Kamis, 22 Juli 2010

DAMPAK KENAIKAN TARIF DASAR LISTRIK TERHADAP KONSUMSI LISTRIK DAN PENDAPATAN MASYARAKAT


Abstract
Government pricing policy of energy is an unpopular choice for most people. A hike of electrical price (so called TDL stand for Tarif Dasar Listrik) administered by the government will be responded negatively by most of people. Based on our research analysis, a rise of TDL will have negative impact on household’s real income. Any increase by 10 percent of TDL will decrease the real income of agricultural labor household by 1.47 percent and by 3.47 percent of the real income of the lower level of non-agriculture household. In addition, the hike of TDL will have negative impact on sectoral demand. Demand for food and beverages product will decrease by 3.15 percent, whiledemand for food agriculture and trade sector decrease by 1.44 percent and 1.07 percent, respectively. These sectoral impacts will affect factors income that in turn decrease the capital owner household’s income by 3.52 percent, while the wage of the clerical services will decrease by 1.46 percent.
This study also shows that household income have positive correlation with the use of electrical either in term of the Rupiah expenditure value or in term of kilo watt hour (KWH). Therefore, any policy leading to increase the TDL has to be accompanied by policies aimed to create wider job opportunities. Besides, any policy formulation has to consider the impacts either for the whole economic activity or for the lower level household consumers of electricity, even a tiny impact.
I. Latar Belakang Masalah
Listrik dapat dikategorikan sebagai barang publik mendekati kategori barang privat yang disediakan pemerintah (publicly provided private goods)3 yang berkorelasi langsung dengan Pasal 33 UUD. Dengan demikian campur tangan pemerintah misalnya untuk mendorong proses produksi dan distribusi yang lebih merata, mutlak diperlukan. Campur tangan ini terutama pada usaha-usaha agar listrik dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas, dengan harga yang terjangkau seperti listrik masuk desa4. Campur tangan pemerintah berkaitan erat dengan hal-hal yang langsung berkorelasi dengan kepentingan kesejahteraan rakyat banyak.
Salah satu bentuk campur tangan pemerintah yang berkaitan dengan masalah kelistrikan adalah dalam bentuk kebijakan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL). Bentuk campur tangan pemerintah, yang sebenarnya menjadi pilihan yang tak enak ini, di mata masyarakat selalu dianggap tidak popular. Untuk itu tak mengherankan setiap ada kebijakan kenaikan TDL selalu saja menimbulkan protes bagi masyarakat, utamanya sejak dilanda krisis pada pertengahan 1997 yang lalu. Masyarakat menganggap bahwa pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan kenaikan TDL tidak pernah memperhatikan kondisi pereko-nomian rakyat yang masih terhempas oleh krisis ekonomi. Di sisi lain bagi pemerintah dan PLN, kenaikan TDL hanya merupakan salah satu dari agenda restrukturisasi di sektor ketenagalistrikan. Masih banyak agenda lain yang menanti, seperti restruk-turisasi PLN dan rasionalisasi utang yang dipastikan bermasalah di masa mendatang dan akan memperpanjang narasi buram kekalahan kepentingan publik5.
Hasil analisis yang dilakukan oleh Nanan Tribuana6 menunjukkan bahwa efek kenaikan TDL terhadap kemakmuran adalah relatif kecil. Kenaikan TDL sebesar 30 prosen akan menyebabkan penurunan kemakmuran (penurunan terhadap surplus konsumen) sebesar 0,3 prosen dari belanja bulanan rumah tangga. Kalangan rumah tangga yang paling miskin tidaklah mempunyai kemampuan untuk menikmati listrik; suatu rumah tangga haruslah cukup makmur untuk dapat membayar biaya penyambungan sebesar Rp 200.000 pada tahap awal.
Sejalan dengan latar belakang di atas, tulisan ini akan difokuskan pemba-hasannya pada bagaimana dampak kenaikan TDL terhadap berbagai sektor kegiatan ekonomi, khususnya terhadap rumah tangga lapisan bawah, yaitu pelanggan listrik PLN dengan daya 450 VA.

II. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan adalah metode descriptive analysis dan metode analisa dampak menggunakan data SAM (Social accounting Matrix). Metode yang kedua ini merupakan pengembangan dari metode analisa dampak dengan meng-gunakan Input Output. SAM di Indonesia lebih dikenal dengan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Metode ini pada dasarnya digunakan untuk melihat dampak perubahan pada suatu kebijakan dalam hal ini sebagai variabel eksogen terhadap aktifitas ekonomi dan distribusi pendapatan masyarakat.
Metode descriptive analysis digu-nakan untuk menjelaskan hubungan antara tringkat pendapatan dan pola belanja kon-sumen listrik bersubsidi, pola konsumsi listrik, tingkat kesadaran akan penghematan listrik, dan kemungkinan penetrasi pelaratan hemat listrik.
SAM merupakan suatu kerangka data yang disusun dalam bentuk matrik yang merangkum berbagai variabel ekonomi dan sosial secara kompak dan terintegrasi sehingga dapat memberikan gambaran umum mengenai perekonomian suatu negara (wilayah) dan keterkaitan antar variabel-variabel ekonomi dan sosial pada suatu kurun waktu tertentu. SAM juga merupakan suatu sistem akuntansi dimana variabel-variabel ekonomi dan sosial disusun dalam bentuk neraca-neraca yang mempunyai sisi debet dan sisi kredit dan kedua sisi tersebut selalu berada dalam keadaan seimbang (balance).
Dengan menggunakan SAM, kinerja ekonomi dan sosial suatu negara atau propinsi, seperti Produk Domestik Bruto (PDB) pada tingkat nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat regional, termasuk masalah-masalah distribusi pendapatan, baik distribusi penda-patan rumah tangga maupun distribusi pendapatan faktorial, dan juga pola penge-luaran rumah tangga, dapat ditelaah.

2.1 Dasar Pemikiran Pembentukan SAM
Titik awal penyusunan kerang-ka SAM dalam menjelaskan hubungan eko-nomi dan sosial masyarakat dimulai dari kenyataan bahwa masyarakat mempunyai kebutuhan dasar (basic needs and wants) yang harus dipenuhi melalui pembelian sejumlah komoditas. Total permintaan efektif terhadap paket komoditas tersebut kemudian dipenuhi oleh sektor-sektor produksi yang menghasilkan berbagai output atau produk. Untuk dapat meng-hasilkan output tersebut, sektor produksi membu-tuhkan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja, modal dan sebagainya. Permintaan turunan (derived demand) terhadap faktor produksi tenaga kerja memberikan balas jasa berupa upah dan gaji; sedangkan terhadap faktor produksi modal memberikan balas jasa berupa keuntungan, dividen, bunga, sewa rumah, dan sebagainya (disebut juga sebagai pendapatan kapital). Distribusi pen-dapatan yang diterima masing-masing faktor produksi dan dirinci menurut sektor ekonomi yang menghasilkan disebut sebagai distribusi pendapatan faktorial. Jumlah upah dan gaji ditambah dengan pendapatan kapital akan menghasilkan nilai tambah (value added); dan total nilai tambah tersebut dikenal sebagai PDB atau PDRB.
Kemudian, pendapatan faktorial di-terima oleh berbagai aktor-aktor ekonomi, seperti rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah. Pendapatan faktorial yang dite-rima oleh rumah tangga akan memberikan kontribusi bagi pendapatan rumah tangga; dan ini akan menimbulkan distribusi penda-patan rumah tangga.
Rumah tangga yang memiliki faktor-faktor produksi yang relatif banyak akan menerima pendapatan yang lebih besar dari pada mereka yang memiliki faktor-faktor produksi yang relatif sedikit. Pendapatan yang diterima oleh masing-masing aktor ekonomi, seperti rumah tangga dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka; sedangkan sisanya ditabung untuk maksud pembentukan modal atau investasi. Bagi rumah tangga, hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai pola pengeluaran rumah tangga, yang mem-berikan gambaran mengenai pengeluaran rumah tangga menurut berbagai komoditas dan tabungan.