TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
Teori belajar Behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkrit. Perubahan terjadi melalui rangsangan (Stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku Reaktif (Respon) berdasarkan hukum-hukum Mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan Respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap Stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
1.Mementingkan faktor lingkungan.
2.Menekankan pada faktor bagian.
3.Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4.Sifatnya mekanis.
5.Mementingkan masa lalu.
A.Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936).
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang Pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjan Kedokteran dengan bidang dasar Fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi Direktur Departemen Fisiologi pada Institute of Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai Fisiologi Pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi Psikology Behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands(1902) dan Conditioned Reflexes(1927).
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan Stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan Behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu (Bakker, 1985).
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang didinkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kin sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dpat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai Stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai Respon yang dikondisikan.
Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehar-jhari ada situasi yang sama seperti pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim Walls yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak ada lagu trsebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Contoh lai adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau tombol antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-bunyian dari pedagang makanan(rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering lewat di rumah, bel masuk kelas-istirahat atau usai sekolah dan antri di bank tanpa harus berdiri lama.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan Stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan Respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh Stimulus yang berasal dari luar dirinya.
B. Edward Edward Lee Thorndike (1874-1949): Teori Koneksionisme
Thorndike berprofesi sebagai seorang Pendidik dan Psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar Doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and Social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya Asosiasi-Asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut Stimulus (S) dengan Respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan Respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (Puzzle Box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara Stimulus dan Respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih Respons yang tepat serta melalui usaha –usaha atau percobaan-percobaan (Trials) dan kegagalan-kegagalan (Error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “Trial and Error learning atau Selecting and Connecting Learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar Koneksionisme atau teori Asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam Psikologi Pendidikan.
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “Trial and Error” atau “Selecting and Conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap Response menimbulkan Stimulus yang baru, selanjutnya Stimulus baru ini akan menimbulkan Response lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
S- R -S1 -R1- dst
Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja enyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut:
1.Hukum Kesiapan (LAW of Readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga Asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori Koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk Asosiasi (Connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskanPrinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk Asosiasi (Connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
Masalah pertama hukum LAW of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2.Hukum Latihan (Law of Exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan) , maka Asosiasi tersebut akan semakin kuat.
Prinsip Law of Exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3.Hukum akibat (Law of Effect), yaitu hubungan Stimulus Respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa diperantarai pengartian. Binatang melakukan Respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis (Suryobroto, 1984)
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a.Hukum Reaksi Bervariasi (Multiple Response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses TRIAL dan Error yang menunjukkan adanya bermacam-macam Respon sebelum memperoleh Respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b.Hukum Sikap ( Set/Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan Stimulus dengan Respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun Psikomotornya.
c.Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan Respon pada Stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( Respon Selektif).
d.Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e.Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain :
1.Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan Stimulus Respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan Stimulus Respon belum tentu diperlemah.
2.Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3.Syarat utama terjadinya hubungan Stimulus Respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara Stimulus dan Respon.
4.Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori Koneksionisme menyebutkan pula konsep Transfer of Training, yaitu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem Box-nya.
C.Burrhus Frederic Skinner (1904-1990).
Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam perkembangan psikologi belajar, ia mengemukakan teori operant conditioning. Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah “The Experimental an Analysis of Behavior”. Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul Journal of the Experimental Behaviors yang disponsori oleh Asosiasi Psikologi di Amerika (Sahakian,1970)
B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.
Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru secara searah dan dikontrol guru melalui pengulangan dan latihan.
Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yanag tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant ( penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Skinner membuat eksperimen sebagai berikut :
Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yangdapat diatur nyalanya, dan lantai yanga dapat dialir listrik. Karena dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan. Selam tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.
Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Beberapa prinsip Skinner antara lain :
1.Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika bebar diberi penguat.
2.Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3.Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4.Dalam proses pembelajaran, tidak digunkan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah, untukmenghindari adanya hukuman.
5.dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.
6.Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal Variabel Rasio Rein Forcer.
7.Dalam pembelajaran digunakan shaping.
D. Edwin R Gutrie
Edwin R Gutri adalah salah satu penemu teori pembiasaan asosiasi dekat (contigous conditioning theory). Teori ini menyatakan bahwa peristiwa belajar terjadi karena adanya sebuah kombinasi antara rangsangan yang di sandingkan dengan gerakan yang akan cenderung diikuti oleh gerakan yang sama untuk waktu berikutnya (Bell-Gredler, 1986.) dengan kata lain, teori ini, bahwa belajar adalah kedaekatan hubungan antara stimulus dan respons yang relevan.
Teori ini menyatakan bahwa apa yang sesungguhnya dipelajari oleh orang, seperti siswa belajar adalah reaksi atau respons terakhir yang muncul atas sebuah rangsangan atau stimulus. Artinya setiap peristiwa belajar hanya mungkin terjadi sekali saja untuk selamanya atau tidak sama sekali. Menurut Gutrie, peningkatan hasil belajar secara berangsur-angsur yang dicapai oleh siswa bukanlah hasil dari berbagai respon komplek terhadap stimulus-stimulus sebagaimana yang diyakini para Behavioris lainnya, melainkan karena kedekayan asosiasi antara stimulus dan respons dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menjumpai peristiwa belajar dengan contiguous conditioning, misalnya mengasosiasikan 2+2=4, kewajiban dibulan Ramadhan dibulan puasa, dan 17 Agustus dengan peringatan hari kemerdekan Indonesia.
Dalam teori Contiguous conditioning, hadiah tidak memainkan peran yang penting dalam belajar ketika telah terjadi asosiasi antara stimulus dan respons. Oleh karena itu, ketika stimulus yang berbeda sedikit, maka banyak percobaan yang mungkin dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah respons secara umum.teori kontiguitas menyatakan bahwa lupa terjadi lebih karena adanya halangan dari berlalunya waktu, sehingga stimulus menjadi diasosiasikan respons baru. Dalam hal ini, peran motivasi juga dapat menciptakan melakukan tindakan yang menghasilkan respon selanjutnya.
E. Clark Hull
Hull telah mengembangkan sebuah teori dalam versi behaviorisme. Ia menyatakan bahwa stimulus (S) mempengaruhi organisma (O) dan menghasilakan respon (R) itu tergantung pada karakteristik O dan S. Dengan kata lain, Hull telah berminat terhadap study yang mempelajari variabel yang mempengaruhi perilaku seperti dorongan atau keinginan, insentif, penghalang dan kebiasaan. Teori Hull ini disebut dengan teori mengurangi dorongan. Seperti teori-teori Behavior yang lain, dalam teori ini, reinforcement merupakan faktor utama yang menentukan belajar. Bedanya dalam teori mengurangi dorongan ini, pemenuhan dorongan ini atau kebutuhan lebih dikurangi dan mempunyai peran yang sangat penting dalam perilaku daripada dalam teori-teori belajar behaviorisme yang lain.
Secara teori, kerangka teori Hull berisi posttulat-postulat yang dinyatakan untuk matematik:
1.Organisme memiliki sebuah hierarki kebutuhan yang muncul karena adanya stimulation atau dorongan.
2. Kebiasaan yang kuat meningkatkan aktifitas yang diasosiasikan dengan reinvorsement primer maupun skunder,
3. Stimulus diasosiasikan dengan penghentian sebuah respon menjadi penghalang yang dikondisikan
4. Lebih efektif reaksi potensi melampaui reaksi minimal, lebih pendek terjadinya penundaan respon.
Teori yang dikemukakan oleh Thondike, Pavlov, Skinner, Guthrie, dan Hull diatas merupakan teori belajar Behavioristik, namun lepas dari kelebihan yang mereka miliki, teori belajar behavioristik ini juga memiliki kelemahan-kelemahan antara lain :
1. Proses belajar dipandang sebagai kegiatan yang diamati langsung, padahal belajar adalah kegiatan yang ada dalam sistem syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalui gejalanya.
2. Proses balajar dipandang bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti mesin atau robot, padahal manusia mempunyai kemampuan yang bersifat kognitif. Sehingga, dengan kemampuan ini manusia bisa menolak kebiasaan yang tidak sesuai dengan dirinya.
3. Proses belajar manusia yang di analogikan dengan hewan sangat sulit diterima, menginggat ada perbedaan yang cukup mencolok antara hewan dan manusia.