Kamis, 02 Februari 2012

PENDEKATAN MULTIKULTURAL UNTUK KURIKULUM


Indonesia adalah negara yang kaya dengan budaya seperti dinyatakan dalam motto nasional "Bhinneka Tunggal Ika (Bhina = berbeda banyak; Tunggal = Satu). Kenyataan ini diakui pula oleh seorang ahli sejarah India berbangsa Amerika, Wolpert (1965:7) yang mengatakan bahwa masyarakat India adalah more pluralistic in every respect than any other on earth except, perhaps, Indonesia. Oleh karena itu, apabila kebudayaan adalah salah satu landasan kuat dalam pengembangan kurikulum maka proses pengembangan kurikulum di Indonesia harus pula memperhatikan keragaman kebudayaan yang ada. Artinya, pendekatan multikultural dalam pengembangan kurikulum di Indonesia adalah suatu keharusan yang tak dapat diabaikan lagi.
Keberlakuan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah tidak akan secara langsung menjadikan pendekatan multikultural berlaku dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Undang-undang tersebut yang memberikan wewenang pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah mungkin saja akan menghasilkan berbagai kurikulum sesuai dengan visi, misi, dan persepsi para pengembang kurikulum di daerah, tetapi bukan tidak mungkin bahwa kurikulum yang dikembangkan tersebut tidak dikembangkan berdasarkan pendekatan budaya apalagi pendekatan multikultural. Kurikulum yang dihasilkan mungkin saja dikembangkan berdasarkan pendekatan budaya tetapi tidak berarti langsung menjadi kurikulum yang berdasarkan pendekatan multikultural. Kurikulum yang menggunakan pendekatan multikultural haruslah dikembangkan dengan kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang pendekatan multikultural.
Literatur mengenai pendidikan multikultural menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian istilah tersebut. Banks (1993:3) menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsensus tentang itu ia berkesimpulan bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Pengertian ini agak sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Sleeter (Burnet, 1994:1) bahwa pendidikan multikultural adalah any set of process by which schools work with rather than against oppressed group. Pengertian ini jelas tidak sesuai dengan konteks pendidikan di Indonesia karena Indonesia memiliki konteks budaya yang berbeda dari Amerika Serikat walaupun keduanya memiliki bangsa dengan multi-kebudayaan.
Andersen dan Cusher (1994:320) mengatakan bahwa multikultural adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Definisi ini lebih luas dibandingkan dari yang dikemukakan di atas. Meskipun demikian posisi kebudayaan masih sama dengan apa yang dikemukakan dalam definisi di atas yaitu keragamaan kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari; jadi berstatus sebagai objek studi. Dengan perkataan lain, keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus diperhatikan para pengembang kurikulum.
Pengertian pendidikan multikultural seperti di atas tentu terbatas dan hanya berguna bagi para pengembang kurikulum dalam satu aspek saja yaitu dalam proses mengembangkan konten kurikulum. Sayangnya, pengertian itu tidak dapat membantu para pengembang kurikulum dalam menggunakan kebudayaan, dan dalam konteks ini menggunakan kenyataan budaya yang multikultural sebagai landasan dalam mengembangkan visi, misi, tujuan, dan berbagai komponen kurikulum. Dengan demikian, pengertian lain mengenai pendekatan multikultural harus dirumuskan agar dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Untuk itu, maka definisi pendekatan multikultural tersebut haruslah membantu para pengembang kurikulum dalam mengembangkan prinsip-prinsip kurikulum, materi kurikulum, dan can maximise the potentials of students and their cultural environment so that the students can learn better (Hasan, 1996). Artinya, pengertian pendekatan multikultural kurikulum harus dapat mengakomodasi perbedaan kultural peserta didik, memanfaatkan kebudayaan itu sebagai sumber konten dan memanfaatkannya sebagai titik berangkat untuk pengembangan kebudayaan itu sendiri, pemahaman terhadap kebudayaan orang lain, toleransi, membangkitkan semangat kebangsaan siswa yang berdasarkan bhinneka tunggal ika, mengembangkan perilaku yang etis, dan yang juga tak kalah pentingnya adalah dapat memanfaatkan kebudayaan pribadi siswa sebagai bagian dari entry-behavior siswa sehingga dapat menciptakan "kesempatan yang sama bagi siswa untuk berprestasi" (Boyd, 1989:49-50). Artinya, pengertian pendekatan multikultural dalam kurikulum haruslah menggabungkan pengertian yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara (1936, 1945, 1946),Webb (1990), Oliver dan Howley (1992), Print (1993) dan Delpit (1996) sebagai landasan pengembangan, sedangkan pengertian yang dikemukakan ahli lainnya (Banks, 1993; Andersen dan Cusher, 1994; Burnett, 1994) dijadikan ruang lingkup materi yang harus dipelajari.
Atas dasar posisi multikulutral sebagai pendekatan dalam pengembangan kurikulum maka pendekatan multikultural untuk kurikulum diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, dan komponen kurikulum, serta lingkungan belajar sehingga siswa dapat menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep, keterampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan.