Sabtu, 22 Mei 2010

LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM DAN IMPLIKASINYA PADA PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tipologi Pemikiran (Filsafat) Pendidikan Islam

          Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, yang berusaha menelaah masalah-masalah pokok seperti; apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan itu diperlukan, apa yang seharusnya menjadi tujuannya dan sebagainya. Landasan filosofis adalah landasan yang berdasarkan atau bersifat filsafat, kata filsafat sensiri (philosophy) bersumber dari bahasa yunani, philein, berarti mencintai dan sophos atau sophis berarti hikmah, arif atau bijaksana.

         Langgulung mengemukakan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah sejumlah prinsip, kepercayaan dan premis yang diambil dari ajaran Islam atau sesuai dengan semangatnya dan mempunyai kepentingan terapan dan bimbingan dalam pendidikan. Jika dilihat dengan pengertian-pengertian pendidikan Islam sebagaimana uraian terdahulu, maka filsafat pendidikan Islam dapat berarti:

1. Filsafat pendidikan menurut Islam atau filsafat pendidikan yang islami , yakni filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam atau yang dipahami dan yang dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya yaitu al-Quran dan as-Sunnah.
2. Filsafat yang bergerak dalam lapangan pendidikan keislaman ataupendidikan Islam.
3. Filsafat pendidikan dalam Islam atau proses aplikasi ide-ide filsafat terhadap masalah-masalah pendidikan Islam yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah pendidikan Islam.

         Di Amerika Serikat telah berkembang aliran-aliran pemikiran filsafat pendidikan, yang dapat dipetakan ke dalam dua kelompok yaitu tradisional dan kontemporer. Termasuk dalam aliran tradisional adalah perenialisme dan essensialisme, sedangkan yang termasuk dalam kelompok kontemporer adalah progresifisme, reconstructionisme dan existentialisme.

Dari masing-masing sikap tersebut, pemikiran dalam pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut ;

1. Perenialisme menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia telah merupakan jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia telah merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional
2. Essensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukanya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi (peradaban) dan yang telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada dalam gudang diluar kedalam jiwa peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi (penyerapan) yang tinggi.
3. Progresivisme menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif, tujuan pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang intelegent dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan lingkungan.
4. Reconstructionisme berdasarkan filsafat Dewey aliran ini mengikuti sebuah alur yang meyakini dan mengemukakan bahwa keberadaan sekolah adalah untuk perbaikan dalam masyarakat. Disini menghendaki agar peserta didik dapat dibangkitkan kemampuanya secara konstruktif untuk untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas.
5. Existensialisme menghendaki agar pendidikan selalu melibatkan peserta didik dalam mencari pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhanya masing-masing dan menemukan jati dirinya, karena masing-masing individu adalah makhluk yang unik dan bertanggung jawab atas diri dan nasibnya sendiri.

         Di sisi lain pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang di belahan dunia Islam pada periode modern ini, terutama dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman era modernitas. Sehubungan dengan itu, Absdullah (1996), mencermati adanya empat model pemikiran keislaman, yaitu:

1. Model tekstualis salafi; berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan mepaskan diri dari dan kurang mempertimbangkan situasi konkret dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang di idam-idamkan adalah masyarakat salaf yakni struktur masyarakat era kenabian Muhammad SAW.
2. Model tradisionalis madzhabi; berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah melalui khazanah pemikiran Islam klasik, tetapi sering kali kurang begitu mempertimbangkan situasi sosio-historis masyarakat setempat dimana ia turut hidup di dalamnya. Hasil ulama’ terdahulu di anggap sudah pasti atau absolut tanpa mempertimbangkan dimensi historisitasnya.
3. Modernis; berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan hanya semata-mata mempertimbangkan kondisi dan tantangan sosio-historis dan kultural yang dihadapi oleh masyarakat muslim kontemporer tanpa mempertimbangkan muatan-muatan khazanah intelektual Muslim era klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan.
4. Neo-modernis; berupaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam AlQur’an dan As-Sunnah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia tekhnologi modern.

B. Tipologi-Tipologi Filsafat Pendidikan Islam Dilihat Dari Perspektif Islam

            Dari berbagai perkembangan pemikiran filsafat pendidikan di atas, maka dalam perspektif Islam hal ini dapat terbagi menjadi 5 tipologi, yaitu:

1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi
          Tipologi ini lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai, kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf, karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal.

2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi
         Perenial-esensial Mazhabi lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan cenderung untuk mengikuti aliran, pemahaman serta pola pemikiran yang dianggap relatif mapan. Tipologi ini lebih berfungsi sebagai upaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan konteks perkembangan zaman dan era kontenporer yang dihadapinya

3. Tipologi Modernis
         Tipologi modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas modifikatif, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman secara terus menerus, agar dapat berbuat sesuatu yang intellegent dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuia dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan pada masa sekarang.

4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
        Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasiserta uji falsifikasi dan mengembangkan wawasan-wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada.

5. Tipologi Rekonstruksi Sosial
        Tipologi rekonstruksi sosial sangat cocok diterapkan pada masyarakat yang berkeinginan maju dan pada masyarakat yang warganya terjangkit penyakit sosial. Sedangkan sekolah yang bisa menerapkan adalah meraka yang mengembangkan pendekatan andragogis dan guru PAInya lebih berfungsi sebagai muaddib, yakini orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.

          Kata Islam yang melekat pada tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam akan berimplikasi pada kesamaan titik tolak atau pijakan dalam pengembangannya, yaitu dari dimensi idealnya. Perbedaan antara berbagai tipologi tersebutlebih terletak pada dimensi interpretasi dan historisnya. Untuk memahami masalah ini lebih jauh dan kajian ini perlu dijelaskan apa itu ”Islam ideal”, ”Islam interpretasi” dan apa pula yang yang dimaksud ”Islam Historis dan hubungan ketiganya.

         Islam ideal adalah Islam yang diajarkan dan nilai-nilainya terkandung dalam al-Quran (sebagai Kalam Allah) dan Hadits/ sunnah Nabi saw. Islam ideal adalah Islam adalah bersifat normatif masih bersifat preskripsi-preskripsi, norma-norma dan nilai-nilai yang termuat dalam petunjuk. Sedangkan Islam interpretasinya dalam Islam Historis merupakan Islam aktual, yakni semua bentuk penafsiran, gagasan, gerakan dan praktik yang pada kenyataan eksis dalam masyarakat muslim dalam waktu dan tempat yang berbeda.

       Di lihat dari pemahaman tentang Islam (ideal, interpretasi dan historis), maka semua tipologi filsafat pendidikan Islam tersebut di atas terdapat titik temu pada dimensi Islam idealnya, tetapi berbeda dalam dimensi interpretasi dan historisnya.
C. Implikasi Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam

       Permasalahan pendidikan yang besar dan kompleks saat ini dan di masa yang akan datang dan mengingat keterbatasan dana dan kemampuan yang dimiliki, maka tindakan inovasi atau pembaruan sangatlah diperlukan. Meskipun demikian, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sesuatu yang baru belum tentu baik, maksudnya belum tentu inovatif. Faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah guru, peserta didik, kurikulum, fasilitas dan program / tujuan. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya dan sangat sulit dipisahkan. Sehingga bila salah satu dari kelima unsur tersebut tidak ada maka esensi dari pendidikan itu akan sedikit luntur. Salah satu faktor yang perlu dikembangkan adalah kurikulum. Kurikulum merupakan operasional tujuan yang dicita-citakan, bahkan tujuan tidak akan tercapai tanpa keterlibatan kurikulum pendidikan. Disamping itu pelaksanaan kurikulum bisa memberikan sumbangsih yang bersifat dinamis terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan oleh anak didik dan masyarakat umumnya.

         Tipologi-tipologi pemikiran pendidikan Agama Islam yang telah diuraikan di atas telah berimplikasi dan memberikan pengaruh yang besar dalam pengembangan kurikulum PAI sampai saat ini. Implikasi dari tipologi filsafat pendidikan Islam tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tipologi Perenial-Esensialis Salafi
Menurut tipologi ini, tujuan pendidikan agama Islam diorientasikan pada upaya menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa salaf dan menyebarluaskan sejarah budaya salaf karena itu penting diketahui semua orang. Pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada doktrin-doktrin agama, kitab-kitab besar dan kembali pada hal-hal yang dasar. Metode pembelajarannya bisa dilakukan melalui ceramah, diskusi dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, dan terstruktur. Peranan guru PAI adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tinggi, yang meyakini kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran dan ahli di bidangnya.

2. Tipologi Perenial-Esensialis Mazhabi
Tujuan yang ingin dicapai dari tipologi perenial-esensialis mazhabi adalah menginternalisasikan kebenaran-kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pasca salaf al-shalih dan pertengahan serta menyebarluaskan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya yang dianggap mmapan secara turun temurun, karena penting diketahui semua orang. Dalam Kurikulum PAI bidang akidah dan ibadah khusus dimaksudkan untuk melestarikan hasil kkarya imam-imam mazhab terdahulu serta mengamalkan sesuai dengan ajaran mereka..Metode pembelajarannya bisa dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi dengan tolak ukur pandangan imam-imam mazhabnya dan pemberian tugas-tugas. Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, dan terstruktur. Evaluasinya menggunkan ujian-ujian obyektif yang terstandarisasi dan tes kompetesni yang berbasis alamiah. Peranan guru PAI adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tertinggi dan meyakini kebijakan masa lalu.

3. Tipologi Modernis
Tujuan dari tipologi ini mengorientasikan pendidikan agama Islam pada upaya memberikan keterampilan-keterampilan kepada peserta didik agar dapat berinteraksi dan beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Pengembangan kurikulum PAI ditekankan pada penggalian problem-probelm yang tumbuh dan berkembang di lingkungannya, untuk selanjutnya dilatih untuk memecahkannya sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Metode pembelajarannya dilakukan melalui cooperative learning, method project dan scientific method. Manajemen kelasnya lebih diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi, keterlibatan aktif dalam pembelajaran serta menciptakan proses belajar secara demokratis. Evaluasinya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif dan on-going feed back, yakni berusaha mencari dan menemukan umpan balik secara terus menerus. Sedangkan peranan guru PAI adalah sebagai fasilitator dan yang memimpin serta mengatur pembelajaran.

4. Tipologi Perenial-Esensialis Kontekstual-Falsifikatif
Tujuan pendidikan menurut tipologi ini adalah melestarikan nilai-nilai illahiyah dan insaniyah sekaligus menumbuhkembangkannya dalam konteks perkembangan iptek dan perubahan sosial kultural yang ada. Dalam agama Islam terdapat hal-hal yang bersifat doktrin, supra rasional, nilai0nilai essensial dan universal atau root values dan adapula hal-hal yang berada dalam wilayah akal serta nilai-nilai yang berifat instumental dan lokal. Dalam hal yang pertama, digunkan model perenial esensialis salafi dan perenial esensialis mazhabi, sedangkan dalam hal yang kedua digunkan model modernis.

5. Tipologi Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid
Tipologi ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran pseserta didik akan masalah-masalah yang dihadapi adalah tanggungjawab pemeluk agama Islam untuk memecahkannya. Kurikulumnya memusatkan pada permasalahan sosial dan budaya. Guru PAI berfungsi sebagai project director, yang mampu memimpin dan mengarahkan transformasi serta menjadi agen perubahan dan bersama anak didiknya berusaha membentuk masyarakat baru. Cara pembelajaran PAI dapat menggunakan metode-metode simulasi, bermain peranan (role playing), internship serta belajar bekerja di masyarakat. Manajemen kelasnya tidak terikat dengan pembelajaran di dalam kelas. Interaksi guru dan peserta didik dalam pembelajaran PAI lebih bersifat dinamis, kritis, progesif, terbuka bahkan bersikap proaktif dan antisipatif, tetapi juga mengembangkan nilai-nilai kooperatif dan kolaboratif, toleran serta komitmen pada hak dan kewajiban asasi manusia. Pada tataran operasionalnya dapat dikembangkan peace education sebagai model pendidikan. Peace education adalah model pendidikan yang mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mereka mampu mengatasi konflik atau masalahnya sendiri dengan cara kreatif dan tidak dengan cara kekerasan. Pelaksanaannya dapat berupa belajar kelompok (learning together), sehingga peserta didik terlatih memecahkan persoalan-persoalan bersama, dengan berbagai model interaksi sosial-psikologisnya. Melaluibelajar kelompok peserta didik akan terlatih untuk menekan egoismenya dan terlatih untuk menghargai hak-hak orang lain. Evaluasinya dilakukan secara formatif dan kooperatif.

          Banyak kurikulum yang diciptakan untuk digunakan dalam kehidupan ini disesuaikan dengan kebutuhan dan keperluannya salah satunya adalah kurikulum pendidikan Agama Islam. Di dalamnya pengembangannya kurikulum Pendidikan Agama Islam, sejak dulu hingga saat ini, telah mengalami perubahan yang disebabkan perubahan kondisi baik dari intern maupun ekstern. Namun, meskipun kurikulum tersebut berubah, dasar yang digunakan sebagai dasar penanaman nilai tersebut tetap tidak berubah, yaitu al Quran dan as Sunnah.

KESIMPULAN

Tipologi pemikiran (filsafat) pendidikan Islam secara umum terbagi menjadi 4 yaitu Model tekstualis salafi, Model tradisionalis madzhabi, Modernis

Dan Neo-modernis. Pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam tersebut merupakan hasil dari pola pemikiran Islam yang berkembang di belahan dunia Islam pada periode modern ini, terutama dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman era modernitas.

Menurut perspektif Islam, tipologi-tipologi filsafat pendidikan Islam berimplikasi pada kesamaan titik tolak atau pijakan dalam pengembangannya, yaitu dari dimensi idealnya. Perbedaan antara berbagai tipologi tersebut lebih terletak pada dimensi interpretasi dan historisnya.

Implikasi filsafat pendidikan Islam terhadap pengembangan kurikulum telah melalui berbagai bentuk perubahan untuk menciptakan perkembangan pendidikan, khususnya di bidang pendidikan agama Islam. Filsafat pendidikan Islam tersebut dapat diterapkan kapanpun dan dimanapun kita berada, dengan syarat memiliki kesesuaian kurikulum di wilayahnya masing-masing.




DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah, 2005, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Raja Garfindo Persada

Muhaimin, 1993, Pemikiran Pendidikan Islam: (Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya), Bandung: Trigenda Karya

_________, 2004, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

 
_________, 2005, Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Grafindo Persada.
Oemar Hamalik, 2007, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Rosda Karya
Umar Tirtarahardja, 2005, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta

Kontribusi Madrasah dalam Pendidikan di Indonesia

Latar belakang berdirinya Madrasah

           Di Indonesia, permulaan munculnya Madrasah baru sekitar abab 20, meski demikian latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor, yaitu semangat pembaharuan Islam yang berasal dari islam pusat(timur Tengah) dan merupakan respon pendidikan terhadap kebijakaan pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan serta mengembangkan sekolah. Hal ini juga diamini oleh M. Arsyad yang dikutip Khoirul Umam, munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dikarenakan kekhawatiran terhadap pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan sekolah-sekolah umum tanpa dimasukkan pelajaran dan pendidikan agama Islam. Pemerintah Kolonial menolak eksistensi pondok pesantren dalam sistem pendidikan yang hendak dikembangkan di Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode pembelajaran keagamaan yang dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah kolonial, tidak kompatibel dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di Hindia Belanda. Di balik itu, pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren dalam mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan prokemerdekaan di Hindia Belanda.

        Menyikapi kebijakan tersebut, tokoh-tokoh muslim di Indonesia akhirnya mendirikan dan mengembangkan madrasah di Indonesia didasarkan pada tiga kepentingan utama, yaitu: 1) penyesuaian dengan politik pendidikan pemerintah kolonial; 2) menjembatani perbedaan sistem pendidikan keagamaan dengan sistem pendidikan modern; 3) agenda modernisasi Islam itu sendiri.
        Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengantarkan pendidikan Islam ke dalam babak sejarah baru, yang antara lain ditandai dengan pengukuhan sistem pendidikan Islam sebagai pranata pendidikan nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan pendidikan nasional. Di dalam Undang-Undang itu setiap kali disebutkan sekolah, misalnya pada jenjang pendidikan dasar yaitu sekolah dasar, selalu dikaitkan dengan madrasah ibtidaiyah, disebutkan sekolah menengah pertama dikaitkan dengan madrasah tsanawiyah, disebutkan sekolah menengah dikaitkan dengan madrasah aliyah, dan lembaga-lembaga pendidikan lain yang sederajat, begitu pula dengan lembaga pendidikan non formal.

          Madrasah yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki kiprah panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan madrasah merupakan bagian dari pendidikan nasional yang memiliki kontribusi tidak kecil dalam pembangunan pendidikan nasional atau kebijakan pendidikan nasional. Madrasah telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam proses pencerdasan masyarakat dan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan. Dengan biaya yang relatif murah dan distribusi lembaga yang menjangkau daerah-daerah terpencil, madrasah membuka akses atau kesempatan yang lebih bagi masyarakat miskin dan marginal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Walau demikian para penulis sejarah pendidikan Islam di Indonesia agaknya sepakat dalam menyebut beberapa madrasah pada periode pertumbuhan, khususnya di wilayah Sumatera dan Jawa. Mahmud Yunus memasukkan ke dalam madrasah kurun pertumbuhan ini antara lain Adabiah School (1909) dan Diniah School Labai al-Yunusi (1915) di Sumatera Barat, Madrasa Nahdlatul Ulama di Jawa Timur, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Tasywiq Thullab di Jawa Tengah, Madrasah Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, Madrasah Jami’atul Khair di Jakarta, Madrasah Amiriah Islamiyah di Sulawesi dan Madrasah Assulthaniyah di Kalimantan.

Kontribusi Madrasah terhadap Indonesia kajian historis dan visioner

         Salah satu pilar pendidikan nasional adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Upaya perluasan dan pemerataan akses pendidikan yang ditujukan dalam upaya perluasan daya tampung satuan pendidikan dengan mengacu pada skala prioritas nasional yang memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang beraneka ragam baik secara sosial, ekonomi, gender, geografis, maupun tingkat kemampuan intelektual dan kondisi fisik. Perluasan dan pemerataan akses memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era globalisasi.
         Pendirian madrasah oleh para pemuka muslim di berbagai pelosok negeri memainkan peranan yang sangat penting dalam membuka akses bagi masyarakat miskin dan terpencil untuk memperoleh layanan pendidikan. Komitmen moral ini dalam kenyataan tidak pernah surut, sehingga secara kelembagaan madrasah terus mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga sekarang. Berdasarkan statisik pendidikan Islam tahun 2007, laju pertumbuhan madrasah dalam lima tahun terakhir mencapai rata-rata kisaran 3% per tahun dan lebih dari 50% madrasah berada di luar Jawa yang terdistribusi di daerah pedesaan.Sumbangan madrasah dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan tergambar secara jelas dalam jumlah penduduk usia sekolah yang menjadi peserta didik madrasah. Pada tahun 2007, jumlah seluruh peserta madrasah pada semua jenjang pendidikan sebesar 6.075.210 peserta didik. Adapun Angka Partisipasi Kasar (APK) madrasah terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada masing-masing tingkatan adalah 10,8% MI, 16,4% MTs, dan 6,0% MA. Kontribusi APK tersebut tersebar berasal dari madrasah swasta pada masing-masing tingkatan.

          Sumbangan lain dari madrasah dalam pembangunan pendidikan nasional adalah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pendidikan madrasah dikembangkan melalui Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jumlah MI sebanyak 22.610 buah dengan 3.050.555 peserta didik. Jumlah MTs sebanyak 12.498 buah dengan 2.531.656 peserta didik. Jumlah peserta didik dalam program wajib belajar pendidikan sembilan tahun terdiri dari 47,2% peserta didik MI dan 31,8 peserta didik MTs. Sisanya 21,0% peserta didik/santri pondok pesantren salafiah. Kontribusi madrasah terhadap penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun cukup lumayan besar mencapai 17%. Meskipun belum tercapai, namun diharapkan sampai tahun 2009 dapat dituntaskan. Kriteria tuntas adalah angka partisipasi kasar (APK) mengikuti pendidikan SMP atau Madrasah Tsanawiyah mencapai 95%. Sampai tahun 2008 baru mencapai sekitar 92,3%. Angka sisanya yaitu sekitar 2,7 % diharapkan pada tahun 2009 dapat dicapai angka partisipasi kasar pendidikan dasar sembilan tahun hingga 95%. Artinya wajib belajar pendidikan dasar pendidikan dasar sembilan tahun itu dianggap tuntas, meskipun 95% masih ada sisanya 5%. Angka 5% dari 50 juta anak usia sekolah bisa dikatakan lumayan banyak yang tercecer, tetapi bisa dianggap selesai. Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan termasuk Madrasah Aliyah, kontribusi madrasah dari mulai MI sampai MA terhadap angka partisipasi mengikuti pendidikan di berbagai jenjang pendidikan secara agregat atau secara keseluruhan itu bisa mencapai 21%. Bukan angka sedikit 21% dari sekitar 60 juta penduduk. Artinya masyarakat terutama madrasah telah memberikan andil pada upaya-upaya pemerintah menyediakan lembaga-lembaga pendidikan yang cukup besar. Di samping kenaikan APK, indikator lain dari percepatan penuntasan program wajib belajar sembilan tahun adalah semakin menurunnya angka drop out pada tahun 2006 sebesar 0,6 % menjadi 0,4 % pada tahun 2007 untuk MI dan untuk MTs sebesar 1,06 % pada tahun 2006 menjadi 1,02 % pada tahun 2007. Pada tahun 2008 angka drop out pada MI dan MTs diperkirakan turun 1,04 % sedangkan APK pada MI dan MTs masing-masing mencapai 14,75 % dan 20,70 %.
         Peran penting dalam rangka perluasan akses masyarakat dari kelompok marginal tampak secara jelas dari latar belakang keluarga peserta didiknya. Berdasarkan Statistik Pendidikan Islam Tahun 2007, lebih dari 92,7% orang tua peserta didik madrasah berpendidikan sederajat atau kurang dari SLTA dengan pekerjaan utama sebagai petani, nelayan, dan buruh (58,0%). Sejalan dengan kondisi ini, 85% berpenghasilan kurang dari Rp. 1 juta per bulan.Gambaran kondisi orang tua peserta didik tersebut menunjukkan bahwa madrasah memiliki aksessibilitas yang tinggi terhadap peserta didik dengan latar belakang keluarga masyarakat yang miskin secara ekonomi.

         Aksessibilitas madrasah bagi kelompok marginal juga tercermin pada aspek kultural, yaitu perannya yang penting dalam gender mainstreaming bidang pendidikan berkenaan dengan komposisi peserta didiknya yang sebagian besar kaum perempuan. Realitas ini adalah prakondisi yang baik bagi pengembangan pendidikan Islam berwawasan gender dan juga sekaligus menepis tudingan berbagai kalangan bahwa sikap dan pandangan keagamaan umat Islam cenderung diskriminatif terhadap perempuan.

Isu- isu eksistensi dan implikasinya

        Dalam perkembangannya, sistem pendidikan Islam madrasah sudah tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan Islam pesantren. Karena di lembaga pendidikan madrasah ini sudah mulai dimasukkan pelajaran-pelajaran umum seperti sejarah ilmu bumi, dan pelajaran umum lainnya. Sedangkan metode pengajarannya pun sudah tidak lagi menggunakan sistem halaqah, melainkan sudah mengikuti metode pendidikan moderen barat, yaitu dengan menggunakan ruang kelas, kursi, meja, dan papan tulis untuk proses belajar mengajar. Melihat kenyataan sejarah, kita tentunya bangga dengan sistem dan lembaga pendidikan Islam madrasah yang ada di Indonesia. Apalagi dengan metode dan kurikulum pelajarannya yang sudah mengadaptasi sistem pendidikan serta kurikulum pelajaran umum. Peran dan kontribusi madrasah yang begitu besar itu pada gilirannya—sejak awal kemerdekaan—sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah itu sendiri. Perkembangan serta kemajuan pendidikan Islam terus meningkat secara signifikan. Hal itu dapat dilihat misalnya pada pertengahan dekade 60-an, madrasah sudah tersebar di berbagai daerah di hampir seluruh propinsi Indonesia. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah tingkat rendah pada masa itu sudah mencapai 13.057. dengan jumlah ini, sedikitnya 1.927.777 telah terserap untuk mengenyam pendidikan agama. Laporan yang sama juga menyebutkan jumlah madrasah tingkat pertama (tsanawiyah) yang mencapai 776 buah dengan jumlah murid 87.932. Adapun jumlah madrasah tingkat Aliyah diperkirakan mencapai 16 madrasah dengan jumlah murid 1.881. Dengan demikian, berdasarkan laporan ini, jumlah madrasah secara keseluruhan sudah mencapai 13.849 dengan jumlah murid sebanyak 2.017.590. Perkembangan ini menunjukkan bahwa sudah sejak awal, pendidikan madrasah memberikan sumbangan yang signifikan bagi proses pencerdasan dan pembinaan akhlak bangsa.
          Dalam pada itu, meskipun pemerintah melalui departemen agama sudah banyak melakukan perubahan dan perumusan kebijakan di sana-sini untuk memajukan madrasah, namun itu belum terlalu berhasil jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang dalam hal ini dikelola oleh departemen pendidikan.Karena realitasnya, masyarakat hingga periode 90-an masih mempunyai sense of interest yang tinggi untuk masuk ke sekolah-sekolah umum yang dinilainya mempunyai prestise yang lebih baik daripada madrasah / sekolah Islam (Islamic School). Lebih dari itu, dengan masuk ke sekolah-sekolah umum, masa depan siswa akan lebih terjamin ketimbang masuk ke madrasah atau sekolah Islam. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh image yang menggambarkan lulusan-lulusan madrasah tidak mampu bersaing dengan lulusan-lulusan dari sekolah-sekolah umum. Lulusan madrasah hanya mampu menjadi seorang guru agama atau ustdaz. Sedangkan lulusan dari sekolah umum mampu masuk ke sekolah-sekolah umum yang lebih bonafide dan mempunyai jaminan lapangan pekerjaan yang pasti.Dalam konteks kekinian, image madrasah atau sekolah Islam telah berubah. Madrasah sekarang tidak lagi menjadi sekolah Islam yang hanya diminati oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan sudah diminati oleh siswa-siswa yang berasal dari masyarakat golongan kelas menengah ke atas. Hal itu disebabkan sekolah-sekolah Islam atau madrasah elit yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum sudah banyak bermunculan. Diantara madrasah atau sekolah Islam itu adalah; Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam al-Azhar, Sekolah Islam al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, Madania School, dan lain sebagainya.
           Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah hanya diperuntukkan bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sejak mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen yang berasal dari Barat sambil tetap mempertahankan yang sudah ada dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung iklim pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau sekolah Islam) sekarang sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan dengan apa yang disebut sebagai English Daily. Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar harus berbicara dalam bahasa Inggris. Madrasah seperti Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam Al-Azhar, sekolah Islam Al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh diantaranya.Kemampuan bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah dan sekolah Islam itu kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan bahasa Inggris saja. Lebih dari itu, pengetahuan bahasa asing lainnya juga absolut diajarkan oleh madrasah seperti bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang, Mandarin dan lainnya pada tingkat Madrasah Aliyah. Di samping itu, dalam menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai institusi pendidikan Islam tidak lantas cukup merasa puas atas keberhasilan yang telah dicapainya dengan memberikan pengetahuan bahasa asing kepada para siswanya dan desain kurikulum pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh madrasah.

         Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan yang mengarah kepada progresivitas madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu, dalam pendidikan madrasah memang sangat diperlukan pendidikan keterampilan. Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari, menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya. Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan berguna ketika para siswa lulus dari madrasah. Karena jika sudah dibekali dengan pendidikan keterampilan, ketika ada siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi seperti universitas misalnya, maka siswa dengan bekal keterampilan yang sudah pernah didapatnya ketika di madrasah tidak akan kesulitan lagi dalam upaya mencari pekerjaan. Jadi, kiranya penting bagi madrasah untuk mengembangkan pendidikan keterampilan tersebut. Sebab, dengan begitu siswa akan langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah lulus dari madrasah atau sekolah Islam. Namun semua itu tentunya harus dilakukan secara profesional.Dengan adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau madrasah, lulusan madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia global yang semakin kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan terjaga. Karena ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak kalah kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum.
Solusi yang ditawarkan
         Solusinya adalah dengan mempertimbagkan kembali ide yang sebenarnya sudah lama disuarakan oleh beberapa kalangan, yaitu adanya pendapat yang menginginkan pendidikan satu atap di negeri ini. Seperti yang diungkapkan bahwa fenomena penganaktirian madrasah sesungguhnya adalah konsekwensi dari pemberlakuan dualisme manajemen pendidikan di negeri ini yang berlangsung sudah sejak lama. Maka terkait dengan masalah dualisme pendidikan ini, ide tentang pendidikan satu atap ini juga layak kembali dipertimbangkan.Menurut saya ketika semangat otonomi pendidikan menjadi isu sentral dalam reformasi pendidikan nasional, maka madrasah seharusnya include dalam semangat otonomi itu. Ada banyak alasan ilmiah yang menguatkan bahwa otonomi pendidikan diyakini akan mendatangkan kemaslahatan terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional di masa datang. Masalahnya adalah sekalipun madrasah sesungguhnya bergerak di bidang pendidikan yang sudah ditonomikan, selama ini madrasah berada dalam jalur birokrasi Departemen Agama yang tidak diberikan wewenang otonomi, makaakibatnya jadilah madrasah sebagai anak tiri oleh pemerintahan daerah.Sebagai pendidik saya berkeyakinan bahwa pendidikan satu atap, dimana pendidikan hanya dikelola oleh satu departemen, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, akan memberikan dampak luar bisa kepada perkembangan madrasah pada masa datang. Apalagi UU No.20/2003 telah menegaskan bahwa madrasah dalam banyak hal, seperti dalam hal kedududukan, status, dan kurikulum sama persih dengan sekolah umum, maka secara yuridis ide pendidikan satu atap ini sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang sangat kuat.Pada tataran praktis, kalau ummat Islam khawatir memudarnya idealisme pendidikan Islam di madrasah, kenapa tidak dibuka saja satu jurusan baru di SMA, jurusan Pendidikan Agama Islam misalnya, yang khusus mengakomodir keinginan peserta didik untuk mempelajari agama Islam secara lebih mendalam? Apalagi bukankah juga sudah ada ribuan pesantern yang memfasilitasi keinginan itu? Saya yakin wacana tentang "pendidikan satu atap ini" sangat debatable, karena ada banyak kepentingan di situ. Tapi poin saya adalah semua kalangan dalam pendidikan Islam tidak boleh berhenti mencarikan solusi terbaik agar madrasah tidak terus menerus menjadi anak tiri, agar madrasah bisa "dipangku ibu pertiwi" dalam makna yang sesungguhnya.
Daftar Refrensi
Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam. (2008). Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta: Ditjen Penais Departemen Agama.

Hasbullah, 2001, cet. 4 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,

Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999
Steenbrink, Karel. A., (1986). Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES