Senin, 24 Mei 2010

TEORI BELAJAR

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
 
            Teori belajar Behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkrit. Perubahan terjadi melalui rangsangan (Stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku Reaktif (Respon) berdasarkan hukum-hukum Mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan Respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap Stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
1.Mementingkan faktor lingkungan.
2.Menekankan pada faktor bagian.
3.Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4.Sifatnya mekanis.
5.Mementingkan masa lalu.

A.Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936).
           Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang Pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjan Kedokteran dengan bidang dasar Fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi Direktur Departemen Fisiologi pada Institute of Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai Fisiologi Pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi Psikology Behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands(1902) dan Conditioned Reflexes(1927).
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan Stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
           Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan Behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu (Bakker, 1985).
           Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang didinkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kin sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.
          Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dpat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai Stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai Respon yang dikondisikan.
          Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehar-jhari ada situasi yang sama seperti pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim Walls yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak ada lagu trsebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Contoh lai adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau tombol antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-bunyian dari pedagang makanan(rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering lewat di rumah, bel masuk kelas-istirahat atau usai sekolah dan antri di bank tanpa harus berdiri lama.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan Stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan Respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh Stimulus yang berasal dari luar dirinya.
B. Edward Edward Lee Thorndike (1874-1949): Teori Koneksionisme
         Thorndike berprofesi sebagai seorang Pendidik dan Psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar Doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and Social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).
           Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya Asosiasi-Asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut Stimulus (S) dengan Respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan Respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (Puzzle Box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara Stimulus dan Respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih Respons yang tepat serta melalui usaha –usaha atau percobaan-percobaan (Trials) dan kegagalan-kegagalan (Error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “Trial and Error learning atau Selecting and Connecting Learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar Koneksionisme atau teori Asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam Psikologi Pendidikan.
            Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “Trial and Error” atau “Selecting and Conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap Response menimbulkan Stimulus yang baru, selanjutnya Stimulus baru ini akan menimbulkan Response lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
           S- R -S1 -R1- dst
             Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja enyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
              Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut:
1.Hukum Kesiapan (LAW of Readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga Asosiasi cenderung diperkuat.
           Prinsip pertama teori Koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk Asosiasi (Connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskanPrinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk Asosiasi (Connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
         Masalah pertama hukum LAW of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
         Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.

2.Hukum Latihan (Law of Exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan) , maka Asosiasi tersebut akan semakin kuat.
          Prinsip Law of Exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3.Hukum akibat (Law of Effect), yaitu hubungan Stimulus Respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
           Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.

           Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa diperantarai pengartian. Binatang melakukan Respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis (Suryobroto, 1984)

Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a.Hukum Reaksi Bervariasi (Multiple Response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses TRIAL dan Error yang menunjukkan adanya bermacam-macam Respon sebelum memperoleh Respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b.Hukum Sikap ( Set/Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan Stimulus dengan Respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun Psikomotornya.
c.Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan Respon pada Stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( Respon Selektif).
d.Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e.Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain :

1.Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan Stimulus Respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan Stimulus Respon belum tentu diperlemah.

2.Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.

3.Syarat utama terjadinya hubungan Stimulus Respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara Stimulus dan Respon.

4.Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori Koneksionisme menyebutkan pula konsep Transfer of Training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem Box-nya.

C.Burrhus Frederic Skinner (1904-1990).
           Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam perkembangan psikologi belajar, ia mengemukakan teori operant conditioning. Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah “The Experimental an Analysis of Behavior”. Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul Journal of the Experimental Behaviors yang disponsori oleh Asosiasi Psikologi di Amerika (Sahakian,1970)
             B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.
Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru secara searah dan dikontrol guru melalui pengulangan dan latihan.
            Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yanag tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant ( penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. 

Skinner membuat eksperimen sebagai berikut :
          Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yangdapat diatur nyalanya, dan lantai yanga dapat dialir listrik. Karena dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan. Selam tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.
           Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang. 

Beberapa prinsip Skinner antara lain : 
1.Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika bebar diberi penguat.
2.Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3.Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4.Dalam proses pembelajaran, tidak digunkan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah, untukmenghindari adanya hukuman.
5.dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.
6.Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal Variabel Rasio Rein Forcer.
7.Dalam pembelajaran digunakan shaping.

D. Edwin R Gutrie
            Edwin R Gutri adalah salah satu penemu teori pembiasaan asosiasi dekat (contigous conditioning theory). Teori ini menyatakan bahwa peristiwa belajar terjadi karena adanya sebuah kombinasi antara rangsangan yang di sandingkan dengan gerakan yang akan cenderung diikuti oleh gerakan yang sama untuk waktu berikutnya (Bell-Gredler, 1986.) dengan kata lain, teori ini, bahwa belajar adalah kedaekatan hubungan antara stimulus dan respons yang relevan.
Teori ini menyatakan bahwa apa yang sesungguhnya dipelajari oleh orang, seperti siswa belajar adalah reaksi atau respons terakhir yang muncul atas sebuah rangsangan atau stimulus. Artinya setiap peristiwa belajar hanya mungkin terjadi sekali saja untuk selamanya atau tidak sama sekali. Menurut Gutrie, peningkatan hasil belajar secara berangsur-angsur yang dicapai oleh siswa bukanlah hasil dari berbagai respon komplek terhadap stimulus-stimulus sebagaimana yang diyakini para Behavioris lainnya, melainkan karena kedekayan asosiasi antara stimulus dan respons dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menjumpai peristiwa belajar dengan contiguous conditioning, misalnya mengasosiasikan 2+2=4, kewajiban dibulan Ramadhan dibulan puasa, dan 17 Agustus dengan peringatan hari kemerdekan Indonesia.
           Dalam teori Contiguous conditioning, hadiah tidak memainkan peran yang penting dalam belajar ketika telah terjadi asosiasi antara stimulus dan respons. Oleh karena itu, ketika stimulus yang berbeda sedikit, maka banyak percobaan yang mungkin dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah respons secara umum.teori kontiguitas menyatakan bahwa lupa terjadi lebih karena adanya halangan dari berlalunya waktu, sehingga stimulus menjadi diasosiasikan respons baru. Dalam hal ini, peran motivasi juga dapat menciptakan melakukan tindakan yang menghasilkan respon selanjutnya.

E. Clark Hull
           Hull telah mengembangkan sebuah teori dalam versi behaviorisme. Ia menyatakan bahwa stimulus (S) mempengaruhi organisma (O) dan menghasilakan respon (R) itu tergantung pada karakteristik O dan S. Dengan kata lain, Hull telah berminat terhadap study yang mempelajari variabel yang mempengaruhi perilaku seperti dorongan atau keinginan, insentif, penghalang dan kebiasaan. Teori Hull ini disebut dengan teori mengurangi dorongan. Seperti teori-teori Behavior yang lain, dalam teori ini, reinforcement merupakan faktor utama yang menentukan belajar. Bedanya dalam teori mengurangi dorongan ini, pemenuhan dorongan ini atau kebutuhan lebih dikurangi dan mempunyai peran yang sangat penting dalam perilaku daripada dalam teori-teori belajar behaviorisme yang lain.
           Secara teori, kerangka teori Hull berisi posttulat-postulat yang dinyatakan untuk matematik:
1.Organisme memiliki sebuah hierarki kebutuhan yang muncul karena adanya stimulation atau dorongan.
2. Kebiasaan yang kuat meningkatkan aktifitas yang diasosiasikan dengan reinvorsement primer maupun skunder,
3. Stimulus diasosiasikan dengan penghentian sebuah respon menjadi penghalang yang dikondisikan
4. Lebih efektif reaksi potensi melampaui reaksi minimal, lebih pendek terjadinya penundaan respon.
Teori yang dikemukakan oleh Thondike, Pavlov, Skinner, Guthrie, dan Hull diatas merupakan teori belajar Behavioristik, namun lepas dari kelebihan yang mereka miliki, teori belajar behavioristik ini juga memiliki kelemahan-kelemahan antara lain :
1. Proses belajar dipandang sebagai kegiatan yang diamati langsung, padahal belajar adalah kegiatan yang ada dalam sistem syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalui gejalanya.
2. Proses balajar dipandang bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti mesin atau robot, padahal manusia mempunyai kemampuan yang bersifat kognitif. Sehingga, dengan kemampuan ini manusia bisa menolak kebiasaan yang tidak sesuai dengan dirinya.
3. Proses belajar manusia yang di analogikan dengan hewan sangat sulit diterima, menginggat ada perbedaan yang cukup mencolok antara hewan dan manusia.

Konsep Pemikiran Pendidikan Al-Ghozali

“Konsep Pemikiran Pendidikan Al-Ghozali”
A.    Pendahuluan
Diskursus mengenai pemikiran pendidikan telah ada sejak pendidikan itu sendiri mulai ada. Ia bagaikan laut tak bertepi, dari masa ke masa selalu diperbincangkan untuk mendapatkan rumusan atau konsep-konsep pemikiran pendidikan yang dinamis dan sesuai dengan jaman serta kondisi masyarakat pendidikan di masa itu. Landasan berpikirnya pun beragam, ada yang bermula nash-nash kemudian ada yang berlandaskan rasional dan empiris dan ada pula yang menggunakan kedua-duanya. Namun apapun landasannya dan bagaimanapun rumusan atau konsep-konsep yang dihasilkan, tujuannya adalah sama yaitu berusaha memanusiakan manusia.
Banyak para pemikir yang telah menyumbangkan hasil ijtihadnya dalam bidang pemikiran pendidikan baik dari kalangan Islam maupun non Islam yang dapat kita ambil hikmah yang tersirat dari pemikiran mereka. Kita dapat memilah dan memilih produk-produk yang sesuai dengan kebutuhan dan persepsi kita. Dan kali ini penulis ingin menyajikan pemikiran pendidikan yang telah dirumuskan oleh Al-Ghozali. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua, amin.
B.    Biografi Al-Ghozali
Nama lengkapnya adalah Abu hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali dilahirkan di Thus, sebuah kota di khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Imam Ghozali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak Imam Ghozali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Radzikani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi. Sesudah itu Imam Ghozali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu al-Juwaini, Imam al-harmain (w.478 H. atau 1085 M.). dari beliau ini dia belajar ilmu kalam, ilmu Ushul an Ilmu Pengetahuan Agama lainnya.
Al-Ghozali adalah seorang ahli pikir dan ahli tasawuf Islam yang terkenal dengan gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), banyak mencurahkan perhatian kepada masalah pendidikan.
Keikutsertaan Ghazali dalam suatu diskusi bersama kelompok ulama’ dan para intelektualdi hadapan Nidzam al Mulk membawa kemenangan baginya. Hal tu tidak lain berkat ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu pengetahuannya, kefashihan lidahnya dan kejituan argumentasinya. Nidzam al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan beliau ini dan janji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad. Peristiwa ini terjadi pada tahun 484 atau 1091 M.
Di tengah-tengah kesibukannya mengajar di Baghdad Bekiau masih sempat mengarang sejumlah kitab seperti: Al Basith, Al Wasith, Al-Wajiz, Khulashah ilmu fiqih, Al-Munqil fi Ilm al-Jadal (Ilmu Berdebat), Ma’khadz al-Khalaf, Lubab Al-Nadzar, Tashin al-Ma’akhidz dan Al-Mabadi’ wa al-Ghayat fi Fann al-Khalaf. Namun kesibukan dalam karang-mengarang ini tidaklah mengganggu perharian beliau terhadap ilmu metafisika dan beliau selalu meragukan kebenaran adat-istiadat warisan nenk moyang di mana belum ada seorang pun yang memperdebatkan  soal kebenarannya atau menggali asal-usul dari timbulnya adat istiadat tersebut.
Sekembalinya Imam Ghozali ke Bahgdad sekitar sepuluh tahun, beliau pindah ke Naisaburi dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thus, kota kelahirannya, pada tahun 505 H. atau 1111 M.
Dari uraian tersebut diatas, dapat diketahui dengan jelas bahwa al-Ghazali tergolong ulama yang taat berpegang pada al-Qur’an al-Sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari berbagai pengetahuan umum seperti Ilmu Kalam, Filsafat, Fiqih, Tasawuf dan sebagainya, namun pada akhirnya ia lebih tertarik kepada Fiqih dan Tasawuf.
Selanjutnya dari uraian tersebut diketahui dengan jelas, bahwa ia seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap pendidikan, sehingga tidak mengherankan jika ia memiliki konsep pendidikan. Masalahnya adalah  apakah corak pemahaman keagamaannya itu mempengaruhi konsep pendidikannya?. Pertanyaan ini menarik untuk dikemukakakan, karena sebagaimana banyak dijumpai, bahwa suatu konsep pendidikan yang dikemukakkan suatu tokoh selalu dipengaruhi corak paham keagamaannya yang dimiliki.
Konsep Pendidikan Al-Ghozali
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghozali ini dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan etika murid berikut ini.
C.    Tujuan Pendidikan
Menurut Al-Ghozali, tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
Pendapat Al-Ghozali tentang pendidikan pada umumnya sejalan dengan trend-trend agama dan etika. Al-Ghozali juga tidak melupakan masalah-masalah duniawi, karenanya ia beri ruang dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan duniawi. Tetapi dalam pendangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat perkebunan untuk kehidupan akhirat, sebagai alat yang akan mengantarkan seseorang menemui Tuhannya. Ini tentunya bagi yang memandangnya sebagai alat dan tempat tinggal sementara, bukan bagi orang yang memandangnya sebagaitempatuntuk selamanya.
Akan tetapi pendapat Al-Ghozali tersebut, disamping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, tampak pula cenderung kepada sisi keruhanian. Dan kecenderungan tersebut menurut keadaan yang sebenarnya, sejalan dengan filsafat Al-Ghozali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan, menurut Al-Ghozali, adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Dan manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat dia bahagia di duna dan mendekatkan dia kepada Allah SWT. sehingga ia menjadi bahagia di akhirat kelak.
Sungguhpun Al-Ghozali dikenal sebagai orang yang terkendali oleh jiwa agamis dan sufi – yang mana keduanya telah mempengaruhi pandangannya tentang hidup, tentang nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan dan kedua-duanya juga telah membuat dia mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari kebahagiaan di akhirat – namun ia tidak lupa bahwa ilmu itu sendiri perlu dituntut, mengingat keutamaan dan keindahan yang dimilikinya. Ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan ia melebihi segala-galanya. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi dia, termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.
Bila dipandang dari segi filosofis, Al-Ghozali adalah berfaham idealisme yang konsekuen terhadap agama. Dalam masalah pendidikan, Al-Ghozali lebih cenderung berpaham empirisme, karena beliau sangat menekankan pengaruh pendidik terhadap anak didik. Misalnya di dalam kitab Ihya Ulumuddin juz III, Al-Ghozali menguraikan antara lain: “… metode untuk melatih anak adalah salah satu dari hal-hal yang amat penting. Anak adalah amanat yang di percayakan kepada orang tuanya. Hatinya bersih, murni, laksana permata yang amat berharga, sederhana, dan bersih dari ukiran atau gambaran apapun. Ia dapat menerima tiap ukiran yang digoreskan kepadanya dan ia akan cenderung ke arah manapun yang kita kehendaki (condongkan). Oleh karena itu, bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik pada dirinya dan akan memperoleh kebahgiaan hidup dunia akhirat. Orang tuanya, gurunya, pendidiknya juga akan turut berbahagia bersamanya.
Sebaliknya, bila anak itu kita biasakan dengan sifat-sifat jelek dan kita biarkan begitu saja, maka ia akan celaka dan binasa. Semua tanggung jawab dalam hal itu terletak pada pundak pengasuhnya atau walinya. Walinya wajib menjaga anak tersebut dari segala dosa, mendidik, dan mengajarnya dengan budi pekerti yang luhur serta menjaganya jangan sampai bergaul dengan teman-temannya yang nakal…an seterusnya.
Oleh karena itu, pendidikan anak usia dini sangat penting, mengingat mereka itu jiwanya masih bersih (belum banyak terkontaminasi oleh pengaruh negatif dari lingkungannya), namun mereka sangat peka terhadap pengaruh yang sampai pada mereka. Pandangan Al-Ghozali ini tidak lepas dari prinsip “al-Fitrah”, yang harus diselamatkan dan dikembangkan. Dalam pengertian, jiwa anak-anak kecil itu masih bersih dari pengaruh dan pengalaman serta pengetahuan, meskipun jiwa tersebut mempunyai naluri dan kecenderungan serta potensi yang dapat dipengaruhi dan dikembangkan, terutama oleh lingkungan sosial yang dominan disekitarnya.
Di dalam membahas masalah belajar, Al-Ghozali lebih menekankan potensi rasio daripada potensi kejiwaan yang lain, meskipun potensi rasio manusia manusia dipandang berada di dalam kakuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan adalah yang pertama, sedang rasio manusia yang berbeda.
Beliau mengatakan: “Secara potensial, pengetahuan itu dalah ada di dalam jiwa manusia bagaikan benih di dalam tanah. Dengan melalui belajar potensi itu baru menjadi aktual.” Dalam hal mendidik, Al-Ghozali mengambil sistem yang berasaskan keseimbangan antara kemampuan rasional dengan kekuasaan Tuhan, antara kemampuanpenalaran dengan pengalaman nistik yang memberikan ruang bekerjanya akal pikiran, dan keseimbangan antara berfikir deduktif logis dengan pengalaman empiris manusia.
Ia mengemukakan; apabila anda melihat kepada ilmu maka tampak oleh anda bahwa ilmu itu sendiri adalah lezat dan oleh karena itu pula maka ilmu itu sendiri selalu dicari. Anda juga akan mengetahui bahwa ia merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di negeri akhirat; sebagai medium untuk taqarrub kepada Allah, dimana tak satupun bisa sampai kepadanya yanpa ilmu; tingkat termulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi; diantara wujud yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan; tetapi kebahagaan itu tak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal; dan amal tak mungkin dicapai kecuali tentang cara beramal dikuasai.
Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan akhirat itu, tak lain, adalah ilmu. Kalau demikian, maka ilmu adalah amal yang terutama.
D.    Kurikulum
Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghozali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Ghozali ilmu terbagi kepada tiga bagian, sebagai berikut:
    Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak (al-‘ulum al-madzmumah), yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan atau dengan kata lain yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam. Al-Ghozali menilai ilmu tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan) baik bagi yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir dan ilmu guna-guna misalnya dapat mencelakakan orang, dan dapat memisahkan antara sesama manusia yang bersahabat atau saling mencintai, menyebarkan rasa sakit, permusuhan, menimbulkan kejahatan an sebagainya. Selanjutnya ilmu nujum yang tergolong ilmu tidak tercela ini menurut Al-Ghozali dapat dibagi dua, yaitu ilmu nujum yang berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum yang berdasarkan istidlaly, yaitu semacam asrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Ilmu nujum jenis kedua ini menurut Al-Ghozali tercela menurut syara’,  sebab dengan ilmu itu dapat menyebabkan manusia menjadi ragu kepada Allah, lalu menjadi kafir. Menurut Al-Ghozali menyelami ilmu ini tidak akan membawa manfaat, dan terkadang membawa manusia menjadi kufur  kepada Allah SWT. seperti mempelajari bagian-bagian yang rumit dari suatu ilmu sebelum memahami bagian-bagiannya yang jelas, atau seperti mempelajari tentang rahasia-rahasia Ilahiyat. Ia sebutkan juga beberapa ilmu lain yang di antaranya adalah bagian dari ilmu filsafat seperti metafisika.
Masih dalam ilmu yang termasuk bagian pertama di atas, al-Ghozali mengatakan bahwa mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib, karena menurut tabi’atnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu tersebut tak ubahnya seperti anak kecil yang masih menyusu. Anak kecil itu akan jatuh sakit apabila ia makan daging burung atau makan macam-macam makanan, yang belum dapat dicerna oleh perut besarnya. Hal ini akan dapat membahayakannya.
    Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji (al-‘ulum al-mahmudah) baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhoi-Nya, serta dapat membekali kehidupan diakhirat.
    Terhadap ilmu model kedua Al-Ghozali membaginya kepada dua bagian. Pertama, wajib ‘aini dan wajib kifayah. Selanjutnya Al-Ghozali mengatakan bahwa di antara para ulama masih terdapat perbedaan pendapat mengenai ilmu yang tergolong wajib ini. Ada yang mengatakan zat dan sifat-sifat-Nya. Yang lain lagi mengatakan bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu fiqih, sebab dengan ilmu ini seseorang akan mengetahui masalah ibadah, mengenal halal dan haram, baik yang menyangkut tingkah-laku secara umum, ataupun yang menyangkut bidang mu’amalah. Sementara itu yang lain memandang bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah, karena dengan mengetahui al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut seseorang dapat mengenal agama dengan baik, dan dapat semakin dekat kepada Tuhan.
    Sementara Al-Ghozali sendiri memandang bahwa ilmu-ilmu yang wajib ‘aini bagi setiap Muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat yang pokok seperti shalat, puasa, zakat, dan sebgainya. Bagi Al-Ghozali, ilmu yang wajib ‘aini itu adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib. Jadi siapa yang mengetahui ilmu yang wajib itu, maka ia akan mengetahui kapan waktu wajibnya.
Sedangkan ilmu-ilmu yang termasuk fardhu kifayah adalah semua ilmu yang mungkin diabadikan untuk kelancaran semua urusan seperti ilmu kedokteran yang menyangkut keselamatan tubuh atau ilmu hitung yang sangat diperlukan dalam hubungan mu’amalah, pembagian wasiat dan warisan dan lan sebagainya. Ilmu-ilmu itu jika tidak ada seorangpun dari suatu penduduk yang menguasainya, maka berdosa seluruhnya. Sebaliknya jika telah ada salah seorang yang menguasai dan dapat mempraktekkannya maka sudah dianggap cukup dan tuntutan wajibnya pun lepas dari yang lain. Diantara contoh-contoh ilmu yang wajib kifayah itu adalah ilmu kedokteran dan ilmu hitung. Menurutnya bahwa masyarakat tanpa ilmu ini adalah masyarakat tidak sehat. Al-Ghozali juga menilai tentang adanya bidang pekerjaan yang termasuk ke dalam kelompok wajib kifayah, seperti ilmu pertanian, menenun, administrasi dan jahit-menjahit.
Ketiga, Ilmu yang diperbolehkan, atau ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajari secara mendalam, karena dengan mempelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat pula membawa kepada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Mengenai ilmu filsafat dibagi oleh Al-Ghozali menjadi ilmu matematika, ilmu-ilmu logika, ilmu Ilahiyat, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu etika.
Al-Ghozali berkesimpulan, bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya, karena ia hanya dapat dikuasai, melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih. Akal adalah sifat manuasia yang termulia, karena dengan akal itulah amanah dari Allah diterima manusia, dan dengan akal juga orang dapat berada di sisi Allah SWT., mengenai keluasan jangkauan manfaat akal kiranya tidak perlu diragukan. Manfaatnya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Dilihat pula tempatnya yang sudah jelas. Seorang guru tugasnya adalah mengurus masalah hati dan jiwa manusia. Diketahui bahwa wujud yang termulia yang ada di atas bumi ini ialah manusia, dan bagian yang termulia dari materi manusia itu adalah hatinya.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghozali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakuka terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, ia mementingkan sisi yang faktual dalam kehidupan, yaitu sisi yang tak dapat tidak harus tetap ada. Selain itu Al-Ghozali juga menekankan sisi-sisi budaya. Ia jelaskan kenikmatan ilmu dan kelezatannya. Menurutnya ilmu itu wajib dituntut bukan karena keuntungan di luar hakikatnya, tetapi karena hakikatnya sendiri. Sebaliknya, Al-Ghozali tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni dan keindahan, sesuai dengan sifat pribadinya yang dikuasai yaitu tasawuf dan zuhud. Di sisi lain, sekalipun Al-Ghozali menekankan pentingnya pengajaran berbagai keahlian esensi dalam kehidupan dan masyarakat, tetapi ia tidak menekankan pentingnya keterampilan.
Dari sifat dan corak ilmu-ilmu yang dikemukakan di atas, terlihat dengan jelas, bahwa mata pelajaran yang seharusnya diajarkan dan masuk ke dalam kurikulum menurut Al-Ghozali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
Pertama, kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghozali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya, dan memandangnya sebagai alat untuk mensucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan kecenderungan ini, maka Al-Ghozali sangat mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu ini bertalian erat dengan pendidikan agama.
Kedua, kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisannya. Al-Ghozali beberapa kali mengulangi penilaiannya terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan di dunia, maupun kehidupan di akhirat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral yang tak digunakan  pemiliknya bagi hal-hal yang bermanfaat bagi manusia sebagai ilmu yang tak bernilai. Bagi Al-Ghozali, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah. Dan setiap amaliah yang disertai ilmu itu harus pula disertai dengan kesungguhan dan niat yang tulus ikhlas.
Dengan melihat sisi pemanfaatan dari suatu ilmu ini, tampak Al-Ghozali tergolong sebagai penganut paham pragmatis teologis, yaitu pemanfaatan yang didasarkan atas tujuan iman dan dekat dengan Allah SWT. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari sikapnya sebagai seorang sufi yang memiliki trend praktis dan faktual.
Menurut Al-Ghozali materi pendidikan Islam itu menyangkut dua hal, yaitu: materi tentang ilmu syari’at dan ilmu non-syariat. Ilmu syari’at dibagi menjadi 1) ilmu Ushul, yang meliputi ilmu al-Qur’an, Sunnah nabi, pendapat Shahabat dan Ijma’. 2) Ilmu Pengantar, meliputi : ilmu bahasa dan gramatika. 3) Ilmu furu’, meliputi: fiqih, ilmu hal ihwal hati, dan akhlak. 4) Ilmu Pelengkap, meliputi : ilmu qira’at, makhrij huruf, ilmu tafsir, nasikh dan mansukh, lafadz umum-khusus, dan biografi sejarah sahabat. Ilmu non-syari’at dibagi menjadi: 1) Ilmu yang terpuji, seperti: kedokteran, berhitung, ekonomi pertanian, ekonomi pertenunan, ekonomi pembangaunan, dan politik. 2) Ilmu yang diperbolehkan, meliputi : kebudayaan, sastra, sejarah dan puisi. 3) Ilmu yang tercela, meliputi : ilmu tenun, sihir, dan bagian tertentu dari filsafat.
E.    Metode
Perhatian Al-Ghozali dalam bidang metode ini lebih ditujukan pada metode khusus bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan sebuah metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral ini sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini mendapat perhatian khusus dari Al-Ghozali, karena pada prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian faktor keteladanan yang utama menjadi bagian dari metode pengajaran yang amat penting.
Menurut Al-Ghozali, pendekatan belajar dalam mencari ilmu dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan ta’lim insani dan ta’lim rabbani. ta’lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini merupakan cara umum yang dilakukan orang, dan biasanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat indrawi yang diakui oleh orang yang berakal. Proses ta’lim insani ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1)    Proses eksternal malalui belajar mengajar (ta’lim).
Menurut Al-Ghozali, dalam proses belajar mengajar sebenarnya terjadi aktivitas eksplorasi pengetahuan sehingga menghasilkan perubahan perilaku. Seseorang guru mengeksplorasi ilmu yang dimilikinya untuk diberikan kepada muridnya, sedangkan murid menggali ilmu dari gurunya agar ia mendapatkan ilmu dengan menggunakan proses belajar mengajar ini seperti seorang petani (guru) yang menanamkan benih (ilmu yang dimiliki oleh guru) di tanah (murid) sampai ia menjadi pohon (perilaku). Kematangan dan kesempurnaan jiwa sebagai hasil belajar oleh Al-Ghozali diibaratkan sebagai pohon yang telah berubah.
2)    Proses internal melalui proses tafakur.
Tafakur diartikan dengan membaca realitas dalam berbagai dimensinya wawasan dan penguasaan pengetahuan hikmah. Proses tafakur ini dapat dilakukan apabila jiwa dalam keadaan suci. Dengan membersihkan qalb dan mengosongkan egoisme dan keakuannya ke titik nol, maka ia berdiri dihadapan Tuhan, seperti seorang murid berhadapan dengan seorang guru. Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan manusiamasuk ke dalamnya. Menuntut ilmu harus melalui proses berfikir terhadap alam senesta karena ilmu itu sendiri merupakan hasil dari proses berfikir.
Selanjutnya adalah proses pendekatan ta’lim rabbani. Pendekatan ini merupakan belajar dengan bimbingan Tuhan. Seseorang akan mendapatkan pengetahuan dari Allah jika kondisi jiwanya dalam keadaan suci dan tidak tercemar dari perbuatan dosa dan nista. Dalam pendekatan ini, Allah menjadi guru bagi seseorang yang ingin mendapatkan ilmu, dengan membimbing manusia untuk menjadi orang yang suci, tulus, dan mau berfikir untuk mencari kebenaran dan memiliki ilmu pengetahuan. 
F.    Etika Guru
 Menurut Al-Ghozali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkanan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memilki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut:
Pertama, kalau karakter mengajar dan penyuluhan sebagai keahlian dan profesi dari seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah kasih sayang. Sifat ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tentram pada diri murid erhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
Kedua, seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajar. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW. yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Demikian pula seorang guru tdak dibenarkan menta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterimakasih oleh muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental.
Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai pelajaran sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa perigatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT., dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniawian. Seorang guru juga tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
Keempat, dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau menyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran dengan baik.
Kelima, seorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahlian atau spesialisasinya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih, dan guru ilmu fiqih mencela guru hadits dan tafsir, adalah guru yang tidak baik.
Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukan sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Ghozali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menumbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya.
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Ghozali adalah guru yang di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabi’at dan kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya. Jika hal iji tidak dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.
Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam hubungan ini Al-Ghozali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya. Sebab jika hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Is akan menjadi sasaran penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi megarahkan atau memberikan petunjuk kepada murid-muridnya.
Dari delapan sifat guru yang baik sebagaimana dikemukakan di atas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan dan kemampuan intelektual para siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.
G.    Etika Murid
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT., maka belajar termasuk ibadah. Dengan dasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik,adalah murid yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dan sifat-sifat tercela lainnya. Sebagaimana halnya shalat, maka menuntut ilmu pun demikian pula. Ia harus dilakukan dengan hati yang bersih, terhindar dari hal-hal yang jelek dan kotor, termasuk di dalamnya sifat-sifat yang rendah seperti marah, sakit hati, dengki, ujub, takabur dan sebgainya.
Kedua, seorang murid yang baik, juga harus menjauhkan diri dari persoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia dan masalah-masalahnya dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu. Hal ini terlihat dalam ucapannya Al-Ghozali yang mengatakan: “bahwa ilmu itu tidak akan memberikan seluruh dirimu kepadanya,  maka ilmu pun pasti akan memberikan sebagoian dirinya kepadamu. Pikiran yang dibagi-bagikan untuk hal-hal yang berbeda sama halnya dengan anak sungai yang dibagi-bagi ke dalam bebrapa cabang. Sebagian airnya diserap oleh tanah dan sebagian lagi menguap ke udara, sehingga tidak ada lagi yang tinggal untuk digunakan pada pertanian.
Ketiga, seorang murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati atau tawadhu. Sifat ini begitu amat ditekankan oleh Al-Ghozali. Al-Ghozali menganjurkan agar jangan ada murid yang merasa lebih besar daripada gurunya, atau merasa ilmunya lebih hebat daripada ilmu gurunya. Murid yang baik harus menyerahkan persoalan ilmu kepada guru, mendengarkan nasehat dan arahnya sebagaimana pasien yang mau mendengarkan nasehat dokternya.
Keempat, khusus terhadap urid yang baru hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang saling berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan. Seorang murid yang baru hendaknya tidak mempelajari aliran-aliran yang berbeda-beda, atau terlibat dalam berbagai perdebatan yang membingungkan. Hal ini perlu diingat, karena murid yang bersangkutan belum siap memahami berbagai pendapat yang berbeda-beda itu, sehingga tidak terjadi kekacauan. Seharusnya pada tahap-tahap awal, seorang murid menguasai dan menekuni aliran yang benar yang disetujui oleh guru. Setelah itu, mungkin ia dapat menyertai perdebatan diskusi atau mempelajari aliran-aliran yang bertentangan.
Kelima, seorang murid yang baik hendaknya menndahulukan mempelajari yang wajib. Pengetahuan yang menyangkut berbagai segi (aspek) lebih baik daripada pengetahuan yang menyangkut hanya satu segi saja. Mempelajari Al-Qur’an misalnya harus didahulukan, karena dengan menguasai Al-Qur’an dapat mendukung pelaksanaan ibadah, serta memahami ajaran Islam secara keseluruhan, mengingat Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Hai ini sejalan dengan pendapat Al-Ghozali yang mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada itu saling berkaitan dan berhubungan antara satu dengan yang lainnya, di mana bisa terjadi keawaman terhadap salah satunya lebih ringan dibandingkan terhadap ilmu lainnya.
Keenam, seorang murid yang baik hendaknya mempelajari ilmu secara bertahab. Seorang murid dinasehatkan agar tidak mendalami ilmu secara sekaligus, tetapi memulai dari ilmu-ilmu agama dan menguasainya dengan sempurna. Setelah itu, barulah ia melangkah kepada ilmu-ilmu lainnya, sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jika ia tidakmempunyai waktu untuk mendalaminya secara sempurna, maka seharusnya ia pelajari saja rangkumannya.
Ketujuh, seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu secara alami, di mana sebagiannya merupakan jalan menuju kepada sebagian yang lain. Murid yang baik dalam belajarnya adalah yang tetap memelihara urutan dan pentahapan tersebut.
Kedelapan, seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya. Dari masing-masing ilmu serta hasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya dipelajarinya dengan baik.dalam hubungan ini Al-Ghozali mengatakan bahwa nilai ilmu itu tergantung pada dua hal, yaitu hasil dan argumentasinya. Ilmu agama misalnya berbeda dengan ilmu kedokteran. Contoh lain adalah ilmu hitung dan ilmu nujum, ilmu hitung lebih mulia daripada ilmu nujum, karena dalilnya lebih kuat dan teguh daripada dalil ilmu nujum. Selanjutnya jika ilmu kedokteran dibandingkan ilmu hitung, maka tergantung dari sudut mana melihatnya.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas, dapat diketahui dengan jelas bahwa al-Ghazali tergolong ulama yang taat berpegang pada al-Qur’an al-Sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari berbagai pengetahuan umum seperti Ilmu Kalam, Filsafat, Fiqih, Tasawuf dan sebagainya, namun pada akhirnya ia lebih tertarik kepada Fiqih dan Tasawuf.
Menurut Al-Ghozali, tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghozali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Ghozali ilmu terbagi kepada tiga bagian, sebagai berikut:
    Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak (al-‘ulum al-madzmumah). Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji (al-‘ulum al-mahmudah). Ketiga, Ilmu yang diperbolehkan.
Perhatian Al-Ghozali dalam bidang metode lebih ditujukan pada metode khusus bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan sebuah metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka.
Menurut Al-Ghozali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkanan anak-anak muridnya. Begitu juga dengan seorang siswa, harus memiliki akhlak yang terpuji kepada gurunya.
DAFTAR PUSTAKA

     Arifin, Muzayyin. 2005.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
     Baharuddin. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 
    Hasan, Muhammad Tolhah. 2006.Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Lantabora Press.
     Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
     Yasin, A. Fatah. 2008. Metodologi Pendidikan Islam. Malang: Star Grafika.