Salah satu tanggapan
terpenting di dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897).
Gagasannya mengilhami Muslim di Turki , Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun
sangat anti-imperialisme Eropa, ia mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan
Barat. Ia tak melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan.
Namun, gagasannya untuk mendirikan sebuah universitas yang khusus mengajarkan
ilmu pengetahuan modern di Turki menghadapi tentangan kuat dari para ulama.
Akhirnya ia diusir dari negeri itu.
Bagi Afghani, ilmu
pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah
Islam karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi itu, sebab itu kaum Muslim
harus juga menguasainya agar dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan
dan teknologi adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh
agama Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu
anggapan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian,
dan sama sekali tak berbicara tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini
didukung oleh gagasannya bahwa Islam menganjurkan pengembangan pemikiran
rasional dan mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan
hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat Islam yang
telah lama mandek.
Gagasan al-Afghani amat
berpengaruh, khususnya di dunia Arab dan Iran . Penerus utama gagasan Afghani
di dunia Arab adalah pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya,
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi beberapa negara
Eropa, dan amat terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid Ridha, yang
mendapat pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa asing (Perancis dan
Turki), yang menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern,
secara umum. Karena itulah, ketika gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh,
dengan jurnal Al-’Urwah al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar
di Mesir, tak sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu.
Seperti Afghani, Abduh
tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dan al-Qur’an.
Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al-Qur’an itulah yang mesti
dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat dari Abduh. Jika
seruan keras Abduh untuk ijtihad – untuk menafsirkan kembali Islam agar memiliki
vitalitas baru – dapat diartikan sebagai adopsi total model Barat untuk ilmu
pengetahuan, maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan menyarankan dibuatnya
suatu kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi bagian-bagian yang akan
diadopsi. Namun, sama seperti Abduh, dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi
ia menyeru agar kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan maupun ketrampilan
teknik Barat. Bagi Abduh dan Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri adalah
baik, yang menjadi masalah adalah tujuan penggunaannya.
Selain kedua figur itu, ada Thaha
Husayn (1889-1971), seorang sejarawan dan filosof, yang amat mendukung gagasan
yang mulai dilancarkan oleh Muhammad Ali di awal abad. Husayn adalah pembela
gigih modernisme dan saintisme. Adopsi terhadap ilmu pengetahuan modern bukan
saja penting demi nilai praktisnya, tetapi juga sebagai perwujudan kebudayaan.
Inilah pandangan sekularis sejati yang meminggirkan peran agama, dan
mengunggulkan positivisme ilmu pengetahuan. Meskipun kontroversial, gagasan ini
mendapat dukungan yang kuat di dunia Arab, khususnya di kalangan intelektual
Kristen.
Untuk menunjukkan hal ini,
perlu disebut di sini satu fenomena penting di dunia Arab pada awal abad ini,
yaitu perdebatan yang amat marak tentang Darwinisme. Debat itu dipicu oleh
tulisan Syibli Syumayyil (1853-1917), seorang Kristen dari Suriah yang hidup
dalam pengasingan di Mesir, yang membela Darwinisme. Tulisan ini disambut para
ulama dengan pernyataan bahwa menerima teori Darwin sama dengan menolak Tuhan
dan pandangan al-Qur’an tentang penciptaan. Beberapa pemikir lain – Muslim
maupun Kristen – tampil membela Syumayyil.
Debat historis ini dibukukan
oleh Adel A. Ziadat dalam Western Science in The Arab World: The Impact of Darwinism,
1860-1930 (Ilmu Pengetahuan Barat di Dunia Arab: Dampak Darwinisme, 1860-1930),
diterbitkan tahun 1986. Kesimpulan Ziadat, bahwa agama para penulis dalam debat
itu tak terlalu penting. Debat itu terutama mempolarisasikan pemikir “religius”
dengan “sekularis” secara hitam-putih. Dalam rangka itu, Thaha H., misalnya,
sering dituduh keluar dari Islam. Untuk selanjutnya, perdebatan di sekitar
teori Darwin dan Darwinisme kerap muncul di banyak negara Muslim hingga
beberapa dasawarsa terakhir.
Kebanyakan pemikir
Muslim tidak mengambil sikap “religius” atau “sekularis” seekstrem itu. Yang
tampak tetap dominan di dunia Arab adalah gagasan bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi Barat harus dikuasai, dan bahwa itu tak bertentangan dengan ajaran
Islam. Ini tampak hingga pada beberapa tokoh ulama kontemporer seperti Sayyid
Qutb dan Yusuf al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog Ikhwanul Muslimin, menekankan
perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi tak berarti pembaratan,
dan terbatas pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern dan penerapan
teknologinya, maka Islam tak menolaknya.
Pandangan Qardhawi ini cukup
mewakili pandangan mayoritas Muslim. Secara umum, dunia Islam relatif terbuka
untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat
praktisnya. Pandangan instrumentalis ini kelak terbukti tetap bertahan, hingga
kini, di kalangan masyarakat Muslim. Tetapi di kalangan pemikir yang
mempelajari sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tak
cukup memuaskan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar