Senin, 21 Juni 2010

EFEKTIFITAS PONDOK RAMADHAN TERHADAP PENGEMBANGAN MATERI PENDIDIDKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH UMUM

A. LATAR BELAKANG
Kompleksitas problematika kehidupan di era globalisasi telah menawarkan banyak tantangan dan keuntungan bagi kelangsungan hidup manusia. Dan tantangan yang paling berat dalam hal ini adalah persoalan pilihan nilai moral, budaya, dan keagamaan, terutama bagi kalangan remaja. Hal ini disebabkan oleh faktor psikologis mereka yang mengalami masa pubertas (masa pencarian nilai-nilai/ norma yang dirasa sesuai dengan dunianya). Tantangan tersebut nampaknya menjadi problematika tersendiri bagi para guru agama untuk segera diatasi atau bahkan diantisipasi sedini mungkin.1
Abu Ahmadi juga menjelaskan bahwa penanaman nilai-nilai agama Islam sejak dini sangatlah diperlukan guna mendukung dan mewujudkan tujuan dari pendidikan agama Islam. Terutama pada masa seperti saat ini, di mana multi krisis telah sangat akrab dengan kehidupan kita, khususnya masalah krisis moral. Selain itu, agama Islam memuat ajaran tentang tata hidup yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Atau, dengan kata lain bahwa ajaran Islam berisi pedoman–pedoman pokok yang harus digunakan untuk menyiapkan kehidupan yang sejahtera di dunia sekarang dan di akhirat nanti. 2
Dengan demikian, peran guru agama Islam di sekolah sangat berpengaruh dalam pembinaan karakter/ kepribadian siswa yang dididiknya. Sebab materi pendidikan agama yang diajarkan lebih sering menyentuh masalah moral dan perilaku manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Dalam hal ini, guru agama diharapkaan dapat mengembangkan potensi positif yang dimiliki oleh setiap siswanya. Karena pada dasarnya setiap insan itu membawa potensi kebaikan sebagaimana telah disabdakan Rasulullah saw:
حَدَّثَناَ عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا يُوْنُسُ عَنِ الزُّهْرِى أَخْبَرَنِيْ أَبُوْ سَلْمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تَحُسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ.(من صحيح البخاري كتاب الجنائز, رقم: 1270, إذا أسلم الصبي)

ِArtinya: Rasulullah saw bersabda: "Tiada seorang anak pun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi sebagaimana binatang ternak yang dicocok hidungnya dan apakah kamu menganggap hal itu sebagai suatu paksaan"(H.R. Bukhori, Kitab Jenazah, no 1270, Bab ketika seorang anak masuk Islam).3
Masruhi Sudiro4 dalam bukunya “Islam Melawan Narkoba” menyatakan bahwa kurang lebih 30% penduduk Indonesia adalah remaja yang berusia 10-24. tahun. Selain merupakan potensi yang luar biasa bagi usaha-usaha pembangunan, maka usia tersebut merupakan sasaran utama penyalahgunaan narkotika. Hal tersebut akan menjadi semakin runyam manakala kita ketahui bahwa kegiatan kejahatan narkotika adalah kejahatan yang terorganisasi dengan rapi dan bersifat internasional yang beroperasi dengan sistem jaringan yang tertutup dan rahasia.
Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi para guru agama untuk mengabaikan masalah kontekstualisasi pengajaran agama agar para siswanya dapat menyerap esensi dari ajaran agama tersebut dengan baik dan benar. Dengan demikian, penafsiran al-Qur'an secara kontekstual sangat diperlukan, mengingat bahwa al-Qur'an diturunkan bukan saja untuk berdialog dengan orang-orang yang hidup di masa sekarang, maupun untuk orang-orang yang hidup di masa yang akan datang.5
Proses pemwahyuan al-Qur'an meski secara bertahap, tetapi cakupan maknanya menjangkau ke seluruh ruang dan waktu manusia. Karena autentitas al-Qur'an selalu diperhadapkan kepada dua hal pokok. Pertama, bagaimana al-Qur'an selalu aktual dan koheren dengan kebutuhan masyarakatnya. Kedua, bagaimana orisinalitas keberadaan al-Qur'an tetap terjaga meski penafsiran atasnya tetap berubah-ubah.6
Dan seorang guru agama, hendaknya sebelum menanamkan nilai-nilai agama harus mencermati berbagai pendekatan dan metode yang tepat untuk diterapkan. Sebab, tujuan yang baik belum tentu mendapat respon positif, jika metode penyampaiannya tidak sesuai dengan karakter yang dimiliki siswa, begitu juga dengan karakteristik materi yang akan disampaikan. Sebaiknya para guru agama melakukan pedekatan yang bersifat dialogis dan sosiologis, bukannya pendekatan yang bersifat normatif dogmatis sebagaimana yang telah terjadi di beberapa sekolah selama ini.
Kadang-kadang ada perlunya siswa kita ajak mengalami proses inter-disiplinaritas dalam menghadapi kasus-kasus yang kompleks, agar pengetahuan siswa berkembang menjadi lebih luas, terintegrasi, dan tersusun logis, untuk menghindari berpikir yang sempit dan kerdil.7
Dalam hal ini, sekolah seringkali memanfaatkan momen yang sangat berharga bagi umat Islam yaitu bulan suci Ramadhan, karena bulan ini merupakan kesempatan yang sangat berarti sekali bagi para guru agama untuk lebih memperdalam pemahaman siswa terhadap ajaran agamanya. Beraneka model kegiatan yang dilakukan dalam menyemarakkan bulan suci ini. Kegiatan–kegiatan semacam ini lebih dikenal dengan kegiatan pondok Ramadhan.
Pondok Ramadhan merupakan suatu kegiatan pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan formal baik yang berbasis umum maupun agama. Di samping itu kegiatan semacam ini merupakan aset nasional dalam pembinaan moral remaja sebagai langkah preventif dan kuratif yang cukup efektif dan efisien. Sebab tindakan semacam ini dapat digolongkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang dapat menunjang keberhasilan siswa dalam mengikuti bidang studi agama, walaupun sifatnya insidental.
Pendekatan yang dilakukan oleh para pembina pondok Ramadhan diharapkan dapat menyentuh rohani mereka untuk melihat lebih jauh peran mereka di dunia ini. Setidaknya fenomena seperti ini menjadi suatu tradisi yang perlu dipertahankan dan dilestarikan serta dikembangkan sedemikian rupa, sehingga bisa mencapai target dengan efektif dan efisien. Dan tentunya selama masa-masa perkembangannya, pondok Ramadhan memiliki dinamika tersendiri yang seharusnya mendapat perhatian serius dari para pihak sekolah atau para pemerhati pendidikan, terutama untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai bentuk dekadensi moral remaja, seperti free sex yang semakin membudaya sebagai akibat dari pergaulan bebas yang selama ini telah berubah menjadi trend anak muda.
Pada dasarnya kegiatan pondok Ramadhan ini menjadi sarana tafaqquh fi al-din (pendalaman agama) yang mengemban misi kerasulan Nabi Muhammad saw, sekaligus melestarikan ajaran Islam yang selama ini mulai dikesampingkan oleh anak-anak dan kaum remaja sekolah yang notabene mereka tergolong masyarakat terpelajar dan terdidik. Di samping itu, melalui kegiatan pondok Ramadhan diharapkan internalisasi nilai-nilai dan pesan moral agama dapat tercapai dengan baik.
Dan maksud Tuhan untuk menurunkan firman-firman-Nya sebagai hudan (petunjuk), nur (cahaya), tibyan (penjelas), dan syifa' (obat) menjadi tidak bisa ditangkap oleh manusia lantaran mayoritas umat Islam masih terpaku pada makna teks. Akhirnya, bagaimana sebuah pemahaman wacana qur'anik mesti dihidupkan adalah dengan menciptakan ide-ide yang bisa diterima oleh semua umat manusia dan berbagai fungsi penurunan al-Qur'an itu bisa dipenuhi. Cita cita al-Qur'an bukan eksklusif, tapi humanis dan universal sebagai rahmatan li al-'alamiin.8
Salah satu unsur utama dalam kegiatan pondok Ramadhan agar berjalan optimal adalah pengembangan variasi metode pengajarannya. Karena suatu materi yang berkualitas tinggi, jika tidak disampaikan dengan menggunakan strategi yang jitu, maka mustahil dapat mencapai target ataupun tujuan yang telah ditentukan dengan rapi dalam perencanaan sebelumnya secara efektif dan efisien.
Meskipun kegiatan semacam ini sangat membantu meringankan para guru agama sebagai pengemban misi moral di sekolah, namun tidak akan berhasil dengan baik, jika tidak didukung dengan lingkungan belajar yang kondusif. Dengan kata lain, metode, materi, media dan unsur pendidikan lainnya harus benar-benar dijadikan sebagai konsentrasi awal dalam proses pembinaan moral siswa-siswinya, terutama yang seringkali bermasalah dengan guru bimbingan konseling.
Namun realita menyatakan adanya bentuk-bentuk pengajaran yang hanya mencapai proses transfomasi ilmu pengetahuan tanpa ada penanaman nilai-nilai yang seharusnya tertancap dalam diri setiap siswanya. Di samping itu, saat ini sangat minim sekali pihak sekolah yang mengadakan program-program kegiatan pondok Ramadhan yang didesain khusus bagi kalangan remaja yang lebih menantang dan merangsang mereka untuk berpartisipasi secara utuh dalam mengikuti kegiatan ini.