Indonesia adalah
negara yang kaya dengan budaya seperti dinyatakan dalam motto nasional
"Bhinneka Tunggal Ika (Bhina = berbeda banyak; Tunggal = Satu). Kenyataan
ini diakui pula oleh seorang ahli sejarah India
berbangsa Amerika, Wolpert (1965:7) yang mengatakan bahwa masyarakat India adalah more pluralistic in every
respect than any other on earth except, perhaps, Indonesia . Oleh karena itu,
apabila kebudayaan adalah salah satu landasan kuat dalam pengembangan kurikulum
maka proses pengembangan kurikulum di Indonesia harus pula memperhatikan
keragaman kebudayaan yang ada. Artinya, pendekatan multikultural dalam
pengembangan kurikulum di Indonesia
adalah suatu keharusan yang tak dapat diabaikan lagi.
Keberlakuan
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah tidak akan secara
langsung menjadikan pendekatan multikultural berlaku dalam pengembangan
kurikulum di Indonesia. Undang-undang tersebut yang memberikan wewenang
pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah mungkin saja akan menghasilkan
berbagai kurikulum sesuai dengan visi, misi, dan persepsi para pengembang
kurikulum di daerah, tetapi bukan tidak mungkin bahwa kurikulum yang
dikembangkan tersebut tidak dikembangkan berdasarkan pendekatan budaya apalagi
pendekatan multikultural. Kurikulum yang dihasilkan mungkin saja dikembangkan
berdasarkan pendekatan budaya tetapi tidak berarti langsung menjadi kurikulum
yang berdasarkan pendekatan multikultural. Kurikulum yang menggunakan
pendekatan multikultural haruslah dikembangkan dengan kesadaran dan pemahaman
yang mendalam tentang pendekatan multikultural.
Literatur
mengenai pendidikan multikultural menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian
istilah tersebut. Banks (1993:3) menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsensus
tentang itu ia berkesimpulan bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka
yang dominan adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan
untuk people of color. Pengertian ini agak sejalan dengan pengertian
yang dikemukakan oleh Sleeter (Burnet, 1994:1) bahwa pendidikan multikultural
adalah any set of process by which schools work with rather than against
oppressed group. Pengertian ini jelas tidak sesuai dengan konteks pendidikan
di Indonesia karena Indonesia
memiliki konteks budaya yang berbeda dari Amerika Serikat walaupun keduanya
memiliki bangsa dengan multi-kebudayaan.
Andersen dan
Cusher (1994:320) mengatakan bahwa multikultural adalah pendidikan mengenai
keragaman kebudayaan. Definisi ini lebih luas dibandingkan dari yang
dikemukakan di atas. Meskipun demikian posisi kebudayaan masih sama dengan apa
yang dikemukakan dalam definisi di atas yaitu keragamaan kebudayaan menjadi
sesuatu yang dipelajari; jadi berstatus sebagai objek studi. Dengan perkataan
lain, keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus diperhatikan
para pengembang kurikulum.
Pengertian
pendidikan multikultural seperti di atas tentu terbatas dan hanya berguna bagi
para pengembang kurikulum dalam satu aspek saja yaitu dalam proses
mengembangkan konten kurikulum. Sayangnya, pengertian itu tidak dapat membantu
para pengembang kurikulum dalam menggunakan kebudayaan, dan dalam konteks ini
menggunakan kenyataan budaya yang multikultural sebagai landasan dalam
mengembangkan visi, misi, tujuan, dan berbagai komponen kurikulum. Dengan
demikian, pengertian lain mengenai pendekatan multikultural harus dirumuskan
agar dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Untuk itu, maka definisi
pendekatan multikultural tersebut haruslah membantu para pengembang kurikulum
dalam mengembangkan prinsip-prinsip kurikulum, materi kurikulum, dan can
maximise the potentials of students and their cultural environment so that the
students can learn better (Hasan, 1996). Artinya, pengertian pendekatan
multikultural kurikulum harus dapat mengakomodasi perbedaan kultural peserta
didik, memanfaatkan kebudayaan itu sebagai sumber konten dan memanfaatkannya
sebagai titik berangkat untuk pengembangan kebudayaan itu sendiri, pemahaman terhadap
kebudayaan orang lain, toleransi, membangkitkan semangat kebangsaan siswa yang
berdasarkan bhinneka tunggal ika, mengembangkan perilaku yang etis, dan yang
juga tak kalah pentingnya adalah dapat memanfaatkan kebudayaan pribadi siswa
sebagai bagian dari entry-behavior siswa sehingga dapat menciptakan
"kesempatan yang sama bagi siswa untuk berprestasi" (Boyd,
1989:49-50). Artinya, pengertian pendekatan multikultural dalam kurikulum
haruslah menggabungkan pengertian yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara (1936,
1945, 1946),Webb (1990), Oliver dan Howley (1992), Print (1993) dan Delpit
(1996) sebagai landasan pengembangan, sedangkan pengertian yang dikemukakan
ahli lainnya (Banks, 1993; Andersen dan Cusher, 1994; Burnett, 1994) dijadikan
ruang lingkup materi yang harus dipelajari.
Atas dasar posisi
multikulutral sebagai pendekatan dalam pengembangan kurikulum maka pendekatan
multikultural untuk kurikulum diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan
keragaman kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan,
dan komponen kurikulum, serta lingkungan belajar sehingga siswa dapat
menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai
wawasan, konsep, keterampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan.