Antara Islam dan kebudayaan Arab adalah dua
kenyataan yang berbeda. Islam adalah ajaran yang mempunyai idealitas
pembebasan. Sementara, kebudayaan Arab adalah realitas sosiologis, hasil produk
ekonomi-politik. Dalam pengertian tegas inilah pembicaraan mengenai Islam dan
kebudayaan semestinya dimulai. Sebab, jika masih ada asumsi produk sosial Arab
adalah sama dengan ajaran Islam, maka pembahasan mengenai otentisitas Islam,
dalam konteks pembaruan pemikiran, barangkali tidak akan pernah beranjak kearah
pemikiran kritis.
Penemuan otentisitas ajaran Islam sebagai
kajian tentu saja bukan sekedar bertujuan memisah-misahkan antara Islam dengan
warisan kebudayaan Arab, melainkan lebih pada tujuan ilmiah, yakni upaya
melakukan dekonstruksi dan sekaligus merekonstruksi pemahaman atas ajaran
Islam. Dekonstruksi adalah upaya pembongkaran asumsi-asumsi lama yang
irasional, irelevan, dan ilutif atas pemahaman otentisistas Islam. Sementara
rekonstruksi dihadirkan sebagai wujud pertanggung jawaban intelektual yang
memberikan alternatif pemikiran praksis dari dekadensi pemikiran lama tersebut.
Salah satu tokoh pemikir Islam yang layak
diberi perhatian dalam hal ini adalah buah pemikiran Dr Hasan Hanafi. Dalam
rangka menemukan otentisitas Islam ini, Hanafi mencoba menawarkan
pemahaman-pemahaman seputar wacana ke-Islaman yang berdialektika dengan
tradisi-tradisi di mana tempat umat Islam hidup. Sebagaimana karya tulis
lainnya, latar belakang Hanafi dalam karya “Oposisi Pasca Tradisi” berangkat dari
kenyataan bahwa Islam sebagai agama pembebas telah mengalami dekadensi ilmu
pengetahuan dan praktik politik selama beberapa abad.
Hasan Hanafi mendefinisikan bahwa tradisi
(turas) adalah segala sesuatu yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam
peradaban yang dominan, sehingga merupakan masalah yang diwarisi sekaligus
masalah penerima yang hadir dalam berbagai tingkatan. (Apa Arti Turas dan
Tajdid?1991;11).
Dengan demikian tradisi dianggapnya sebagai
“titik awal tanggung jawab kebudayaan dan bangsa, sedangkan pembaruan (tajdid)
adalah penafsiran ulang atas tradisi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman,
karena yang lama mendahului yang baru.” Oleh karena itu, pembahasan mengenai
turas dan tajdid dalam kajian Hanafi tidak dalam konteks filosofis an sich,
melainkan dengan menyertakan argumen historis.
Jika selama ini para sosiolog lebih
cenderung menganggap tradisi sebagai obyek tanpa kritisisme, maka Hanafi
mencoba keluar dari konservatisme tersebut. Tawaran paradigma yang diajukan
adalah memahami tradisi suatu masyarakat melalui bentuk kritisisme struktural.
Hanafi beranggapan, bahwa “tradisi adalah produk sosial dan hasil dari
pertarungan sosial-politik, yang keberadaannya terkait dengan manusia. Jika
diacak melalui historisitasnya, tradisi yang demikian itu lahir dari kehendak
“seleksi sosial” sebagai salah satu bentuk kekuatan masyarakat yang
mempengaruhi pertarungan sosial.
Seleksi sosial, sebagai salah satu bentuk
kekuatan sosial yang berpengaruh terhadap pertentangan sosial, berubah-ubah
seiring dengan perubahan tingkat kekuatan yang ada. (hal;1) Melalui beberapa
fase historis inilah keberadaan tradisi yang hidup dalam ranah ekonomi-politik
menjelma dalam dua bentuk yang berdiri secara diametral; di satu sisi hidup
tradisi kekuasaan, di lain pihak berkembang pula tradisi oposisi. Jika ada
tradisi negara, maka ada pula tradisi rakyat. Dan, karena dalam situasi
historis budaya resmi mengalami kemapanan, maka lahirlah budaya perlawanan.
Dalam konteks studi kebudayaan, dialektika
yang paling menonjol dalam hal ini terjadi dalam konteks hubungan antara negara
dan kebudayaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa kekuasaan negara adalah
instrumen yang paling dominan bertindak sebagai hakim mutlak yang
berkepentingan memenangkan kekuasaan atas rakyat. Namun demikian negara tidak
akan mudah melakukan pemaksaan melalui jalan kekerasan semata dalam menghadapi
pihak oposisi. Untuk memperkokoh kekuasaanya tersebut muncullah taktik
hegemoni.
Hegemoni sebagaimana dimaksudkan oleh
Antonio Gramsci, merupakan konsensus moral dalam rangka penaklukan negara atas
rakyat. Melalui propaganda media, figur karismatik, agama dll, negara
menawarkan berbagai kesepakatan dan janji-janji yang diharapkan dapat meredam
perlawanan pihak oposisi. Dalam memainkan hegemoni ini, negara biasanya
melakukan seleksi terhadap tradisi masyarakat yang cocok terhadap kepentingan
kekuasaan, yang kemudian dijadikan representasi, dijadikan satu pegangan yang
dimutakkan, dan mengkafirkan tradisi selain tradisi negara. Di bawah dominasi
“tradisi” kekuasaan negara inilah pluralitas kemudian tenggelam, kebudayaan
larut dalam satu orientasi, dan sistem politik hanya memiliki satu partai.
Islam sebagaimana agama samawi lainnya,
yang hidup dalam berbagai tradisi sosial-politik setidaknya terus bergulat di atas
dua tradisi tersebut. Pada mulanya kehadiran Islam memang menentang tradisi
lama masyarakat jahiliyah di jazirah Arabia, terutama tradisi kekuasaan politik
yang korup. Pasca wafatnya Nabi Muhamad, muncullah tradisi baru dalam bentuk
kekuasaan khilafah. Dalam masa ini fase-fase tradisi Islam mulai menampakkan
perubahan; dari tradisi oposisi menjadi tradisi kekuasaan.
Secara lugas Hanafi menyimpulkan, bahwa
semenjak Islam hidup dalam istana penguasa feodal, Islam menjadi agama
kekuasaan. Tradisi kekuasaan dalam Islam ini dimulai oleh munculnya klaim
kebenaran “pengikut nabi” yang menyebut dirinya sebagai kelompok Ahlusunnah wal
jama’ah, kelompok yang konsisten (istiqamah), kelompok yang berpegang pada
riwayat dan hadis (ahl ar-riwayah wa al-hadis). Semenjak kekuasaan ahlusunnah
inilah Islam memulai tradisi (kekuasaan) baru, dengan memukul kekuatan-kekuatan
tradisi (oposisi ) seperti Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah.Para pendukung
tradisi kekuasaan memiliki gelar-gelar seperti, al-Syekh al-Rais, Hujjatul Islam,
Imam al-Haramain, Nasir al-Millah wa ad-Din dan seterusnya. Sementara para
pendukung tradisi oposisi mendapat gelar semacam atheis, zindiq, kafir, murtad,
munafik, manawi, zoroaster, sabi’, barhamiy, dan lain-lain. Dalam tradisi
kekuasaan seperti ini kritik Hanafi dimulai dengan pertanyaan: siapakah
diantara kita yang tidak menginginkan gelar pertama, dan siapakah yang tidak
membenci gelar kedua?
Awal mula sejarah inilah yang telah menjadi
fakta politik kekalahan tradisi oposisi yang sebenarnya menjadi misi utama
ajaran Islam. disebabkan oleh kepentingan kekuasaan, Islam menjelma menjadi
tradisi kekuasaan. Kekuasaan yang hidup dalam masyarakat Islam dan mampu
melegitimasi, akan menjadikan negara menjadi kuat, mampu mengatasi gerakan
sosial, dan dapat mengawai persegkongkolan terhadap tradisi oposisi untuk
menahan rakyat agar tidak memunculkan tradisi tersebut berlindung di dalamnya,
dan mulai menghancurkan legalitas oposisi. Di Indonesia negara memberikan
pakaian kebesaran terhadap agamawan yang loyal semisal profesor atau doktor.
Atau memberikan kekuasaan di jajaran eksekutif atau legislatif.
Tradisi dalam Islam, sebagaimana tradisi
kebudayaan lain pada mulanya adalah musabab, namun merupakan sebab pada
akhirnya, konklusi dan premis, isi dan bentuk, efek dan aksi, pengaruh dan
mempengaruhi. Dalam konteks inilah pentingnya upaya melakukan dekonstruksi dan
rekonstruksi pemikiran Islam agar tetap hidup sebagai ajaran yang membebaskan.
Hasan Hanafi secara kritis memberikan solusi dalam upaya ini. Sikap
konsistennya sebagai intelektual beraliran Marxis tidak membuat dirinya
bersikap dogmatis dan kekiri-kirian. Melalui penalaran yang kritis dan kreatif
ia sanggup melakukan reinterpretasi dalam menerapkan materialisme-dialektik
sebagai paradigma kritis yang mampu menjelaskan berbagai persoalan sosial,
agama dan kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar