Islam datang ke
Nusantara melalui pesisir dan kemudian masuk ke pedalaman. Itulah sebabnya ada
anggapan bahwa Islam pesisir itu lebih dekat dengan Islam genuine yang
disebabkan oleh adanya kontak pertama dengan pembawa islam. Meskipun Islam yang
datang ke wilayah pesisir, sesungguhnya sudah merupakan Islam hasil konstruksi
pembawanya, sehingga Islam yang pertama datang adalah Islam yang tidak murni.
Terlepas dari teori kedatangan Islam ke Nusantara dari berbagai sumbernya,
namun yang jelas bahwa Islam datang ke Nusantara ketika di wilayah ini sudah
terdapat budaya yang berciri khas. Islam yang datang ke Nusantara tentunya
adalah Islam yang sudah bersentuhan dengan tradisi pembawanya (da’i), seperti
yang datang dari India Selatan tentunya sudah merupakan Islam hasil penafsiran
komunitas Islam di India Selatan dimaksud. Demikian pula yang datang dari
Gujarat, Colomander, bahkan yang bertradisi Arab sekalipun.
Bukan suatu
kebetulan bahwa kebanyakan wali (penyebar Islam) berada di wilayah pesisir.
Sepanjang pantai utara Jawa dapat dijumpai makam para wali yang diyakini
sebagai penyebar Islam. Di Jawa Timur saja, jika dirunut dari yang tertua ke
yang muda, maka didapati makam Syeikh Ibrahim Asmaraqandi di Palang Tuban,
Syeikh Malik Ibrahim di Gresik, makam
Sunan Ampel di Surabaya, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Giri di
Gresik, makam Sunan Drajad di Lamongan, makam Wali Lanang di Lamongan, makam
Raden Santri di Gresik dan makam Syekh Hisyamudin di Lamongan. Makam para wali
ini hingga sekarang tetap dijadikan sebagai tempat suci yang ditandai dengan
dijadikannya sebagai tempat untuk berziarah dengan berbagai motif dan
tujuannya.
Secara
geostrategis, bahwa para wali menjadikan daerah pesisir sebagai tempat mukimnya
tidak lain adalah karena mudahnya jalur perjalanan dari dan ke tempat lain
untuk berdakwah. Bisa dipahami sebab pada waktu itu jalur laut adalah jalur
lalu lintas yang dapat menghubungkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Sehingga
tidak aneh jika penyebaran Islam oleh Sunan Bonang sampai ke Bawean, Sunan Giri
sampai ke daerah Sulawesi, Lombok dan sebagainya. Jalur laut pada masa awal
penyebaran Islam, terutama laut Jawa telah mencapai puncaknya. Pada abad ke 12,
jalur laut yang menghubungkan Jawa, Sumatera, Malaka dan Cina, sudah terbangun
sedemikian rupa. Maka, para wali pun telah melakukan dakwahnya ke seluruh
Nusantara melalui pemanfaatan jalur laut tersebut.
Islam pesisiran
Jawa hakikatnya adalah Islam Jawa yang bernuansa khas. Bukan Islam bertradisi
Arabyang puris karena pengaruh gerakan Wahabiyah, tetapi juga bukan Islam
sinkretis sebagaimana cara pandang Geertz yang dipengaruhi oleh Islam tradisi
besar dan tradisi kecil. Islam pesisiran adalah Islam yang telah melampaui
dialog panjang dalam rentang sejarah masyarakat dan melampaui pergumulan yang
serius untuk menghasilkan Islam yang bercorak khas tersebut. Corak Islam inilah
yang disebut sebagai Islam kolaboratif, yaitu Islam hasil konstruksi bersama
antara agen dengan masyarakat yang menghasilkan corak Islam yang khas, yakni
Islam yang bersentuhan dengan budaya local. Tidak semata-mata islam murni
tetapi juga tidak semata-mata Jawa. Islam pesisir merupakan gabungan dinamis
yang saling menerima dan memberi antara Islam dengan budaya local.[1]
Varian Islam
pesisir juga didapati di wilayah pesisir utara Jawa. Di pesisir Tuban bagian
timur –tepatnya di Karangagung, Kecamatan Palang—juga didapati corak pengamalan
Islam yang puris. Kelompok Muhammadiyah di desa ini cukup dominant dan bahkan
jika dibandingkan dengan wilayah Tuban lainnya, maka di desa inilah kekuatan
Muhammadiyah bertumpu. Jika pelacakan dilakukan ke arah timur di pesisir utara
Lamongan, maka geliat Islam murni juga semakin nampak. Di sepanjang pesisir
utara Lamongan –kecamatan Brondong terus ke timur sampai Gresik sebelah barat,
maka dapat dijumpai Islam yang bertradisi puris. Meskipun tidak seluruhnya
seperti itu, namun memberikan gambaran bahwa corak Islam pesisir, sesungguhnya
sangat variatif. Wilayah pesisir Tuban ke barat, tampak didominasi oleh Islam local.
Dari Tuban ke barat sampai Demak, corak Islam local masih dominan. Namun
demikian juga bukan berarti bahwa di sana sini tidak dijumpai adanya pengamalan
Islam yang bercorak murni tersebut.
Pada komunitas
pesisir, ada satu hal yang menarik
adalah ketika di suatu wilayah terdapat dua kekuatan hampir seimbang, Islam
murni dan Islam lokal, maka terjadilah tarikan ke arah yang lebih Islami
terutama yang menyangkut
istilah-istilah, seperti slametan yang bernuansa bukan kesedihan berubah
menjadi tasyakuran, misalnya slametan
kelahiran, pindah rumah, mendapatkan kenikmatan lainnya, maka ungkapan yang
digunakan bukan lagi slametan tetapi syukuran.
Upacara memperingati kematian atau dulu disebut manganan kuburan sekarang diubah dengan ungkapan khaul. Nyadran di Sumur sekarang
berubah menjadi sedekah bumi. Upacara petik laut atau babakan di pantai disebut sedakah laut. Upacara babakan untuk menandai datangnya masa
panen bagi para nelayan. Dari sisi substansi juga terdapat perubahan. Jika pada
masa lalu upacara nyadran di sumur
selalu diikuti dengan acara tayuban,
maka sekarang dilakukan kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Sama halnya
dengan upacara sedekah laut, jika dahulu hanya ada acara tayuban, maka sekarang ada kegiatan yasinan, tahlilan dan
pengajian. Secara simbolik hal ini menggambarkan bahwa ada pergerakan budaya
yang terus berlangsung dan semakin mendekati ke arah tradisi Islam.[2]
Suasana
keagamaan yang berbeda tampak pada suatu wilayah yang kecenderungan umum
pelakunya adalah kebanyakan penganut NU. Di desa-desa pesisir yang aliran
keagamaannnya seperti itu, maka tampak bahwa pengamalan beragamanya cenderung
masih stabil, yaitu beragama yang bercorak lokalitas. Jika terjadi perubahan
pun kelihatannya sangat lambat. Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa
upacara-upacara di medan budaya –sumur dan makam—sudah berubah menjadi lebih
islami. Hal itu juga tampak dari sederetan upacara ritual yang menampakkan
wajah islam secara lebih dominan, meskipun hal itu merupakan penafsiran atau
hasil konstruksi yang mempertimbangkan lokalitasnya.
Islam pedalaman
pun menggambarkan wajah varian-varian yang menonjol. Kajian Nakamura (1983) dan
Mulkhan (1999) tentang Islam murni di wilayah pusatnya Jogyakarta maupun Islam
murni di Wuluhan Jember tentunya merupakangambaran varian Islam ketika berada
di dalam lokus sosial budayanya. Muhammadiyah yang merupakan gerakan keagamaan
anti takhayul, bidh’ah dan churafat (TBC) ketika berada di tangan kaum petani
juga mengalami naturalisasi. Muhammadiyah di Wuluhan juga menggambarkan
fenomena seperti itu. Gerakan Muhammadiyah belumlah tuntas, sehingga
Muhammadiyah di tangan Petani juga memberikan gambaran bahwa belum semua orang
Muhammadiyah melakukan Islam sebagaimana penafsiran para elitnya tentang Islam.
Empat tipe penggolongan orang Muhammadiyah di Wuluhan yang dilakukan oleh
Mulkhan yaitu: Islam-Ikhlas yang lebih puris, Islam-Munu atau golongan Muhammadiyah-NU
yang orientasinya kurang puris dan ada lagi Islam-Ahmad Dahlan yang tidak
melakukan praktik bidh’ah tetapi membiarkan dan ada Islam-Munas atau
Muhammadiyah-Nasionalisme yang tidak mengamalkan ajaran Islam atau disebut juga
Marmud atau Marhaenis-Muhammadiyah.[3]
Di sisi lain,
Nakamura juga memberikan gambaran bahwa gerakan tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah juga berada dalam proses
terus menjadi dan bukan status yang mandeg. Di dalam penelitiannya diungkapkan
secara jujur bahwa islam diJawa ternyata tidak mandeg atau sebuah peristiwa
sejarah yang paripurna, akan tetapi peristiwa yang terus berlangsung.
Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bercorak sosial dan agama sekaligus.
Muhammadiyah dalam pengamatannya ternyata tidak sebagaimana disangkakan orang
selama ini, yaitu gerakan keagamaan yang keras, eksklusif, fundamental, namun
merupakan gerakan yang berwatak inklusif, tidak mengedepankan kekerasan dan
berwajah kerakyatan. Nakamura memang melakukan penelitian tentang Muhammadiyah
di pusatnya yang memang menggambarkan corak keberagamaan seperti itu.[4]
Dalam banyak
hal, Islam pedalaman memang menggambarkan corak varian yang bermacam-macam.
Selain gambaran Muhammadiyah sendiri yang juga terdapat varian-varian
pengamalan keagamaannya, maka di sisi lain juga menggambarkan watak keislaman
yang sangat variatif. Corak Islam tersebut misalnya dapat dilihat dari semakin
semaraknya tradisi-tradisi lokal di era pasca reformasi. Tradisi-tradisi yang
pada masa lalu dianggap sebagai ritual, maka dewasa ini lebih dikemas sebagai
festival-ritual. Artinya bahwa upacara ritual tersebut dilaksanakan dengan
tetap mengacu kepada tradisi masa lalu, namun dikemas sebagai peristiwa
festival yang bisa menghadirkan nuansa budaya dan ekonomi. Tradisi Suroan di
beberapa wilayah Mataraman dewasa ini,
sungguh-sungguh telah masuk ke dalam wilayah festival budaya. Memang masih ada
ritual yang tetap bertahan sebagai ritual dan dilakukan dengan tradisi
sebagaimana adanya, sehingga coraknya pun tetap seperti semula. Tradisi itu
antara lain adalah upacara lingkaran hidup,
upacara hari-hari baik dan upacara intensifikasi.[5]
Namun untuk upacara kalenderikal kelihatannya telah memasuki perubahanyang
mendasar, yaitu sebagai ritual-festival dimaksud.
Dalam banyak
hal, tradisi Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah berbeda. Jika pun
berbeda hanyalah pada istilah-istilah yang memang memiliki lokalitasnya
masing-masing. Perbedaan ini tidak serta merta menyebabkan perbedaan substansi
tradisi keberagamaannya. Substansi ritual hakikatnya adalah menjaga hubungan
antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos. Hubungan mana diantarai oleh
pelaksanaan ritual yang diselenggarakan dengan corak dan bentuk yang
bervariasi. Nyadran laut atau sedekah
laut bagi para nelayan hakikatnya adalah upacara yang menandai akan datangnya
masa panen ikan. Demikian pula upacara wiwit dalam tradisi pertanian hakikatnya
juga rasa ungkapan syukur karena penen padi akan tiba. Upacara lingkaran hidup
juga memiliki pesan ritual yang sama. Upacara hari-hari baik dan intensifikasi
hakikatnya juga memiliki pesan dan substansi ritual yang sama. Dengan demikian,
kiranya terdapat kesamaan dalam tindakan rasional bertujuan atau in order to motive bagi komunitas petani
atau pesisir dalam mengalokasikan tindakan ritualnya. Jika demikian halnya,
maka perbedaan antara tradisi Islam pesisir dengan tradisi Islam pedalaman
hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan, namun dalam struktur dalamnya
memiliki kesamaan. Atau dengan kata lain, substansinya sama meskipun
simbol-simbol luarnya berbeda.
[1] Periksa Nur Syam, Islam Pesisir…
[2] Periksa Nur Syam, Islam Pesisir…
[3] Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni Pada Masyarakat Petani. Jogyakarta: Bentang Budaya,
1999.
[4] Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin. (Jogyakarta: Gajah Mada Press, 1983)
[5] Upacara lingkaran hidup terdiri dari
upacara perkawinan sampai kematian. Upacara hari-hari baik seperti pindah
rumah, bepergian, dan membuat rumah dan sebagainya. Upacara intensifikasi
seperti upacara penutupan tahun, penerimaan tahun baru, upacara tolak balak dan
sebagainya. Upacara-upacara ini dilakukan secara intensif pada masyarakat Islam
pedalaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tadjoer Rijal, Tamparisasi Tradisi Santri Jawa.
(Surabaya: Kampusiana, 2004) masih menggambarkan nuansa fenomena seperti itu.
Demikian juga penelitian Woodward, Islam
Jawa…, dan bahkan tulisan Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa… juga masih memiliki relevansi dengan kecenderungan keberagamaan
masyarakat Islam pedalaman hingga dewasa ini. Meskipun dikhotomi Santri-Abangan
sudah memudar, namun dalam segmen tradisi keberagamaan masih dijumpai fenomena
yang terus berlangsung.