Senin, 14 November 2011

Berontak Demi Kaum Perempuan


Fatima Mernissi lahir tahun 1940 di Fez, Marokko.  Ia tinggal dan dibesarkan dalam sebuah harem bersama ibu dan nenek-neneknya serta saudara perempuan   lainnya.  Sebuah harem yang dijaga ketat seorang penjaga pintu agar perempuan-perempuan itu tidak keluar. Harem itu juga dirawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan.

Fatima  Mernissi lahir tahun 1940 di Fez, Marokko.  Ia tinggal dan dibesarkan dalam sebuah harem bersama ibu  dan nenek-neneknya  serta saudara perempuan   lainnya.  Sebuah harem yang dijaga ketat seorang penjaga pintu agar  perempuan-perempuan  itu tidak keluar. Harem itu  juga  dirawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan. Neneknya, Yasmina, merupakan salah satu isteri kakeknya yang berjumlah  sembilan. Sementara hal itu tidak terjadi pada  ibunya. Ayahnya hanya punya satu isteri dan tidak  berpoligami. Hal ini dikarenakan orang tua Mernissi seorang  penganut nasionalis yang menolak poligami. Namun begitu, ibunya tetap tidak bisa baca tulis karena waktunya dihabiskan  di harem.

Sewaktu Mernissi lahir, para nasionalis Marokko berhasil  merebut  kekuasaan pemerintahan  negara  dari  tangan kolonial Prancis. Ini diakui Mernissi, “….jika saya dilahirkan  dua  tahun  lebih awal, saya  tidak  akan  memperoleh pendidikan, saya lahir pada waktu yang sangat tepat”. Kaum nasionalis  yang berjuang melawan Prancis waktu itu,  menjanjikan akan menciptakan negara Maroko yang baru,  negara dengan  persamaan untuk semua. Setiap  perempuan  memiliki hak  yang  sama  atas  pendidikan  sebagaimana  laki-laki. Mereka juga akan menghapuskan praktek  perkawinan  poligami.

Inilah yang membuat ia beruntung karena walaupun  ia tinggal di harem, tapi ia mendapatkan kesempatan  mengenyam pendidikan tinggi. Dalam  buku   The Harem Within ,  Mernissi  menceritakan tentang  masa kecilnya yang ia habiskan di  harem  bersama ibu  dan  nenek-neneknya. Buku ini merupakan  cermin  masa kanak-kanaknya  dalam  sebuah harem di Fez,  yang  dilihat dari kaca mata seorang gadis muda. Namun ia mengakui hanya sebagian  cerita  yang  dalam buku  ini berdasarkan pada pengalamannya sendiri. “Masa kanak-kanak saya tidak  seindah dalam buku ini,” katanya. 

Walaupun Mernissi  menggambarkan  kehidupan harem dengan pesona yang kaya, ia  tidak melupakan  penindasan di dalamnya. Dalam bukunya, ia  juga mengungkapkan  bagaimana  kaum harem  melihat  ke rentang langit dari dalam lingkungan halaman harem dan  memimpikan hal-hal yang sederhana, seperti melangkah bebas di  jalan. Atau bagaimana Mernissi melihat dunia luar dengan  mengintip dari lubang pintu.

Menurut  Mernissi,  orang Barat selalu  memandang  dan membayangkan  harem yang berada dalam istana. Di  sini  ia  membedakan  antara harem kelas tinggi (imperial) dan harem kelas  biasa  (domestik).  Yang  dibayangkan  orang  Barat adalah harem kelas tinggi, yakni istana-istana yang  dimiliki  laki-laki yang kaya raya dan berkuasa, yang  membeli ratusan perempuan budak dan menyimpannya dalam  lingkungan harem dengan dijaga ketat oleh kasim. Harem-harem semacam ini  telah  lenyap pada perang Dunia  I,  ketika  kerajaan Ottoman  hancur  dan  praktek-praktek  itu  dilarang  oleh penguasa  Barat. Sementara harem yang ditinggali  Mernissi adalah  harem  biasa, yang sampai sekarang  masih  ada  di negara-negara Teluk. 

Sejak kecil, Mernissi telah terlibat dengan  pergulatan pemikiran  dan  selalu melontarkan pertanyaan  yang  liar. Misalnya  dalam hal batas antara laki-laki dan  perempuan. Mernissi  kecil   menanyakan, kalau disepakati  ada  batas antara perempuan dan laki-laki, kenapa yang harus ditutupi dan  dibatasi  itu  perempuan. Pertanyaan  itu  selalu  ia lontarkan  kepada  neneknya, Yasmina.  Neneknya  tak  bisa menjawab  pertanyaan  cucunya itu  karena  menurutnya  itu terlalu berbahaya. 

Dalam  masa-masa  ini pula ia memiliki  hubungan  yang sangat  ambivalen  dengan agama.  Ini  dikarenakan  adanya perbedaan  dan ketegangan cara pandang terhadap  Al-Qur’an yang  dia terima di sekolah pengajian Al-Qur’an  dan  yang diajarkan  Neneknya.  Di sekolah Al-Qur’annya,  ia  diajar dengan  cara  yang keras. Setiap hari ia  harus  menghapal ayat-ayat  Al-Qur’an, yang kalau salah melafalkannya  akan mendapat teguran dan bentakan atau pukulan. Dalam  kondisi seperti ini, ia melihat agama sebagai sesuatu yang mengerikan.
  
Sementara, di sisi lain, Mernissi kecil ini lebih  menerima  keindahan  agama  lewat nenek  Yasmina,  yang  telah membukanya  menuju pintu agama yang puitis. Neneknya  yang menderita  insomnia  selalu bercerita  tentang  perjalanan hajinya.  Dan dengan semangat  selalu bercerita tentang dua  kota, Mekkah dan Madinah. Kota yang selalu diburunya adalah kota  Madinah sehingga kota yang lain seperti  Arafah  dan Mina  sering  ia lewatkan hanya karena  ingin  cepat-cepat menceritakan kota Madinah. Hal ini sangat berpengaruh pada Mernissi kecil. Madinah kemudian menjadi kota impian  yang diobsesikannya.

Sikap  ini  melekat pada  Mernissi  selama  bertahun-tahun.  Menurut  Mernissi, Al-Qur’an  sebagai  kitab  suci agama  Islam sangat tergantung pada  bagaimana  perspektif dan resepsi (penerimaan) kita terhadapnya. Ayat-ayat  suci ini  bisa menjadi gerbang  untuk melarikan diri atau  bisa juga menjadi hambatan yang tidak bisa diatasi.  Al-Qur’an, kata  Mernissi, bisa menjadi pembawa kita ke  dalam  mimpi atau malah pelemah semangat belaka.

Sedangkan Ibu Mernissi selalu mengajarkan kepada Mernissi kecil bagaimana  bisa bertindak dan bertahan sebagai  perempuan: “Kamu harus belajar untuk berteriak dan protes, sebagaimana  kamu belajar untuk berjalan dan berbicara,” kata  sang Ibu pada Mernissi. Dari  sang  ibu juga ia  mendapatkan  cerita  tentang bagaimana  agar perempuan bertindak cerdik dan  bijaksana. Ibunya  sering menceritakan kisah-kisah dalam Seribu  Satu Malam.  Cerita ini mengisahkan seorang sultan yang  sangat menggemari dongeng. Dikisahkan, Sultan Nebukadnedzar suatu ketika memergoki permaisurinya berzina dengan pengawalnya. Sang Sultan marah lalu membunuh keduanya. Sejak itu Sultan membenci perempuan. Hal ini membuatnya mempunyai kebiasaan buruk, yakni menikahi perempuan di malam hari, dan  keesokan  harinya  si isteri tersebut harus  dipancung.  Begitu terus  terjadi setiap hari. Tak terbilang banyaknya  gadis yang  mati karena itu. Kebiasaan ini  berhasil  dihentikan oleh  seorang  gadis  bernama  Shahrazad,  dengan  memikat sultan lewat cerita-ceritanya, sehingga sang sultan selalu mengurungkan niatnya untuk memancung gadis itu.

Kebijaksanaan semacam inilah yang disarankan sang ibu.  Pokok penting  ini digaris bawahi, ketika si anak perempuan  itu balik  bertanya: “Tetapi bagaimana kita bisa belajar  tentang  cara mendongeng, yang bisa menyenangkan kati  raja?” Si  ibu  komat-kamit, seakan-akan berbicara  pada  dirinya sendiri,  bahwa itulah pekerjaan seumur  hidup  perempuan. Mernissi  mengakui,  ibu dan  neneknya  yang  mendorongnya untuk  sekolah  yang tinggi, agar perempuan  bisa  berdiri sendiri.



 ***

Ketika  Mernissi menginjak sebagai gadis  remaja,  ia mulai  mendapatkan  pelajaran  agama,  dengan  masuk  pada bidang  as-Sunnah.  Pada  saat itu,  ia  menemukan   suatu kejadian yang membuatnya terluka. Mernissi berkata:





  .......Beberapa  hadis yang bersumber  dari  kitab Bukhori,  dikisahkan oleh para guru pada  kami,  membuat hati saya terluka. Katanya Rasulullah mengatakan bahwa:  “anjing,  keledai  dan perempuan akan  membatalkan  salat seseorang  apabila ia melintas di depan mereka,  menyela diantara orang yang salat dan kiblat”. Perasaan saya amat terguncang mendengar hadis semacam itu, saya hampir  tak pernah  mengulanginya  dengan  harapan,  kebisuan   akan membuat  hadis  ini terhapus dari  kenangan  saya.  Saya bertanya, “Bagaimana mungkin Rasulullah mengatakan hadis semacam  ini, yang demikian melukai  saya…...Bagaimana mungkin  Muhammad  yang terkasih,  bisa  begitu  melukai perasaan gadis cilik, yang disaat pertumbuhannya,  berusaha  menjadikannya  sebagai  pilar-pilar  impian-impian romantisnya.” (Wanita Dalam Islam, h. 82)

Dalam  perjalanan  hidupnya  yang  penuh   pergolakan pemikiran  ini, Mernissi telah membuktikan  bahwa  didikan ibu dan neneknya telah membuahkan hasil. Di samping karena jasa kaum nasionalis yang membolehkan perempuan  mengikuti pendidikan sekolah. Meski begitu, Mernissi mengakui  bahwa banyak  impian nasionalisme Arab belum terwujud.  Poligami belum  dilarang,  perempuan  belum  mencapai  status  yang setara dengan laki-laki dan demokrasi belum menjadi sistem yang dominan di dunia Arab

Kini, Mernissi telah melewati harem dengan dilewatinya berbagai jenjang pendidikan. Ini juga menjadi bukti keberhasilannya  melewati  batas-batas  harem  yang  selalu  ia tanyakan  sejak  kecil.  Ia mendapatkan  gelar  di  bidang politik  dari  Mohammed V University  di  Rabat,  Marokko. Gelar  Ph.D  didapatkan di Universitas  Brandels,  Amerika Serikat tahun 1973. Disertasinya, Beyond the Veil,  menjadi buku teks yang menjadi rujukan dalam pustaka Barat.

Dan  sekarang, ia menjadi dosen tetap dan  guru  besar Sosiologi di Universitas Mohammed V Rabat, yang  merupakan perguruan tinggi almamaternya. Mernissi pun aktif  sebagai seorang  feminis  islam yang aktif  diberbagai  organisasi perempuan Afrika Utara yang menyuarakan  persoalan-persoalan  perempuan Islam dengan mengadakan studi  dan  penelitian. Ia termasuk figur yang cukup diperhitungkan dikalangan aktivis perempuan dunia, khususnya Dunia Islam.

Pikiran dan Karya

Penulis  melihat,  karya-karya Mernissi  sarat  dengan pengalaman individualnya. Setidaknya pengalaman  individualnya itulah yang memacunya untuk melakukan riset historis tentang sesuatu yang dia rasa mengganggu paham  keagamaannya.  Misalnya kita lihat dalam karyanya The  Veil  and Male  Elite (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Menengok kontroversi Keterlibatan Wanita  Dalam  Politik, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) yang kemudian ia revisi  menjadi  Women and Islam: A Historical and Theological Enquiry (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Wanita dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1994). Pelacakan Mernissi terhadap nash-nash suci baik Al-Qur’an dan Hadis didasari  pada pengalaman individunya  sehari-hari ketika berhubungan  dengan  masyarakat. Seperti misalnya hadis-hadis yang ia sebut misoginis yang menyatakan posisi perempuan sama dengan  anjing dan  keledai sehingga membatalkan  salat sesorang,  dikarenakan  rasa ingin  tahu  yang mendalam terhadap posisi Hadis  tersebut. Pengalaman itu ia dapatkan waktu remaja di sekolah.

Begitu juga Hadis tentang  kepemimpinan perempuan yang membuatnya,  dalam  bahasa  Mernissi  sendiri,   “hancur” perasaannya setelah mendengarnya. Dorongan  untuk  melacak hadis itu  secara  serius  karena Hadis itu terlontar dari pedagang yang ia tanya di  pasar, apakah  boleh  perempuan menjadi pemimpin.  Sang  pedagang begitu kaget dengan pertanyaan Mernissi sampai menjatuhkan dagangan yang dibawanya secara tak sadar. Lalu sang  pedagang  mengutip Hadis: “Tidak akan selamat suatu kaum  yang dipimpin oleh perempuan”.

Menurut  Mernissi, peristiwa semacam  itu  menunjukkan Hadis ini sudah sangat merasuk umat Islam. Sehingga ketika perempuan menjadi pemimpin menjadi ramai  diperdebatkan. Seperti kasus Benazir Butho yang waktu itu menjadi Perdana Menteri di Pakistan. Padahal Al-Qur’an sudah  mengungkapkan dengan jelas contoh Ratu Bilqis sebagai pemimpin  berjenis kelamin perempuan

Soal lain yang menjadi concern Mernissi adalah  hijab. Tema hijab sangat dominan dalam karir intelektual Mernissi karena soal itulah yang sejak kecil mempengaruhi dirinya dan  keluarganya,  dan tentunya keluarga  muslim  lainnya. Hijab, yang merupakan instrumen pembatasan, pemisahan  dan pengucilan  terhadap  perempuan  dari  ruang  publik  bagi Mernissi  merupakan  bentuk pemaahaman   keagamaan dominan  (yang nota bene dikuasai oleh laki-laki!).  Hijab juga berarti sarana pemisahan antara penguasa dan  rakyat. Pemikiran hijab yang terakhir ini dipengaruhi oleh  realitas kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat Arab.

Dengan  melakukan penafsiran-penafsiran Al-Qur’an  dan Hadis,  riset  sejarah dan  analisa  sosiologis,  Mernissi berusaha keras untuk membongkar pemahaman tersebut,  untuk kemudian memberikan tafsir alternatif.  Pemikiran Mernissi tentang  hal  ini bisa kita lihat dalam  dua  bukunya  The Forgetten of Queen in Islam (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, Bandung: Mizan, 1994). dan Islam and Democracy (diterjemahkan ke dalam  Bahasa  Indonesia: Islam dan demokrasi: antologi Ketakutan, Jogyakarta: LKiS, 1994).

Dalam beberapa karyanya, Mernissi juga mencoba menunjukkan  bahwa kekurangan-kekurangan yang ada dalam pemerintahan Arab bukanlah karena secara inheren ajaran-ajaran religius yang  nota bene menjadi undang-undang  dasar  pemerintahan tersebut cacat. Namun karena ajaran agama itu telah dimanipulasi oleh orang yang berkuasa untuk kepentingan  dirinya  sendiri.  Namun dalam beberapa hal  Mernissi  membela negara Arab, ketika negara-negara ini disorot dan dicitrakan negatif oleh pers Barat. (Islam dan demokrasi, h. 26)

Dalam  kebanyakan  karya-karyanya,  Mernissi mencoba menggambarkan bahwa ajaran agama bisa dengan mudah dimanipulasi. Karenanya Mernissi pun percaya, penindasan  terhadap perempuan adalah semacam tradisi yang dibuat-buat, dan bukan  dari ajaran agama Islam. Makanya ia  sangat  berani dan  tidak takut membongkar tradisi yang  dianggap  sakral oleh masyarakat selama ini. Banyak tulisan-tulisan lepasnya tentang perempuan yang menyuarakan hal di atas. Misalnya bisa kita lihat dalam bukunya Rebellion’s Women And Islamic Memory, (London & New Jersey:  Zed Books, 1996).

Sebagai seorang sosiolog, tulisan-tulisan Mernissi ini bisa  dikatakan tidak semata-mata berisi  uraian  normatif tapi kaya juga dengan analisa sosiologis. Ini bisa  terlihat  dari  karya-karya  yang di atas  tadi  dan  disertasi doktoralnya yang dibukukan dengan judul Beyond The  Veil (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita Dalam Masyarakat Muslim Modern, (Surabaya: Al-Fikr, 1997). Buku ini merupakan hasil penelitiannya terhadap  perempuan Marokko  tentang batas-batas seksual  perempuan.  Sehingga, seakan-akan  pergulatan intelektual dan pengalamannya  itu yang ia tuangkan dalam karya-karyanya, bisa menjadi representasi persoalan perempuan Islam pada umumnya."Th3"

Rekonstruksi Sejarah Masuknya Islam Ke Jawa


Sejauh ini, perbincangan mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia masih didominasi dua teori yang sudah klasik dan klise, serta disinyalir penulis buku ini mengandung penanaman ideologi otentisitas. Bias ideologi otentisitas itu kira-kira menyatakan, kalau Islam yang datang ke Nusantara bukan berasal dari tanah Arab atau Timur Tengah, maka nilai kesahihan dan ke-afdhal-annya akan dipertanyakan. Makanya, teori pertama tentang datangnya Islam di Nusantara menyatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang yang berasal dari Arab/Timur Tengah. Teori ini dikenal sebagai teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Holander. Bahkan Fazlur Rahman juga mengikuti mazhab ini (Rahman: 1968). Kedua adalah teori India. Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India. Pelopor mazhab ini adalah Pijnapel yang kemudian diteliti lebih lanjut oleh Snouck, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).

Terlepas dari dua teori di atas, para sejarahwan umumnya melupakan satu komunitas yang juga memberikan kontribusi cukup besar atas berkembangnya Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Mereka adalah komunitas Cina-muslim. Meskipun selama ini terdapat beberapa kajian tentang muslim Cina di Jawa, tapi uraiannya sangat terbatas, partikular dan spesifik (hanya menyakup aspek-aspek tertentu saja) di samping sumber-sumber yang dipakai untuk merekonstruksi sejarah juga masih terbatas. Makanya, sampai kini bisa dikatakan, belum ada satu karya ilmiah yang membahas secara ekstensif mengenai kontribusi muslim Cina di Indonesia.

Padahal, eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan pelbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat, sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan-Jepara, menara masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak—terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya, semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup kuat. Bukti lain dapat ditambah dari dua bangunan masjid yang berdiri megah di Jakarta, yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.

Nah, pelacakan Sumanto dalam buku ini tidak berhenti di situ. Ia mendapati bahwa pada nama tokoh yang menjadi agen sejarah, ternyata telah terjadi verbastering dari nama Cina ke nama Jawa. Nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun.

Dengan ditemukannya beberapa fakta sejarah di atas, seharusnya etnis Cina mendapatkan perlakukan yang proposional dari pihak pribumi, khususnya warga muslim. Sikap ramah perlu mereka tunjukkan kepada mereka, sebagaimana sikap terhadap warga negara Indonesia asli keturunan Arab, India, atau Eropa. Namun yang terjadi sepanjang sejarah dan saat ini justru sebaliknya. Pada etnis Cina sebagai komunitas etnis, di mata masyarakat telah melekat sifat-sifat yang mengandung unsur peyoratif seperti kikir, eksklusif, hingga identik dengan Konghuchu. Inilah sebagian pandangan yang diwariskan pihak Belanda kepada masyarakat Jawa di saat institusi kolonial itu mulai mengukuhkan hegemoninya di negeri ini. Sikap antipati yang diwarisi dari Belanda itu berawal dari hubungan harmonis yang terjalin antara masyarakat Jawa dengan etnis Cina, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik pada zaman Belanda mulai menjajah Indonesia. Demi melihat itu semua, kontan Belanda merasa tersaingi, terutama di dalam bidang perdagangan. Puncaknya, Jendral Andrian Valckeiner, mengadakan pembantaian massal atas etnis Cina, yang kemudian dikenal dengan chinezenmoord (pembantaian orang Cina) yang terjadi pada bulan oktober tahun 1740. Setelah tragedi itu, di Kudus juga terjadi pertikaian yang disulut oleh semangat anti-Cina. Ini belum lagi ditambahkan berbagai peristiwa berdarah di negeri ini yang melampiaskan objek kemarahannya pada etnis Cina pada umumnya.

Tidak hanya berhenti disitu, setelah peristiwa 1740, VOC mengeluarkan kebijakan yang disebut passenstelsel, yakni keharusan bagi setiap orang Cina untuk mempunyai surat jalan khusus apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat dia tinggal. Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan wijkenstelsel. Peraturan ini melarang orang Cina untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka membangun “gettho-gettho” berupa pecinan sebagai tempat tinggal. Kedua kebijakan tersebut bermaksud agar mereka mudah diawasi dan dikontrol. Inilah salah satu bentuk politik rasialisme anti-Cina pertama di Jawa, yang lambat laun menciptakan status “in-group” dan “out-group” dalam lapisan masyarakat.Kategori ini kelak menciptakan segregasi sosial-politik-ekonomi Cina dengan pribumi.

Namun argumen yang dipaparkan di atas bukan berarti melegitimasi etnis Cina—baik muslim maupun non muslim—untuk meminta penghargaan atas kontribusi nenek moyang mereka atas islamisasi Jawa, dengan penghormatan yang layak tanpa memperbaiki sikap dengan cara menunjukkan iktikad baik dalam bersosialisasi dengan pribumi. Yang seharusnya terjadi di antara etnis Cina—muslim dan non muslim—dengan pribumi adalah simbiosis mutualisme.

Para sejarahwan yang menyangsikan kontribusi Cina-muslim atas Islamisasi Jawa, umumnya berangkat dari kenyataan sejarah bahwa aliran keagamaan yang dibawa dan dikembagkan oleh Cina-muslim adalah mazhab Hanafi yang berciri rasionalistik. Sedangkan penduduk muslim di Indonesia mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i. Alasan paling mungkin untuk menjelaskan fenomena ini adalah telah terjadi perpindahan mazhab beberapa muslim dari Hanafi ke Syafi’i. Hal itu didorong oleh realitas sosiologis masyarakat Jawa yang tidak memungkinkan persemaian mazhab Hanafi yang rasionalistik. Sebaliknya mazhab Syafi’i dinilai lebih kompatibel dengan semangat kebudayaan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi lokal (local tradition).

Daerah yang dijadikan sebagai objek kajian oleh Sumanto adalah Jawa. Satu hal yang membedakan antara tesis yang dihasilkan penulis buku ini dengan Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Objek kajian yang diteliti Azyumardi Azra adalah Sumatra, selain faktor waktu yang diteliti oleh keduanya juga berbeda. Hanya saja, itu semua tidak mengurangi nilai penting buku ini sebagai sebuah dokumen analisis sejarah. Buku ini mencoba memotret lebih jauh peranan yang dimainkan etnis Cina-muslin dalam proses islamisasi Jawa pada bentangan abad XV dan XVI. Tujuan buku ini, dengan menganalisis dan mengungkap sisi sejarah masa itu, diharapkan sentimen primordialistik dan semangat anti-Cina yang sudah lama mengakar di dalam persepsi masyarakat Indonesia sedikit demi sedikit dapat berkurang atau hilang sama sekali. Semoga saja!."Th3"