Kamis, 05 April 2012

Liberalisme dan Sekularisme



Paham ‘kebebasan’ merupakan konsep yang sangat penting dalam worldview sekuler. Dalam pandangan paham ini jagad raya tidak mempunyai kewujudan dan makna rohani. Tidak ada alam rohani, alam arwah, alam malakut, jabarut. Tidak ada surga dan neraka. Dalam pandangan alam sekuler, semua nilai dianggap tidak memiliki watak sakral, suci, dan kekal abadi. Kegiatan dan tujuan politik hanya terbatas kepada kepentingan dunia saja, tidak ada ukhrawi. Serta alat untuk mencapai kesejahteraan duniawi ini hanyalah akal fikiran manusia dan saling membantu antara mereka.
Menurut Wan Daud, prinsip-prinsip ini disimpulkan setelah Barat melewati pengalaman yang amat memilukan dengan agama Kristen selama lebih seribu tahun. Pengalaman pahit ini kemudian digeneralisasikan sebagai suatu hukum tetap perkembangan manusia, seperti yang diungkapkan Max Weber dan lain-lain. Yakni, sebelum manusia mencapai tahap evolusi intelektual dan saintifik, mereka sangat memerlukan Worldview berbasis magis, kemudian yang berbasis agama untuk menguraikan segala fenomena alam dan menafsirkan jatuh bangun roda kehidupan yang tidak menentu.
Paham ‘kebebasan’ (liberty/freedom) secara resmi digulirkan oleh kelompok Free Mason yang mulai berdiri di Inggris tahun 1717. Kelompok ini kemudian berkembang pesat di AS mulai tahun 1733 dan berhasil menggulirkan revolusi tahun 1776. Patung liberty menjadi simbol kebebasan. Prinsip freedom dijunjung tinggi. Tahun 1789, gerakan kebebasan berhasil menggerakkan revolusi Perancis juga dengan mengusung jargon “liberty, equality, fraternity”. Pada awal abad ke-20, gerakan kebebasan ini menyerbu Turki Ustmani.
Paham ini kemudian merasuk ke jantung dunia Islam dan merusak tatanan syariah yang sudah mapan. Menurut Adian Husaini, secara sistematis liberalisasi Islam di Indonesia sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an. Secara umum, ada tiga bidang penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi, yaitu:
1. Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama
2. Liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan
3. Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur’an
Dalam pembahasan epistemologi, salah satu pembahasan yang paling penting adalah mengenai jawaban dari sebuah pertanyaan: ”apa yang bisa diketahui?” Menurut Dr. Syamsuddin Arif, dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, manusia dapat mengetahui (’ilm) dan mengenal (ma’rifah), memilih (ikhtiyaar) dan memilah (tafriq), membedakan (tamyiz), menilai dan menentukan (hukm) mana yang benar dan yang salah, yang haq dan yang baathil, yang sejati dan yang palsu, yang ma’ruf dan yang munkar, yang berguna dan yang berbahaya. Dengan kata lain, dalam epistemologi Islam, mengetahui itu tidaklah mustahil.
Hal ini berlawanan dengan pemikiran kaum Sofis yang cenderung relativistik. Menurut mereka, kebenaran itu relatif. Sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran oleh seseorang belum tentu dibenarkan oleh yang lain. Sebagian diantaranya bahkan mengatakan bahwa hanya Tuhan-lah yang mengetahui kebenaran, sedangkan manusia takkan pernah mencapai pengetahuan itu.
Sekularisme adalah aliran pemikiran yang sepenuhnya diimpor dari Barat. Oleh karena pengalaman masa lalu Barat yang dipenuhi dengan pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama, maka mereka pun membedakan antara science (ilmu pengetahuan) dan knowledge (pengetahuan). Ilmu-ilmu yang sifatnya fisik dan dapat dibuktikan secara empiris dimasukkan dalam kelompok science, sedangkan sisanya, termasuk ilmu agama, tidak dianggap ilmiah. Tidak heran jika dari pemikiran yang semacam ini muncul pemikiran bahwa untuk menjadi ilmuwan yang baik harus melepaskan diri dari agama.
Kaum sekuler seringkali beretorika dengan mengatakan bahwa karena agama itu tinggi, maka ia tidak dilibatkan dalam mengatur kehidupan manusia. Ungkapan ini sering dijadikan pembenaran untuk menjauhkan agama dari urusan-urusan sosial dan politik. Sebaliknya, Islam justru mengingatkan manusia akan ketinggian derajatnya sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi, dan sebagai makhluk yang hanya boleh menghamba pada-Nya. Konsekuensinya, manusia diajarkan untuk mencintai segala hal yang baik, suci dan mensucikan, luhur dan terhormat. Oleh karena itu, agama justru dilibatkan dalam setiap aspek kehidupannya.
Para pengekor Barat di Indonesia secara terang-terangan mendukung sekularisasi Indonesia, bahkan secara nyata menyatakan persetujuannya pada kemaksiatan. Ulil Abshar-Abdalla, tokoh dari Jaringan Islam Liberal (JIL), telah menyatakan bahwa ”Islam liberal bisa menerima bentuk negara sekular... sebab, negara sekular bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus.” Dengan demikian, persetujuan terhadap negara sekuler ternyata berdampingan dengan sikap membiarkan kemaksiatan; sebuah sikap yang sangat tercela bagi seorang Muslim.
Jika sekularisme mencegah agama memasuki ranah sosial-politik, maka liberalisme memaksanya untuk tetap dalam ruang privat. Kebebasan manusia untuk memeluk agama sesuai keyakinannya masing-masing, yang diyakini sebagai hak asasi manusia, ditarik lebih jauh lagi sehingga agama itu sendiri tak memiliki batasan yang jelas. Konkretnya, setiap orang bebas menyatakan dirinya menganut agama apa saja, baik mengikuti secara konsekuen agama-agama yang ada, memodifikasi agama untuk dirinya sendiri, atau bahkan menciptakan agama yang benar-benar baru.
Menurut kalangan sekularis-liberalis, tidak ada orang yang berhak menentukan mana agama yang benar dan mana yang salah. Setiap penafsiran keagamaan harus dianggap relatif. Oleh karena itu, mereka selalu membela aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah dan sebagainya.

Jamaluddin al-Afghani dan Para Pembaharu Arab



                      Salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Gagasannya mengilhami Muslim di Turki , Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun sangat anti-imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasannya untuk mendirikan sebuah universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki menghadapi tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari negeri itu.
                      Bagi Afghani, ilmu pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi itu, sebab itu kaum Muslim harus juga menguasainya agar dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh agama Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian, dan sama sekali tak berbicara tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya bahwa Islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama mandek.
                     Gagasan al-Afghani amat berpengaruh, khususnya di dunia Arab dan Iran . Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab adalah pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, dan amat terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid Ridha, yang mendapat pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa asing (Perancis dan Turki), yang menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern, secara umum. Karena itulah, ketika gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, dengan jurnal Al-’Urwah al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di Mesir, tak sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu.
                      Seperti Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan al-Qur’an. Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al-Qur’an itulah yang mesti dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat dari Abduh. Jika seruan keras Abduh untuk ijtihad – untuk menafsirkan kembali Islam agar memiliki vitalitas baru – dapat diartikan sebagai adopsi total model Barat untuk ilmu pengetahuan, maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan menyarankan dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi bagian-bagian yang akan diadopsi. Namun, sama seperti Abduh, dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi ia menyeru agar kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan maupun ketrampilan teknik Barat. Bagi Abduh dan Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri adalah baik, yang menjadi masalah adalah tujuan penggunaannya.
              Selain kedua figur itu, ada Thaha Husayn (1889-1971), seorang sejarawan dan filosof, yang amat mendukung gagasan yang mulai dilancarkan oleh Muhammad Ali di awal abad. Husayn adalah pembela gigih modernisme dan saintisme. Adopsi terhadap ilmu pengetahuan modern bukan saja penting demi nilai praktisnya, tetapi juga sebagai perwujudan kebudayaan. Inilah pandangan sekularis sejati yang meminggirkan peran agama, dan mengunggulkan positivisme ilmu pengetahuan. Meskipun kontroversial, gagasan ini mendapat dukungan yang kuat di dunia Arab, khususnya di kalangan intelektual Kristen.
                 Untuk menunjukkan hal ini, perlu disebut di sini satu fenomena penting di dunia Arab pada awal abad ini, yaitu perdebatan yang amat marak tentang Darwinisme. Debat itu dipicu oleh tulisan Syibli Syumayyil (1853-1917), seorang Kristen dari Suriah yang hidup dalam pengasingan di Mesir, yang membela Darwinisme. Tulisan ini disambut para ulama dengan pernyataan bahwa menerima teori Darwin sama dengan menolak Tuhan dan pandangan al-Qur’an tentang penciptaan. Beberapa pemikir lain – Muslim maupun Kristen – tampil membela Syumayyil.
                   Debat historis ini dibukukan oleh Adel A. Ziadat dalam Western Science in The Arab World: The Impact of Darwinism, 1860-1930 (Ilmu Pengetahuan Barat di Dunia Arab: Dampak Darwinisme, 1860-1930), diterbitkan tahun 1986. Kesimpulan Ziadat, bahwa agama para penulis dalam debat itu tak terlalu penting. Debat itu terutama mempolarisasikan pemikir “religius” dengan “sekularis” secara hitam-putih. Dalam rangka itu, Thaha H., misalnya, sering dituduh keluar dari Islam. Untuk selanjutnya, perdebatan di sekitar teori Darwin dan Darwinisme kerap muncul di banyak negara Muslim hingga beberapa dasawarsa terakhir.
                    Kebanyakan pemikir Muslim tidak mengambil sikap “religius” atau “sekularis” seekstrem itu. Yang tampak tetap dominan di dunia Arab adalah gagasan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi Barat harus dikuasai, dan bahwa itu tak bertentangan dengan ajaran Islam. Ini tampak hingga pada beberapa tokoh ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb dan Yusuf al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog Ikhwanul Muslimin, menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi tak berarti pembaratan, dan terbatas pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern dan penerapan teknologinya, maka Islam tak menolaknya.
                Pandangan Qardhawi ini cukup mewakili pandangan mayoritas Muslim. Secara umum, dunia Islam relatif terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat praktisnya. Pandangan instrumentalis ini kelak terbukti tetap bertahan, hingga kini, di kalangan masyarakat Muslim. Tetapi di kalangan pemikir yang mempelajari sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tak cukup memuaskan mereka. 

Pandangan Instrumentalis tentang Ilmu Pengetahuan


                 Di dunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak Napoleon menduduki Mesir pada 1798 dan semakin meningkat setelah sebagian besar dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau pengaruh Eropa. Serangkaian peristiwa kekalahan berjalan hingga mencapai puncaknya dengan jatuhnya Dinasti Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi militer Barat.
                  Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran penting dalam kampanye militer melawan Perancis. Ia diangkat oleh penguasa Usmani menjadi “pasya” pada tahun 1805 dan memerintah Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang pertama didirikan di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab diterbitkan. Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah teknik dengan guru-guru asing. Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. di beberapa wilayah Arab lain, seperti Oman dan Aljazair, upaya pengislaman informasi sosial serupa tampak di Turki Usmani.
                 Di Turki, Sultan Salim III (1761-1808) mengembangkan teknologi militer Eropa, menerjemahkan buku-buku Eropa, dan memasukkan pengajaran ilmu pengetahuan dan teknologi modern ke dalam kurikulum sekolah dengan pengajar-pengajarnya orang Eropa. Puncaknya adalah ketika Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) melakukan revolusi di Turki dengan gagasan sekularismenya.
                   Dalam situasi seperti ini, ketika teknologi Muslim jauh tertinggal dari Eropa dan usaha mengejar ketertinggalan ini dilakukan Muslim memberikan tanggapan dalam dua hal, yaitu merumuskan sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peradaban Barat modern, dan terhadap tradisi Islam. Kedua unsur ini sampai kini masih mewarnai pemikiran Muslim hingga kini.