Selasa, 03 April 2012

NEO-LIBERALISME DAN NASIONALISME



            Seperti halnya  sistem pemerintahan dan politik, sebuah sistem ekonomi pastilah didasarkan atas pemikiran atau aliran filsafat tertentu. Demikian pula halnya dengan dua sistem ekonomi yang sedang diperdebatkan  di negeri kita, yaitu neo-liberalisme dan ekonomi kerakyatan. Karena itu dua sistem ini tidak saja dapat diperdebatkan dari perspektif ekonomi, tetapi juga dari perspektif filsafat sebagaimana akan saya  lakukan.
            Aliran pertama lazim disamakan dengan ekonomi pasar bebas dan berakar dalam perpaduan pemikiran sosial, politik dan ekonomi, serta anthropologi falsafah seperti liberalisme, utilitarianisme, individualisme, materialisme, kapitalisme, hedonisme, dan lain sebagainya. Yang kedua lahir dari paham seperti  altruisme, kolektivisme, dan sosialisme,  baik sosialisme bercorak sekular maupun keagamaan. 
            Ekonomi kerakyatan dipandang sebagai sistem yang sesuai dengan semangat UUD 45, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Karena itu sering dihubungkan apa yang disebut sebagai Ekonomi Konstitusi.  Mohamad Hatta (1959) menyebutnya sebagai Ekonomi Terpimpin. Dalam perkataan ‘kerakyatan’ itu tersimpul dasar keadilan sosial atau demokratis, yaitu satu untuk semua, semua untuk satu, dan semua untuk semua (Hadori Junus, dalam Mubyarto 1980). Dalam sistem ini dikehendaki produksi dikerjakan untuk kepentingan bersama dan secara bersama-sama pula, melalui koperasi, dengan pengawasan masyarakat secara terpimpin.
            Tetapi malang, sistem yang dipandang berpihak kepada rakyat ini tidak dilaksanakan dengan baik sebagaimana terbukti dengan mandegnya perkembangan koperasi. Sarjana-sarjana ekonomi mencari sumber kegagalannya pada strategi pembangunan ekonomi yang cenderung bersifat liberal-materialistis, terutama yang dijalankan pada masa pemerintahan Orde Baru (Jan Mokoginta 1979). Menurut Mubyarto (1980) sistem yang tersimpul dalam kebijakan pembangunan Orde Baru tidak sesuai dengan GBHN, sebab dalam GBHN jelas sekali ciri-ciri negatif dari sistem ekonomi liberal ditolak seperti misalnya free-fight liberalism, etatisme dan kecenderungan monopoli serta oligapoli. Di bawah strategi pembangunan seperti itu, yang kelak memberi jalan lempang bagi neo-liberalisme, bangsa Indonesia menderita dan lumpuh, serta akhirnya jatuh ke tangan eksploitasi asing. Dampak dahsyatnya pula tidak kalah sangat dirasakan secara cultural, berupa suburnya pola dan gaya hidup konsumtif dan hedonis.

Sejarah Neo-liberalisme



Istilah neo-liberalisme sebenarnya telah lama diperkenalkan di Indonesia, yaitu oleh Mohammad Hatta dalam bukunya Ekonomi Terpimpin (1959). Sebutan ini merujuk kepada pemikiran tiga filosof ekonomi terkemuka pasca-Perang Dunia II – Walter Euchen, Friedrich von Hayek, dan Wilhelm Ropke.  Mereka menuntut adanya peraturan yang menjamin lancarnya persaingan bebas dapalm kehidupan ekonomi seperti ketetapan nilai mata uang, adanya pasar terbuka di banyak negara, pemilikan swasta atas sarana produksi, kebebasan membuat perjanjian yang tepat mengenai tanggung jawab perusahaan dan politik perekonomian sesuai.           
            Secara umum paham ini lahir dari rahim aliran filsafat liberalisme atau paham serba bebas. Pencetusnya dua filosof Inggeris abad ke-17 M, Thomas Hobbes dan John Locke.  Aliran ini berkembang pasat pada abad ke-18 M. Menurut dua filosof ini dalam kodratnya manusia bukanlah mahluk altruistik atau cinta kepada masyarakat. Karena itu cenderung pula tidak kooperatif atau bekerja sama dengan sesama anggota masyarakat. Bawaan manusia sebagai hewan berakal (animal rationale)  adalah mengutamakan kepentingan pribadi.
Dalam bukunya Leviathan Thomas Hobbes mengatakan bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” (homo homini lopus). Semboyannya yang lain yang terkenal ialah “a war of all against all”. Untuk mengatasi situasi hukum rimba yang serba kejam itu harus ada negara yang dikuasai oleh satu orang secara mutlak, yaitu monarki absolute. Bentuk kekuasaan absolut ini dijumpai dalam pribadi Raja Louis IX yang terkenal dengan semboyannya “Le`etat est moi” (negara adalah saya).  
            Dengan jalan piikiran yang sama John Locke membawa liberalismenya ke tempat lain. Kebebasan, menurutnya, tak punya nilai instrinsik. Nilai ditambahkan manusia dalam kehidupan sosialnya. Ia menunjuk property sebagai sumber nilai yang membawa manusia mau hidup bermasyarakat. Hanya hal-hal yang bersifat kebendaan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun suatu masyarakat. Lebih jauh baginya kehidupan sosial tak lebih daripada gelanggang persaingan bebas antar individu. Sebaik-baiknya cara agar masyarakat maju dan berkembang ialah dengan membiarkan persaingan itu berlangsung tanpa campur tangan negara.
Berdasarkan pemkiran dua fiolosof abad ke-17 itu Adam Smith (1723-1790) mengembangkannya menjadi aliran pemikiran ekonomi. Menurutnya pusat kehidupan sosial yang ideal adalah pasar. Di sini liberalisme, dalam pengertian ekonomi, ia artikan sebagai  pemeliharaan kebebasan individu untuk berjual beli dan saling bersaing dengan bebas di pasar. Motivasi jual beli bukan kerjasama, melainkan kepentingan pribadi. Hasil akhir persaingan yang fair ialah keadilan, asal saja setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk bersaing (Mead 1972:14-6).
Dalam bukunya An Enquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) Adam Smith mengatakan bahwa sebagai mahluk ekonomi manusia cenderung memburu kenikmatan dan keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya. Jika tabiat bawaan manusia yang individualistik, egosentrik dan condong pada kebebasan ini dibiarkan berkembang tanpa campur tangan pemerintah/negara, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang memadai dari faktor-faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan,  dan dengan demikian inovasi dan kreativitas dapat  berkembang.
Bersumber dari pemikiran Adam Smith, pada akhir abad ke-18 bersamaan dengan berkobarnya Revolusi Perancis dan lahirnya Revolusi Industri di Inggeris,  lahir pula dua aliran pemikiran yang dominan.  Yaitu  individualisme di bidang hukum dan anthropologi filsafat, dan ide psar terbuka yang berkaitan dengan perkembangan industri.  Menurut paham inidividualisme, manusia yang lahir dengan bawaan bebas dan hidup bebas, tidak boleh dikekang kebebasannya. Paham ini sangat dominant pada abad ke-20 dalam kehidupan politik, ekoomi, dan seni.
Aliran kedua berkenaan dengan berpindahnya pusat usaha dari kaum merkantilis (pedagang) ke tangan kaum industrialis. Kaum industri yang menguasai modal ini pantang berkoalisi seperti partai-partai politik, dan hanya bisa membuat persekutuan modal dalam bentuk perseroan terbatas. Semakin lama persekutuan ini kian kuat dan mengancam kehidupan kaum pekerja yang dilarang berserikat. Dari perkembangan inilah lahir badan-badan monopoli atau oligopoly yang begitu berkuasa. Tetapi sebagai hasil dari perjuangan kaum sosialis, negara-negara industri di Eropa memperkenankan kaum buruh membentuk serikat pekerja untuk memperjuangkan nasibnya.
Pada awal abad ke-20 zaman keemasan individualisme ekonomi mulai pudar. Perag Dunia I (1914-1918) mendorong negara-negara kapitalis memberlakukan banyak auran yang mengekang sistem pasar bebas. Krisos ekonomi pada decade 1920an juga mendorong negara-negara Eropa untuk menyusun industrinya masing-masing dengan berbagai proteksi. Pada tahun 1929 krisis hebat melanda kapitalisme disusul dengan bayangan bangkitnya kembali Fascisme Jerman dan Italia. Berbagai regulasi diberlakukan agar ekonomi rakyat tidak ambrug. Pada masa inilah gagasan Ekonomi Terpimpin atau yang semacam itu mulai diterapkan di beberapa negara Eropa.
            Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, seorang ahli ekonomi terkenal Karl Polanyi menerbitkan buku yang kemudian masyhur The Great Transformation (1944). Dia mengecam keras masyarakat industri kaplitalis yang mendasarkan perkembangan ekonominya pada sistem pasar bebas. “Dengan mengakui mekanisme pasar sebagai satu-satunya penentu nasib manusia dan kondisi alam lingkungannya,” kata Polanyi, “kerusakan besar akan menimpa masyarakat.” (hal 73).  “Kerusakan itu tidak akan terjadi jika kepentingan masyarakat tidak diabaikan di atas kepentingan individu.”
            Pandangan Polanyi dan lain-lain berpengaruh besar di dunia, ditopang lagi dengan Perang Dingin antara Blok Barat yang kapitalis dengan Bolok Timur yang sosialis-komunis. Neo-liberalisme untuk sementara waktu harus bertiarap.
Memasuki dekade 1970an sistem sosialisme mulai memperlihatkan kegagalan dan negara-negara industri mulai mengalami krisis. Keyakinan akan keunggulan sistem pasar bebas mulai bertunas kembali. Pada tahun 1974 Robert Nozick, seorang filosof politik Amerika, menerbitkan buku Anarchy, State and Utopia yang kemudian masyhur dan dianggap sebagai tanda nyata lahirnya kembali liberalisme dalam bentuknya baru. Dalam bukunya itu Nozick mengatakan bahwa tugas negara bukanlah memaksakan sistem dan pola tertentu bagi kehidupan warna negara, termasuk kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaannya.
Menurutnya, gagasan tentang keadilan dan pemerataan bertentangan dengan kodrat manusia yang menginginkan kebebasan penuh. Negara karenanya tidak boleh melakukan intervensi atas apa yang berlalu di pasar. Biarkan pemodal dengan modalnya saling bersaing. Peranan negara dengan demikian harus ditekan seminimal mungkin dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Urusan negara yang terpenting adalah menentukan kebijakan luar negeri. Berdasar pemikiran Nozick, seorang ahli ekonomi terkenal dari Universitas Chicago Friedrich von Hayek dan para pengikutnya seperti Milton Friedman mengembangkan pemikiran yang dikenal dengan sebutan ekonomi pasar bebas atau neo-liberalisme
Pada akhir 1970an gagasan neo-liberalisme mulai tersebar luas dan diterima banyak sarjana dan pemimpin negara maju. Antara lain Ronald Reagan dan Margareth Tatcher. Tatcher sendiri adalah seorang pengikut von Hayek, yang meyakini kebenaran teori Darwin tentang survival of the fittest.  Begitu terpilih jadi PM Inggeris pada tahun 1979, ia mencanangkan doktrin neo-liberalismenya yang dikenal dengan sebutan TINA (There is No Alternative). Dalam doktrinnya itu dikemukakan keutamaan persaingan bebas dalam kehidupan manusia, termasuk persaingan antar bangsa, negeri, perusahaan besar, dan umat berbeda agama, serta persaingan antar individu dalam masyarakat (Susan George 1999).
Persaingan bagi Tatcher adalah kebajikan tertinggi. Akibat-akibat daripadanya tidak boleh dipandang buruk. Pasar adalah pusat kebijakan dan kebajikan tertinggi, menggantikan peranan Tuhan. Sebagaimana Tuhan pula ia dapat menelorkan kebaikan dari sesuatu yang tampaknya jahat dan buruk. Melalui kebijakannya itu sector public dihancurkan. Akibatnya antara tahun 1979-1995 jumlah pekerja di Inggris dikurangi dari 7 juta menjadi 5 juta. Sementara itu income yang diperoleh negara dari pajak bukannya digunakan untuk kepentingan public, melainkan untuk menutupi hutang perusahan-perusahaan besar dan memberikan suntikan modal baru agar bangkit kembali dari kebangkrutan.

Ciri-ciri Neo-liberalisme



Seperti liberalisme klasik, neo-liberalisme menolak nilai-nilai moral dan agama yang diangkapkan dalam slogan Hak Asasi Manusia. Masyarakat tidaklah penting, sebab yang asasi adalah kebebasan individu. Pendek kata sebagai doktrin ekonomi, neo-liberalisme menghendaki perluasan perdagangan bebas tanpa kontrol dan regulasi. Idea utamanya ialah persaingan bebas antara pemilik modal yang satu dengan yang lain. Tujuannya menciptakan keuntungan sebesar-besarnya bagi penguasa pasar, yaitu pemilik modal besar. Seperti dikatakan Marcos, pemimpin gerakan Zapatista di Meksiko, “Kaum neo-liberalis ingin menciptakan seluruh dunia menjadi Mall raksasa  sehingga dengan mudah dapat membeli penduduk pribumi, wanita dan anak-anak mereka dengan harga murah sebagai tenaga kerja, berikut tanah milik dan sumber kekayaan alam mereka.”
Sebagai paham ekonomi jelas neo-liberalisme bukan suatu yang baru.  Kebaruannya disebabkan penyebarannya yang begitu luas ke seluruh dunia,. Walau kata-kata tersebut jarang terdengar di AS, kata Elizabeth Martinez  dan Arnoldo Garcia (2005), dampak buruknya pada akhirnya dirasakan di negeri asalnya sendiri. Di sana yang kaya (20%) bertambah kaya, dan yang miskin (80%) bertambah-tambah miskinnya. Di seluruh dunia kebijakan neo-liberalis  dipaksakan melalui tangan lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan dunia seperti IMF, ADB, WTO, IGGI (untuk Indonesia), Bank Dunia, dan lain-lain. Yang memicu lahirnya kembali liberalisme konomi ini ialah krisis kapitalis sepanjang 25 tahun terakhir, berupa anjlognya keuntungan yang mereka peroleh sejak awal dekade 1970an yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengagguran.
Istilah neo-liberalisme untuk pertama kali memang muncul di Amerika Latin, anak benua yang paling awal merasakan dampak buruknya. Sejak itu kaum intelektual negeri itu berkeyakinan bahwa kendati neo-liberalisme merupakan fenomena negara Barat kapitalis, namun yang paling menderita disebabkan dampaknya ialah negara-negara berkembang. Secara garis besar pendirian neo-liberalisme dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, ia merupakan paham yang menekankan pada kekuasaan pasar. Menurut paham ini adanya pasar bebas tanpa pengawasan dan regulasi yang ketat akan memungkinkan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Reagan menyebutnya sebagai kebijakan ekonomi suply side, yaitu suatu kebijakan yang dapat mengucurkan kemakmuran secara cepat dan meluas dari atas ke bawah. Dalam perkembangannya terbukti bahwa kemakmuran menumpuk di atas, sedangkan milik yang di bawah semakin terkuras. Kesenjangan kaya dan miskin semakin menjadi-jadi. Jika terjadi krisis ekonomi, maka yang menanggung beban ialah mayoritas penduduk yang miskin,
Kedua, untuk meminimalkan peranan negara dilakukan pemotongan besar-besaran anggaran negara untuk sektor-sektor seperti  pelayanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan juga kebudayaan dan keagamaan. Suplai dan subsidi bahan bakar dan air juga dikurangi, sehingga beban masyarakat bertambah berat. Biaya pendidikan dan kesehatan bertambah mahal.
Ketiga, deregulasi. Perusahan-perusahaan besar wajib mengenyampingkan regulasi dari pemerintah apabila keuntungan yang mereka peroleh berkurang.  Dalam kaitan ini pasar mempunyai kekuasaan untuk mengatur opini dan pemikiran masyarakat, yaitu melalui media yang mereka miliki atau kuasai. Termasuk selera seni atau budaya. Pasar juga berusaha melakukan hegemoni penafsiran terhadap konstitusi, wacana keagamaan, politik, dan falsafah. Misalnya melalui LSM dan lembaga pendidikan yang mereka danai.
Keempat, privatisasi. Dengan privatisasi perusahaan negara terbuka peluang bagi investor asing untuk menguasai dunia perbankan , sarana transportasi, media informasi dan komunikasi, bahkan media cetak, elektronik, dan penerbitan buku, sekolah, lembaga penelitian sosial dan keilmuan, lembaga keagamaan, dan lain sebagainya. Tidak mengherankan di banyak negeri berkembang seperti Indonesia, Filipina, Thailand, dan lain-lain neo-liberalisme sanggup menjadikan negara sebagai benar-benar sebuah pasar bebas.
Kelima, tak kalah penting ialah apa yang disebut penciutan komunitas-komunitas besar dalam masyarakat menjadi komunitas-komunitas kecil yang terpecah belah serta sukar terintegrasikan. Neo-liberalisme lihai menciptakan komunitas-komunitas kecil di bidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi, keuangan, politik, bahkan dalam bidang keagamaan, seni, dan lain sebagainya. Dengan demikian masyarakat kian terpecah belah.
Pada peringkat internasional,  neo-liberalisme dapat disebut sebagai paham yang memberi tekanan kepada: (1) Keleluasan perdagangan barang komoditi dan jasa, termasuk film, hiburan, senjata, dan lain-lain kendati komoditi-komoditi tersebut menimbulkan kerusakan moral. Biasanya ini ditamengi dengan hiruk pikuknya wacana seperti kebebasan berekspresi, pluralisme, multikulturalisme, relativisme nilai, dan lain sebagainya; (2) Perputaran modal yang lebih bebas, dengan akibat hancurnya modal kecil dan menengah dibawah kekuatan modal besar; (3) Kebebasan menanamkan investasi dalam berbagai sektor kehidupan asal saja mendatangkan keuntungan berlipat ganda. Termasuk di dalamnya sektor pendidikan, kesehatan, penerbitan buku, massmedia, telekomunikasi, transportasi, dan lain sebagainya.
Dalam bukunya La Mondialisation du capital (Penduniaan Modal) Dumeil dan Levy mengatakan bahwa neoliberalisme telah merebut kekuasaan negara di dunia melalui modal finansial. Tujuan kudeta itu ialah untuk merintangi negara-negara lain di dunia menjalankan kebijakan ekonomi yang memihak rakyat.  Karena itu ia juga menghalangi bangkitnya kembali nasionalisme, yang di dalamnya kebudayaan nasional dimungkinkan tumbuh dengan subur melalui kebijakan yang mandiri.

Ekonomi Kerakyatan dan Terpimpin



            Semangat UUD 45 cenderung ke sosialisme religius. Ini dapat dilihat pada pasal 33 dasar konstitusi negara kita tersebut. Sistem ekonomi kerakyatan atau terpimpin adalah pengejawantahannya. Ia juga sejalan dengan cita-cita nasionalisme Indonesia sebagaimana diyakini para pendiri negara ini. Ia, nasionalisme kita, lahir pada awal abad ke-20 sebagai bentuk perlawanan atau penentangan terhadap kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan negara kapitalis.
Dalam kolonialisme terkandung tiga hal: (1) Politik dominasi dan hegemoni; (2) Eksploitasi ekonomi; (3) Penetrasi budaya.  Karena itu nasionalisme Indonesia mengandung juga  tiga aspek penting yang berlawanan:  (1) Aspek politik. Nasionalisme Indonesia bertujuan  menghilangkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat (lihat pidato-pidato Bung Karno, Hatta, dan pemimpin yang lain seperti Ruslan Abdulgani); (2) Aspek sosial ekonomi. Nasionalisme Indonesia muncul untuk menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang mandiri dan kreatif; (3) Aspek budaya. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman.
Sistem ekonomi yang sesuai dengan jiwa nasionalisme Indonesia ialah ekonomi kerakyatan yang oleh Bung Hatta disebut ekonomi terpimpin. Ada pula yang menyebutnya sebagai Ekonomi Kesejahtaraan yang merupakan percampuran kapitalisme dan sosialisme. Menurut Bung Hatta, ekonomi terpimpin merupakan konsekwensi dari nasionalisme Indonesia yang timbul sebagai perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme. Dalam menancapkan kekuasaannya pemerintah kolonial menggunakan sistem kapitalisme perdagangan yang eksploitatif dan menjadikan negeri ini  sebagai perkebunan raksasa. Dengan itu rakyat Indonesia dieksplotasi sebagai buruh perkebunan dengan gaji rendah, sedangkan pemerintah Belanda memperoleh keuntungan yang besar.
             Ekonomi terpimpin adalah juga lawan dari ekonomi liberal yang melahirkan sistem kapitalisme. Ekonomi liberal menghendaki pemerintah tidak campur tanganm dalam perekonomian rakyat dengan membuat peraturan-peraturan ketat (regulasi) yang membatasi gerak bebas pasar. Ekonomi terpimpin adalah sebaliknya. Pemerintah harus aktif bertindak dan memberlakukan peraturan terhadap perkembanan ekonomi dalam masyarakat agar rakyat tidak dieksploitasi, harga tidak dipermainkan dan dengan demikian tercapai keadilan sosial. 
Alasan mengapa ekonomi terpimpin dipandang sesuai dengan cita-cita nasionalisme Indonesia ialah: Karena membiarkan perekonomian berjalan menurut permainan bebas dari tenaga-tenaga masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan yang kuat. Ekonomi liberal bercita-cita memberikan kemakmuran dan kemerdekaan bagi semua orang, tetapi hasilnya menimbulkan pertentangan dan kesengsaraan. Yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah melarat. Sebab kebebasan atau liberalisme yang disandang oleh sistem itu dalam kenyataan hanya dimiliki ioleh segolongan kecil orang (yaitu pemilik modal atau kapital) dan kepada mereka yang segelintir itu sajalah keuntungan dan kemakmuran berpihak, bukan kepada rakyat banyak.
            Tetapi dalam sistem  ekonomi terpimpin itu tedapat banyak aliran. Antara lain: (1) Ekonomi terpimpin menurut ideologi komunisme; (2) Ekonomi terpimpin menurut pandangan sosialisme demokrasi; (3) Ekonomi terpimpin menurut solidaroisme; (4) Ekonomi Terpimpin menurut paham Kristen Sosialis;
(5) Ekonomi Terpimpin berdasar ajaran Islam; (6) Ekonomi Terpimpin berdasarkan pandangan demokrasi sosial.
Semua aliran ekonomi terpimpin ini menentang dasar-dasar individualisme, yang meletakkan buruk baik nasib masyarakat di tangan orang-orang yang mengemudikan kehidupan dan tindakan ekonomi. Ekonomi liberal berdasarkan pada individualisme. Individu (baca kepentingan individu) didahulukan dari masyarakat. Tetapi ekonomi terpimpin mendahulukan masyarakat dari individu. Sekalipun demikian di antara paham-paham ekonomi terpimpin itu ada yang menolak kolektivisme, karena bagi mereka kolektivisme sebenarnya hanya berlaku dalam ideologi komunisme dan sosialisme.
Tetapi terdapat persamaan pula dari sistem ekonomi terpimpin yang berbeda-beda itu, yaitu: (1) Dalam hal menentang individualisme; (2) Dalam hal pemberian tempat yang istimewa kepada pemerintah untuk mengatur dan memimpin perekonomian negara. Perbedaan antara sistem-sistem itu berkenaan dengan seberapa besar campur tangan kekuasaan publik dan bagaimana coraknya campur tangan itu dalam perekonomian individu dan masyarakat. Ideologi komunisme menghendaki campur tangan besar dan menyeluruh dari pemerintah atau negara, sehingga individu ditindas. Sistem ekonomi kpmunis bersifat totaliter, dikuasai oleh negara.
Tetapi ekonomi terpimpin yang lebih sesuai dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah ekonomi bercorak sosialis, yang berkehendak melaksanakan cita-cita demokrasi ekonomi. Dengan diimbangi demokrasi ekonomi, maka sifat individualistis dari demokrasi liberal dapat dikurangi. Di dalamnya campur tangan negara terbatas dan peranan individu tidak sepenuhnya dimusnahkan, hanya saja gerak mereka dibatasi dan diatur demi melindungi kepentingan masyarakat. Bung Hatta bertolak dari pemikiran Lerner, penulis buku The Economics of Control (1919). Unsur-unsur ekonomi kapitalis dan kolektif digabungkan ke dalamnya, menjadi sistem yang disebut  “Welfare economics” atau ekonomi kemakmuran
Dalam sistem tersebut tiga hal yang harus dilaksanakan: Pertama,  segala sumber perekonomian yang ada harus dikerjakan supaya semua orang memperoleh pekerjaan; kedua, melaksanakan pembagian pendapatan yang adil, agar perbedaan atau jurang  besar dalam pendapatan dan kekayaan antara yang kaya dan yang miskin dikurangi; ketiga, menghapuskan monopoli dan oligapoli dalam perekonomian, sebab keduanya melahirkan eksploitasi yang melampaui batas dan pemborosan ekonomi yang besar pula.
Tujuan ekonomi terpimpin dalam bidang demokrasi, menurut Hatta, ialah mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya, dengan tiada menghilangkan kepribadian manusia. Masyarakat didahulukan, bukan individu. Tetapi manusia sebagai individu tidak lenyap sama sekali dalam kolektivitas. Secara umum cita-cita ekonomi terpimpin ialah: (1) Terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat secara keseluruhan sehingga pengangguran dikurangi; (2) Adanya standar hidup yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan; (3) Semakin berkurangnya ketidaksamaan ekonomi dengan memeratakan kemakmuran; (4) Terciptanya keadilan sosial.