i yang Arif lagi Inklusif. Adalah tugas setiap umat Islam untuk tidak hanya melaksanakan ajaran agamanya, tetapi juga mendakwahkannya keada diri sendiri maupun orang lain di manapun dan kapan pun. Dakwah sebagai upaya penyebaran ajaran Islam merupakan misi suci sebagai bentuk keimanan setiap muslim akan kebenaran agama yang dianutnya.  Al-Qur’an dalam surat Al-Nahl (16):  125 secara tegas menyebutkan, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan beragumentasilah dengan mereka dengan yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Demikian juga  sebuah hadis yang sering kita dengar secara eksplisit menyerukan agar kita menyampaikan kebenaran dari nabi meskipun satu ayat (sedikit) serta beberepa beberpa dalil lain yang kompatible dengan anjuran berdakwah.
Dari ayat di atas, satu hal yang pasti dan mesti digarisbawahi adalah bahwa dakwah hendaknya dilakukan secara bijaksana dan penuh kedewasaan. Kedewasaan sebagai umat yang akan mengantarkan keluhuran Islam di mata kelompok lain serta  menjadikan orang lain merasa aman (secure) dan tak terancam dengan Islam. Agar tujuan mulia seperti ini  tercapai maka hal-hal berikut seyogyanya dimiliki oleh seorang da’i dalam melakukan dakwah pada masyarakat plural.
Pertama,  menyadari heterogenitas masyarakat sasaran dakwah (mad’u) yang dihadapinya. Keragaman audiens sasaran dakwah menuntut metode dan materi serta strategi dakwah yang beragam pula sesuai kebutuhan mereka. Nabi sendiri melalui hadisnya menganjurkan pada kita untuk memberi nasehat, informasi kepada orang lain sesuai tingkat kemampuan kognisinya (‘uqulihim).
Kedua,  dakwah hendaknya dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian. Esensi dakwah mestilah melibatkan dialog bermakna yang penuh kebijaksanaan, perhatian, kesabaran dan kasih sayang. Hanya dengan cara demikian audiens akan menerima ajakan seorang dai dengan penuh kesadaran. Harus disadari oleh seorang dai bahwa kebenaran yang ia sampaikan bukanlah satu-satunya kebenaran tunggal, satu-satunya kebenaran yang paling absah. Karena, meskipun kebenaran wahyu agama bersifat mutlak adanya, tetapi keterlibatan manusia dalam memahami dan menafsirkan pesan-pesan agama selalu saja dibayang-bayangi oleh  subyektifitas atau horizon kemanusiaan masing-masing orang.
Ketiga, dakwah hendaknya dilakukan secara persuasif, jauh dari sikap memaksa karena sikap yang demikian di samping kurang arif juga akan berakibat pada keengganan orang mengikuti seruan sang da’i yang pada akhirnya akan membuat misi suci dakwah menjadi gagal. “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, silahkan (secara sukarela) siapa yang hendak beriman berimanlah dan siapa yang ingkar silahkan (Qs. Al-Kahfi (18): 29); “Tiada paksaan dalam memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas perbedaan antara yang benar dan yang sesat. (Qs. Al-Baqoroh (2); 256).
Keempat,   menghindari pikiran dan sikap menghina dan men-jelek-jelekkan agama atau menghujat Tuhan yang menjadi keyakinan umat agama lain. Dalam surat al-An’am (6); 108, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. Tak ada salahnya jika etika berdakwah sedikit meniru  etika periklanan. Salah satu etika yang jamak disepakai dalam kegiatan  menawarkan sebuah produk ini adalah di samping tidak memaksa konsumen untuk membeli produk tertentu, juga  larangan menghina atau menjelek-jelekkan produk lain. Jika hal itu dilakukan tentu  pihak–pihak yang dirugikan akan melakukan somasi, protes dan dapat berakibat pada pengaduan pencemaran nama baik.
Kelima, menenggang perbedaan dan menjauhi sikap ekstrimisme dalam bergama. Prinsip Islam dalam beragama adalah sikap jalan tengah, moderat (umatan wasathon). Sejumlah ayat al-Qura’an dan al-Hadis secara tegas menganjurkan umat Islam untuk mengambil jalan tengah, menjauhi ekstrimisme, menghindari kekakuan atau kerigidan dalam beragama. Sikap ekstrimisme biasanya akan berujung pada sikap kurang toleran, mengklaim pendapat sendiri sebagai paling absah dan  benar (truth claim) sementara yang lain salah, sesat, bid’ah (heterodoks). Alwi Shihab (1989) mengungkapkan pernyataan Abû Ishaq Al-Syatibi yang meyatakan, “Kurangnya pengetahuan agama dan kesombongan adalah akar-akar bid’ah serta perpecahan umat, dan pada akhirnya dapat menggiring kearah perselisihan internal dan perpecahan perlahan-lahan”.[2]
Hal-hal di atas dan tentu saja ditambah dengan kompetensi personal yang harus dimiliki seorang dai, jika dilaksanakan secara sungguh-sungguh maka akan sangat berguna bagi upaya menjaga harmoni di antara semua penganut agama. Sebagai tambahan, kompetensi personal yang harus dimiliki seorang da’i di atas hanya dapat tercapai jika da’i tersebut tidak hanya mempunyai pengetahuan yang banyak tentang agamanya, tetapi juga memiliki pemahaman yang benar dalam menterjemahkan pesan-pesan moral agama Islam.
Di samping itu, tentu saja prinsip-prinsip Islam tentang pluralisme dan penghargaan terhadapnya mestilah terinternalisasi secara baik dalam diri setiap da’i. Prinsip Islam tentang pluralisme tergambar baik dalam landasan etik-normatif yang terdokumentasi dalam al-Qur’an dan al-Hadis maupun rekaman historis pengalaman Nabi Muhammad ketika mengalami perjumpaan dengan agama lain.[3]
Contoh ayat-ayat  al-Qur’an yang dapat dijadikan landas tumpu terhadap penghargaan dan penyikapan yang benar terhadap  pluralisme misalnya, Qs. Al-Baqoroh (2); 62 dan 148; dua ayat ini di samping mengandung kenyataan bahwa pluralitas itu bagian dari Sunnat-u Allâh sekaligus juga melaui pluralitas kita dituntut untuk berlomba dalam kebaikan. (fastabiq al-khairât). Pluralisme juga merupakan kebijakan Tuhan yang berlaku dalam sejarah (Qs. Al-Rum (30): 22 dan al-Baqarah (2): 213. 
Artinya kenyataan pluralitas demikian adalah keinginan Allah sendiri, karena jika Allah menghendaki, tentulah Dia menciptakan  manusia dalam satu komunitas saja. Ide semisal ini diulang-ulang di  banyak tempat dalam al-Qur’an dengan penekanan berbeda semisal pengujian kualitas hamba terhadap pemberian-Nya (Qs.Al-Ma’idah (5): 48);  peringatan bahwa mereka suka berselisih pendapat (Qs. Hûd (11):118); pemberian petunjuk bagi mereka yang mau mengikuti Tuhan (Qs. Al-Nahl (16): 93) dan memasukkan orang yang dikehendaki ke dalam rahmat-Nya (Qs. Al- Syûrâ (42): 8).  
Al-Qur’an juga secara eksplisit mengajarkan bahwa pada dasarnya umat manusia adalah tunggal (Qs. Al-Baqorah (2): 213; Yûnus (10): 19). Agama adalah ‘satu’ dalam dimensi substantif dan esoterisnyanya. Namun penting dicatat bahwah “kesatuan bukan berarti “keseragaman”. Meskipun dari luar tampak berbeda, namun dalam setiap agama terdapat kesamaan yakni kesaman realitas tertinggi yang menjadi tujuan akhirnya (ultimate goal; al-gardh) dari setiap agama. Oleh karena adanya kesamaan inilah maka al-Qur’an mengajak seluruh umat beragama untuk mencari titik temu atau yang lazim dikenal dengan istilah  kalimat- un sawâ itu [4] .
“Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahl al-Kitâb! Marilah menuju ketitik pertemuan (kalimat un sawâ’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allâh dan tidak menyekutukan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebaghian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “Tuhan-Tuhan” selain Allah”.
 Ajakan untuk mencarai titik temu di antara penganut agama di luar Islam yang sering disebut sebagai Ahl al-Kitab[5], memberi implikasi lanjut berupa keyakinan bahwa: siapa pun dapat memperoleh “keselamatan” (salvation) asalkan ia beriman kepada Allah, kepada hari kiamat dan berbuat baik. Karena bagi mereka semua, Allah telah menyediakan pahala masing-masing, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula bersedih hati. (Qs. Al-Baqoroh (2); 62 dan ayat yang mirip dengan ini (Qs. al-Mâi’idah (5); 69).
Menarik untuk disebutkan, bahwa perhatian dan pengakuan Islam akan agama lain seperti di atas sesungguhnya merupakan bagian dan sekaligus sayarat bagi kesempurnaan keimanan seorang Muslim.[6] Artinya jika seseorang ingin imannya sempurna maka wajib baginya mengakui dan menghormati agama lain. Tidak lah mengherankan jika toleransi yang sedemikian tinggi ini menjadi catatan tersendiri bagi para pengamat Isam semisal Cyril Glasse yang menyatakan; “Kenyataan bahwa satu wahyu (Islam) menyebut wahyu-wahyu lain sebagai absah adalah sebuah kejadian yang luar biasa dalam sejarah agama-agama”.[7]
Jelas bahwa perhatian al-Qur’an terhadap adanya pluralitas tidak hanya sebatas pengakuan atau akomodasi akan keberadaannya, tetapi juga kedekatan dan saling menghormati (Qs. Al-Ma’idah (5): 82-83). Lebih dari itu, penghargaan al-Qur’an terhadap agama lain, nabi-nabi lain berikut kitab-kitab sucinya, juga bukan hanya sebatas penghormatan formalitas semata, melainkan pengakuan akan kebenaran mereka juga. Bahkan Islam memandangnya bukan sebagai “agama lain” yang harus ditoleransi tetapi sebagai agama yang benar-benar ada secara hukum dan benar-benar agama wahyu dari Tuhan.[8] Berangkat dari pandangan al-Qur’an yang khas tentang pluralisme ini, sesunguhnya kita dapat menarik `ibrah bahwa pemahaman pluralisme tidak cukup dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, berbeda-beda suku bangsa dan agamanya, yang justru terkesan menyiratkan adanay fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversity within the bonds of civility).[9] Singkatnya, pluralisme tidak bisa dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negatif good). Di mana pluralisme hanya digunakan untuk menghilangkan fanatisme (ta’âshû-biyah).[10]
Materi Dakwah yang Menyejukkan. Setelah memiliki kompetensi (atau lebih tepatnya etika dasar)  personal berikut internalisasi nilai-nilai atau prinsip pluralitas pada diri seorang da’i, maka langkah selanjutnya yang harus diperhatikan oleh seorang da’i adalah memilih  materi dakwah.  Memilih materi dakwah yang dimaksud di sini adalah dengan sebisa mungkin mengedepankan pesan-pesan agama yang memberi kesejukkan dan sejauh mungkin menghindari provokasi massa ke arah yang destruktif.
Untuk memilih materi dakwah seperti termaksud di atas, di samping ditentukan oleh apresiasi  positif kepada ‘yang lain’, juga yang terpenting adalah kematangan para dai dalam memahami pesan-pesan atau ide moral Islam secara keseluruhan. Sekedar ilustrasi sederhana, mengapa kita suka menonjolkan ayat semisal “Tidak akan rela orang-orang Yahudi dan Nasrani (terhadapmu) sampai kamu mengikuti agama mereka” tanpa dibarengi dengan penjelasan terhadap konteks ayat tersebut, sementara masih banyak ayat (pluralis) lainnya yang menghargai agama lain seperti terungkap di atas. Atau contoh lain, kenapa hadis Nabi yang artinya, “Ucapkan salam kepada orang lain baik yang kau kenal maupun yang tidak kau kenal (man arofta wa man lam ta’rif)”[11] justeru terdesak oleh larangan atau fatwa yang mengharamkan umat Islam mengucapkan salam kepada orang (agama) lain.[12]
 Fenomena keberagaman yang lebih menggambarkan wajah kusut hubungan antar umat beragama ini memang tidak hanya diakibatkan pilihan dai akan materi dakwahnya saja, tetapi juga  oleh faktor lain. Salah satu di antaranya adalah kurangnya pemahaman akan dialektika teks dan konteks yang berakibat pada kesalahan pengamalan sekaligus penyebaran syariat Islam.[13] Jika kesalahan ini masih sebatas pada praksis individual tentu tidak ada masalah. Persoalan menjadi kompleks ketika kesalahan pemahaman ini dikomunikasikan dan didakwahkan kepada publik secara luas. Sebabnya jelas, syariat Islam yang kaya akan nilai-nilai dan prinsip-prinsip untuk kemaslahatan manusia akan tereduksi hingga akhirnya hilang sama sekali.
Kemaslahatan adalah  inti dari syariat Islam. Al-Syatibi dengan sangat baik mendiskripsikan hal ini. Menurutnya, agama tidak hanya memuat ajaran yang menekankan aspek peribadatan atau ritual (ta‘âbudiyah) semata, tetapi juga membawa kemaslahatan bagi manusia (al-maslahah al-‘âmmah).[14]
Dakwah Berparadigma Transformatif dan Urgensi Kerjasama. Orientasi dakwah yang lebih mengedepankan perbaikan kualitas keimanan individual dengan tekanan hanya pada ketaatan menjalankan ritual keagamaan telah mengabaikan satu dimensi penting dalam dakwah. Dimensi dakwah yang terabaikan tersebut adalah pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Islam secara menyeluruh.[15] Keterbelakangan, ketertinggalan dan keterpinggiran umat Islam dari percaturan (peradaban) global dewasa ini  adalah beberapa realitas yang kurang tersentuh dalam materi dakwah. Dalam pengertian bukan dakwah yang materi pembicaraannya hanya sekedar menggerutu,  mengumpat dan menyalahkan umat atau orang lain yang menjadikan Islam mundur, tetapi dakwah dimaknai secara lebih luas dengan tekanan pada perbaikan kualitas sosial, pendidikkan  dan ekonomi masyarakat.
Sudah waktunya orientasi dakwah diarahkan untuk sebisa mungkin menyentuh persoalan sosial kemasyarakatan semisal perbaikan gizi anak-anak, pelestarian lingkungan, bahaya penyalah-gunaan obat, pemberantasan korupsi, penciptaan pemerintahan yang bersih (good governance), kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan  dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) serta perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara lebih beradab. Dakwah hendaknya  ditujukan antara lain untuk memecahkan kebutuhan mendasar manusia akan jaminan kesejahteraan yang merupakan norma-norma keadilan sosial dan prinsip-prinsip persaudaraan dalam Islam.
Islam sendiri sering disebut sebagai agama pembebas. Banyak preseden baik yang telah dilakukan oleh Nabi dan generasi awal Islam dalam merealisasikan dakwah dalam pengertian seperti ini. Yakni dakwah yang mampu menstransformasikan nilai-nilai Islam untuk kemaslahatan umat manusia secara lebih luas. Beberapa seruan al-Qur’an dan dokumentasi sunnah rasul dalam Hadis dengan sangat jelas mendorong umat Islam melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap sistem sosial sejajar dengan penguatan tawhîd umat.
“Katakanlah: mari kubacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun; dan berbuat baiklah kepada ibu bapakmu; janganlah membunuh anak-anakmu dengan dalih kemiskinan. Kami memberi rizki kepadamu dan kepada mereka. Janganlah melakukan perbuatan keji yang terbuka ataupun yang tersembunyi; jangan hilangkan nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan adil dan menurut hukum. Demikianlah Dia memerintahkan kamu supaya kamu mengerti”
“Janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali untuk memperbaikinya dengan cara yang lebih baik, sampai ia mencapai usia dewasa. Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil; kami tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya; dan jika kamu berbicara, berbicaralah yang jujur, sekalipun mengenai kerabat; dan penuhilah janji dengan Allah. Dia memerintahkan kamu supaya kamu ingat.[16]


[1] Burhanuddin, et. all., Sistem…., 28.
[2] Lebih lanjut Shihab menyatakan bahwa untuk mencegah ekstrimesme, dan menjaga keseimbangan dan toleransi dalam agama  adalah dengan mengefektifkan dakwah di internal umat Islam terlebih dahulu. Sehingga ketika umat Islam mampu melakukan hal demikian maka orang lain akan apresiatif terhadap ideal-ideal islam seperti tasamuh (toleransi), I’tidal (moderasi) dan adl (keadilan). Ibid., 257
[3] Tentang perjumpaan dengan agama lain, Jacques Waardenburg sebagaiman dikutip oleh Harold Coward menyatakan setidaknya Islam mengalami 6 (enam) tahap perjumpaan tersebut. Salah satunya adalah fase pertama, di mana Muhammad tumbuh menjadi manusia dewasa di Makkah di tengah komunitas Kristen, Yahudi, kaum Mazdean, dan barangkali kaum Manikhean dan kaum Sabian. Lima fase berikutnya dapat di lihat pada Harold Coward, Pluralisme, Tantangan Agama-agama, ter. (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 89.
[4] Istilah yang oleh Profesor Doktor Nurcholis Madjid sering diindonesiakan  dengan “semangat kebenaran yang lapang” ini adalah esensi dari Islam. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara tegas menyebutkan; “Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Nabi s.a.w. ditanya, “Agama mana yang paling dicintai Allah?” Nabi menjawab, “Semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyah al-samhah). Juga sebuah hadis, ‘Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat kebenaran yang lapang (Al-hanifiyah al-samhah)” (HR Imam Ahmad) Dikutip dari Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), 21.
[5] Konsep Ahl al-Kitab dalam Islam sesungguhnya menunjuk semua kelompok agama di luar agama Islam tidak hanya sebatas agama Yahudi dan Nasrani. Termasuk di dalamnya Majusi dan Shabi’in yang secara eksplisit diakui oleh al-Quran sebagai  (Qs.al-Baqarah (2): 62; al-Hajj (22): 17). Bahkan banyak ulama yang menyatakan bahwa konsep ahl al-kitab menunjuk pada semua agama termasuk Budha, Hindu, Kong Hu Cu. Adalah Rasyid Ridho yang secara tegas mengafirmasi hal demikian dengan pernyataannya, “Yang namapak ialah bahwa al-Qur’an menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Sabiin dan Majusi dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha dan para pengikut Konfusius karena (hanya) kaum Sabi’in dan Majusi yang dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran  mula-mula al-Qur’an, karena kaum Majusi dan Shabi’in itu berdekatan  dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka (orang-orang Arab) belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka mengetahui golngan yang lain ….” Dikutip dari Nurcholis Madjid, et. al., Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), 52. Hal senada juga diakui oleh Fazlur Rahman, menurut Rahman, kata ahl al-Kitab sering digunakan dalam al-Qur’an bukan untuk mengacu pada suatu kitab khusus yang diwahyukan, “melainkan sebagai suatu istilah generik yang menunjukkan totalitas wahyu Illahi”. Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), 164.
[6] Azumardi Azra, “Bingkai Teologi Kerukunan: Perspektif Islam” dalam Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 34.
[7] Ungkapan Glasse ini dapat dijumpai pada Cyril Glasse, “Ahl al-Kitab”, dalam The Concise Enciclopaedia of Islam, (San Francisco: Harper, 1991), 27
[8] Baca, Al-Faruqi, “The Role of Islam in Global Interreligious Dependence” dalam Toward a Global Conggress of the World an Religions, ed. Waren Lewis, (New York: Bary Town, Univication Theological Seminary), 22-23.
[9] Budi Munawar Rahman, Pluralisme..., 31.
[10] Ibid.
[11] Terjemahan hadis yang ini selengkapnya adalah “Memberi makanan  dan membaca salam kepada siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak kau kenal” Makna zahir man arafta wa man lam ta’rif dalam hadis ini menunjukkan keumuman pada seluruh manusia, baik yang beriman maupun yang “kafir”, baik mengadakan perjanjian damai maupun yang berperang, karena makna zahir ini menunjukkan bahwa salam adalah milik Allah bukan untuk pemenuhan hak pengenalan. Lihat Musa Syahin Lasyin, Fath al-Mu’im: Syarh Shahih Muslim, Bagian I (Kairo: Maktabah al-Jâmiat al-Azhârîyah, 1970), 233, 237.
[12] Larangan mengucapkan salam ini biasanya merujuk pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Anas bin Mâlik yang artinya, “Jangan kamu memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desaklah ia sampai ke pinggir”(HR. Bukhari). Penjelasan lebih lanjut mengenai kelemahan dalil ini lihat Madjid, et.al., Fiqh…, 66-78.
[13] Ibid., 263.
[14] Secara lebih detail al-Syâtibi membagi kemaslahatan ini dalam tiga tingkatan, pertama, kemaslahatan yangb bersifat primer (al-maslahah al-dharûriyah), yaitu kemaslahatan yang menjadi orientasi implementasi syariah. Termasuk dalam hal ini yaitu perlunya melindungi agama, melindungi jiwa, melindungi akal, melindungi keturunan dan melindungi harta benda.  Kedua,kemaslahatan yang bersifat sekunder (al-maslahah al-hajiyât), yaitu kemaslahatan yang tidak menyebabnya ambruknya tatanan sosial dan hukum, melainkan justeru untuk meringankan pelaksanaan humum. Ketiga,  kemaslahatan yang bersifat suplementer (al-maslahat al-tahsînîyat), sebuah kemaslahatan yang memberi perhatian pada etiket sekaligus estetika. Disarikan dari Abû Ishaq al-Syâtibi    dalam al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, Jilid I. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt), 3-23
[15] Ibid., 258.
[16] Qs. Al-An’am (6): 151-153.

Menyikapi Pluralitas


Identik dengan istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, penda­pat orang tentang istilah ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural pasti  terdiri dari banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang. [1]
Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dika­takan istilah lama karena perbincangan mengenai pluralitas telah die­laborasi secara lebih jauh oleh para pemikir filsafat Yunani secara konse­ptual dengan aneka ragam alternatif memecahkannya. Para pemikir tersebut mendefinisikan pluralitas secara berbeda-beda lengkap dengan beragam tawaran solusi menghadapi pluralitas. Permenides menawarkan solusi yang berbeda dengan Heraklitos, begitu pula pendapat Plato tidak sama  dengan apa yang dikemu-kakan Aristoteles.[2] Hal itu berarti bahwa isu pluralitas sebenarnya setua usia manusia.
Sebelum pertimbangan-pertimbangan atau interrest-interrest yang bersifat politis, ideologis dan ekonomis menyertai kehidupan seseorang, dalam kehidupan praktis sehari-hari, umat manusia telah menjalani ke­hidupan yang pluralistik secara alamiah dan wajar-wajar saja. Kehidupan mengalir apa adanya tanpa ada prasangka dan perhitungan-perhitungan lain yang lebih rumit. Persoalan menyeruak ketika berbagai kepentingan dan pertimbangan tadi menempel dalam pola interaksi antar manusia. Apalagi jika kepentingan yang disebut di atas lebih menonjol, maka gesekan dan konflik adalah sesuatu yang tak terelakkan.
Bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang sering disebut seba­gai bangsa paling majemuk di dunia. Di negara dengan jumlah pen­duduk lebih dari 200 juta jiwa ini, berdiam tidak kurang dari 300 etnis dengan identitas kulturalnya masing-masing, lebih dari 250  bahasa di­pakai, beraneka adat istiadat serta beragam agama di anut.  Kendati demikian kehidupan berjalan apa adanya selama bertahun-tahun. Orang dengan suku berbeda dapat hidup rukun dengan suku lain yang berbeda adat, bahasa, agama dan kepercayaan. Gesekan dan konflik memang kerap terjadi kerena memang hal itu bagian dari dinamika masyarakat, namun semua gesekan yang ada masih dalam tahap terkendali. Keadaan berubah ketika masyarakat pendukung tak mampu menyikapi dan mengelola segala perbedaan dan konflik yang ada menjadi “energi sosial” bagi pemenuhan kepentingan bersama.
Konflik sendiri sebagaimana dipaparkan di bagian lain tulisan ini, merupakan keniscayaan. Keberadaannya senantiasa mengiringi masyarakat plural. Hampir tidak mungkin sebuah masyarakat yang plural tak terlibat dan mengalami konflik. Konflik di sini memang tidak identik dengan kerusuhan dan pertikaian. Konflik bisa saja tidak muncul kepermukaan karena diredam sebagaimana selama ini efektif dimainkan oleh rezim pemerintah Orde Baru, tetapi keberadaannya tak akan hilang sama sekali. Jika keadaan memungkinkan konflik terselubung (hidden conflict) itu akan meledak seperti saat ini. Dengan kata lain, akibat ter­sumbatnya konflik secara tidak proporsional maka akan lahir konflik yang distruktif dan berpotensi disintegratif bagi kelangsungan sebuah bangsa. 
Jika pluralisme itu given, semen­tara konflik adalah sesuatu yang inhern  di dalamnya. Pertanyaan selanjutnya bagaimana mengelola pluralitas dan konflik  yang ada sehingga menjadi sebuah energi sosial bagi penciptaan tatanan bangsa yang lebih baik. Jawabannya tentu panjang dengan melibatkan pengkajian seluruh faktor yang ada. Akan tetapi terkait dengan kajian ini (memahami pluralitas),   ternyata menjaga kerukunan tidak cukup hanya memahami keanekaragaman yang ada di sekitar kita secara apatis dan pasif.  Memahami pluralisme meski melibat­kan sikap diri secara pluralis pula. Sebuah sikap penuh empati, jujur dan adil menempatkan kepelbagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu dengan menghomati, memahami dan mengakui eksistensi orang lain, sebagaimana menghormati dan mengakui eksistensi diri sendiri.
Demikian juga dalam menyikapi pluralisme beragama. Sikap yang seyogyanya dilakukan seseorang adalah dengan memahami dan menilai “yang” (agama) lain berdasarkan standar  mereka sendiri serta memberi peluang bagi mereka untuk mengartikulasikan keyakinannya secara bebas. Alwi Shihab memberi gabaran cukup baik dalam mengartikulasikan plu­ralisme agama. Menurutnya,  “Pluralisme agama adalah bahwa tiap pe­meluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan per­samaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan”[3]. Melalui pe­mahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewu­judkan kehidupan yang damai seperti inilah akan tercipta toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Toleransi yang dimaksud tentu saja bukan toleransi negatif (negatif tolerance) sebagaimana yang dulu pernah dijalankan oleh pemerintah orde baru, tetapi toleransi yang benar adalah toleransi positif (positive tolerance). Sikap toleran yang disebut pertama adalah sikap toleransi semu dan penuh dengan kepura-puraan. Toleransi jenis pertama ini menganjurkan seseorang untuk tidak menonjolkan agamanya di hada­pan orang yang beragama lain. Jika Anda Kristen, maka jangan menon­jol-nonjolkan ke-Kristenan Anda di hadapan orang Muslim, demikian pula sebaliknya.  Sementara toleransi yang tersebut kedua adalah toleransi yang sesungguhnya, yang mengajak setiap umat beragama untuk jujur mengakui dan mengekspresikan keberagamaannya tanpa ditutup-tutupi. Dengan demikian identitas masing-masing umat beragama tidak tereliminasi, bahkan masing-masing agama dengan bebas dapat mengembangkannya.  Inilah toleransi yang dulu pernah dianjurkan oleh Kuntowijoyo.[4]
Meskipun konsep toleransi positif seperti di atas terbilang konsep lama, tetapi implemenetasinya bukanlah perkara mudah. Sebuah survey mutaakhir yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta terhadap Sikap Komunitas Pendidikkan Islam dan Toleransi dan Pluralisme memperlihatkan beberapa gambaran yang cukup mengkhawatirkan. Survey yang dilakukan di awal tahun 2006 ini secara umum menunjukkan bahwa komunitas pendidikkan Islam Indonesia memperlihatkan sikap kurang bahkan tidak toleran.[5] Hal ini bisa dilihat dari besarnya responden (85,7%) yang tidak setuju anggota keluarganya menikah dengan non-muslim, anggota keluarga boleh menikah dengan non muslim, asal masuk Islam lebih dulu (88%). Sementara terhadap  pertanyaan; dibanding umat lain, umat Islam adalah sebaik-baik umat  sebanyak 92,5% karenanya non-Islam harus masuk agama Islam (58,7%). Tidak boleh mengucapkan salam “assalamualaikum” dan selamat hari natal (“selamat natal”) kepada non-Muslim (73,5%) dan setiap Muslim berkewajiban mendakwahkan agamanya kepada orang-orang non muslim (73%).[6] Adanya fakta seperti ini tentu merupakan sesuatu sangat memprihatinkan karena hal ini terjadi di komunitas pendidikkan agama Islam. Artinya jika komunitas pendidikkan saja -sebagai bagian dari transmisi ajaran Islam- menunjukkan sikap demikian, maka bisa dibayangkan bagaimana dengan komunitas awam.



[1] Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 7.
[2]Perbincangan pluralisme menurut Amin Abdullah sesungguhnya tak lebih seperti put a new wine in the old bottle (memasukkan minuman anggur baru dalam kemasan lama). Baca M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000), 68.
[3] Alwi Shihab, Islam…,340
[4] Bachtiar Effendi, “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living Together in Plural Societies; Pengalaman Indonesia Inggris,  ed. Raja Juli Antoni (Yogyakarta: Pustaka Perlajar, 2002), 239-249.
[5] Lihat “Kekerasan Keagamaan di Kalangan Muslim: Mempertimbangkan Faktor Pendidikkan” dalam Buletin Islam & Good Governance, Edisi XIII, September (Jakarta, PPIM UIN Jakarta, 2006), 1 – 8.
[6] Ibid.

Urgensi Studi Agama


Mencermati perjalanan umat beragama di Indonesia 30 tahun terakhir, sebagaimana tercermin dalam tawaran pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para intelektual Muslim Indonesia, tampak bahwa di kalangan umat beragama ada segudang persoalan. Persoalan-persoalan itu ada yang sudah terlesesaikan, ada yang masih dalam proses penyelesaian, dan ada juga yang belum terselesaikan.  Beberapa persoalan dalam hubungan antar umat beragama terasa masih berlanjut sampai masa sekarang dan mungkin sampai masa yang akan datang. Beberapa kasus yang menimpa umat beragama, seperti di Poso, adalah satu contoh yang masih hangat di telinga.
Di tengah umat beragama yang terbiasa melihat dunia hanya dari perspektif agama mereka secara spesifik sehingga memunculkan Kristen-sentris dan Islam-sentris, maka kebutuhan untuk belajar lebih banyak tentang agama orang lain adalah sangat penting. Kita perlu mengembangkan   kesadaran  konstruktif mengenai “agama-agama lain”. Selain itu,  diskusi dan sikap menerima terhadap  masyarakat yang pluralistik  menjadi sesuatu yang sangat menentukan pada masa-masa mendatang.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agama (studi agama) terhadap persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan dalam konteks relasi antar umat beragama. Kajian-kajian itu adalah usaha untuk melakukan kritisisme situasi sejarah yang seringkali menunjukkan kesalahpahaman antar umat beragama. Melalui kajian-kajian itu dimungkinkan tidak hanya dapat menemukan fakta-fakta tetapi juga meneliti fakta-fakta  yang berarti pada masa lalu atau berarti pada masa sekarang. Hendaknya  studi agama-agama tidak hanya berkonsentrasi pada fakta-fakta agama tetapi juga pada hal-hal yang telah diinterpretasikan oleh pemeluk agama dalam semua varietasnya. Di Indonesia, perkembangan studi agama di beberapa pendidikan tinggi dan lembaga-lembaga lain menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan, sehingga pencarian titik temu agama-agama bisa lebih banyak alternatif. Seperti yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah, seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bahwa pintu masuk titik temu agama-agama bisa melalui etika dan spiritualitas. Ia mengemukakan:
“Al-Qur’an hanya mengajak kepada seluruh penganut agama-agama lain dan penganut agama Islam sendiri untuk mencari “titik temu” (kalimatun sawa’) di luar aspek teologis yang memang sudah berbeda sejak semula. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang perenial, abadi, tanpa henti-hentinya. Pencarian titik temu antar umat beragama dapat dimungkinkan lewat berbagai cara, salah satunya lewat pintu masuk etika, karena lewat pintu masuk etika manusia beragama secara universal menemui tantangan-tantangan kemanusiaan yang sama. Lewat pintu masuk etika ini – untuk tidak mengatakan lewat pintu teologis—manusia beragama merasa mempunyai puncak-puncak keprihatinan yang sama. Untuk era sekarang, tantangan scientisme dengan berbagai implikasinya, tantangan lingkungan hidup, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan (human dignity), menghormati hak asasi manusia adalah merupakan agenda bersama umat manusia tanpa pandangan “bulu” keagamaannya. Lewat pintu etika ini, seluruh penganut agama-agama dapat tersentuh “relijiusitas”nya, untuk tidak hanya menonjolkan “having a religion”nya. Lewat pintu etika, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih terasa promising and challenging dan bukannya hanya terfokus pada dimensi formalitas lahiriyah kelembagaan agama.”[1]

Keperluan yang urgen untuk melakukan studi agama adalah pada tiga aspek. Pertama,  mengkaji sejarah relasi-relasi antar umat beragama. Dialog antar umat beragama, sebagaimana yang pernah terjadi dalam rentang sejarah, harus dilihat sebagai momen yang istimewa dalam sejarah relasi umat beragama dan interaksi pada umumnya. Kedua, mengkaji relasi-relasi yang sedang terjadi pada masa sekarang; misalnya tentang  perkembangan-perkembangan pada hari-hari ini dan implikasi-implikasinya bagi relasi mereka. Ketiga, mengkaji akar-akar konflik antara komunitas-komunitas beragama dan mencari solusi  yang tepat untuk memecahkan konflik semacam itu. Dalam studi semacam itu tentu saja diperlukan kontribusi  ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora untuk menghindari konflik-konflik di  masa depan.
Adanya perbedaan agama-agama itu bukan berarti tidak ada “titik temu” yang dapat melahirkan mutual understanding di antara mereka. Titik temu itu bisa berupa kesatuan yang bersifat social, teologis dan etis (moral). Selain itu, titik temu bukan hanya berarti dimensi eksoteris (lahiriyah) agama-agama, tetapi juga dimensi esoterisnya (batinnya). Dialog antar agama bukanlah sesuatu yang diharamkan. Al-Qur’an sebagai kitab suci kaum muslimin telah berdialog dengan agama-agama lain yang hadir sebelum datangnya. Pengakuan dan ajakan dialog itu bisa dilihat dalam surat Ali Imron ayat 64. Dalam masalah dialog dan hubungan antar agama, tawaran Al-Qur’an adalah teologi inklusif yang ramah, dan menolak eksklusivisme. Al-Qur’an bersikap positif terhadap agama-agama lain.
Selain itu, penulis menekankan pentingnya moralitas dan etika dalam mencari jalan keluar untuk mengembangkan dialog di masa depan. Dalam hal ini umat beragama, khususnya umat Islam, dapat belajar dari pengalaman Nabi Muhammad ketika mengimplementasikan pengalaman toleransi, kerukunan antar umat beragama dan pengakuan akan pluralisme agama yang pernah dialami oleh umat beragama pada masa Nabi.
Pengalaman Nabi yang paling awal adalah pengalaman hidup bersama dengan pemeluk agama lain. Sebagaimana dikatakan Michael H. Hart bahwa di kota Mekkah sebelum datangnya Islam ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Yahudi dan Nasrani, serta sejumlah besar penyembah berhala.[2] Di antara mereka adalah Waraqah bin Naufal, Usman ibnu Huairis, Abdullah ibnu Djahsy dan Zaid ibnu Umar.[3] Kontak telah terjadi di antara mereka. Di antara pemeluk agama saat itu melihat ada kesamaan antara agama yang dibawa Musa. Tokoh yang sempat terekam mengakui kesamaan apa (wahyu) yang diterima oleh Nabi dan Musa adalah Waraqa bin Naufal.
Ketika itu, Muhammad menceritakan kepada istrinya Khadijah tentang apa yang telah dialaminya di Gua Hira ketika didatangi Malaikat Jibril dan disampaikan wahyu dari Allah. Setelah Khadijah mendengar cerita dari Muhammad dan ketika Muhammad sedang tidur, Khadijah berkonsultasi dengan saudara sepupunya (anak pamannya) Waraqa bin Naufal[4] perihal apa yang telah dialami Muhammad. Waraqa kemudian mengakui bahwa Muhammad adalah Nabi umat ini, meski ia belum bertemu dengan Muhammad.[5] Kemudian ketika Nabi Muhammad bertemua dengan Waraqa bin Naufal pada saat akan mengelilingi Ka’bah, Waraqa mengingatkan kepada Muhammad bahwa beliau adalah Nabi atas umat ini. Dikatakannya bahwa Muhammad telah menerima Namus besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Ia juga mengingatkan bahwa tantangan Muhammad sangat berat.[6]
Pengalaman yang sangat berkesan dan memiliki bekas yang sangat berharga adalah ketika Muhammad menyarankan kaum Muslimin untuk pergi ke Abisinia (Habsyi atau Ethiopia) yang penguasa dan rakyatnya memeluk agama Kristen.[7] Pengalaman itu menunjukkan betapa antar pemeluk agama bisa hidup rukun dan saling menerima antara satu dengan lainnya. Mereka tinggal di Abisinia sampai sesudah hijrah Nabi ke Yatsrib.[8]
Orang-orang Islam mendapat perlindungan keamanan Raja Najasy dari ancaman kaum kafir Quraisy yang mengejar sampai ke negeri Abisinia. Raja Najasy sempat berdialog dengan umat Islam berkenaan dengan keberadaan agama Islam yang menganjurkan untuk berlaku jujur, dapat dipercaya,  bersih, tidak  berdusta, menyambung silaturrahmi, menyudahi pertumpahan darah dan sebagainya. Dialog tersebut membahas juga tentang posisi Islam dan Nasrani. Mengenai hal ini, Raja Najasy mengibaratkan dengan menggoreskan tongkat di tanah dan dia berkata, “Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini.”[9] Selama di Abisinia kaum muslimin merasa aman dan tenteram.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa antara agama-agama, terutama agama Ibrahimi (abrahamic religions), memiliki titik-titik persamaan. Titik-titik persamaan ini bahkan sampai pada hal-hal yang bersifat teologis, misalnya tentang keesaan Tuhan (tauhid). Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan moralitas dan etika dalam kehidupan sesama manusia, seperti sopan santun, kejujuran, keadilan, kesejahteraan, saling menghormati, saling menghargai dan lain-lain.
Pengalaman berikutnya adalah pengalaman ketika umat beragama (umat Islam, Nasrani dan Yahudi) menjalin hubungan kehidupan bernegara. Ketika pada periode Madinah, hubungan umat Islam, umat Nasrani dan Yahudi ditandai terbentuknya negara kota Madinah yang menjunjung tinggi pluralitas, baik agama, suku dan golongan. Bahkan sebelumnya, ketika umat Islam baru saja melalukan hijrah ke Madinah, kesadaran pluralitas ini terlihat sangat menonjol. Hubungan umat beragama waktu itu diawali dengan kontak damai antara umat Islam dengan penduduk Madinah, baik yang sudah menjadi muslim maupun yang masih memegang agama dan keyakinan sebelumnya. Semua penduduk menyambut kedatangan umat Islam dengan damai. Bahkan, orang-orang musyrik dan Yahudi menyambut kedatangan Muhammad dengan baik.[10]
Kemudian, dalam bidang politik kenegaraan, Nabi Muhammad memantapkan suatu tatanan kenegaraan yang luar biasa dengan mencoba melihat berbagai pihak dan berbagai kepentingan yang berkembang pada saat itu. Nabi lalu mewujudkan persatuan Madinah dan meletakkan dasar organisasi politik kenegaraan dengan mengadakan persekutuan yang kuat. Lalu disepakatilah Piagam Madinah. Dalam Piagam Madinah itu kaum muslimin –Anshar dan Muhajirin—dengan orang-orang Yahudi dan penduduk Madinah lainnya membuat perjanjian tertulis yang berisi beberapa hal yang prinsip, seperti pengakuan atas agama mereka masing-masing dan harta  benda mereka. Dalam perjanjian itu disinggung juga tentang kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, tentang keselamatan harta benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Itu merupakan sejarah baru dalam kehidupan politik dunia waktu itu.
Secara lengkap isi perjanjian Madinah itu dimuat dalam buku Sirah Muhammad karya Ibnu Ishak, yang banyak dinukil oleh tokoh-tokoh sejarah.[11] Di antara isi Piagam Madinah adalah bahwa negara mengakui dan melindungi kebebasan menjalankan ibadah agama masing-masing, semua orang memiliki kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat.[12] Dari situlah penduduk Madinah memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, lintas agama dan lintas suku.
Pengalaman-pengalaman di atas memberi gambaran bahwa kemajemukan agama tidak menghalangi untuk hidup bersama, berdampingan secara damai dan aman. Bahkan, kemajemukan agama tidak menghalangi umat beragama untuk membangun suatu  negara yang bisa mengayomi dan menghargai keberadaan agama-agama tersebut. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing menjadi modal dasar yang sangat menentukan. Pengalaman-pengalaman Nabi di atas mengandung dimensi moral dan etis. Di antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah saling menghormati dan menghargai agama/pemeluk agama lain. Jika masing-masing pemeluk agama memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka kerukunan, perdamaian dan persaudaran bisa terwujud.



[1]M. Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. IV. Th. 1993, hlm. 21.
[2]Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi (Jakarta : Pustaka Jaya, 1990), cet. XII, hlm. 28.
[3]A. Sjalabi, Sedjarah dan Kebudajaan Islam (Djakarta : Djajamurni, 1970), hlm. 45.
[4]Waraqa adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bibel dan sudah pula menerjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab.
[5]Lihat A. Guillaume, The Life of Muhammad: A Translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah, (Karachi : Oxford University Press, 1970), hlm. 111-116. Lihat juga Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta : Tintamas, 1984), hlm. 93-94. Lihat juga Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djah dan Humam (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), hlm. 21.
[6]Ibid. Lihat juga Chadijah Nasution, Sejarah dan Perkembangan Dakwah Islam (Yogyakarta : Ideal Offset, 1978), hlm. 1.
[7]Lihat A. Guillaume, The Life of Muhammad., hlm. 146-148. A.Sjalabi, Sedjarah dan Kebudajaan Islam., hlm. 65. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 22.
[8]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad., hlm. 118.
[9]Ibid., hlm. 122.
[10]Lihat W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (London : Oxford University Press, 1956), hlm. 195-204.
[11]A. Guillaume, The Muhammad Life, hlm. 231-233. Lihat juga Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 84.
[12] Lihat Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram, hlm. 93-94.