Rabu, 02 Juni 2010

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PEMBELAJARAN


A. Pengertian Lingkungan
           Orang sering mengartikan lingkungan secara sempit, seolah-olah lingkungan hanyalah alam sekitar diluar diri manusia/individu. Lingkungan itu sebenarnya mencakup segala materiil dan stimuli di dalam dan di luar diri individu, baik yang bersifat psikologis, fisiologis, maupun sosial-kultural. Hal ini jika menyinggung masalah pengertian lingkungan secara umum (secara keseluruhan).
            Secara fisiologis, lingkungan meliputi segala kondisi dan materiil jasmaniah di dalam tubuh seperti gizi, vitamin, air, kesehatan jasmani dan lain-lain. Secara psikologis, lingkungan mencakup segenap stimula (sifat-sifat, perasaan, emosi, dll) yang diterima oleh individu mulai sejak dalam konsesi, kelahiran sampai matinya. Secara sosio-kultural, lingkungan mencakup segenap stimulasi, interaksi dan kondisi eskternal dalam hubungannya den gan perlakuan ataupun karya orang lain.
            Menurut Sartian (Ahli Psikologi Amerika), Lingkungan (invironment) adalah meliputi semua kondisi-kondisi dalam dunia ini yang dalam cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku kita, pertumbuhan, perkembangan atau life processes.
Sedangkan lingkungan pendidikan menurut Umar Tirtaraharja adalah latar tempat berlangsungnya pendidikan, khususnya pada tiga lingkungan utama (Tri pusat) pendidikan yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat.

B. Pengaruh Lingkungan
           Jika mengaitkan pengaruh lingkungan terhadap pembelajaran, maka lingkungan termasuk ke dalam kategori faktor eskternal yang mempengaruhi pembelajaran. Faktor eskternal meliputi: lingkungan sosial dan lingkungan non sosial.
1. Lingkungan Sosial
            Lingkunngan sosial adalah lingkungan di mana seseorang tumbuh dan berkembang. Yang termasuk dalam lingkungan sosial ialah lingkungan sosial keluarga, lingkungan sosial sekolah, dan lingkungan sosial masyarakat.
a. Keluarga
            Sebagai pusat pendidikan pertama, keluarga mempunyai tugas fundamental dalam mempersiapkan anak bagi peranannya di masa depan. Dasar-dasar perilaku, sikap hidup, dan berbagi kebiasaan ditanamkan kepada anak sejak dalam lingkungan keluarga. Semua dasar yang menjadi landasan bagi pengembangan pribadinya itu tidak mudah berubah. Oleh sebab itu , penting sekali diciptakan lingkungan keluarga yang baik, dalam artian menguntungkan bagi kemajuan dan perkembangan pribadi anak serta, mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
           Hasil penelitian White (1978),menunjukan bahwa praktik-praktik mendidik anak mempengaruhi perkembangan sosial & kecakapan kognitif. Ia mengidentifikasikan gaya disiplin tersebut menjadi 3 yaitu authoritative, authoritarian, dan permissive.


Keadaan dalam lingkungan keluarga yang dapat berpengaruh terhadap pendidikan antara lain:
 Perlakuan orang tua terhadap anak seperti perlakuan lemah-lembut atau kasar.
 Kedudukan anak dalam keluarga: anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu.
 Status anak dalam keluarga: anak kandung, anak tiri, atau anak asuh.
 Besar kecilnya keluarga misalnya anak tunggal atau anak dengan banyak saudara.
 Ekonomi keluarga dan pola hidupnya.
 Pendidikan orang tua.
Lingkungan keluarga yang baik sekurang-kuarangya mempunyai dua ciri sebagai berikut:
 Keluarga memberikan suasana emosional yang baik bagi anak-anak seperti perasaan senang, aman, disayangi, dan dilindungi.
 Mengetahui dasar-dasar kependidikan, terutama, terutama berkenaan dengan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan yang diberikan kepadanya.

b. Sekolah
            Lingkungan sosial sekolah meliputi guru, teman-teman sekolah (siswa-siswi), dan warga sekolah lainnya. Semua itu dapat mempengaruhi perilaku belajar seseorang, baik itu bagi para siswa atau para dewan guru itu sendiri dalam kondisi belajar-mengajar. Dalam pengembanganya lingkungan sekolah sangatlah berperan penting, karena lingkungan sekolah merupakan sentral dalam mendapatkan pendidikan. Seorang peserta didik akan lebih banyak mengaca kepada para guru dalam pengembangan tingkah laku.

c. Masyarakat
          Lingkungan sosial masyarakat seperti tetangga dan teman-teman sebabnya juga mempengaruhi perilaku belajar seseorang. Lingkungan masyarakat yang kumuh dan banyak anak penganngguran akan berbeda dengan lingkungan perkampungan yang bersih dan penghuninya tidak ada yang menganggur. Kondisi lingkungan tersebut sangat mempengaruhi perilaku belajar siswa. Lingkungan masyarakat atau tetangga dapat menjadi teman diskusi atau berbincang banyak hal yang dapat menjadi pendorong semangat belajar.
Pengaruh masyarakat yang turut berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan antara lain:
 Situasi politik seperti keadaan perang atau damai, dan pemerintahan yang memberi atau menindas kebebasan.
 Situasi ekonomi seperti negara miskin, negara berkembang, atau negara maju.

2. Linkungan Non Sosial
           Dalam lingkungan Non Sosial yang mempengarui terhadap perilaku dan pembelajaran adalah lingkungan alam semesta, dan sarana prasarana.
a. Alam
           Kondisi alam semesta yaitu merupakan keadaan alam tempat tinggal, di perkotaan ataupun di pedesaan, di daerah pantai, dataran rendah bahkan pegunungan ini semua sangat berpengaruh terhadap pembelajaran. Bentuk pengaruh karena beberapa hal tersebut ada yang berdimensi negatif namun ada juga yang berdimensi positif. Terlihat dengan pengaruh kehidupan perkotaan terkadang cenderung berdampak negatif. Karena pengaruh globalisasi yang sangat meruncing sehingga tidak mampu di hindari terutama bagi para generasi muda. Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwasanya pengaruh lingkungan keadaan tempat tinggal sangat berpengaruh dalam proses pebelajaran. Namun lingkungan perkotaan tidak selamanya berdampak negatit. Begitu pula daerah pedesaan tidak selamanya terlihat terbelakang dari segi pendidikannya.
Lingkungan alam yang mempunyai pengaruh terhadap pendidikan antara lain sebagai berikut:
o Kondisi iklim seperti daerah beriklim dingin, sedang, dan panas. Kondisi ini dapat menyebabkan orang mempunyai kebiasaan dan sifat-sifat tertentu. Kondisi Eropa dengan iklim dinginnya dapat menyebabkan orang-orang biasa bergerak serba cepat, rajin, giat bekerja, dan penuh usaha untuk mencapai kemajuan. Sebaliknya daerah khatulistiwa dengan iklim sedangnya dan keadaan alam yang serba mengijinkan dapat menyebabkan orang-orang menjadi malas, bergerak serba lambat, dan kurang berusaha untuk mencapai kemajuan.
o Letak geografis, seperti daerah pantai dan aerah pedalaman. Daerah pantai dengan kehidupan nelayan yang selalu bertempur melawan gelombang dapat membuat orang berwatak keras, sementara daerah pedalaman dengan kehidupan pertanian dapat membuat oarang berwatak lemah-lembut.
o Demikan pula keadaan tanah seperti derah kering, tandus, dan gersang, mempunyai pengaruh yang berbeda dari daerah-daerah yang subur, dimana penghidupan tidak merupakan beban yang berat.
b. Sarana dan Prasarana
             Selain lingkungan tempat tinggal yang teremasuk lingkungan Non Sosial yaitu sarana dan prasarana lingkungan sekolah. Sarana prasana di sekolah merupakan perantara yang dalam memahamkan pelajaran terhadap siswa. Maka peralatan atau sarana yang lengkap di suatu lembaga pendidikan dapat mendukung kemajuan dan perkembangan pembelajaran. Selanjutnya akan tercapai suasana kelas yang menarik dan termotifasi dengan adanya sarana prasarana yang terpenuhi. Selain sarana dan prasarana di lingkungan sekolah, apapun yang ada rumah atau tempat tinggal juga mempengarui karena jika dalam lingkungan keluarga terpenuhi sarana dan prasaranya. Maka seorang anak akan mudah dalam mempermudalah apa-apa yang di terima dari sekolah misalnya, adanya komputer di rumah dan sebagainya.
             Yang termasuk dalam sarana disini antara lain: buku pelajaran, alat-alat tulis, buku-buku bacaan, dll. Yang termasuk dalam prasarana antara lain: ruang belajar, lapangan olah raga, ruang kesenian, ruang praktikum, dll.

Metode Penelitian Kwantitatif

1.1 PENGUKURAN VARIABEL
Mengembangkan alat ukur dan prosedur penerapannya merupakan tugas seorang peneliti setelah ia berhasil merumuskan hipotesis dan mengidentifikasi variabel-variabel. Dalam suatu hipotesis mungkin dapat di angkat beberapa variabel, akan tetapi mungkin tidak semuanya dapat di ukur oleh para peneliti.
Didalam penelitian, prosesdur dan teknik untuk mengukur variabel-variabel yang terkandung dalam hipotesis penelitian dikembangkan agar dapat mengumpulkan informasi(data) yang tepat dan setepat mungkin untuk memperoleh pengetahuan yang benar secara empiris tentang variabel-variabel tersebut. Upaya tersebut meliputi pendevinisian variabel secara cermat dan seoperasional mungkin, perancangan skala pengukuran, pembuatan alat ukur(instrumen), penguji validitas dan reliabilitas instrumen.
Pengertian pengukuran
Pengukuran adalah prosedur pemakaian angka untuk mewakili kuantitas ciri(atribut) yang dimiliki oleh subyek dalam populasi atau sampel penelitian. Dalam variabel kecerdasan siswa, Misalnya, kecerdasan adalah atribut dan siswa adalah subyek. Dalam mengukur kecerdasan siswa, angka-angka yang dipergunakan untuk mewakili besaran kecerdasan yang dimiliki oleh setiap siswa. Dalam hal tertentu, angka tidak mewakili kuantitas, melaikan dipakai sebagai label yang menunjukkan kategori dimana tiap subyek termasuk didalamnya. Dalam variabel jenis kelamin guru, misalnya, angka-angka dipergunakan untuk menyatakan pria atau wanita bagi setiap subyek dalam populasi guru.
Ada tiga komponen pokok dalam pengukuran variabel ialah: angka atau asigmen dan aturan (rule) angka-angka dipergunakan untuk menyatakan kuantitas atau kategori.
Aturan (rule) adalah komponen terpenting dalam pengukuran. Penetapan setiap angka untuk menyatakan kuantitas tertentu pemilikan atribut “asigmen” diatas merupan salah satu aturan dalam pengukuran, aturan juga diterapkan pada waktu menjabarkan variabel ke dalam indikator.
Ada dua hal yang harus mendapat prosedur pengukuran, yakni:
Standardisasi
Apabila alat dan prosedur pengukuran diterapkan sebuah peniliti yang berlainan terhadap subyek yang sama menghasilkan angka-angka yang sama, atau diterapakan oleh peneliti yang berlainan terhadap subyek yang berlainan menghasilkan angka yang selalu konsisten (angka-angka yang sama benar-benar hal sama pula), maka pengukuran tersebut terstandart.
Isomorforsisme
Kesesuaian antara rentangan skala dalam pengukuran dengan rentangan pengukuran yang ada dalam populasi.

Skala pengukuran
Persyaratan standardisasi dan Isomorforsisme dalam mendorong para peniliti mengembangkan berbagai skala pengukuran yang dapat dikelompokkan ke dalam empat skala pengukuran ialah :
Skala nominal
Jika angka-angka dalam rentangan skala pengukuran hanya berfungsi sebagai pengganti nama atau (label) kategori tidak menunjukkan sesuatu besaran maka skala pengukuran disebut nominal, contoh, variabel jenis kelamin, setiap subyek wanita mendapat angka 2 dan pria angka 1, tidak brarti seorang wanita mempunyai kuantitas dua kali seorang pria, karena angka-angka tersebut tidak mempunyai hubungan kuantitatif.

Skala ordinal
Jika angka-angka dalam rentangan skala tidak menunjukkan kategori-kategori, tetapi juga menunjukkan hubungan kuantitas tertentu, yakni gradasi, maka skala pengukurannya disebut ordinal
Skala ordinal sering kali digunakan dalam pengukuran variabel-variabel singkat pendapat atau interes, preverensi dan sebagainya yang sukar diukur secara absolut.

Skala interval
Jika angka-angka dealam pengukuran tidak hanya menunjukkan hubungan kuantitatif dalam gradasi (ringking) tetapi juga menunjukkan bahwa jarak atau perbedaan antara dua angka yang berturutan selalu sam, maka skala pengukurannya disebut interval. Contoh, skala suhu udara, skala intelegensi, dan skala prestigel, pekerjaan. Banyak skala sikap yang dikembangkan untuk menjadi skala interval bukan ordinal. Ciri yang menonjol dalam skala interval adalah kesamaan jarak antara titik atau angka dalam skala.

Contoh pengukuran variabel
Sebelum membahas validitas dan reliabilitas pengukuran, perlu kita melihat sejenak contoh kongkrit pengembangan alat ukur (instrumen) sebuah variabel, mulai dari masalah sampai pembuatan item-item instrumen sebagai berikut,
Rumusan masalah
Setelah mempelajari latar belakang masalah yang menjadi topik penelititan, seorang peneliti sampai kepada pertanyaan/ rumusan masalah misalnya ; “seberapa kuatkah antara ptrestasi belajar dalam mata pelajaran sejarah indonesia dengan bersikap nasionalisme siswa SMA di kota Madya Malang?”
Klasifikasi konsep
Dalam masalah diatas terdapat dua konsep ialah prestasi belajar dan sikapr yang nasionalisme yang perlu dikaji oleh peneliti untuk memahami secara baik kedua konsep itu.
Spesifikasi variabel
Dari tiap konsep mungkin dapt di angkat satu atau lebih variabel. Dari konsep prestasi belajar dapat di angkat variabel prestasi belajar yang diwakili oleh milai mata pelajaran sejarah dalam raport semester ke V, sedang dari konsep sikap nasionalisme dapat di angkat variabel ketebalan sikap nasionalisme siswa.
Definisi operasional
Ketebalan sikap nasionalisme adalah kuat lemahnya perasaan cinta kepada bangsa sendiri yang tercermin dalam kesediaan untuk umtuk mengorbankan kepentingan sendiri atau kelompoknya demi kepentingan negara. Ketebalan sikap nasionalisme di ukur melalui tanggapan siswa terhadap sejumlah pertanyataan tentang ancaman dari kekuasaan asing, kebanggaan lahir dan hidup di indonesia, pelepasan diri dari ikatan kesukaan. Tanggapan siswa tersebut dituangkan dalam skala sikap lickert.
Pengembangan skala
Tanggapan siswa terhadap pernyataan-pernyataan yang diajukan kepada mereka dituangkan kedalam sebuah interval empat langkah; sangat tidak setuju(ST) tidak setuju(T) setuju (S) dan sangat setuju(SS) tidak setuju(T).
Pembuatan instrumen
Instrument (alat ukur) dalam hal ini bukanlah tes, tetapi kuesioner atau wawancara
Dengan item-item pertanyaan.

Kesalahan pengukuran
Alat dan prosedur pengukuran dikembangkan untuk mengumpulkan informasi tentang variabel yang di ukur agar dapat diperoleh pengetahuan yang benar. Akan tetapi kebenaran mutlak tidak pernah di capai oleh manusia yang dapat diupayakan ialah; mengembangkan pengukuran secermat mungkin agar dapat memperkecil kesalahan menjadi seminimum mungkin.
Kesalahan pengukuran dapat bersifat sistematik atau kesalahan acak sehingga sistematik terjadi pada semua subyek sehingga mempengaruhi skor terata dari sampel/populasi.
Kesalahan pengukuran dapat bersumber antara lain dari;
Kesalahan sampling item. Secara konseptual, untuk setiap variabel/atribut dapat dibuat item-item yang jumlahnya tak terbatas, akan tetapi penelitian hanya menggunakan beberapa saja sebagai sampel dari semua kemungkinan item untuk dipakai dalam instrumen pengukuran.
Kesalahan dugaan (guesting). Untuk instrumen dengan item-item kesalahan pilihan ganda, baik tes maupun angket, dan yang sejenisnya memberikan peluang bagi subyek untuk memberikan jawaban dengan ngawur atau duga-duga, sehingga askor hasil jawaban dengan ngawur atau duga, duga sehingga skor hasil pengukuran tidak sama dengan skor sebenarnya (true score)
Kesalahan ‘’respone set’’ untuk instrumen dengan item-item berskala likert (sutuju-tidak setuju) sering kali merangsang subyek tertentu untuk memberikan jawaban yang sama, misalnya selalu menjawab setuju, terhadap semua item tanpa mempertimbangkan lebih dahulu apa maksut/isi pertanyaan.
Kesalahan karena. ‘’sosially acceptable’’ (menyesuaiakan jawaban dengan norma sosial) apabila item-item dalam instrumen bersangkutan dengan norma-norma sosial yang sedang berlaku, maka ada kecendrungan subyek untuk memberikan jawaban yang paling sesuai dengan norma sosial dan bukan yang paling sesuai dengan isi hatinya sendiri.
Kesalahan karena kurang dapat memahami atau salah pengertian sebagai akibat petunjuk instrumen atau item-item yang sukar dipahami maksudnya.
Dalam penelitian, terutama, penelitian ilmiah, penelitian harus berupaya memperkecil kesalahan dan melacak seberapa besar kesalahan pengukuran yang dilakukannya. Lebih jauh lagi, penelitian perlu melacak seberapa baik kesesuaian hasil pengukuran dengan apa yang sebenarnya hendak di ukur (validitas)
Reliabilitas pengukuran
Kunci utama keberhasilan penelitian adalah ketetapan pengukuran variabel penelitian. Penelitian adalah upaya sistematik untuk memperoleh pengetahuan yang ‘’benar’’ sehingga dapat di andalkan untuk menjawab pertanyaan/masalah yang sedang diteliti. Pengetahuan tersebut di angkat berdasarkan hasil analisis data. Pengetahuan yang diperoleh dapat dipertajam dengan teknik analisis yang canggih.
Kebenaran data tergantung pada banyak hal, antara lain alat pengukur, pelaksaan pengukuran dan orang yang melaksanakan pengukuran. Dalam praktik, peneliti tidak pernah berhasil memperoleh data dengan benar secara absolut. Data yang berhasil dikumpulkan selalu mengandung kesalahan. Yang dapat di upayakan adalah memperkecil kesalahan menjadi seminimal mungkin.
Reliabilitas, yamh menjadi pokok pembahasan kali ini, bersangkutan dengan sejauh mana pengukuran dapat diulang-ulang dengan hasil konsisten. Pengulangan pengukuran tersebut dapat terjadi antara lain;
Jika orang berlainan melakukan pengukuran terhadap subyek yang sama.
Jika orang yang sama melakukan pengukuran terhadap subyek-subyek yang sama dalam waktu berlainan. Masalah reliabilitas dapat dipahami dengan lebih mudah melalui pengidentifikasian kesalahan pengukuran, baik jenis dan sumber maupun besarnya kesalahan.
KESALAHAN ACAK
Kesalahan dalam pengukuran dapat berupa kesalahan sistematik atau kesalahn acak. Apabila seorang ahli kimia hanya memilki satu termometer, walaupun ia dengan jeli dapat mengamati suhu dengan bilangan yang akurat pada skala termometer tersebut, tetapi karena termometer tersebut selalu menunjukkan angka yang 2°lebih tinggi dari shu yang sebenarnya,
Kesalahan acak (random error) terjadi, misalnya, jika termometer bekerja dengan akurat, akan tetapi ketelitian membaca skalanya tidak ajeg, kadang-kadang teliti dan kadang-kadang kurang telliti. Setiap pengukuran mengandung kesalahan yang besarnya tidak sama kesalahan demikian mempengaruhi baik terata suhu antara pengukuran.
Kesalahan jenis pertama merupakan masalah penting apabila peneliti ingin memperoleh angka-angka ukuran yang absolut, tetapi tidak menimbulkan masalah penting apabila tujuan pengukurannya untuk mempelajari perbedaan (variasi) individual atau subyek. Kesalahan acak merupakan yang penting pada semua jenis penelitian, baik yang menghendaki ukuran-ukuran absolut maupun yang ingin mempelajari variasi individual antar subyek.
TEORI KESALAHAN PENGUKURAN
Teori ‘’true-score’’
Teori ini merupakan dasar dalam mempelajari kesalahan pengukuran dalam tes. Menurut teori ‘’true score’’ setiap subyek mempunyai skor yang sebenarnya, yakni skor yang diperoleh apabila tak ada kesalahan sama sekali dalam pengukurannya.kesalahan pengukuran dapat positif maupun negatif. Jika pengukuran dilakukan berulang kali terus-menerus, maka kesalahan positif dan kesalahan negatif akan sama atau hampir sama besar, sehingga rerata dari ‘’observed score’’ hasil perulangan pengukuran yang terus menerus akan sama dengan ‘’true score’’ untuk subyek yang bersangkutan.
Jika pengukuran dilakukan berulang kali untuk tiap subyek, atau sekali di ukur dengan sejumlah alat ukur, maka skor-skor yang dihasilkan (observed score) akan terbesar simetris di sekitar ‘’true score ’’ untuk subyek yang bersangkutan. Oleh karena kesalahan acak diharapkan mempunyai distribusi normal, maka ‘’observed scores’’ juga diharapkan akan mempunyai distribusi normal.
Semakin melebar distribusi ‘’observed scores’’ semakin besar kesalahan pengukuran yang terjadi dalam penerapan instrumen pengukuran. Dari distribusi kesalahan pengukuran, kita dapat menentukan simpangan baku (standart deviation) kesalahan pengukuran, yang kemudian dipakai sebagai indikator besarnya kesalahan pengukuran. Diharapkan bahwa simpangan baku kesalahan pengukuran selalu sama atau hampir sama antara subyek yang satu dengan subyek lainnya sehingga dapat dipakai sebagai standar kesalahan pengukuran.
Teori ‘’generalizability’’
Jika teori ‘’true score’’ menjadi landasan untuk mempelajari kesalahan pengukuran pada tes. Maka teori ‘’generalizability’’ menjadi landasan utama untuk pengukuran variabel dalam penelitian. Terutama apabila ynag dipelajari/diukur adalah tingkah laku sehari-hari.
Teori ‘’generalizability’’ bertolak dari pandangan bahwa setiap set pengukuran tertentu merupakan sebuah sampel acak (random sample) yang mewakili semua kemungkinan pengukuran dalam suatu domain hipotesis yang dapat dibayangkan dalam pikiran.
Salah satu contoh adalah tes ejaan kata-kata untuk siswa kelas IV. Satu set tes ejaan yang dipakai oleh seornag peneliti hanyalah salah satu set dadri banyak sekali kemungkina ejaan kata-kata yang sesuai untuk siswa kelas IV. Contoh lain adalah suatu set pnegkuran variabel kecemasan yang terdiri dari 10 butir per nyataan negatif dan 10 butir pernyataan positif. Satu set pengukur kecemasan ini dapat dipandang sebagai sebuah sampel acak yang mewakili semua kemungkinan butir-butir pernyataan yang dapat dibuat untuk mengukur kecemasan.
Dalam teori ‘’true score’’ varian kesalahan di anggap mencakup semua jenis kesalahan, dan tiap subyek hanya mempunyai satu ‘’true score’’ dalam teori ‘’generalizability’’ di kenal beberapajenis kesalahan dan adanya beberapa alternative universe dalam generalisasi. Pilihan universe tergantung dari tujuan dari pengukuran. Contoh berikut dapat memberikan ilustrasi tentang adanya beberapa jenis kesalahan alternative universe.


ESTIMASI RELIABILITAS
Reliabilitas adalah suatu hal yang sangat penting dalam setiap penerapan metode pengukuran. Oleh karena itu penelusuran reliabilitas harus dilakukan apabila pengukuran yang diterapkan adalah baru atau modifikasi yang telah ada. Berikut ini adalah cara pelacakan (estimasi) reliabilitas yang banyak direkomondasikan para ahli peneliti.
Konsistensi internal
Biasanya ‘’observe score’’ sebuah variabel merupakan jumlah atau rerata skor-skor dari sejumlah butir pertanyaan, perulanagan penampilan atau sejumlah pencatatan. Hal ini terjadi terutama untuk variabel majemuk yang dapat di uraikan menjadi sejumlah indikator atau subvariabel.
Reliabilitas pengukuran variabel yang demikian dapat diestimasi berdasarkan rerata korelasi skor-skor antar butir, penampilan atau pencatatan tersebut. Reliabilitas demikian disebut konsistensi internal (internal consistency) karena manunjukkan seberapa jauh butir-butir dalam instrumen pengukuran menghasilkan skor-skor yang konsisten satu dengan lainnya.
Teknik penghitungan koefisien reliabilitas (konsistensi internal) ada bermacam-macam yang paling banyak dipakai dalam penelitian. Ialah rumus alpha yang dikembangkan oleh cronbach dan KR-20 yang dikembangkan oleh kuder dan richardson.
Koefisien alpha
Koefisien alpha dihitung dengan rumus sebagai berikut:
alpha=k/(k-q) (1-(∑▒〖σ〖 i〗^2 〗)/(σ j^2 ))
Di mana K adalah jumlah (item) iˉˉ²adalah varian skor tiap item dan j² adalah varian skor total.
Koefisien alpha cocok untuk estimasi reliabilitas pengukuran variabel dengan skala interval atau rasio. Koefisien ini bervariasi dari 1.00. semakin besar koefisien alpha, semakin baik konsistensi internal instrumen pengukurannya.
KR-20
Rumus untuk koefisien KR-20 adalah sebagai berikut;
Alpha=alpha=k/(k-q ) (1-(∑▒pq)/(⊄_(j^≠ ) ))
Di mana K adalah jumlah item, P adalah proporsi subyek yang dijawabnya benar, dan,,,,adalah varian skor total. Koefisien KR-20 ini cocok untuk pengukuran variabel yang berskala dikotomi. Jika variabel prestasi belajar di ukur dengan tes obyektif yang jawaban tiap itemnya diberi skor 0 atau 1, maka estimasi reliabilitas yang paling cocok adalah KR-20. Tetapi jika tes tersebut terdiri dari sejumlah essay dan jawaban setiap item diberi skor dari 0 samapai 10, maka estimasi relialibilitas yang paling cocok adalah alpha.
Kalau kita perhatikan rumus KR-20. Dan alpha, keduanya adalah sama. Perkalian pq pada hakikatnya adalah varian skor tiap item. Untuk item dikotomi, menghitung pq akan lebih cepat dari pada menghitung varian dengan cara yang biasa dipakai untuk yang nondikotomi.
Reliabilitas belah-dua
Reliabilitas pengukuran dalam artikonsisten internal akan bertmabah tinggi apabila item dalam instrumen ditambah. Apabila kualitas item-item semuanya sama, maka semakin besar jumlah item semakin tnggi reliabilitasnya. Akan tetapi jika suatu variabel di ukur dengan banyak sekali item, misalnya beberapa puluh item, maka penghitungan koefisien alpha atau KR-20 akan cukup melelahkan. Untuk mengatasi hal ini maka keseluruhan item-item dalam suatu instrumen dapay dibelah menjadi dua sama besar. Biasanya item-item nomor ganjil satu belah dan item-item nomor genap untuk belahan kedua. Kemudian skor semua item dalam satu belahan dijumlahkan atau diretara sehingga didapat dua set skor. Kedua set skor (jumlah atau retara) tersebut dikorelasikan dengan rumus yang dikembangkan oleh Spearman dan Brown.
Rumus untuk menghitung koefisien reliabilitas yang disebut Spearman-Brown Prophiciency formula dengan ‘’Splithalf method’’ adalah sebagai berikut;
UMUM :r∞∞=(k(r₁₂))/(1+(k-1)r₁₂))
DIKOTOMI : r∞∞=(2(r₁₂))/(1+r₁₂)
Dimana r∞∞ adalah koefisien reliabilitas, K adalah jumlah item tiap belahan dan r12 adalah koefisien korelasi antara dua belahan. Korelasi ini dihitung dengan menggunakan rumus-rumus korelasi yang umum, seperti Person’s Product Moment.
Reliabilitas model lain
Masih ada model-model lain dlam melacak dan menghitung koefisien realibilitas pengukuran; seperti model’’test-retest’’atau ‘’repeated measure’’ dan model ‘’parallel from’’ namun keduanya tidak dapat dibahas pada kesempatan ini.
BEBERAPA CONTOH PERHITUNGAN
Contoh 1
Seorang guru ingin menegtahui minat membaca tiga orang siswa yang mengikuti ‘’private less’’ di rumahnya. Ia membuat enam butir (item) pertanyaan untuk dijawab oleh ketiga siswa tersebut, dan hasilnya diberi skor 1-4 untuk tiap butir. Skor untuk tiap butir yang dicapai oleh ketiga siswa tersebut adalah;
Butir 1 2 3 4 5 6 total
Amin 2 1 3 2 1 2 11
Badu 3 2 2 4 2 2 15
Giman1 2 1 2 2 1 9
retara 2,0,1,7,2,0,2,7,1,7,1,7,11,7
realibilitas alat tes tersebut dapat diestimasi dengan koefisien alpha, melalui langkah-langkah berikut;
Menyipkan data kedalam tabel seperti yang tertera di atas, dimana kolom berisi butir-butir pertanyaan dan baris-baris berisi skor tiap-tiap subyek.
Menghitung varian untuk setiap butir pertanyaan (tiap kolom) dengan rumus;
S_i^2= (x² nxˉ²))/(n1 ) atau ((x-xˉ²))/n1
Dimana s² adalah varian untuk butir, x adalah skor mentah untuk tipa subyek dalam butir bersangkutan, x adalah adalah rerata skor semua subyek dalam butir tersebut dan n adalah jumlah subyek. dengan menerapakan rumus tersebut, maka diperoleh tiap item sebagai berikut;
Butir 1 ; varian =(14-12)/(3-1)=1,0
Butir 2 ; varian =(9-8,67)/(3-1)=0,16
Butir 3 ; varian =(24-21,81)/(3-1)=1,06
Butir 4 ; varian =(14-12)/(3-1)=1,0
Butir 5 ; varian =(9-8,67)/(3-1)=0,16
Butir 6 ; varian =(9-8,67)/(3-1)=o,16
Menghitung jumlah skor semua item (butir) untuk tiap subyek, kemudian menghitung varian skor jumlah tersebut;
S_j^2 = (427-410,67)/31=8,16

Menghitung jumlah varian butir-butir;
S_i^2=1,0+0,16+1,0+0,16+0,16=3,54
Menghitung alpha;
Alpha=kk/(k-1) 1- (S_i^2)/(S_j^2 )≔6/(6-1) ((1-3,54))/8,16=0,68
Dengan demikian alpah sebesar 0.68 kita dapat mengatakan bahwa reabilitas pengukuran minat baca yang dilakukan oleh guru tersebut sedang, artinya item-item pertanyaan yang dipakai dapat mengahasilkan ukuran yang konsisten.
Keterbatasan dan Kekeliruan Pakai
Setiap prosedur dan teknik pengetesan relibialitas pengukuran variabel mempunyai keterbatasan. Ketidaktahuan akan kererbatasan ini sering menimbulkan pemakaiann yang keliru. Berikut ini beberapa keterbatasan umum yang sering menimbulkan salah pakai.
Skala Pengukuran
Rumusan-rumusan reliabilitas dikembangkan berdasarkan skala pengukuran interval, oleh karena itu hanya cocok dipergunakan jika pengukuran variabel yang akan dites berskala Interval atau Rasio.
Satu Variabel
Satu koefisien reliabilitas hanya menunjukkan konsistensi item-item di dalam satu variabel.
Item Tunggal
Untuk mengetes reliabilitas suatu variabel diperlukan sejumblah item; paling sedikit dua item.
Saran
Dengan perkembangan pemakaian komputer dalam analisis statistik, berkembang pulalah berbagai prosedur dan teknik penguatan reliabilitas pengkuran variabel. Penelitian yang profesional harus mencakup pengetahuan relibialitas pengukuran variabel karena hasil atau kesimpulan/ temuannya hanya dapat dipercaya apabila peneliti tersebut dapat meyakinkan bahwa data yang dianalisis adalah data yang reliabel.

Validitas Pengukuran
Suatu tes disebut valid apabila tes tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Suatu instrumen pengkuran disebut valid apabila instrumen tersebut mengukurbapa yang hendak diukur. Validitas berkenaan dengan perkiraan yang paling mendekati kebenaran yang dapat dilakukan termasuk populasi sebab-akibat.
Dalam dunia penelitian istilah validitas dipakai dalam konsep yang berbeda-beda. Sedang pemakaian yang menonjol ada dua ialahvaliditas pengukuran dan validitas hubungan kausal dikembangkan dalam berbagai tes berstandar. Kemudian meluas dalam berbagai aspek-aspek psikologis lain seperti motivasi, sikap, kepribadian dan lain sebagainya. Validitas pengukuran dipakai juga dalam ilmu-ilmu sosial seperti dalam pengukuran nilai prestasi sebagai indikator status sosial. Validitas hubungan kausal juga dipakai dalam banyak penelitian eksperimental, baik dalam hubungan pendidikan, ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam.
Validitas Hubungan Kausal
Pengertian
Dalam penelitian eksperimental atau expostfacto yang bertujuan untuk mengetahui apakah suatu fakta mempunyai pengaruh yang efektif terhadap perubahan suatu fenomena tertentu atau untuk menentukan perlakukan yang mana diantara sejumlah alternatif di[erlukan yang paling efektif untuk menimbulkan perubahan pada suatu fenomena tertentu. Dengan kata lain, kita dapat melacak validitas hubungan kausal antara suatu faktor (independent) dan faktor lain (dependent) dengan jalan mengajukan sejumlah variabel bebas lain yang dirangkai dalam hipottesis tandingan melawan hipotesis penelitian.

Sumber Invaliditas
Selama peneliti tidak dapat menunjukkan bahwa perbedaan antara independent dan dependent tesebut bebas dari pengaru peristiwa lain yang dapat diajukan sebagai hipotesis tandingan, maka kesimpulan yang diperoleh dapat dikatakan “invalid”.

Fakto-faktor yang membuat hasil eksperimen tidak valid antara lain:
Ekstrinsik
Intrinsik
History
Manuration
Mortality
Instrumentation
Testing
Lain-lain.

Validitas Pengukuran

Pengertian Validasi dan Validitas
Dalam arti yang sangat umum suatu alat ukur dikatakan valid apabila ia dapat melakukan apa yang harus dilakukan (Nunnally,1978: 86). Baik-baiknya penampilan / kerja beberapa alat ukur relatif mudah dilacak, separti kayu pengaris untuk mengukur panjang. Dalam hal ini banyak diperlukan penyelidikan sederhana apakah hasil pengukurannya:
1). Cocok benar dengan pergertian panjang.
2) memiliki hubungan yang teratur dengan berbagai variabel.
Apabila hasil pengukurannya memenuhi standar yang demikian maka kurang perlu untuk mengembankan masalah validitas alat pengukurannya, akan tetapi dalam banyak hal tidak demikian masalahnya. Sebagai contoh mengukur emosi dengan mengunakan sejumlah indikator psikologi kelihatannya cukup relevan, misalnya denyut jantung, detak otak,getaran otak dan keringat telapak tangan.
Validasi menghendaki adanya penyelidikan empiris, sesuai dengan tipe validitas yang akan diujikan. Bukti-bukti empiris dapat berupa pendapat banyak orang tentan rasionalitas berbagai aspek psikologis yang dikembangkan dan dipakai dalam pengukuran, akan tetapi hal itu juga harus didasarkan kepada pengamatan mereka dalam kenyataan dilapangan.
Validitas lebih berupa derajat kedekatankepada kebenaran bukan masala sama sekali benar atau sekali salah. Validasi adalah suatu proses yang tak perna berakhir, suatu cara pengukuran yang telah lama sekali diyakini akan validitasnya, suatu ketika ditemukan bukti-bukti baru akan kesalahan atau kekurangannya sehinggah dilakukan penyempurnaan atau perubahan prosedur dan alat ukur tersebut.
2. fungsi dan Tipe Validitas
Pengukuran variabel-variabel psikologi secara umum, mempunyai tiga fungsi yaitu:
Untuk mengembangkan suatu ukuran yang berhubungan dengan statistik dengan variabel tertentu.
Untuk mengembangkan ukuran yang dapat mewakili secara representatif isi suatu universi tertentu.
Untuk mengukur unsur psikologis tertentu.
Sedangkan tipe validasi yaitu:
Validitas prediktif
Validitas merupakan fokus pewmbahasan yang disajikan lebih rinci pada bagian-bagian tulisan.

Validitas Prediktif
Validitas prediktif digunakan apabila mengunakan suatu instrumen untuk mengestimasi beberapa bentuk tingkah-laku penting yang berada di luar instrumen pengukuran itu sendiri disebut kriteria, validitas prediktit sering disebut dengan istilah lain seperti validitas empiris, validitas statistik atau validitas kreteria.
Istilah prediksi dipakai dala arti yang umum, ialah berkenaan dengan hubungan fungsional antara instrumen denga peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelu, selama, dan sesudah instrumen itu diterapkan. Dalam hal ini tes yang digunakan untuk orang dewasa dapat digunakan sebagai prediksi tentang peristiwa yang terjadi pada masa kanak-kanak mereka. Sebuah tes yang dimaksud untuk “mempredik” kerusakan otak tentu saja yang diprediksi bukan siapa-siapa yang akan mengalami kerusakan otak dimas datang melainkan siapa-siapa yang mengalami kerusakan otak pad tes itu dilakukan.
Validitas prediktif adalah suatu pengukuran yang dapat ditentukan dengan cara yang sederhana yaitu menkorelasikan dua hal bersangkutan. Jika korelasinya tinggi, maka tidak usah menguji lebih lanjut, karena kore;asi yang tinggi da[at dipandang sebagai bukti empiris tentang validitas pengukuran dengan insrtumen yang dipakai. Suatu misal apabila tes kecakapan menembak mempunyai korelasi yang tinggi dengan keberhasilan menyelesaikan studi diperguruan tinggi maka tes kecekatan menembak adalah ukuran yang valid untuk memprediksi keberhasilan dalam studi di perguruan tinggi.

Validitas Isi
Untuk beberapa instrumen pengukuran. Validitas terutama tergantung pada kelayakan isi dari suatu dominan yang diwakilinya. Contohnya adalah ujia akhir mata kuliah tertentu dalam contoh ini tes tersebut tidak akan dapat divalidasikan terhadap kriteria prediktif sebab maksud dari tes tersebut bukan untuk mempredik suatu yang lain diluar tes tersebut, melainkan untuk mengukur secara langgsung “performance” mahasiswa dalam suatu unit pelajaran tertentu. Tes akhir tersebut harus berdiri sendiri sebagai alat ukur yang memadai untuk sesuatu yang hendak diukur. Validitasnya tidak dapat ditentukan dengan mengkorelasikannya dengan suatu kriteria, sebab tes itu merupakan kriteria untuk “performance” yang ingin diukur.
Dalam menghadapi dominan seperti itu rumusa sekumpulan item secara kasar mewakili unit-unit intruksional, untuk mendapatkan keyakinan bahwa item-item tersebut benar-benar mewakili unit-unit instruksional yang bersangkutan, yang disebut “blue-print” mengenai jenis-jenis pertanyaan dan soal-soal yang akan dimasukkan. Namun demikian bagaimanapun sulitnya dan apapun cara yang ditempuhnya validitas ini tidak urung terletak pada penampilan secara rasional mengenai:
Kelayakan dimana isi yang penting dalam dominan telah mewakili dalam sample.
Kelayakan dimana isi yang telah disample tersebut dimasukkan dalam bentuk item-item didalam instrumen tes.

Validitas Konstruk
Tipe validitas konsrtuk ini mulai dikembangkansejak tahun 50an oleh Cronbach dan beberapa ilmuan psikologi lain. Sebelumnya hanya dikenal tipe validitasrediktif dan validalitas isi, walaupun nama yang dipakai bermacam-macam. Sekarang validitas konstruk sebagai tipe ketiga, merupakan validitas yang sangat relevan dalam masalah pengukuran dalam peneliti dasar ilmu-ilmu behavior. Seberapa jauh suatu variabel mendekati abstrak yang seberapa jauh mendekati kongkrit adalah merupakan masalah yang disebut “construct”. Variabel disebut konstruk apabila variabel tersebut merupakan konsep yang abstrak dan tidak dapat didefinisikan dengan tegas.
Selanjutnya Cronbach menulis bahwa validasi konstruk adalah suatu proses yang lentur dan kreatif. Penyusunan tes atau peneliti berikutnya bekerja untuk mengembangkan interpretasi, menjelaskan kepada orang lain tentang kebenaran interpretasi itu, serta merevisinya bila diketahui terdapat kelemahan. Validasi konstruk tidak dapat disederhanakan kedalam aturan-aturan dan tidak interpretasi yang dapat dianggap sebagai final untuk selama-lamanya. Hal inilah yang sering menjadi sumber frutasi dan kebingungan dalam melakukan validasi (ibid:1490).
Proses validasi adalah mirip dengan proses pengembangan konsep dan pengukuran ilmiah