“...The concept of race is socially and historically constructed in the particular context of each society. It has been utilized, with other factors, such as gender and class, when a nation-state formed itself by defining who should be the authentic “nation” and who should not...”(Goldberg, 2002)[3]
Khusus, untuk metode analisis ras manusia, Koentjaraningrat, hal. 91, 1981 memaparkan perspektif antropologi fisik. Dalam hal ini, setidaknya turut pula memperhatikan ciri-ciri lahir, atau ciri-ciri morfologi, pada tubuh individu-individu berbagai bangsa di dunia. Ciri-ciri morfologi itu antara lain aspek fenotipe, terdiri dari dua golongan, yaitu:1) ciri-ciri kualitatif (seperti warna kulit, bentuk rambut, dan 2) ciri-ciri kuantitatif (seperti berat badan, ukuran badan, index chepallus, dan sebagainya. Untuk mengukur ciri-ciri kuantitatif tadi, antropologi fisik melengkapi dengan metode antropometri.
Lebih lanjut, A. L. Kroeber dalam Ibid, hal. 94, 1980 membagi klasifikasi ras terpenting di dunia serta hubungannya[4].
1. Australoid, penduduk asli Australia
2. Mongoloid
2.1 Asiatic Mongoloid (Asia Utara, Asia Tengah, Asia Timur)
2.2 Malayan Mongoloid (Asia Tenggara, Kep. Indonesia, Malaysia, Filipina, dan penduduk asli Taiwan)
2.3 American Mongoloid (Penduduk asli Benua Amerika Utara dan Selatan, Eskimo di Amerika Utara, sampai penduduk Tera del Fuego di Amerika Selatan)
3. Caucasoid
3.1 Nordic (Eropa Utara sekitar Laut Baltik)
3.2 Alpine (Eropa Tengah dan Timur)
3.3 Mediteranian (Penduduk sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arab, Iran)
3.4 Indic (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka)
4. Negroid
4.1 African Negroid (Benua Afrika)
4.2 Negrito (Afrika Tengah, Semenanjung Melayu, Filipina)
4.3 Melanesian (Irian/Papua, Melanesia)
5. Ras-ras Khusus
Tidak dapat diklasifikasikan kedalam empat ras pokok
5.1 Bushman (di daerah Gurun Kalahari di Afrika Selatan)
5.2 Veddoid (Di pedalaman Sri Lanka dan Sulawesi Selatan)
5.3 Polynesian (Di kepulauan Mikronesia dan Polinesia)
5.4 Ainu (Di pulau Karafuto dan Hokkaido di Jepang Utara)
Pada akhirnya, pembagian ras tersebut mengacu kepada daerah kebudayaan yang merupakan penggabungan dari suku bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya beraneka warna, namun memiliki unsur dan ciri menyolok yang serupa. Dengan demikian, ada penggolongan daerah kebudayaan sebenarnya yang merupakan sistem klasifikasi yang mengklaskan beraneka ragam warna suku bangsa dalam suatu daerah dan benua besar. Sebagai contoh, kawasan Asia yang dibagi oleh Kroeber dalam Daerah Kebudayaan Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Barat Daya, dan China. Lebih mendalam lagi, proses migrasi antar suku bangsa dan ras adalah penyebab dari persebaran kebudayaan. Sehingga terjadilah model interaksi dan pertukaran unsur kebudayaan yang biasanya mewujud dalam benda material. Sementara itu, kesatuan-kesatuan dari kelompok kolektif manusia tersebut melakukan pola adaptasi secara evolutif dengan lingkungannya sehingga terjadilah perkembangan unsur kebudayaan yang baru.
Pada aspek lain, muncul pula pemikiran tentang sosiologi ras yang dikemukakan oleh Eugene Du Bois, seorang Afro-Amerika dan Lothrop Stoddard yang melihat pembagian dunia berdasarkan ras. Salah satu gagasan teorinya adalah selubung yang menciptakan pemisahan jelas, atau tembok penghalang, antara warga Amerika keturunan Afrika dengan kulit putih. Gagasan lainnya adalah tentang kesadaran ganda, pemahaman atas “kedua-an”, atau perasaan sebagian warga Amerika keturunan Afrika yang melihat dan mengukur mereka melalui matanya. Pada akhirnya, analisis Du Bois dipakai sebagai gagasan teoritis tentang ras dan hubungan antarras di Amerika Serikat dan Dunia yang terkenal dengan Diaspora Ras. Sementara itu, dalam karyanya Pasang-Naik Kulit Berwarna, Stoddard memaparkan tentang persebaran ras di dunia yang terbagi atas Dunia Kulit Putih dengan Dunia Kulit Berwarna, ia beranggapan bahwa ada korelasi antara keadaan alam dengan produk budaya yang pernah mereka hasilkan. Bahkan ciri-ciri fisik diantara manusia tersebut merupakan bentukan alam yang nantinya akan mempengaruhi bagaimana mereka bersikap kepada dirinya ataupun dunia luar. Disamping itu, Stoddard secara “futuristik” meramalkan tentang kebangkitan Ras Berwarna yang mengambil “keuntungan” dari pertentangan Eropa dalam Perang Dunia I, yang identik dengan politik imperialisme dalam pembagian wilayah jajahan mereka sendiri.
Pada aspek yang lain, pemikiran ras disumbangkan pula oleh Count Arthur de Gobineau dalam bukunya berjudul Essai Sur l’Inegalite des Races Humaines. Dalam karyanya tersebut, Gobineau berpendapat tentang doktin abad ke-18 tentang asal-usul bangsa Prancis yang berasal dari keturunan budak-budak Gallo-Roman, kaum bangsawan adalah keturunan Jerman. Arendt, hal.97, 1995 mengatakan bahwa pemikiran Gobineau adalah definisi tentang penciptaan suatu “elite” yang dapat menggantikan aristokrasi. Sebagai ganti pangeran-pangeran, ia menyodorkan suatu “ras para pangeran”, yaitu ras Arya14[5].
“..Konsep ras memungkinkan pengorganisasian“kepribadian yang mereka berbakat”dari romantisme Jerman, menetapkan mereka sebagai anggota-anggota aristokrasi alamiah yang ditakdirkan untuk menguasai semua ras lain”..(Arendt, hal.97, 1995)
Kelak, dikemudian hari, pemaknaan “ras unggul” melegitimasi banyak pertentangan antar Eropa (baca: Nazi Jerman dalam Perang Dunia II) dan ekspansi Eropa di tanah Asia-Afrika. Arendt, hal. 119, 1995 memaparkan bahwa pemikiran ras di abad ke-18, sudah memasuki prinsip lembaga politik, dan kedua birokrasi sebagai prinsip dominasi di luar negeri15[6].
“...Tanpa ras sebagai substitusi bangsa, perjuangan merebut Afrika dan demam investasi emas hanya akan tetap tinggal tak bermakna...Tanpa birokrasi sebagai substitusi pemerintah, pemilikan Inggris atas India hanya akan menciptakan kekacauan hukum di India...” (Arendt, hal. 119, 1995)
[1] , Stoddard, Lothrop. 1920. Pasang Naik Kulit Berwarna. New York: Madison Grant
[2], Koentjaraningrat, op cit, hal. 90 12
[3] Goldberg dalam Araki, Keiko. 2007. Building a New Racial World Order: Intersection of Pan-Asianism and Pan-Africanism in the Post-WWI World. G-SEC WORKING PAPER No.15, hal.5
[4] Koentjaraningrat, op cit, hal. 94
[5] Hannah Arendt. 1995. Asal-usul Totalitarisme: Imperialisme.hal.97. Konsep ras memungkinkan pengorganisasian “kepribadian mereka yang berbakat” dari romantisme Jerman, menetapkan mereka sebagai anggota-anggota aristokrasi alamiah yang ditakdirkan untuk menguasai ras lain.
[6] Lihat, Ibid, hal. 119. Dua temuan itu senyatanya dibuat di Benua Hitam. Ras adalah penjelasan darurat tentang manusia, yang baik orang Eropa maupun orang-orang beradab lainnya tidak mampu memahaminya, dan yang kemanusiaannya sedemikian terancam dan direndahkan oleh kaum imigran, sehingga mereka tidak lagi dianggap menjadi bagian dari sesama bangsa manusia