Fatima Mernissi lahir tahun 1940 di Fez, Marokko. Ia tinggal dan dibesarkan dalam sebuah harem
bersama ibu dan nenek-neneknya serta saudara perempuan lainnya.
Sebuah harem yang dijaga ketat seorang penjaga pintu agar
perempuan-perempuan itu tidak keluar. Harem itu juga dirawat dengan baik dan
dilayani oleh pelayan perempuan.
Fatima Mernissi lahir
tahun 1940 di Fez, Marokko. Ia tinggal
dan dibesarkan dalam sebuah harem bersama ibu dan nenek-neneknya serta saudara perempuan lainnya.
Sebuah harem yang dijaga ketat seorang penjaga pintu agar perempuan-perempuan itu tidak keluar. Harem itu juga
dirawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan. Neneknya,
Yasmina, merupakan salah satu isteri kakeknya yang berjumlah sembilan. Sementara hal itu tidak terjadi
pada ibunya. Ayahnya hanya punya satu
isteri dan tidak berpoligami. Hal ini
dikarenakan orang tua Mernissi seorang
penganut nasionalis yang menolak poligami. Namun begitu, ibunya tetap
tidak bisa baca tulis karena waktunya dihabiskan di harem.
Sewaktu Mernissi lahir, para nasionalis Marokko
berhasil merebut kekuasaan pemerintahan negara
dari tangan kolonial Prancis. Ini
diakui Mernissi, “….jika saya dilahirkan
dua tahun lebih awal, saya tidak
akan memperoleh pendidikan, saya
lahir pada waktu yang sangat tepat”. Kaum nasionalis yang berjuang melawan Prancis waktu itu, menjanjikan akan menciptakan negara Maroko
yang baru, negara dengan persamaan untuk semua. Setiap perempuan
memiliki hak yang sama
atas pendidikan sebagaimana
laki-laki. Mereka juga akan menghapuskan praktek perkawinan
poligami.
Inilah yang membuat ia beruntung karena walaupun ia tinggal di harem, tapi ia mendapatkan
kesempatan mengenyam pendidikan tinggi.
Dalam buku The Harem Within , Mernissi
menceritakan tentang masa
kecilnya yang ia habiskan di harem bersama ibu
dan nenek-neneknya. Buku ini
merupakan cermin masa kanak-kanaknya dalam
sebuah harem di Fez, yang dilihat dari kaca mata seorang gadis muda.
Namun ia mengakui hanya sebagian
cerita yang dalam buku
ini berdasarkan pada pengalamannya sendiri. “Masa kanak-kanak saya
tidak seindah dalam buku ini,”
katanya.
Walaupun Mernissi
menggambarkan kehidupan harem
dengan pesona yang kaya, ia tidak
melupakan penindasan di dalamnya. Dalam
bukunya, ia juga mengungkapkan bagaimana
kaum harem melihat ke rentang langit dari dalam lingkungan
halaman harem dan memimpikan hal-hal
yang sederhana, seperti melangkah bebas di
jalan. Atau bagaimana Mernissi melihat dunia luar dengan mengintip dari lubang pintu.
Menurut
Mernissi, orang Barat selalu memandang
dan membayangkan harem yang
berada dalam istana. Di sini ia
membedakan antara harem kelas
tinggi (imperial) dan harem kelas
biasa (domestik). Yang
dibayangkan orang Barat adalah harem kelas tinggi, yakni
istana-istana yang dimiliki laki-laki yang kaya raya dan berkuasa,
yang membeli ratusan perempuan budak dan
menyimpannya dalam lingkungan harem
dengan dijaga ketat oleh kasim. Harem-harem semacam ini telah
lenyap pada perang Dunia I, ketika
kerajaan Ottoman hancur dan
praktek-praktek itu dilarang
oleh penguasa Barat. Sementara
harem yang ditinggali Mernissi adalah harem biasa, yang sampai sekarang masih
ada di negara-negara Teluk.
Sejak kecil, Mernissi telah terlibat dengan pergulatan pemikiran dan
selalu melontarkan pertanyaan
yang liar. Misalnya dalam hal batas antara laki-laki dan perempuan. Mernissi kecil
menanyakan, kalau disepakati
ada batas antara perempuan dan
laki-laki, kenapa yang harus ditutupi dan
dibatasi itu perempuan. Pertanyaan itu
selalu ia lontarkan kepada
neneknya, Yasmina. Neneknya tak
bisa menjawab pertanyaan cucunya itu
karena menurutnya itu terlalu berbahaya.
Dalam masa-masa ini pula ia memiliki hubungan
yang sangat ambivalen dengan agama.
Ini dikarenakan adanya perbedaan dan ketegangan cara pandang terhadap Al-Qur’an yang dia terima di sekolah pengajian
Al-Qur’an dan yang diajarkan Neneknya.
Di sekolah Al-Qur’annya, ia diajar dengan
cara yang keras. Setiap hari
ia harus
menghapal ayat-ayat Al-Qur’an,
yang kalau salah melafalkannya akan
mendapat teguran dan bentakan atau pukulan. Dalam kondisi seperti ini, ia melihat agama sebagai
sesuatu yang mengerikan.
Sementara, di sisi lain, Mernissi kecil ini lebih menerima
keindahan agama lewat nenek
Yasmina, yang telah membukanya menuju pintu agama yang puitis. Neneknya yang menderita insomnia
selalu bercerita tentang perjalanan hajinya. Dan dengan semangat selalu bercerita tentang dua kota, Mekkah dan Madinah. Kota yang selalu
diburunya adalah kota Madinah sehingga
kota yang lain seperti Arafah dan Mina
sering ia lewatkan hanya
karena ingin cepat-cepat menceritakan kota Madinah. Hal
ini sangat berpengaruh pada Mernissi kecil. Madinah kemudian menjadi kota
impian yang diobsesikannya.
Sikap ini melekat pada
Mernissi selama bertahun-tahun. Menurut
Mernissi, Al-Qur’an sebagai kitab
suci agama Islam sangat
tergantung pada bagaimana perspektif dan resepsi (penerimaan) kita
terhadapnya. Ayat-ayat suci ini bisa menjadi gerbang untuk melarikan diri atau bisa juga menjadi hambatan yang tidak bisa
diatasi. Al-Qur’an, kata Mernissi, bisa menjadi pembawa kita ke dalam
mimpi atau malah pelemah semangat belaka.
Sedangkan Ibu Mernissi selalu mengajarkan kepada Mernissi
kecil bagaimana bisa bertindak dan
bertahan sebagai perempuan: “Kamu harus
belajar untuk berteriak dan protes, sebagaimana
kamu belajar untuk berjalan dan berbicara,” kata sang Ibu pada Mernissi. Dari sang
ibu juga ia mendapatkan cerita
tentang bagaimana agar perempuan
bertindak cerdik dan bijaksana.
Ibunya sering menceritakan kisah-kisah
dalam Seribu Satu Malam. Cerita ini mengisahkan seorang sultan
yang sangat menggemari dongeng.
Dikisahkan, Sultan Nebukadnedzar suatu ketika memergoki permaisurinya berzina
dengan pengawalnya. Sang Sultan marah lalu membunuh keduanya. Sejak itu Sultan
membenci perempuan. Hal ini membuatnya mempunyai kebiasaan buruk, yakni
menikahi perempuan di malam hari, dan
keesokan harinya si isteri tersebut harus dipancung.
Begitu terus terjadi setiap hari.
Tak terbilang banyaknya gadis yang mati karena itu. Kebiasaan ini berhasil
dihentikan oleh seorang gadis
bernama Shahrazad, dengan
memikat sultan lewat cerita-ceritanya, sehingga sang sultan selalu
mengurungkan niatnya untuk memancung gadis itu.
Kebijaksanaan semacam inilah yang disarankan sang ibu. Pokok penting
ini digaris bawahi, ketika si anak perempuan itu balik
bertanya: “Tetapi bagaimana kita bisa belajar tentang
cara mendongeng, yang bisa menyenangkan kati raja?” Si
ibu komat-kamit, seakan-akan
berbicara pada dirinya sendiri, bahwa itulah pekerjaan seumur hidup
perempuan. Mernissi mengakui, ibu dan
neneknya yang mendorongnya untuk sekolah
yang tinggi, agar perempuan
bisa berdiri sendiri.
***
Ketika Mernissi
menginjak sebagai gadis remaja, ia mulai
mendapatkan pelajaran agama,
dengan masuk pada bidang
as-Sunnah. Pada saat itu,
ia menemukan suatu kejadian yang membuatnya terluka.
Mernissi berkata:
”
.......Beberapa hadis yang
bersumber dari kitab Bukhori, dikisahkan oleh para guru pada kami,
membuat hati saya terluka. Katanya Rasulullah mengatakan bahwa: “anjing,
keledai dan perempuan akan membatalkan
salat seseorang apabila ia
melintas di depan mereka, menyela
diantara orang yang salat dan kiblat”. Perasaan saya amat terguncang mendengar
hadis semacam itu, saya hampir tak
pernah mengulanginya dengan
harapan, kebisuan akan membuat
hadis ini terhapus dari kenangan
saya. Saya bertanya, “Bagaimana
mungkin Rasulullah mengatakan hadis semacam
ini, yang demikian melukai
saya…...Bagaimana mungkin
Muhammad yang terkasih, bisa
begitu melukai perasaan gadis
cilik, yang disaat pertumbuhannya,
berusaha menjadikannya sebagai
pilar-pilar impian-impian
romantisnya.” (Wanita Dalam Islam, h. 82)
Dalam perjalanan hidupnya
yang penuh pergolakan pemikiran ini, Mernissi telah membuktikan bahwa
didikan ibu dan neneknya telah membuahkan hasil. Di samping karena jasa
kaum nasionalis yang membolehkan perempuan
mengikuti pendidikan sekolah. Meski begitu, Mernissi mengakui bahwa banyak
impian nasionalisme Arab belum terwujud.
Poligami belum dilarang, perempuan
belum mencapai status
yang setara dengan laki-laki dan demokrasi belum menjadi sistem yang
dominan di dunia Arab
Kini, Mernissi telah melewati harem dengan dilewatinya
berbagai jenjang pendidikan. Ini juga menjadi bukti keberhasilannya melewati
batas-batas harem yang
selalu ia tanyakan sejak
kecil. Ia mendapatkan gelar
di bidang politik dari
Mohammed V University di Rabat,
Marokko. Gelar Ph.D didapatkan di Universitas Brandels,
Amerika Serikat tahun 1973. Disertasinya, Beyond the Veil, menjadi buku teks yang menjadi rujukan dalam
pustaka Barat.
Dan sekarang, ia
menjadi dosen tetap dan guru besar Sosiologi di Universitas Mohammed V
Rabat, yang merupakan perguruan tinggi
almamaternya. Mernissi pun aktif sebagai
seorang feminis islam yang aktif diberbagai
organisasi perempuan Afrika Utara yang menyuarakan persoalan-persoalan perempuan Islam dengan mengadakan studi dan
penelitian. Ia termasuk figur yang cukup diperhitungkan dikalangan
aktivis perempuan dunia, khususnya Dunia Islam.
Pikiran dan Karya
Penulis melihat, karya-karya Mernissi sarat
dengan pengalaman individualnya. Setidaknya pengalaman individualnya itulah yang memacunya untuk
melakukan riset historis tentang sesuatu yang dia rasa mengganggu paham keagamaannya.
Misalnya kita lihat dalam karyanya The
Veil and Male Elite (diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, Menengok kontroversi Keterlibatan Wanita Dalam
Politik, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) yang kemudian ia revisi menjadi
Women and Islam: A Historical and Theological Enquiry (diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia: Wanita dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1994). Pelacakan
Mernissi terhadap nash-nash suci baik Al-Qur’an dan Hadis didasari pada pengalaman individunya sehari-hari ketika berhubungan dengan
masyarakat. Seperti misalnya hadis-hadis yang ia sebut misoginis yang
menyatakan posisi perempuan sama dengan
anjing dan keledai sehingga
membatalkan salat sesorang, dikarenakan
rasa ingin tahu yang mendalam terhadap posisi Hadis tersebut. Pengalaman itu ia dapatkan waktu
remaja di sekolah.
Begitu juga Hadis tentang
kepemimpinan perempuan yang membuatnya, dalam
bahasa Mernissi sendiri,
“hancur” perasaannya setelah mendengarnya. Dorongan untuk
melacak hadis itu secara serius
karena Hadis itu terlontar dari pedagang yang ia tanya di pasar, apakah
boleh perempuan menjadi pemimpin. Sang
pedagang begitu kaget dengan pertanyaan Mernissi sampai menjatuhkan
dagangan yang dibawanya secara tak sadar. Lalu sang pedagang
mengutip Hadis: “Tidak akan selamat suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan”.
Menurut Mernissi,
peristiwa semacam itu menunjukkan Hadis ini sudah sangat merasuk
umat Islam. Sehingga ketika perempuan menjadi pemimpin menjadi ramai diperdebatkan. Seperti kasus Benazir Butho
yang waktu itu menjadi Perdana Menteri di Pakistan. Padahal Al-Qur’an
sudah mengungkapkan dengan jelas contoh
Ratu Bilqis sebagai pemimpin berjenis
kelamin perempuan
Soal lain yang menjadi concern Mernissi adalah hijab. Tema hijab sangat dominan dalam karir
intelektual Mernissi karena soal itulah yang sejak kecil mempengaruhi dirinya
dan keluarganya, dan tentunya keluarga muslim
lainnya. Hijab, yang merupakan instrumen pembatasan, pemisahan dan pengucilan terhadap
perempuan dari ruang
publik bagi Mernissi merupakan
bentuk pemaahaman keagamaan
dominan (yang nota bene dikuasai oleh laki-laki!). Hijab juga berarti sarana pemisahan antara
penguasa dan rakyat. Pemikiran hijab
yang terakhir ini dipengaruhi oleh
realitas kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat Arab.
Dengan melakukan
penafsiran-penafsiran Al-Qur’an dan
Hadis, riset sejarah dan
analisa sosiologis, Mernissi berusaha keras untuk membongkar
pemahaman tersebut, untuk kemudian
memberikan tafsir alternatif. Pemikiran
Mernissi tentang hal ini bisa kita lihat dalam dua
bukunya The Forgetten of Queen in
Islam (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Ratu-Ratu Islam yang
Terlupakan, Bandung: Mizan, 1994). dan Islam and Democracy (diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia: Islam dan demokrasi: antologi
Ketakutan, Jogyakarta: LKiS, 1994).
Dalam beberapa karyanya, Mernissi juga mencoba
menunjukkan bahwa kekurangan-kekurangan
yang ada dalam pemerintahan Arab bukanlah karena secara inheren ajaran-ajaran
religius yang nota bene menjadi undang-undang dasar
pemerintahan tersebut cacat. Namun karena ajaran agama itu telah
dimanipulasi oleh orang yang berkuasa untuk kepentingan dirinya
sendiri. Namun dalam beberapa
hal Mernissi membela negara Arab, ketika negara-negara ini
disorot dan dicitrakan negatif oleh pers Barat. (Islam dan demokrasi, h. 26)
Dalam kebanyakan karya-karyanya, Mernissi mencoba menggambarkan bahwa ajaran
agama bisa dengan mudah dimanipulasi. Karenanya Mernissi pun percaya,
penindasan terhadap perempuan adalah
semacam tradisi yang dibuat-buat, dan bukan
dari ajaran agama Islam. Makanya ia
sangat berani dan tidak takut membongkar tradisi yang dianggap
sakral oleh masyarakat selama ini. Banyak tulisan-tulisan lepasnya
tentang perempuan yang menyuarakan hal di atas. Misalnya bisa kita lihat dalam
bukunya Rebellion’s Women And Islamic Memory, (London & New Jersey: Zed Books, 1996).
Sebagai seorang sosiolog, tulisan-tulisan Mernissi ini
bisa dikatakan tidak semata-mata
berisi uraian normatif tapi kaya juga dengan analisa
sosiologis. Ini bisa terlihat dari
karya-karya yang di atas tadi
dan disertasi doktoralnya yang
dibukukan dengan judul Beyond The Veil
(diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Seks dan Kekuasaan: Dinamika
Pria-Wanita Dalam Masyarakat Muslim Modern, (Surabaya: Al-Fikr, 1997). Buku ini
merupakan hasil penelitiannya terhadap
perempuan Marokko tentang
batas-batas seksual perempuan. Sehingga, seakan-akan pergulatan intelektual dan pengalamannya itu yang ia tuangkan dalam karya-karyanya,
bisa menjadi representasi persoalan perempuan Islam pada umumnya."Th3"