Jumat, 18 Mei 2012

Pengaruh Media Massa Pada Pribadi


Secara perlahan-lahan  namun  efektif,  media membentuk  pandangan  pemirsanya terhadap  bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari. Pertama, media memperlihatkan pada pemirsanya bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, dari sini pemirsa menilai apakah lingkungan mereka sudah layak, atau apakah ia telah memenuhi standar itu - dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang pemirsa lihat dari media. Kedua, penawaran-penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi memengaruhi apa yang pemirsanya inginkan, sebagai contoh media mengilustrasikan kehidupan keluarga ideal, dan pemirsanya mulai membandingkan dan membicarakan kehidupan keluarga tersebut, dimana kehidupan keluarga ilustrasi itu terlihat begitu sempurna sehingga kesalahan mereka menjadi menu pembicaraan sehari-hari pemirsanya, atau mereka mulai menertawakan prilaku tokoh yang aneh dan hal-hal kecil yang terjadi pada tokoh tersebut.  Ketiga, media visual dapat memenuhi kebutuhan pemirsanya akan kepribadian yang lebih baik, pintar, cantik/ tampan, dan kuat. Contohnya anak-anak kecil dengan cepat mengidentifikasikan mereka sebagai penyihir seperti Harry Potter, atau putri raja seperti tokoh Disney. Bagi pemirsa dewasa, proses pengidolaaan ini terjadi dengan lebih halus, mungkin remaja ABG akan meniru gaya bicara idola mereka, meniru cara mereka berpakaian.
Sementara untuk orang dewasa mereka mengkomunikasikan gambar yang mereka lihat dengan gambaran yang mereka inginkan untuk mereka secara lebih halus. Mungkin saat kita menyisir rambut kita dengan cara tertentu kita melihat diri kita mirip "gaya rambut boy band", atau menggunakan kacamata a'la "primus". Keempat, bagi remaja dan kaum muda, mereka tidak hanya berhenti sebagai penonton atau pendengar, mereka juga menjadi "penentu", dimana mereka menentukan arah media populer saat mereka berekspresi dan mengemukakan pendapatnya. Penawaran  yang  dilakukan  oleh  media  bisa  jadi  mendukung  pemirsanya  menjadi  lebih  baik  atau mengempiskan kepercayaan dirinya. Media bisa membuat pemirsanya merasa senang akan diri mereka, merasa cukup, atau merasa rendah dari yang lain .

Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender



Masalah kemiskinan juga menyangkut dimensi gender. Laki-laki dan perempuan mempunyai akses, kontrol, dan prioritas yang berbeda dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan politik. Permasalahan yang terjadi selama ini adalah rendahnya partisipasi dan terbatasnya akses perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Masalah lainnya adalah kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan yang bersumber dari ketimpangan struktur sosio-kultural masyarakat. Hal ini tercermin dari terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang luas. Masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender tercemin pada rendahnya tingkat pendidikan, tingginya angka kematian ibu, ketidakcukupan konsumsi nutrisi  khususnya perempuan hamil dan menyusui, pengiriman TKW yang sarat dengan penipuan, eksploitasi, pelecehan, kekerasan seksual, perdagangan perempuan dan anak, dan buruknya sanitasi dan air bersih. 

Pendidikan sebagai hak asasi manusia


       Setelah peradaban umat manusia memasuki abad yang ke-20, urusan pendidikan suadah menjadi semakin pelik. Banyak sudah filosof dan pemikir pendidikan dan guru yang telah dilahirkan. Deretan guru dan pendidik yang mengisi sejarah pendidikan umat manusia diantaranya Plato dan Aristoteles, Al Ghazali, dan banyak lagi guru pendidikan konservartif, baik yang religius maupun yang sekuler. Dalam perkembangan selanjutnya, manusia juga telah melahirkan banyak pendidik yang dapat disebut sebagai tokoh guru penganut aliran atau paham liberal. Mereka muncul dimana-mana serta dari zaman ke zaman, dan diantaranya adalah John Dewey, R.A. Kartini, Ki Hajar Dewantara, Ahmad Dahlan, dan lain sebagainya. Umat Manusia juga telah melahirkan para pendidik radikal dan anarkis seperti Mahatma Gandhi, Antonio Gramsci, Paulo Freire, sampai Ivan lllich. Berbagai bentuk dan teori serta metodologi pendidikan telah dicobakan. Namun, ada suatu hal yang kokoh, bahwasanya seluruh umat manusia tetap menganggap seperti sedia kala bahwa pendidikan sangat penting bagi eksistensi umat manusia. Itulah makanya, dalam perjalanan umat manusia, akhirnya mereka secara tegas menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu hak-hak asasi manusia.
Deklarasi Universal tentang hak-hak asasi manusia. Dalam ”Deklarasi Universal HAM” yang diproklamasikan pada akhir perang dunia ke-II tersebut, adalah merupakan komitmen umat manusia untuk menetapkan bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia. Artinya, negara-negara anggota PBB berkewajiban untuk menyediakan pendidikan bagi anak-anak mereka tanpa memandang suku, warna kulit, keyakinan agama maupun jenis kelamin dan kelas sosial ekonominya. Konvensi PBB tentang hak-hak anak bahkan menetapkan bahwa negara serta konvensi berkewajiban memberikan pendidikan secara gratis bagi anak hingga usia 18 tahun anak-anak mereka. Tugas Negara dalam urusan hak-hak asasi manusia adalah melindungi, dan mempromosikan dan mencegah pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia warga negaranya. Dengan demikian, wajib belajar dalam konteks hak asasi manusia adalah kewajiban Negara untuk menyediakan pendidikan bagi warga negaranya. Sejak saat itulah peradaban umat manusia telah mencapai pada lahirnya suatu faham bahwa pendidikan pada dasarnya adalah hak asasi manusia. Perjalanan peradaban umat manusia akhirnya mencapai puncaknya, dimana manusia meneguhkan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk melanggengkan eksistensi umat manusia dari kepunahan. Itulah sebabnya dapat disimpulkan bahwa setiap kegiatan politik, ekonomi maupun sosial yang bertujuan untuk menghalangi, ataupun yang akan menyebabkan anggota masyarakat tidak mendapatkan pendidikan, bisa dikatagorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Akan tetapi dewasa ini umat manusia tengah memasuki suatu zaman baru yang ditandai dengan menguatnya paham pasar bebas, yang dikenal sebagai zaman globalisasi. Tradisi umat manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan, karena pendidikan ternyata bagi sebagian manusia dapat digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mendapatkan keuntungan. Bagaimana mungkin tradisi manusia tentang visi pendidikan sebagai strategi untuk eksistensi manusia yang telah direproduksi berabad-abad selama ini, diganti oleh suatu visi yang meletakkan pendidikan sebagai suatu komoditi atau barang. Akibat hal ini, pendidikan hanya mampu dijangkau oleh mereka yang secara ekonomi diuntungkan oleh struktur dan sistim sosial yang ada. Sementara itu bagi mereka yang datang dari kelas yang dieksploitasi secara ekonomi tidak akan mampu menjangkau pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan telah menjadi suatu komoditi, bagi mereka yang memiliki uang dan mampu untuk membayarnya, akan menikmati pelayanan dan mutu pendidikan, sementara bagi mereka yang tidak mampu membayar pendidikan tidak akan mendapat akses dan pelayanan pendidikan. Pendidikan yang sejak lama menjadi usaha untuk mempertahankan eksistensi dan budaya manusia, saat ini tengah mengalami pergeseran orientasi, visi maupun ideologi yang berakibat ancaman bagi eksistensi manusia sendiri.