Minggu, 30 Mei 2010

PENGARUH PENGALAMAN TERHADAP PEMBELAJARAN

LATAR BELAKANG

          Pendidikan bukanlah hal yang baru bagi masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Walaupun pendidikan modern, dalam arti yang berasal dari Eropa, mempunyai peranan penting sebagai pemacu maupun pendukung lahir sejarah Indonesia modern yang diawali zaman kebangkitan nasional, sebelum itu berbagai jenis pendidikan sudah terdapat di dalam masyarakat Indonesia.

          Berbagai pengalaman yang telah dialami oleh bangsa ini, terutama di bidang pendidikan telah memberikan kita berbagai wacana untuk menyusun sebuah kurikulum yang dapat mendukung dan menghasilkan sesuatu yang bisa mencapai tujuan yang diinginkan.

          Dari analisa seperti itu dapatlah kita lihat betapa pendidikan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan kebudayaan tidak hanya menyentuh kebudayaan lahir akan tetapi juga kebudayaan bathin.

PEMBAHASAN

Makna Belajar

          Dewasa ini para ahli memandang bahwa siswa adalah seorang individu yang aktif. Oleh karena itu, peran guru bukan sebagai satu-satunya pembelajar, tetapi sekadar pembimbing, fasilitator, dan pengarah. Belajar memang bersifat individual, oleh karena itu belajar berarti suatu keterlibatan langsung atau pemerolehan pengalaman individual yang unik. Belajar, juga tidak terjadi sekaligus, tetapi akan berlangsung penuh pengulangan berkali-kali, bersinambungan, tanpa henti. Belajar yang berarti terjadi bila bahan belajar tersebut menantang siswa. Belajar juga menjadi terarah bila ada timbal balik dan penguatan dari pembelajar. Betapapun belajar yang telah direkayasa secara pedagogis oleh guru, hasil belajar akan terpengaruh oleh karakteristik psikis, kepribadian dan sifat-sifat individual pebelajar.

         Peserta didik/siswa perlu dilibatkan pada PBM (proses belajar mengajar) yang memberi pengalaman bagaimana bekerjasama untuk menyelesaikan suatu tugas. Misalnya, peserta didik diberikan berbagai macam tugas secara berkelompok. Pengalaman belajar seperti ini selanjutnya akan dapat membentuk sikap kooperatif dan ketahanan bersaing dengan pengalaman nyata untuk menghargai segala kelebihan dan kekurangan masing-masing . (Achmad Amiruddin)

         Implikasi lain dari adanya prinsip keterlibatan langsung/berpengalaman bagi guru adalah kemampuan guru untuk bertindak sebagai manajer/pengelola kegiatan pembelajaran yang mampu mengarahkan, membimbing dan mendorong siswa ke arah tujuan pengajaran yang ditetapkan.

         Belajar merupakan sebuah interaksi dan proses adaptasi yang tak pernah selesai antara individu dan masyarakat. Perkembangan dan proses belajar seseorang tidak dapat terjadi tanpa kehadiran pengaruh lingkungan (masyarakat). Proses kognitif ilmu pengetahuan dan keragaman pengalaman tidak hanya memiliki pengaruh terhadap proses penilaian diri (self-appraisal) dan pengembangan harga diri (self-esteem), tetapi juga mempengaruhi proses pencarian makna aspek-aspek diri dan pengembangan konsep diri (self-concept). (Wentzel, K.R.)

         Belajar dapat dilakukan di beragai tempat, kondisi dan waktu. Cepatnya informasi melalui radio, televis, film, wisatawan, surat kabar, majalah dapat mempermudah belajar Meskipun informasi dengan mudah dapat diperoleh, tidak dengan sendirinya seseorang terdorong untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dari padanya. Guru profesional memerlukan pengetahuan dan keterampilan pendekatan pembelajaran agar mampu mengelola berbagai pesan sehingga siswa berkebiasaan belajar sepanjang hayat.

         Maka dari kajian di atas dapat diambil sebuah nilai yang penting. Bahwa, dalam pembelajaran ditemukan adanya dua pelaku, guru berinteraksi dengan siswa, yang keduanya mencapai tujuan pembelajaran atau sasaran belajar yang serupa. Pembelajaran yang mengedepankan siswa yang aktif mempunyai ciri:

1. Pembelajaran yang berpusat pada siswa

2. Guru bertindak sebagai pembimbing pengalaman belajar

3. Orientasi tujuan pada perkembangan kemampuan siswa secara utuh dan seimbang

4. Pengelolaan pembelajaran menekankan pada kreativitas siswa

5. Pelaksanaan penilaian tertuju pada kegiatan dan kemajuan siswa (T. Raka Joni)



Proses Terjadinya Sebuah Pengalaman Seseorang Berdasar Pada Pengamatan

           Pengamatan ialah suatu daya jiwa untuk memasukkan kesan-kesan dari luar dengan menggunakan alat indera. Pengamatan merupakan dasar bagi setiap pengalaman dan pengetahuan seseorang. Fungsi pengamatan ini disebut fungsi reseptif (menerima) dan berlaku pada masa sekarang. Ada 4 faktor yang memungkinkan terjadinya suatu pengamatan: perangsang, alat indera, otak dan perhatian. Karena adanya perhatian maka perangsang diterima alat indera dan terus ke otak melalui urat syaraf sensoris. Di dalam otak perangsang itu diolah dengan bahan-bahan yang sudah ada (bahan-bahan apersepsi), kemudian terjadi penafsiran; perangsang itu dimengerti. Pengamatan selalu terikat oleh waktu dan tempat dan berlangsung di waktu sekarang. Pada manusia setiap pengamatan menghasilkan gambaran-gambaran jiwa yang disebut kesan-kesan yang berupa tanggapan atau pengertian. Kesan-kesan inilah yang kemudian menjadikan pengalaman-pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki seseorang.

          Berkat pengalaman belajar seorang siswa akan mampu mencapai pengamatan yang benar obyektif sebelum mencapai pengertian. Pengamatan yang salah akan mengakibatkan timbulnya pengertian yang salah pula.

Pengaruh Hubungan Antara Pengalaman dan Budaya di Masyarakat

         Pengalaman dari sebuah budaya masyarakat dapat memberikan corak sistem pendidikan yang dinamis terhadap tuntutan perkembangan hidup manusia yang selalu meningkat. Perubahan kultural umat manusia dapat saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya tanpa mengenal batas-batas Negara atau suku bangsa di dunia kita ini. Dengan kata lain, sistem kependidikan harus mampu menampung, mengelola dan mengarahkan ide-ide yang terkandung dalam semua faktor yang membawa perubahan sosial kultural manusia.

         Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang saling berkaitan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula tidak ada praksis pendidikan di dalam vakum tetapi selalu berada di dalam lingkup kebudayaan yang kongkret. Dimana saja, perbedaan seting kultural mempengaruhi cara pendang setiap individu masyarakat melihat dan memahami dirinya (the self). Spencer (1999).

          Contoh kongkrit dalam permasalahan ini adalah tentang kemajuan IPTEK. Kemajuan IPTEK yang berkelanjutan terus harus diimbangi oleh perubahan yang berkelanjutan pula dalam isi yang diajarkan kepada semua jenjang pendidikan. Untuk sebagian besar, perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kurikulum pendidikan menengah di dalam dua dasawarsa mendatang dipengaruhi oleh keperluan untuk meng-up to date-kan bahan pelajaran dengan hasil-hasil perkembangan ilmu pengetahuan selama 50 tahun terakhir. Hal tersebut akan membawa ke dalam kurikulum sekolah bidang-bidang perhatian baru dan metode baru, pemikiran dan pengertian. (D.A. Tisna Amidjaja)
PENUTUP

Kesimpulan

         Dari penyusunan makalah ini maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pengalaman dalam belajar telah memberi pengaruh yang sangat besar diantaranya adalah

1. Bagi peserta didik pengalaman dapat membentuk sikap kooperatif dan ketahanan bersaing dengan pengalaman nyata untuk menghargai segala kelebihan dan kekurangan masing-masing.

2. Bagi pendidik pengalaman dapat menambah kemampuan guru untuk bertindak sebagai manajer/pengelola kegiatan pembelajaran yang mampu mengarahkan, membimbing dan mendorong siswa ke arah tujuan pengajaran yang ditetapkan.

3. Pengalaman dari sebuah budaya masyarakat dapat memberikan corak sistem pendidikan yang dinamis terhadap tuntutan perkembangan hidup manusia yang selalu meningkat.

Demikianlah makalah yang kami susun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada di dalam makalah ini. Maka kami membuka pintu selebar-lebarnya baik saran maupun kritik dari semua pihak demi tercapainya kesempurnaan makalah ini.

 
DAFTAR PUSTAKA

 
Arifin, H.M. Ilmu Perbandingan Pendidikan, Jakarta: Golden Terayon Press, 1986
Cony R. Semiawan & Soedijarto, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, Jakarta: Grasindo, 1991
Depag RI. Pembelajaran yang Efektif: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Siswa, Jakarta: Bagian Proyek EMIS Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001

Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2002
Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003
Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003
Tirtosudiro, Achmad. Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional: Menjawab Tantangan Kualitas Sumberdaya Manusia Abad 21, Jakarta: Intermasa, 1997

Senin, 24 Mei 2010

TEORI BELAJAR

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
 
            Teori belajar Behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkrit. Perubahan terjadi melalui rangsangan (Stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku Reaktif (Respon) berdasarkan hukum-hukum Mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan Respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap Stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
1.Mementingkan faktor lingkungan.
2.Menekankan pada faktor bagian.
3.Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4.Sifatnya mekanis.
5.Mementingkan masa lalu.

A.Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936).
           Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang Pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjan Kedokteran dengan bidang dasar Fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi Direktur Departemen Fisiologi pada Institute of Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai Fisiologi Pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi Psikology Behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands(1902) dan Conditioned Reflexes(1927).
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan Stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
           Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan Behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu (Bakker, 1985).
           Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang didinkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kin sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.
          Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dpat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai Stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai Respon yang dikondisikan.
          Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehar-jhari ada situasi yang sama seperti pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim Walls yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak ada lagu trsebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Contoh lai adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau tombol antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-bunyian dari pedagang makanan(rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering lewat di rumah, bel masuk kelas-istirahat atau usai sekolah dan antri di bank tanpa harus berdiri lama.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan Stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan Respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh Stimulus yang berasal dari luar dirinya.
B. Edward Edward Lee Thorndike (1874-1949): Teori Koneksionisme
         Thorndike berprofesi sebagai seorang Pendidik dan Psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar Doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and Social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).
           Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya Asosiasi-Asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut Stimulus (S) dengan Respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan Respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (Puzzle Box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara Stimulus dan Respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih Respons yang tepat serta melalui usaha –usaha atau percobaan-percobaan (Trials) dan kegagalan-kegagalan (Error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “Trial and Error learning atau Selecting and Connecting Learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar Koneksionisme atau teori Asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam Psikologi Pendidikan.
            Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “Trial and Error” atau “Selecting and Conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap Response menimbulkan Stimulus yang baru, selanjutnya Stimulus baru ini akan menimbulkan Response lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
           S- R -S1 -R1- dst
             Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja enyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
              Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut:
1.Hukum Kesiapan (LAW of Readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga Asosiasi cenderung diperkuat.
           Prinsip pertama teori Koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk Asosiasi (Connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskanPrinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk Asosiasi (Connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
         Masalah pertama hukum LAW of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
         Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.

2.Hukum Latihan (Law of Exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan) , maka Asosiasi tersebut akan semakin kuat.
          Prinsip Law of Exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3.Hukum akibat (Law of Effect), yaitu hubungan Stimulus Respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
           Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.

           Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa diperantarai pengartian. Binatang melakukan Respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis (Suryobroto, 1984)

Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a.Hukum Reaksi Bervariasi (Multiple Response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses TRIAL dan Error yang menunjukkan adanya bermacam-macam Respon sebelum memperoleh Respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b.Hukum Sikap ( Set/Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan Stimulus dengan Respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun Psikomotornya.
c.Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan Respon pada Stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( Respon Selektif).
d.Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e.Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain :

1.Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan Stimulus Respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan Stimulus Respon belum tentu diperlemah.

2.Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.

3.Syarat utama terjadinya hubungan Stimulus Respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara Stimulus dan Respon.

4.Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori Koneksionisme menyebutkan pula konsep Transfer of Training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem Box-nya.

C.Burrhus Frederic Skinner (1904-1990).
           Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam perkembangan psikologi belajar, ia mengemukakan teori operant conditioning. Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah “The Experimental an Analysis of Behavior”. Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul Journal of the Experimental Behaviors yang disponsori oleh Asosiasi Psikologi di Amerika (Sahakian,1970)
             B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.
Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru secara searah dan dikontrol guru melalui pengulangan dan latihan.
            Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yanag tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant ( penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. 

Skinner membuat eksperimen sebagai berikut :
          Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yangdapat diatur nyalanya, dan lantai yanga dapat dialir listrik. Karena dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan. Selam tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.
           Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang. 

Beberapa prinsip Skinner antara lain : 
1.Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika bebar diberi penguat.
2.Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3.Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4.Dalam proses pembelajaran, tidak digunkan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah, untukmenghindari adanya hukuman.
5.dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.
6.Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal Variabel Rasio Rein Forcer.
7.Dalam pembelajaran digunakan shaping.

D. Edwin R Gutrie
            Edwin R Gutri adalah salah satu penemu teori pembiasaan asosiasi dekat (contigous conditioning theory). Teori ini menyatakan bahwa peristiwa belajar terjadi karena adanya sebuah kombinasi antara rangsangan yang di sandingkan dengan gerakan yang akan cenderung diikuti oleh gerakan yang sama untuk waktu berikutnya (Bell-Gredler, 1986.) dengan kata lain, teori ini, bahwa belajar adalah kedaekatan hubungan antara stimulus dan respons yang relevan.
Teori ini menyatakan bahwa apa yang sesungguhnya dipelajari oleh orang, seperti siswa belajar adalah reaksi atau respons terakhir yang muncul atas sebuah rangsangan atau stimulus. Artinya setiap peristiwa belajar hanya mungkin terjadi sekali saja untuk selamanya atau tidak sama sekali. Menurut Gutrie, peningkatan hasil belajar secara berangsur-angsur yang dicapai oleh siswa bukanlah hasil dari berbagai respon komplek terhadap stimulus-stimulus sebagaimana yang diyakini para Behavioris lainnya, melainkan karena kedekayan asosiasi antara stimulus dan respons dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menjumpai peristiwa belajar dengan contiguous conditioning, misalnya mengasosiasikan 2+2=4, kewajiban dibulan Ramadhan dibulan puasa, dan 17 Agustus dengan peringatan hari kemerdekan Indonesia.
           Dalam teori Contiguous conditioning, hadiah tidak memainkan peran yang penting dalam belajar ketika telah terjadi asosiasi antara stimulus dan respons. Oleh karena itu, ketika stimulus yang berbeda sedikit, maka banyak percobaan yang mungkin dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah respons secara umum.teori kontiguitas menyatakan bahwa lupa terjadi lebih karena adanya halangan dari berlalunya waktu, sehingga stimulus menjadi diasosiasikan respons baru. Dalam hal ini, peran motivasi juga dapat menciptakan melakukan tindakan yang menghasilkan respon selanjutnya.

E. Clark Hull
           Hull telah mengembangkan sebuah teori dalam versi behaviorisme. Ia menyatakan bahwa stimulus (S) mempengaruhi organisma (O) dan menghasilakan respon (R) itu tergantung pada karakteristik O dan S. Dengan kata lain, Hull telah berminat terhadap study yang mempelajari variabel yang mempengaruhi perilaku seperti dorongan atau keinginan, insentif, penghalang dan kebiasaan. Teori Hull ini disebut dengan teori mengurangi dorongan. Seperti teori-teori Behavior yang lain, dalam teori ini, reinforcement merupakan faktor utama yang menentukan belajar. Bedanya dalam teori mengurangi dorongan ini, pemenuhan dorongan ini atau kebutuhan lebih dikurangi dan mempunyai peran yang sangat penting dalam perilaku daripada dalam teori-teori belajar behaviorisme yang lain.
           Secara teori, kerangka teori Hull berisi posttulat-postulat yang dinyatakan untuk matematik:
1.Organisme memiliki sebuah hierarki kebutuhan yang muncul karena adanya stimulation atau dorongan.
2. Kebiasaan yang kuat meningkatkan aktifitas yang diasosiasikan dengan reinvorsement primer maupun skunder,
3. Stimulus diasosiasikan dengan penghentian sebuah respon menjadi penghalang yang dikondisikan
4. Lebih efektif reaksi potensi melampaui reaksi minimal, lebih pendek terjadinya penundaan respon.
Teori yang dikemukakan oleh Thondike, Pavlov, Skinner, Guthrie, dan Hull diatas merupakan teori belajar Behavioristik, namun lepas dari kelebihan yang mereka miliki, teori belajar behavioristik ini juga memiliki kelemahan-kelemahan antara lain :
1. Proses belajar dipandang sebagai kegiatan yang diamati langsung, padahal belajar adalah kegiatan yang ada dalam sistem syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalui gejalanya.
2. Proses balajar dipandang bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti mesin atau robot, padahal manusia mempunyai kemampuan yang bersifat kognitif. Sehingga, dengan kemampuan ini manusia bisa menolak kebiasaan yang tidak sesuai dengan dirinya.
3. Proses belajar manusia yang di analogikan dengan hewan sangat sulit diterima, menginggat ada perbedaan yang cukup mencolok antara hewan dan manusia.

Konsep Pemikiran Pendidikan Al-Ghozali

“Konsep Pemikiran Pendidikan Al-Ghozali”
A.    Pendahuluan
Diskursus mengenai pemikiran pendidikan telah ada sejak pendidikan itu sendiri mulai ada. Ia bagaikan laut tak bertepi, dari masa ke masa selalu diperbincangkan untuk mendapatkan rumusan atau konsep-konsep pemikiran pendidikan yang dinamis dan sesuai dengan jaman serta kondisi masyarakat pendidikan di masa itu. Landasan berpikirnya pun beragam, ada yang bermula nash-nash kemudian ada yang berlandaskan rasional dan empiris dan ada pula yang menggunakan kedua-duanya. Namun apapun landasannya dan bagaimanapun rumusan atau konsep-konsep yang dihasilkan, tujuannya adalah sama yaitu berusaha memanusiakan manusia.
Banyak para pemikir yang telah menyumbangkan hasil ijtihadnya dalam bidang pemikiran pendidikan baik dari kalangan Islam maupun non Islam yang dapat kita ambil hikmah yang tersirat dari pemikiran mereka. Kita dapat memilah dan memilih produk-produk yang sesuai dengan kebutuhan dan persepsi kita. Dan kali ini penulis ingin menyajikan pemikiran pendidikan yang telah dirumuskan oleh Al-Ghozali. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua, amin.
B.    Biografi Al-Ghozali
Nama lengkapnya adalah Abu hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali dilahirkan di Thus, sebuah kota di khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Imam Ghozali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak Imam Ghozali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Radzikani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi. Sesudah itu Imam Ghozali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu al-Juwaini, Imam al-harmain (w.478 H. atau 1085 M.). dari beliau ini dia belajar ilmu kalam, ilmu Ushul an Ilmu Pengetahuan Agama lainnya.
Al-Ghozali adalah seorang ahli pikir dan ahli tasawuf Islam yang terkenal dengan gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), banyak mencurahkan perhatian kepada masalah pendidikan.
Keikutsertaan Ghazali dalam suatu diskusi bersama kelompok ulama’ dan para intelektualdi hadapan Nidzam al Mulk membawa kemenangan baginya. Hal tu tidak lain berkat ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu pengetahuannya, kefashihan lidahnya dan kejituan argumentasinya. Nidzam al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan beliau ini dan janji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad. Peristiwa ini terjadi pada tahun 484 atau 1091 M.
Di tengah-tengah kesibukannya mengajar di Baghdad Bekiau masih sempat mengarang sejumlah kitab seperti: Al Basith, Al Wasith, Al-Wajiz, Khulashah ilmu fiqih, Al-Munqil fi Ilm al-Jadal (Ilmu Berdebat), Ma’khadz al-Khalaf, Lubab Al-Nadzar, Tashin al-Ma’akhidz dan Al-Mabadi’ wa al-Ghayat fi Fann al-Khalaf. Namun kesibukan dalam karang-mengarang ini tidaklah mengganggu perharian beliau terhadap ilmu metafisika dan beliau selalu meragukan kebenaran adat-istiadat warisan nenk moyang di mana belum ada seorang pun yang memperdebatkan  soal kebenarannya atau menggali asal-usul dari timbulnya adat istiadat tersebut.
Sekembalinya Imam Ghozali ke Bahgdad sekitar sepuluh tahun, beliau pindah ke Naisaburi dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thus, kota kelahirannya, pada tahun 505 H. atau 1111 M.
Dari uraian tersebut diatas, dapat diketahui dengan jelas bahwa al-Ghazali tergolong ulama yang taat berpegang pada al-Qur’an al-Sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari berbagai pengetahuan umum seperti Ilmu Kalam, Filsafat, Fiqih, Tasawuf dan sebagainya, namun pada akhirnya ia lebih tertarik kepada Fiqih dan Tasawuf.
Selanjutnya dari uraian tersebut diketahui dengan jelas, bahwa ia seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap pendidikan, sehingga tidak mengherankan jika ia memiliki konsep pendidikan. Masalahnya adalah  apakah corak pemahaman keagamaannya itu mempengaruhi konsep pendidikannya?. Pertanyaan ini menarik untuk dikemukakakan, karena sebagaimana banyak dijumpai, bahwa suatu konsep pendidikan yang dikemukakkan suatu tokoh selalu dipengaruhi corak paham keagamaannya yang dimiliki.
Konsep Pendidikan Al-Ghozali
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghozali ini dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan etika murid berikut ini.
C.    Tujuan Pendidikan
Menurut Al-Ghozali, tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
Pendapat Al-Ghozali tentang pendidikan pada umumnya sejalan dengan trend-trend agama dan etika. Al-Ghozali juga tidak melupakan masalah-masalah duniawi, karenanya ia beri ruang dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan duniawi. Tetapi dalam pendangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat perkebunan untuk kehidupan akhirat, sebagai alat yang akan mengantarkan seseorang menemui Tuhannya. Ini tentunya bagi yang memandangnya sebagai alat dan tempat tinggal sementara, bukan bagi orang yang memandangnya sebagaitempatuntuk selamanya.
Akan tetapi pendapat Al-Ghozali tersebut, disamping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, tampak pula cenderung kepada sisi keruhanian. Dan kecenderungan tersebut menurut keadaan yang sebenarnya, sejalan dengan filsafat Al-Ghozali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan, menurut Al-Ghozali, adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Dan manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat dia bahagia di duna dan mendekatkan dia kepada Allah SWT. sehingga ia menjadi bahagia di akhirat kelak.
Sungguhpun Al-Ghozali dikenal sebagai orang yang terkendali oleh jiwa agamis dan sufi – yang mana keduanya telah mempengaruhi pandangannya tentang hidup, tentang nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan dan kedua-duanya juga telah membuat dia mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari kebahagiaan di akhirat – namun ia tidak lupa bahwa ilmu itu sendiri perlu dituntut, mengingat keutamaan dan keindahan yang dimilikinya. Ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan ia melebihi segala-galanya. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi dia, termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.
Bila dipandang dari segi filosofis, Al-Ghozali adalah berfaham idealisme yang konsekuen terhadap agama. Dalam masalah pendidikan, Al-Ghozali lebih cenderung berpaham empirisme, karena beliau sangat menekankan pengaruh pendidik terhadap anak didik. Misalnya di dalam kitab Ihya Ulumuddin juz III, Al-Ghozali menguraikan antara lain: “… metode untuk melatih anak adalah salah satu dari hal-hal yang amat penting. Anak adalah amanat yang di percayakan kepada orang tuanya. Hatinya bersih, murni, laksana permata yang amat berharga, sederhana, dan bersih dari ukiran atau gambaran apapun. Ia dapat menerima tiap ukiran yang digoreskan kepadanya dan ia akan cenderung ke arah manapun yang kita kehendaki (condongkan). Oleh karena itu, bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik pada dirinya dan akan memperoleh kebahgiaan hidup dunia akhirat. Orang tuanya, gurunya, pendidiknya juga akan turut berbahagia bersamanya.
Sebaliknya, bila anak itu kita biasakan dengan sifat-sifat jelek dan kita biarkan begitu saja, maka ia akan celaka dan binasa. Semua tanggung jawab dalam hal itu terletak pada pundak pengasuhnya atau walinya. Walinya wajib menjaga anak tersebut dari segala dosa, mendidik, dan mengajarnya dengan budi pekerti yang luhur serta menjaganya jangan sampai bergaul dengan teman-temannya yang nakal…an seterusnya.
Oleh karena itu, pendidikan anak usia dini sangat penting, mengingat mereka itu jiwanya masih bersih (belum banyak terkontaminasi oleh pengaruh negatif dari lingkungannya), namun mereka sangat peka terhadap pengaruh yang sampai pada mereka. Pandangan Al-Ghozali ini tidak lepas dari prinsip “al-Fitrah”, yang harus diselamatkan dan dikembangkan. Dalam pengertian, jiwa anak-anak kecil itu masih bersih dari pengaruh dan pengalaman serta pengetahuan, meskipun jiwa tersebut mempunyai naluri dan kecenderungan serta potensi yang dapat dipengaruhi dan dikembangkan, terutama oleh lingkungan sosial yang dominan disekitarnya.
Di dalam membahas masalah belajar, Al-Ghozali lebih menekankan potensi rasio daripada potensi kejiwaan yang lain, meskipun potensi rasio manusia manusia dipandang berada di dalam kakuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan adalah yang pertama, sedang rasio manusia yang berbeda.
Beliau mengatakan: “Secara potensial, pengetahuan itu dalah ada di dalam jiwa manusia bagaikan benih di dalam tanah. Dengan melalui belajar potensi itu baru menjadi aktual.” Dalam hal mendidik, Al-Ghozali mengambil sistem yang berasaskan keseimbangan antara kemampuan rasional dengan kekuasaan Tuhan, antara kemampuanpenalaran dengan pengalaman nistik yang memberikan ruang bekerjanya akal pikiran, dan keseimbangan antara berfikir deduktif logis dengan pengalaman empiris manusia.
Ia mengemukakan; apabila anda melihat kepada ilmu maka tampak oleh anda bahwa ilmu itu sendiri adalah lezat dan oleh karena itu pula maka ilmu itu sendiri selalu dicari. Anda juga akan mengetahui bahwa ia merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di negeri akhirat; sebagai medium untuk taqarrub kepada Allah, dimana tak satupun bisa sampai kepadanya yanpa ilmu; tingkat termulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi; diantara wujud yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan; tetapi kebahagaan itu tak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal; dan amal tak mungkin dicapai kecuali tentang cara beramal dikuasai.
Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan akhirat itu, tak lain, adalah ilmu. Kalau demikian, maka ilmu adalah amal yang terutama.
D.    Kurikulum
Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghozali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Ghozali ilmu terbagi kepada tiga bagian, sebagai berikut:
    Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak (al-‘ulum al-madzmumah), yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan atau dengan kata lain yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam. Al-Ghozali menilai ilmu tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan) baik bagi yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir dan ilmu guna-guna misalnya dapat mencelakakan orang, dan dapat memisahkan antara sesama manusia yang bersahabat atau saling mencintai, menyebarkan rasa sakit, permusuhan, menimbulkan kejahatan an sebagainya. Selanjutnya ilmu nujum yang tergolong ilmu tidak tercela ini menurut Al-Ghozali dapat dibagi dua, yaitu ilmu nujum yang berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum yang berdasarkan istidlaly, yaitu semacam asrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Ilmu nujum jenis kedua ini menurut Al-Ghozali tercela menurut syara’,  sebab dengan ilmu itu dapat menyebabkan manusia menjadi ragu kepada Allah, lalu menjadi kafir. Menurut Al-Ghozali menyelami ilmu ini tidak akan membawa manfaat, dan terkadang membawa manusia menjadi kufur  kepada Allah SWT. seperti mempelajari bagian-bagian yang rumit dari suatu ilmu sebelum memahami bagian-bagiannya yang jelas, atau seperti mempelajari tentang rahasia-rahasia Ilahiyat. Ia sebutkan juga beberapa ilmu lain yang di antaranya adalah bagian dari ilmu filsafat seperti metafisika.
Masih dalam ilmu yang termasuk bagian pertama di atas, al-Ghozali mengatakan bahwa mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib, karena menurut tabi’atnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu tersebut tak ubahnya seperti anak kecil yang masih menyusu. Anak kecil itu akan jatuh sakit apabila ia makan daging burung atau makan macam-macam makanan, yang belum dapat dicerna oleh perut besarnya. Hal ini akan dapat membahayakannya.
    Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji (al-‘ulum al-mahmudah) baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhoi-Nya, serta dapat membekali kehidupan diakhirat.
    Terhadap ilmu model kedua Al-Ghozali membaginya kepada dua bagian. Pertama, wajib ‘aini dan wajib kifayah. Selanjutnya Al-Ghozali mengatakan bahwa di antara para ulama masih terdapat perbedaan pendapat mengenai ilmu yang tergolong wajib ini. Ada yang mengatakan zat dan sifat-sifat-Nya. Yang lain lagi mengatakan bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu fiqih, sebab dengan ilmu ini seseorang akan mengetahui masalah ibadah, mengenal halal dan haram, baik yang menyangkut tingkah-laku secara umum, ataupun yang menyangkut bidang mu’amalah. Sementara itu yang lain memandang bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah, karena dengan mengetahui al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut seseorang dapat mengenal agama dengan baik, dan dapat semakin dekat kepada Tuhan.
    Sementara Al-Ghozali sendiri memandang bahwa ilmu-ilmu yang wajib ‘aini bagi setiap Muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat yang pokok seperti shalat, puasa, zakat, dan sebgainya. Bagi Al-Ghozali, ilmu yang wajib ‘aini itu adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib. Jadi siapa yang mengetahui ilmu yang wajib itu, maka ia akan mengetahui kapan waktu wajibnya.
Sedangkan ilmu-ilmu yang termasuk fardhu kifayah adalah semua ilmu yang mungkin diabadikan untuk kelancaran semua urusan seperti ilmu kedokteran yang menyangkut keselamatan tubuh atau ilmu hitung yang sangat diperlukan dalam hubungan mu’amalah, pembagian wasiat dan warisan dan lan sebagainya. Ilmu-ilmu itu jika tidak ada seorangpun dari suatu penduduk yang menguasainya, maka berdosa seluruhnya. Sebaliknya jika telah ada salah seorang yang menguasai dan dapat mempraktekkannya maka sudah dianggap cukup dan tuntutan wajibnya pun lepas dari yang lain. Diantara contoh-contoh ilmu yang wajib kifayah itu adalah ilmu kedokteran dan ilmu hitung. Menurutnya bahwa masyarakat tanpa ilmu ini adalah masyarakat tidak sehat. Al-Ghozali juga menilai tentang adanya bidang pekerjaan yang termasuk ke dalam kelompok wajib kifayah, seperti ilmu pertanian, menenun, administrasi dan jahit-menjahit.
Ketiga, Ilmu yang diperbolehkan, atau ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajari secara mendalam, karena dengan mempelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat pula membawa kepada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Mengenai ilmu filsafat dibagi oleh Al-Ghozali menjadi ilmu matematika, ilmu-ilmu logika, ilmu Ilahiyat, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu etika.
Al-Ghozali berkesimpulan, bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya, karena ia hanya dapat dikuasai, melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih. Akal adalah sifat manuasia yang termulia, karena dengan akal itulah amanah dari Allah diterima manusia, dan dengan akal juga orang dapat berada di sisi Allah SWT., mengenai keluasan jangkauan manfaat akal kiranya tidak perlu diragukan. Manfaatnya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Dilihat pula tempatnya yang sudah jelas. Seorang guru tugasnya adalah mengurus masalah hati dan jiwa manusia. Diketahui bahwa wujud yang termulia yang ada di atas bumi ini ialah manusia, dan bagian yang termulia dari materi manusia itu adalah hatinya.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghozali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakuka terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, ia mementingkan sisi yang faktual dalam kehidupan, yaitu sisi yang tak dapat tidak harus tetap ada. Selain itu Al-Ghozali juga menekankan sisi-sisi budaya. Ia jelaskan kenikmatan ilmu dan kelezatannya. Menurutnya ilmu itu wajib dituntut bukan karena keuntungan di luar hakikatnya, tetapi karena hakikatnya sendiri. Sebaliknya, Al-Ghozali tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni dan keindahan, sesuai dengan sifat pribadinya yang dikuasai yaitu tasawuf dan zuhud. Di sisi lain, sekalipun Al-Ghozali menekankan pentingnya pengajaran berbagai keahlian esensi dalam kehidupan dan masyarakat, tetapi ia tidak menekankan pentingnya keterampilan.
Dari sifat dan corak ilmu-ilmu yang dikemukakan di atas, terlihat dengan jelas, bahwa mata pelajaran yang seharusnya diajarkan dan masuk ke dalam kurikulum menurut Al-Ghozali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
Pertama, kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghozali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya, dan memandangnya sebagai alat untuk mensucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan kecenderungan ini, maka Al-Ghozali sangat mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu ini bertalian erat dengan pendidikan agama.
Kedua, kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisannya. Al-Ghozali beberapa kali mengulangi penilaiannya terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan di dunia, maupun kehidupan di akhirat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral yang tak digunakan  pemiliknya bagi hal-hal yang bermanfaat bagi manusia sebagai ilmu yang tak bernilai. Bagi Al-Ghozali, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah. Dan setiap amaliah yang disertai ilmu itu harus pula disertai dengan kesungguhan dan niat yang tulus ikhlas.
Dengan melihat sisi pemanfaatan dari suatu ilmu ini, tampak Al-Ghozali tergolong sebagai penganut paham pragmatis teologis, yaitu pemanfaatan yang didasarkan atas tujuan iman dan dekat dengan Allah SWT. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari sikapnya sebagai seorang sufi yang memiliki trend praktis dan faktual.
Menurut Al-Ghozali materi pendidikan Islam itu menyangkut dua hal, yaitu: materi tentang ilmu syari’at dan ilmu non-syariat. Ilmu syari’at dibagi menjadi 1) ilmu Ushul, yang meliputi ilmu al-Qur’an, Sunnah nabi, pendapat Shahabat dan Ijma’. 2) Ilmu Pengantar, meliputi : ilmu bahasa dan gramatika. 3) Ilmu furu’, meliputi: fiqih, ilmu hal ihwal hati, dan akhlak. 4) Ilmu Pelengkap, meliputi : ilmu qira’at, makhrij huruf, ilmu tafsir, nasikh dan mansukh, lafadz umum-khusus, dan biografi sejarah sahabat. Ilmu non-syari’at dibagi menjadi: 1) Ilmu yang terpuji, seperti: kedokteran, berhitung, ekonomi pertanian, ekonomi pertenunan, ekonomi pembangaunan, dan politik. 2) Ilmu yang diperbolehkan, meliputi : kebudayaan, sastra, sejarah dan puisi. 3) Ilmu yang tercela, meliputi : ilmu tenun, sihir, dan bagian tertentu dari filsafat.
E.    Metode
Perhatian Al-Ghozali dalam bidang metode ini lebih ditujukan pada metode khusus bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan sebuah metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral ini sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini mendapat perhatian khusus dari Al-Ghozali, karena pada prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian faktor keteladanan yang utama menjadi bagian dari metode pengajaran yang amat penting.
Menurut Al-Ghozali, pendekatan belajar dalam mencari ilmu dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan ta’lim insani dan ta’lim rabbani. ta’lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini merupakan cara umum yang dilakukan orang, dan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat indrawi yang diakui oleh orang yang berakal. Proses ta’lim insani ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1)    Proses eksternal malalui belajar mengajar (ta’lim).
Menurut Al-Ghozali, dalam proses belajar mengajar sebenarnya terjadi aktivitas eksplorasi pengetahuan sehingga menghasilkan perubahan perilaku. Seseorang guru mengeksplorasi ilmu yang dimilikinya untuk diberikan kepada muridnya, sedangkan murid menggali ilmu dari gurunya agar ia mendapatkan ilmu dengan menggunakan proses belajar mengajar ini seperti seorang petani (guru) yang menanamkan benih (ilmu yang dimiliki oleh guru) di tanah (murid) sampai ia menjadi pohon (perilaku). Kematangan dan kesempurnaan jiwa sebagai hasil belajar oleh Al-Ghozali diibaratkan sebagai pohon yang telah berubah.
2)    Proses internal melalui proses tafakur.
Tafakur diartikan dengan membaca realitas dalam berbagai dimensinya wawasan dan penguasaan pengetahuan hikmah. Proses tafakur ini dapat dilakukan apabila jiwa dalam keadaan suci. Dengan membersihkan qalb dan mengosongkan egoisme dan keakuannya ke titik nol, maka ia berdiri dihadapan Tuhan, seperti seorang murid berhadapan dengan seorang guru. Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan manusiamasuk ke dalamnya. Menuntut ilmu harus melalui proses berfikir terhadap alam senesta karena ilmu itu sendiri merupakan hasil dari proses berfikir.
Selanjutnya adalah proses pendekatan ta’lim rabbani. Pendekatan ini merupakan belajar dengan bimbingan Tuhan. Seseorang akan mendapatkan pengetahuan dari Allah jika kondisi jiwanya dalam keadaan suci dan tidak tercemar dari perbuatan dosa dan nista. Dalam pendekatan ini, Allah menjadi guru bagi seseorang yang ingin mendapatkan ilmu, dengan membimbing manusia untuk menjadi orang yang suci, tulus, dan mau berfikir untuk mencari kebenaran dan memiliki ilmu pengetahuan. 
F.    Etika Guru
 Menurut Al-Ghozali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkanan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memilki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut:
Pertama, kalau karakter mengajar dan penyuluhan sebagai keahlian dan profesi dari seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah kasih sayang. Sifat ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tentram pada diri murid erhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
Kedua, seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajar. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW. yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Demikian pula seorang guru tdak dibenarkan menta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterimakasih oleh muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental.
Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai pelajaran sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa perigatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniawian. Seorang guru juga tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
Keempat, dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau menyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran dengan baik.
Kelima, seorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahlian atau spesialisasinya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih, dan guru ilmu fiqih mencela guru hadits dan tafsir, adalah guru yang tidak baik.
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukan sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Ghozali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menumbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya.
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Ghozali adalah guru yang di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabi’at dan kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya. Jika hal iji tidak dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.
Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam hubungan ini Al-Ghozali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya. Sebab jika hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Is akan menjadi sasaran penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi megarahkan atau memberikan petunjuk kepada murid-muridnya.
Dari delapan sifat guru yang baik sebagaimana dikemukakan di atas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan dan kemampuan intelektual para siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.
G.    Etika Murid
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT., maka belajar termasuk ibadah. Dengan dasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik,adalah murid yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dan sifat-sifat tercela lainnya. Sebagaimana halnya shalat, maka menuntut ilmu pun demikian pula. Ia harus dilakukan dengan hati yang bersih, terhindar dari hal-hal yang jelek dan kotor, termasuk di dalamnya sifat-sifat yang rendah seperti marah, sakit hati, dengki, ujub, takabur dan sebgainya.
Kedua, seorang murid yang baik, juga harus menjauhkan diri dari persoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia dan masalah-masalahnya dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu. Hal ini terlihat dalam ucapannya Al-Ghozali yang mengatakan: “bahwa ilmu itu tidak akan memberikan seluruh dirimu kepadanya,  maka ilmu pun pasti akan memberikan sebagoian dirinya kepadamu. Pikiran yang dibagi-bagikan untuk hal-hal yang berbeda sama halnya dengan anak sungai yang dibagi-bagi ke dalam bebrapa cabang. Sebagian airnya diserap oleh tanah dan sebagian lagi menguap ke udara, sehingga tidak ada lagi yang tinggal untuk digunakan pada pertanian.
Ketiga, seorang murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati atau tawadhu. Sifat ini begitu amat ditekankan oleh Al-Ghozali. Al-Ghozali menganjurkan agar jangan ada murid yang merasa lebih besar daripada gurunya, atau merasa ilmunya lebih hebat daripada ilmu gurunya. Murid yang baik harus menyerahkan persoalan ilmu kepada guru, mendengarkan nasehat dan arahnya sebagaimana pasien yang mau mendengarkan nasehat dokternya.
Keempat, khusus terhadap urid yang baru hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang saling berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan. Seorang murid yang baru hendaknya tidak mempelajari aliran-aliran yang berbeda-beda, atau terlibat dalam berbagai perdebatan yang membingungkan. Hal ini perlu diingat, karena murid yang bersangkutan belum siap memahami berbagai pendapat yang berbeda-beda itu, sehingga tidak terjadi kekacauan. Seharusnya pada tahap-tahap awal, seorang murid menguasai dan menekuni aliran yang benar yang disetujui oleh guru. Setelah itu, mungkin ia dapat menyertai perdebatan diskusi atau mempelajari aliran-aliran yang bertentangan.
Kelima, seorang murid yang baik hendaknya menndahulukan mempelajari yang wajib. Pengetahuan yang menyangkut berbagai segi (aspek) lebih baik daripada pengetahuan yang menyangkut hanya satu segi saja. Mempelajari Al-Qur’an misalnya harus didahulukan, karena dengan menguasai Al-Qur’an dapat mendukung pelaksanaan ibadah, serta memahami ajaran Islam secara keseluruhan, mengingat Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Hai ini sejalan dengan pendapat Al-Ghozali yang mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada itu saling berkaitan dan berhubungan antara satu dengan yang lainnya, di mana bisa terjadi keawaman terhadap salah satunya lebih ringan dibandingkan terhadap ilmu lainnya.
Keenam, seorang murid yang baik hendaknya mempelajari ilmu secara bertahab. Seorang murid dinasehatkan agar tidak mendalami ilmu secara sekaligus, tetapi memulai dari ilmu-ilmu agama dan menguasainya dengan sempurna. Setelah itu, barulah ia melangkah kepada ilmu-ilmu lainnya, sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jika ia tidakmempunyai waktu untuk mendalaminya secara sempurna, maka seharusnya ia pelajari saja rangkumannya.
Ketujuh, seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu secara alami, di mana sebagiannya merupakan jalan menuju kepada sebagian yang lain. Murid yang baik dalam belajarnya adalah yang tetap memelihara urutan dan pentahapan tersebut.
Kedelapan, seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya. Dari masing-masing ilmu serta hasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya dipelajarinya dengan baik.dalam hubungan ini Al-Ghozali mengatakan bahwa nilai ilmu itu tergantung pada dua hal, yaitu hasil dan argumentasinya. Ilmu agama misalnya berbeda dengan ilmu kedokteran. Contoh lain adalah ilmu hitung dan ilmu nujum, ilmu hitung lebih mulia daripada ilmu nujum, karena dalilnya lebih kuat dan teguh daripada dalil ilmu nujum. Selanjutnya jika ilmu kedokteran dibandingkan ilmu hitung, maka tergantung dari sudut mana melihatnya.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas, dapat diketahui dengan jelas bahwa al-Ghazali tergolong ulama yang taat berpegang pada al-Qur’an al-Sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari berbagai pengetahuan umum seperti Ilmu Kalam, Filsafat, Fiqih, Tasawuf dan sebagainya, namun pada akhirnya ia lebih tertarik kepada Fiqih dan Tasawuf.
Menurut Al-Ghozali, tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghozali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Ghozali ilmu terbagi kepada tiga bagian, sebagai berikut:
    Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak (al-‘ulum al-madzmumah). Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji (al-‘ulum al-mahmudah). Ketiga, Ilmu yang diperbolehkan.
Perhatian Al-Ghozali dalam bidang metode lebih ditujukan pada metode khusus bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan sebuah metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka.
Menurut Al-Ghozali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkanan anak-anak muridnya. Begitu juga dengan seorang siswa, harus memiliki akhlak yang terpuji kepada gurunya.
DAFTAR PUSTAKA

     Arifin, Muzayyin. 2005.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
     Baharuddin. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 
    Hasan, Muhammad Tolhah. 2006.Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Lantabora Press.
     Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
     Yasin, A. Fatah. 2008. Metodologi Pendidikan Islam. Malang: Star Grafika.

Sabtu, 22 Mei 2010

LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM DAN IMPLIKASINYA PADA PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tipologi Pemikiran (Filsafat) Pendidikan Islam

          Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, yang berusaha menelaah masalah-masalah pokok seperti; apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan itu diperlukan, apa yang seharusnya menjadi tujuannya dan sebagainya. Landasan filosofis adalah landasan yang berdasarkan atau bersifat filsafat, kata filsafat sensiri (philosophy) bersumber dari bahasa yunani, philein, berarti mencintai dan sophos atau sophis berarti hikmah, arif atau bijaksana.

         Langgulung mengemukakan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah sejumlah prinsip, kepercayaan dan premis yang diambil dari ajaran Islam atau sesuai dengan semangatnya dan mempunyai kepentingan terapan dan bimbingan dalam pendidikan. Jika dilihat dengan pengertian-pengertian pendidikan Islam sebagaimana uraian terdahulu, maka filsafat pendidikan Islam dapat berarti:

1. Filsafat pendidikan menurut Islam atau filsafat pendidikan yang islami , yakni filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam atau yang dipahami dan yang dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya yaitu al-Quran dan as-Sunnah.
2. Filsafat yang bergerak dalam lapangan pendidikan keislaman ataupendidikan Islam.
3. Filsafat pendidikan dalam Islam atau proses aplikasi ide-ide filsafat terhadap masalah-masalah pendidikan Islam yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah pendidikan Islam.

         Di Amerika Serikat telah berkembang aliran-aliran pemikiran filsafat pendidikan, yang dapat dipetakan ke dalam dua kelompok yaitu tradisional dan kontemporer. Termasuk dalam aliran tradisional adalah perenialisme dan essensialisme, sedangkan yang termasuk dalam kelompok kontemporer adalah progresifisme, reconstructionisme dan existentialisme.

Dari masing-masing sikap tersebut, pemikiran dalam pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut ;

1. Perenialisme menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia telah merupakan jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia telah merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional
2. Essensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukanya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi (peradaban) dan yang telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada dalam gudang diluar kedalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi (penyerapan) yang tinggi.
3. Progresivisme menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif, tujuan pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang intelegent dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan lingkungan.
4. Reconstructionisme berdasarkan filsafat Dewey aliran ini mengikuti sebuah alur yang meyakini dan mengemukakan bahwa keberadaan sekolah adalah untuk perbaikan dalam masyarakat. Disini menghendaki agar peserta didik dapat dibangkitkan kemampuanya secara konstruktif untuk untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas.
5. Existensialisme menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhanya masing-masing dan menemukan jati dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri dan nasibnya sendiri.

         Di sisi lain pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang di belahan dunia Islam pada periode modern ini, terutama dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman era modernitas. Sehubungan dengan itu, Absdullah (1996), mencermati adanya empat model pemikiran keislaman, yaitu:

1. Model tekstualis salafi; berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan mepaskan diri dari dan kurang mempertimbangkan situasi konkret dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang di idam-idamkan adalah masyarakat salaf yakni struktur masyarakat era kenabian Muhammad SAW.
2. Model tradisionalis madzhabi; berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah melalui khazanah pemikiran Islam klasik, tetapi sering kali kurang begitu mempertimbangkan situasi sosio-historis masyarakat setempat dimana ia turut hidup di dalamnya. Hasil ulama’ terdahulu di anggap sudah pasti atau absolut tanpa mempertimbangkan dimensi historisitasnya.
3. Modernis; berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis dan kultural yang dihadapi oleh masyarakat muslim kontemporer tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual Muslim era klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan.
4. Neo-modernis; berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam AlQur’an dan As-Sunnah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia tekhnologi modern.

B. Tipologi-Tipologi Filsafat Pendidikan Islam Dilihat Dari Perspektif Islam

            Dari berbagai perkembangan pemikiran filsafat pendidikan di atas, maka dalam perspektif Islam hal ini dapat terbagi menjadi 5 tipologi, yaitu:

1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi
          Tipologi ini lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai, kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf, karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.

2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi
         Perenial-esensial Mazhabi lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan cenderung untuk mengikuti aliran, pemahaman serta pola pemikiran yang dianggap relatif mapan. Tipologi ini lebih berfungsi sebagai upaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan konteks perkembangan zaman dan era kontenporer yang dihadapinya

3. Tipologi Modernis
         Tipologi modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman secara terus menerus, agar dapat berbuat sesuatu yang intellegent dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuia dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.

4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
        Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasiserta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada.

5. Tipologi Rekonstruksi Sosial
        Tipologi rekonstruksi sosial sangat cocok diterapkan pada masyarakat yang berkeinginan maju dan pada masyarakat yang warganya terjangkit penyakit sosial. Sedangkan sekolah yang bisa menerapkan adalah meraka yang mengembangkan pendekatan andragogis dan guru PAInya lebih berfungsi sebagai muaddib, yakini orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.

          Kata Islam yang melekat pada tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam akan berimplikasi pada kesamaan titik tolak atau pijakan dalam pengembangannya, yaitu dari dimensi idealnya. Perbedaan antara berbagai tipologi tersebutlebih terletak pada dimensi interpretasi dan historisnya. Untuk memahami masalah ini lebih jauh dan kajian ini perlu dijelaskan apa itu ”Islam ideal”, ”Islam interpretasi” dan apa pula yang yang dimaksud ”Islam Historis dan hubungan ketiganya.

         Islam ideal adalah Islam yang diajarkan dan nilai-nilainya terkandung dalam al-Quran (sebagai Kalam Allah) dan Hadits/ sunnah Nabi saw. Islam ideal adalah Islam adalah bersifat normatif masih bersifat preskripsi-preskripsi, norma-norma dan nilai-nilai yang termuat dalam petunjuk. Sedangkan Islam interpretasinya dalam Islam Historis merupakan Islam aktual, yakni semua bentuk penafsiran, gagasan, gerakan dan praktik yang pada kenyataan eksis dalam masyarakat muslim dalam waktu dan tempat yang berbeda.

       Di lihat dari pemahaman tentang Islam (ideal, interpretasi dan historis), maka semua tipologi filsafat pendidikan Islam tersebut di atas terdapat titik temu pada dimensi Islam idealnya, tetapi berbeda dalam dimensi interpretasi dan historisnya.
C. Implikasi Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam

       Permasalahan pendidikan yang besar dan kompleks saat ini dan di masa yang akan datang dan mengingat keterbatasan dana dan kemampuan yang dimiliki, maka tindakan inovasi atau pembaruan sangatlah diperlukan. Meskipun demikian, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sesuatu yang baru belum tentu baik, maksudnya belum tentu inovatif. Faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah guru, peserta didik, kurikulum, fasilitas dan program / tujuan. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya dan sangat sulit dipisahkan. Sehingga bila salah satu dari kelima unsur tersebut tidak ada maka esensi dari pendidikan itu akan sedikit luntur. Salah satu faktor yang perlu dikembangkan adalah kurikulum. Kurikulum merupakan operasional tujuan yang dicita-citakan, bahkan tujuan tidak akan tercapai tanpa keterlibatan kurikulum pendidikan. Disamping itu pelaksanaan kurikulum bisa memberikan sumbangsih yang bersifat dinamis terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan oleh anak didik dan masyarakat umumnya.

         Tipologi-tipologi pemikiran pendidikan Agama Islam yang telah diuraikan di atas telah berimplikasi dan memberikan pengaruh yang besar dalam pengembangan kurikulum PAI sampai saat ini. Implikasi dari tipologi filsafat pendidikan Islam tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi
Menurut tipologi ini, tujuan pendidikan agama Islam diorientasikan pada upaya menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa salaf dan menyebarluaskan sejarah budaya salaf karena itu penting diketahui semua orang. Pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada doktrin-doktrin agama, kitab-kitab besar dan kembali pada hal-hal yang dasar. Metode pembelajarannya bisa dilakukan melalui ceramah, diskusi dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, dan terstruktur. Peranan guru PAI adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tinggi, yang meyakini kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran dan ahli di bidangnya.

2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi
Tujuan yang ingin dicapai dari tipologi perenial-esensialis mazhabi adalah menginternalisasikan kebenaran-kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pasca salaf al-shalih dan pertengahan serta menyebarluaskan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya yang dianggap mmapan secara turun temurun, karena penting diketahui semua orang. Dalam Kurikulum PAI bidang akidah dan ibadah khusus dimaksudkan untuk melestarikan hasil kkarya imam-imam mazhab terdahulu serta mengamalkan sesuai dengan ajaran mereka..Metode pembelajarannya bisa dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi dengan tolak ukur pandangan imam-imam mazhabnya dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, dan terstruktur. Evaluasinya menggunkan ujian-ujian obyektif yang terstandarisasi dan tes kompetesni yang berbasis alamiah. Peranan guru PAI adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tertinggi dan meyakini kebijakan masa lalu.

3. Tipologi Modernis
Tujuan dari tipologi ini mengorientasikan pendidikan agama Islam pada upaya memberikan keterampilan-keterampilan kepada peserta didik agar dapat berinteraksi dan beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada penggalian problem-probelm yang tumbuh dan berkembang di lingkungannya, untuk selanjutnya dilatih untuk memecahkannya sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Metode pembelajarannya dilakukan melalui cooperative learning, method project dan scientific method. Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi, keterlibatan aktif dalam pembelajaran serta menciptakan proses belajar secara demokratis. Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif dan on-going feed back, yakni berusaha mencari dan menemukan umpan balik secara terus menerus. Sedangkan peranan guru PAI adalah sebagai fasilitator dan yang memimpin serta mengatur pembelajaran.

4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
Tujuan pendidikan menurut tipologi ini adalah melestarikan nilai-nilai illahiyah dan insaniyah sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan iptek dan perubahan sosial kultural yang ada. Dalam agama Islam terdapat hal-hal yang bersifat doktrin, supra rasional, nilai0nilai essensial dan universal atau root values dan adapula hal-hal yang berada dalam wilayah akal serta nilai-nilai yang berifat instumental dan lokal. Dalam hal yang pertama, digunkan model perenial esensialis salafi dan perenial esensialis mazhabi, sedangkan dalam hal yang kedua digunkan model modernis.

5. Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Tipologi ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran pseserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi adalah tanggungjawab pemeluk agama Islam untuk memecahkannya. Kurikulumnya memusatkan pada permasalahan sosial dan budaya. Guru PAI berfungsi sebagai project director, yang mampu memimpin dan mengarahkan transformasi serta menjadi agen perubahan dan bersama anak didiknya berusaha membentuk masyarakat baru. Cara pembelajaran PAI dapat menggunakan metode-metode simulasi, bermain peranan (role playing), internship serta belajar bekerja di masyarakat. Manajemen kelasnya tidak terikat dengan pembelajaran di dalam kelas. Interaksi guru dan peserta didik dalam pembelajaran PAI lebih bersifat dinamis, kritis, progesif, terbuka bahkan bersikap proaktif dan antisipatif, tetapi juga mengembangkan nilai-nilai kooperatif dan kolaboratif, toleran serta komitmen pada hak dan kewajiban asasi manusia. Pada tataran operasionalnya dapat dikembangkan peace education sebagai model pendidikan. Peace education adalah model pendidikan yang mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mereka mampu mengatasi konflik atau masalahnya sendiri dengan cara kreatif dan tidak dengan cara kekerasan. Pelaksanaannya dapat berupa belajar kelompok (learning together), sehingga peserta didik terlatih memecahkan persoalan-persoalan bersama, dengan berbagai model interaksi sosial-psikologisnya. Melaluibelajar kelompok peserta didik akan terlatih untuk menekan egoismenya dan terlatih untuk menghargai hak-hak orang lain. Evaluasinya dilakukan secara formatif dan kooperatif.

          Banyak kurikulum yang diciptakan untuk digunakan dalam kehidupan ini disesuaikan dengan kebutuhan dan keperluannya salah satunya adalah kurikulum pendidikan Agama Islam. Di dalamnya pengembangannya kurikulum Pendidikan Agama Islam, sejak dulu hingga saat ini, telah mengalami perubahan yang disebabkan perubahan kondisi baik dari intern maupun ekstern. Namun, meskipun kurikulum tersebut berubah, dasar yang digunakan sebagai dasar penanaman nilai tersebut tetap tidak berubah, yaitu al Quran dan as Sunnah.

KESIMPULAN

Tipologi pemikiran (filsafat) pendidikan Islam secara umum terbagi menjadi 4 yaitu Model tekstualis salafi, Model tradisionalis madzhabi, Modernis

Dan Neo-modernis. Pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam tersebut merupakan hasil dari pola pemikiran Islam yang berkembang di belahan dunia Islam pada periode modern ini, terutama dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman era modernitas.

Menurut perspektif Islam, tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam berimplikasi pada kesamaan titik tolak atau pijakan dalam pengembangannya, yaitu dari dimensi idealnya. Perbedaan antara berbagai tipologi tersebut lebih terletak pada dimensi interpretasi dan historisnya.

Implikasi filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan kurikulum telah melalui berbagai bentuk perubahan untuk menciptakan perkembangan pendidikan, khususnya di bidang pendidikan agama Islam. Filsafat pendidikan Islam tersebut dapat diterapkan kapanpun dan dimanapun kita berada, dengan syarat memiliki kesesuaian kurikulum di wilayahnya masing-masing.




DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah, 2005, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Raja Garfindo Persada

Muhaimin, 1993, Pemikiran Pendidikan Islam: (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya), Bandung: Trigenda Karya

_________, 2004, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

 
_________, 2005, Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Grafindo Persada.
Oemar Hamalik, 2007, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Rosda Karya
Umar Tirtarahardja, 2005, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta

Kontribusi Madrasah dalam Pendidikan di Indonesia

Latar belakang berdirinya Madrasah

           Di Indonesia, permulaan munculnya Madrasah baru sekitar abab 20, meski demikian latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor, yaitu semangat pembaharuan Islam yang berasal dari islam pusat(timur Tengah) dan merupakan respon pendidikan terhadap kebijakaan pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan serta mengembangkan sekolah. Hal ini juga diamini oleh M. Arsyad yang dikutip Khoirul Umam, munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dikarenakan kekhawatiran terhadap pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan sekolah-sekolah umum tanpa dimasukkan pelajaran dan pendidikan agama Islam. Pemerintah Kolonial menolak eksistensi pondok pesantren dalam sistem pendidikan yang hendak dikembangkan di Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode pembelajaran keagamaan yang dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah kolonial, tidak kompatibel dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di Hindia Belanda. Di balik itu, pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren dalam mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan prokemerdekaan di Hindia Belanda.

        Menyikapi kebijakan tersebut, tokoh-tokoh muslim di Indonesia akhirnya mendirikan dan mengembangkan madrasah di Indonesia didasarkan pada tiga kepentingan utama, yaitu: 1) penyesuaian dengan politik pendidikan pemerintah kolonial; 2) menjembatani perbedaan sistem pendidikan keagamaan dengan sistem pendidikan modern; 3) agenda modernisasi Islam itu sendiri.
        Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengantarkan pendidikan Islam ke dalam babak sejarah baru, yang antara lain ditandai dengan pengukuhan sistem pendidikan Islam sebagai pranata pendidikan nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan pendidikan nasional. Di dalam Undang-Undang itu setiap kali disebutkan sekolah, misalnya pada jenjang pendidikan dasar yaitu sekolah dasar, selalu dikaitkan dengan madrasah ibtidaiyah, disebutkan sekolah menengah pertama dikaitkan dengan madrasah tsanawiyah, disebutkan sekolah menengah dikaitkan dengan madrasah aliyah, dan lembaga-lembaga pendidikan lain yang sederajat, begitu pula dengan lembaga pendidikan non formal.

          Madrasah yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki kiprah panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan madrasah merupakan bagian dari pendidikan nasional yang memiliki kontribusi tidak kecil dalam pembangunan pendidikan nasional atau kebijakan pendidikan nasional. Madrasah telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam proses pencerdasan masyarakat dan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan. Dengan biaya yang relatif murah dan distribusi lembaga yang menjangkau daerah-daerah terpencil, madrasah membuka akses atau kesempatan yang lebih bagi masyarakat miskin dan marginal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Walau demikian para penulis sejarah pendidikan Islam di Indonesia agaknya sepakat dalam menyebut beberapa madrasah pada periode pertumbuhan, khususnya di wilayah Sumatera dan Jawa. Mahmud Yunus memasukkan ke dalam madrasah kurun pertumbuhan ini antara lain Adabiah School (1909) dan Diniah School Labai al-Yunusi (1915) di Sumatera Barat, Madrasa Nahdlatul Ulama di Jawa Timur, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Tasywiq Thullab di Jawa Tengah, Madrasah Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, Madrasah Jami’atul Khair di Jakarta, Madrasah Amiriah Islamiyah di Sulawesi dan Madrasah Assulthaniyah di Kalimantan.

Kontribusi Madrasah terhadap Indonesia kajian historis dan visioner

         Salah satu pilar pendidikan nasional adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Upaya perluasan dan pemerataan akses pendidikan yang ditujukan dalam upaya perluasan daya tampung satuan pendidikan dengan mengacu pada skala prioritas nasional yang memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang beraneka ragam baik secara sosial, ekonomi, gender, geografis, maupun tingkat kemampuan intelektual dan kondisi fisik. Perluasan dan pemerataan akses memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era globalisasi.
         Pendirian madrasah oleh para pemuka muslim di berbagai pelosok negeri memainkan peranan yang sangat penting dalam membuka akses bagi masyarakat miskin dan terpencil untuk memperoleh layanan pendidikan. Komitmen moral ini dalam kenyataan tidak pernah surut, sehingga secara kelembagaan madrasah terus mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga sekarang. Berdasarkan statisik pendidikan Islam tahun 2007, laju pertumbuhan madrasah dalam lima tahun terakhir mencapai rata-rata kisaran 3% per tahun dan lebih dari 50% madrasah berada di luar Jawa yang terdistribusi di daerah pedesaan.Sumbangan madrasah dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan tergambar secara jelas dalam jumlah penduduk usia sekolah yang menjadi peserta didik madrasah. Pada tahun 2007, jumlah seluruh peserta madrasah pada semua jenjang pendidikan sebesar 6.075.210 peserta didik. Adapun Angka Partisipasi Kasar (APK) madrasah terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada masing-masing tingkatan adalah 10,8% MI, 16,4% MTs, dan 6,0% MA. Kontribusi APK tersebut tersebar berasal dari madrasah swasta pada masing-masing tingkatan.

          Sumbangan lain dari madrasah dalam pembangunan pendidikan nasional adalah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pendidikan madrasah dikembangkan melalui Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jumlah MI sebanyak 22.610 buah dengan 3.050.555 peserta didik. Jumlah MTs sebanyak 12.498 buah dengan 2.531.656 peserta didik. Jumlah peserta didik dalam program wajib belajar pendidikan sembilan tahun terdiri dari 47,2% peserta didik MI dan 31,8 peserta didik MTs. Sisanya 21,0% peserta didik/santri pondok pesantren salafiah. Kontribusi madrasah terhadap penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun cukup lumayan besar mencapai 17%. Meskipun belum tercapai, namun diharapkan sampai tahun 2009 dapat dituntaskan. Kriteria tuntas adalah angka partisipasi kasar (APK) mengikuti pendidikan SMP atau Madrasah Tsanawiyah mencapai 95%. Sampai tahun 2008 baru mencapai sekitar 92,3%. Angka sisanya yaitu sekitar 2,7 % diharapkan pada tahun 2009 dapat dicapai angka partisipasi kasar pendidikan dasar sembilan tahun hingga 95%. Artinya wajib belajar pendidikan dasar pendidikan dasar sembilan tahun itu dianggap tuntas, meskipun 95% masih ada sisanya 5%. Angka 5% dari 50 juta anak usia sekolah bisa dikatakan lumayan banyak yang tercecer, tetapi bisa dianggap selesai. Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan termasuk Madrasah Aliyah, kontribusi madrasah dari mulai MI sampai MA terhadap angka partisipasi mengikuti pendidikan di berbagai jenjang pendidikan secara agregat atau secara keseluruhan itu bisa mencapai 21%. Bukan angka sedikit 21% dari sekitar 60 juta penduduk. Artinya masyarakat terutama madrasah telah memberikan andil pada upaya-upaya pemerintah menyediakan lembaga-lembaga pendidikan yang cukup besar. Di samping kenaikan APK, indikator lain dari percepatan penuntasan program wajib belajar sembilan tahun adalah semakin menurunnya angka drop out pada tahun 2006 sebesar 0,6 % menjadi 0,4 % pada tahun 2007 untuk MI dan untuk MTs sebesar 1,06 % pada tahun 2006 menjadi 1,02 % pada tahun 2007. Pada tahun 2008 angka drop out pada MI dan MTs diperkirakan turun 1,04 % sedangkan APK pada MI dan MTs masing-masing mencapai 14,75 % dan 20,70 %.
         Peran penting dalam rangka perluasan akses masyarakat dari kelompok marginal tampak secara jelas dari latar belakang keluarga peserta didiknya. Berdasarkan Statistik Pendidikan Islam Tahun 2007, lebih dari 92,7% orang tua peserta didik madrasah berpendidikan sederajat atau kurang dari SLTA dengan pekerjaan utama sebagai petani, nelayan, dan buruh (58,0%). Sejalan dengan kondisi ini, 85% berpenghasilan kurang dari Rp. 1 juta per bulan.Gambaran kondisi orang tua peserta didik tersebut menunjukkan bahwa madrasah memiliki aksessibilitas yang tinggi terhadap peserta didik dengan latar belakang keluarga masyarakat yang miskin secara ekonomi.

         Aksessibilitas madrasah bagi kelompok marginal juga tercermin pada aspek kultural, yaitu perannya yang penting dalam gender mainstreaming bidang pendidikan berkenaan dengan komposisi peserta didiknya yang sebagian besar kaum perempuan. Realitas ini adalah prakondisi yang baik bagi pengembangan pendidikan Islam berwawasan gender dan juga sekaligus menepis tudingan berbagai kalangan bahwa sikap dan pandangan keagamaan umat Islam cenderung diskriminatif terhadap perempuan.

Isu- isu eksistensi dan implikasinya

        Dalam perkembangannya, sistem pendidikan Islam madrasah sudah tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan Islam pesantren. Karena di lembaga pendidikan madrasah ini sudah mulai dimasukkan pelajaran-pelajaran umum seperti sejarah ilmu bumi, dan pelajaran umum lainnya. Sedangkan metode pengajarannya pun sudah tidak lagi menggunakan sistem halaqah, melainkan sudah mengikuti metode pendidikan moderen barat, yaitu dengan menggunakan ruang kelas, kursi, meja, dan papan tulis untuk proses belajar mengajar. Melihat kenyataan sejarah, kita tentunya bangga dengan sistem dan lembaga pendidikan Islam madrasah yang ada di Indonesia. Apalagi dengan metode dan kurikulum pelajarannya yang sudah mengadaptasi sistem pendidikan serta kurikulum pelajaran umum. Peran dan kontribusi madrasah yang begitu besar itu pada gilirannya—sejak awal kemerdekaan—sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah itu sendiri. Perkembangan serta kemajuan pendidikan Islam terus meningkat secara signifikan. Hal itu dapat dilihat misalnya pada pertengahan dekade 60-an, madrasah sudah tersebar di berbagai daerah di hampir seluruh propinsi Indonesia. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah tingkat rendah pada masa itu sudah mencapai 13.057. dengan jumlah ini, sedikitnya 1.927.777 telah terserap untuk mengenyam pendidikan agama. Laporan yang sama juga menyebutkan jumlah madrasah tingkat pertama (tsanawiyah) yang mencapai 776 buah dengan jumlah murid 87.932. Adapun jumlah madrasah tingkat Aliyah diperkirakan mencapai 16 madrasah dengan jumlah murid 1.881. Dengan demikian, berdasarkan laporan ini, jumlah madrasah secara keseluruhan sudah mencapai 13.849 dengan jumlah murid sebanyak 2.017.590. Perkembangan ini menunjukkan bahwa sudah sejak awal, pendidikan madrasah memberikan sumbangan yang signifikan bagi proses pencerdasan dan pembinaan akhlak bangsa.
          Dalam pada itu, meskipun pemerintah melalui departemen agama sudah banyak melakukan perubahan dan perumusan kebijakan di sana-sini untuk memajukan madrasah, namun itu belum terlalu berhasil jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang dalam hal ini dikelola oleh departemen pendidikan.Karena realitasnya, masyarakat hingga periode 90-an masih mempunyai sense of interest yang tinggi untuk masuk ke sekolah-sekolah umum yang dinilainya mempunyai prestise yang lebih baik daripada madrasah / sekolah Islam (Islamic School). Lebih dari itu, dengan masuk ke sekolah-sekolah umum, masa depan siswa akan lebih terjamin ketimbang masuk ke madrasah atau sekolah Islam. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh image yang menggambarkan lulusan-lulusan madrasah tidak mampu bersaing dengan lulusan-lulusan dari sekolah-sekolah umum. Lulusan madrasah hanya mampu menjadi seorang guru agama atau ustdaz. Sedangkan lulusan dari sekolah umum mampu masuk ke sekolah-sekolah umum yang lebih bonafide dan mempunyai jaminan lapangan pekerjaan yang pasti.Dalam konteks kekinian, image madrasah atau sekolah Islam telah berubah. Madrasah sekarang tidak lagi menjadi sekolah Islam yang hanya diminati oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan sudah diminati oleh siswa-siswa yang berasal dari masyarakat golongan kelas menengah ke atas. Hal itu disebabkan sekolah-sekolah Islam atau madrasah elit yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum sudah banyak bermunculan. Diantara madrasah atau sekolah Islam itu adalah; Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam al-Azhar, Sekolah Islam al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, Madania School, dan lain sebagainya.
           Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah hanya diperuntukkan bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sejak mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen yang berasal dari Barat sambil tetap mempertahankan yang sudah ada dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung iklim pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau sekolah Islam) sekarang sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan dengan apa yang disebut sebagai English Daily. Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar harus berbicara dalam bahasa Inggris. Madrasah seperti Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam Al-Azhar, sekolah Islam Al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh diantaranya.Kemampuan bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah dan sekolah Islam itu kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan bahasa Inggris saja. Lebih dari itu, pengetahuan bahasa asing lainnya juga absolut diajarkan oleh madrasah seperti bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang, Mandarin dan lainnya pada tingkat Madrasah Aliyah. Di samping itu, dalam menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai institusi pendidikan Islam tidak lantas cukup merasa puas atas keberhasilan yang telah dicapainya dengan memberikan pengetahuan bahasa asing kepada para siswanya dan desain kurikulum pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh madrasah.

         Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan yang mengarah kepada progresivitas madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu, dalam pendidikan madrasah memang sangat diperlukan pendidikan keterampilan. Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari, menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya. Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan berguna ketika para siswa lulus dari madrasah. Karena jika sudah dibekali dengan pendidikan keterampilan, ketika ada siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi seperti universitas misalnya, maka siswa dengan bekal keterampilan yang sudah pernah didapatnya ketika di madrasah tidak akan kesulitan lagi dalam upaya mencari pekerjaan. Jadi, kiranya penting bagi madrasah untuk mengembangkan pendidikan keterampilan tersebut. Sebab, dengan begitu siswa akan langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah lulus dari madrasah atau sekolah Islam. Namun semua itu tentunya harus dilakukan secara profesional.Dengan adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau madrasah, lulusan madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia global yang semakin kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan terjaga. Karena ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak kalah kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum.
Solusi yang ditawarkan
         Solusinya adalah dengan mempertimbagkan kembali ide yang sebenarnya sudah lama disuarakan oleh beberapa kalangan, yaitu adanya pendapat yang menginginkan pendidikan satu atap di negeri ini. Seperti yang diungkapkan bahwa fenomena penganaktirian madrasah sesungguhnya adalah konsekwensi dari pemberlakuan dualisme manajemen pendidikan di negeri ini yang berlangsung sudah sejak lama. Maka terkait dengan masalah dualisme pendidikan ini, ide tentang pendidikan satu atap ini juga layak kembali dipertimbangkan.Menurut saya ketika semangat otonomi pendidikan menjadi isu sentral dalam reformasi pendidikan nasional, maka madrasah seharusnya include dalam semangat otonomi itu. Ada banyak alasan ilmiah yang menguatkan bahwa otonomi pendidikan diyakini akan mendatangkan kemaslahatan terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional di masa datang. Masalahnya adalah sekalipun madrasah sesungguhnya bergerak di bidang pendidikan yang sudah ditonomikan, selama ini madrasah berada dalam jalur birokrasi Departemen Agama yang tidak diberikan wewenang otonomi, makaakibatnya jadilah madrasah sebagai anak tiri oleh pemerintahan daerah.Sebagai pendidik saya berkeyakinan bahwa pendidikan satu atap, dimana pendidikan hanya dikelola oleh satu departemen, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, akan memberikan dampak luar bisa kepada perkembangan madrasah pada masa datang. Apalagi UU No.20/2003 telah menegaskan bahwa madrasah dalam banyak hal, seperti dalam hal kedududukan, status, dan kurikulum sama persih dengan sekolah umum, maka secara yuridis ide pendidikan satu atap ini sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang sangat kuat.Pada tataran praktis, kalau ummat Islam khawatir memudarnya idealisme pendidikan Islam di madrasah, kenapa tidak dibuka saja satu jurusan baru di SMA, jurusan Pendidikan Agama Islam misalnya, yang khusus mengakomodir keinginan peserta didik untuk mempelajari agama Islam secara lebih mendalam? Apalagi bukankah juga sudah ada ribuan pesantern yang memfasilitasi keinginan itu? Saya yakin wacana tentang "pendidikan satu atap ini" sangat debatable, karena ada banyak kepentingan di situ. Tapi poin saya adalah semua kalangan dalam pendidikan Islam tidak boleh berhenti mencarikan solusi terbaik agar madrasah tidak terus menerus menjadi anak tiri, agar madrasah bisa "dipangku ibu pertiwi" dalam makna yang sesungguhnya.
Daftar Refrensi
Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam. (2008). Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta: Ditjen Penais Departemen Agama.

Hasbullah, 2001, cet. 4 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,

Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999
Steenbrink, Karel. A., (1986). Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES