Sabtu, 03 Maret 2012

Permasalahan Agama dan Nasionalisme


Masalah kebudayaan nasional tidak menjadi kendala bagi Jepang, sehingga dia berhasil memodernisasi negerinya secara cepat, disamping adanya komitmen yang kuat terhadap kepercayaan yang diyakininya kalau pendidikan merupakan kunci bagi kemajuan suatu bangsa. Jepang tidak menghadapi ketegangan yang berarti antara agama dengan nasionalisme. Tidak mengherankan bila dalam upaya menanamkan semangat nasionalisme, guru menyuruh murid-muridnya mengunjungi tempat-tempat ibadah agama Shinto.
Gejala perkawinan agama dan nasionalisme seperti itu tidak dijumpai di Indonesia, dimana guru sejarah mengajak murid-muridnya mengunjungi masjid atau tempat ibadah lainnya dalam rangka menanamkan semangat nasionalisme. Yang terjadi bahkan sebaliknya, pemerintah berusaha memperlemah posisi kelompok-kelompok umat beragama vis-à-vis pemerintah (Rochmat, 2005a: 136). Hal ini jelas merugikan bangsa secara keseluruhan, karena posisi kelompok-kelompok umat beragama yang lemah menjadikan mereka tidak berdaya menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Tidak heran bila praktek KKN mewabah di kalangan birokrasi pemerintah kita, suatu yang tidak dijumpai di Jepang (Rochmat, 2004: 8).
Praktek KKN di negara kita, negeri Muslim terbesar di dunia, jelas memberi citra negatif Islam pada dunia. Penyakit KKN ini disinyalir terjadi karena kita sedang mengalami split identity (kepribadian terbelah) karena agama dan nasionalisme belum dapat melangsungkan perkawinan seperti yang terjadi di Jepang. Agama jalan sendiri dan nasionalisme juga jalan sendiri, bahkan keduanya saling mencurigai dan kadang terjadi konflik yang tidak perlu.
Berdasarkan kenyataan di atas, kebudayaan nasional merupakan faktor kunci bagi pembangunan suatu bangsa. Kebudayaan nasional merupakan identitas bangsa yang harus kita gali dari khasanah budaya bangsa. Yang menjadi masalah, Indonesia sebagai suatu bangsa (nation state) adalah suatu yang baru, secara legal baru diproklamasikan 17 Agustus 1945. Bangsa bukan hanya merupakan material identity, tetapi juga harus termanifestasi dalam bentuk kebudayaan dan kita belum memiliki wujud kongkrit dari kebudayaan nasional itu. Padahal, budaya inilah yang merupakan elan vital suatu masyarakat, sehingga menjadi penentu bagi kesuksesan suatu bangsa.
Memang tidak mudah merumuskan budaya nasional ini, karena harus melalui proses panjang mewujudkan solidaritas sosial; baru dapat dirumuskan suatu budaya nasional sebagai suatu bentuk dari kesadaran bersama (conscience collective). Kesadaran bersama inilah yang merupakan moralitas suatu bangsa, yang akan menjadi pedoman bagi semua komponen bangsa dalam berinteraksi satu dengan lainnya. Bila hal ini sudah berhasil dirumuskan akan memungkinkan semua komponen bangsa berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan (Bellah, 1973: ix).
Sebenarnya soal kebudayaan nasional ini tidak menjadi masalah karena kita sudah punya pedoman normatif berupa ideologi bangsa Pancasila dan UUD 1945. Memang dari pedoman normatif ini perlu disusun rumusan operasionalnya berdasarkan pendekatan induktif, melalui observasi terhadap kondisi sosologis, historis, maupun warisan budaya yang ada.
Titik awal bagi bergulirnya proses pembentukan budaya nasional ini adalah komitmen semua komponen bangsa untuk mengamalkan perjanjian luhur yang termuat dalam dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Semua komponen bangsa harus terlibatkan dan atau dilibatkan secara aktif dalam penafsiran Pancasila ini. Pada kenyataannya, rezim Soekarno dan Soeharto telah memonopoli penafsiran ideologi Pancasila bagi kelanggengan kekuasaannya. Dengan demikian, pendidikan sejarah telah dikooptasi oleh pemerintah agar mendukung legitimasi kekuasaannya.
Pemerintah Order Baru, misalnya, akan menuduh siapa saja yang berani mengkritisi pemerintahannya dengan sebutan yang tidak membangkitkan buku kuduk sebagai ekstrim kanan bagi mereka dari kalangan kelompok agama maupun ekstrim kiri bagi mereka yang mendasarkan diri pada ideologi sosialisme dan komunisme. Memang nasionalisme, agama, sosialisme, maupun komunisme berangkat dari dasar pijakan yang berbeda, kalau bukan saling bertolak belakang, tetapi hal tersebut jangan sampai menuduh kelompok lain sedang melakukan makar terhadap Pancasila bila mereka tidak nyata-nyata menginjak-injak hukum positif negara melalui tindakan kekerasaan. Dan bila inipun terjadi maka hendaknya diperlakukan sebagai tindakan oknum, tidak bisa dinisbatkan kepada semua anggota organisasi itu, apalagi kepada isme-isme yang ada.
Perbedaan titik tolak semua isme tersebut jangan sampai menciutkan hati untuk mengembangkan rasa saling percaya antar sesama komponen bangsa. Atas dasar keyakinan ini dikembangkan dialog yang sebenarnya. Dialog tidak dijadikan sarana untuk meyakinkan keberanaran pendirian kelompoknya, yang tentunya didukung berbagai klaim superioritas kelompoknya tersebut. Dialog hendaknya berangkat dari pengakuan yang setara atas eksistensi kelompok lain, lalu ada kesediaan take and give (memberi dan menerima) sebagai syarat bagi tersusunnya program bersama yang operasional. Dengan demikian, kebenaran tidak didasarkan pada klaim kebenaran masing-masing kelompok yang masih bersifat normatif itu, apalagi bila subyektif sifatnya. Kebenaran hendaknya dirumuskan bersama oleh semua komponen bangsa dalam bentuk tindakan bersama yang bermanfaat bagi kemanusiaan (Rochmat, 2005a: 65).
Adapun arah bagi proses dialog itu adalah merealisasikan nilai-nilai universal, yang akan menjadi landasan bagi fondasi kebudayaan nasional yang baru. Sebenarnya nilai-nilai universal ini sudah disebutkan dalam sila-sila Pancasila, namun Pancasila memiliki keterbatasan, karena sifatnya sebagai suatu kontrak sosial, sehingga perlu bantuan dari agama maupun budaya lokal dalam mengela-borasikannya secara operasional di masyarakat. Memang agama dan budaya dimaksudkan sebagi sumber nilai! Sedangkan Pancasila sebagai kontrak sosial lebih merupakan suatu kompromi, yang tentunya akan dimaknai sesuai dengan keyakinan masing-masing berdasarkan agama atau budaya yang dianutnya.
Bila kita bicara masalah nasionalisme dan agama maka sebenarnya kita membicarakan dua komponen dasar yang membentuk pendidikan identitas itu, yaitu pendidikan sejarah/PPKn/PSPB di satu pihak dan pendidikan agama pada pihak lain. Selama ini kedua pihak berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menunjukkan pendidikan kita mengikuti paham sekulerisme, yaitu memisahkan pendidikan “keduniawian” dengan pendidikan agama. Padahal agama tidak mengenal pemisahan tegas semacam itu, karena hal yang bersifat keduniawiaan akan bermakna ibadah (kegiatan agama) bila memang kita niatkan sebagai wujud pengabdian kepada Tuhan atau wujud pelaksanaan amanah Tuhan sebagai khalifah fil ardhi (penguasa di bumi).
Selama ini pendidikan identitas, yaitu pendidikan yang berusaha menanamkan semangat nasionalisme, hanya diemban oleh pendidikan sejarah/PPKn/PSPB. Hal ini jelas berbeda dengan pengalaman Jepang yang dicontohkan di atas, dimana pendidikan sejarah dan pendidikan agama saling bersinergi, bila tidak disatukan. Yang terjadi di Indonesia, pemerintah mengklaim dirinya sebagai vanguard nasionalisme yang sebenarnya karena sebagai pembela NKRI yang didasarkan pada ideologi nasional Pancasila. Secara tidak langsung, pemerintah memaknai Pancasila dengan nasionalisme. Ini jelas suatu wujud sekulerisme. Bukankah sila pertama Pancasila, Ketuhanan YME, mengamanatkan Ketuhanan itu menjiwai sila-sila yang lain!
Dalam sejarahnya, Pancasila, terutama aspek nasionalismenya, sering salah paham dengan agama, karena keduanya memiliki sejarah yang berbeda-beda dan keduanya telah berselingkuh dengan politik, yaitu berusaha menguasai suatu daerah tertentu sebagai lahan untuk mengimplementasikan sistem politik yang diyakininya. Sebagai suatu konsep, keduanya bisa diimplementasikan secara berbeda dalam sistem politik yang sama maupun berbeda, sesuai dengan situasi dan kondisi khas suatu daerah. Oleh karena itu keduanya tidak layak mengklaim dirinya secara eksklusif. Apalagi bagi agama yang memiliki kebenaran universal, sangat tidak layak bila mencari kekuatan politik tertentu untuk mendukung kebenarannya. Kepentingan politik justru akan membiaskan kebenaran agama yang universal itu (Rochmat, 2005b: 67).
Seharusnya nasionalisme tidak menentang agama, karena sudah diamanatkan Pancasila bahwa sila pertama menjiwai sila-sila yang lain. Dengan demikian, Pancasila sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang mengakui eksistensi Tuhan, sehingga semua aktivitas manusia harus mengarah kepada-Nya. Sebaliknya, agama hendaknya melepaskan klaim politik yang tidak layak itu agar dapat membimbing nasionalisme menuju kebenaran yang universal. Bila agama dapat memerankan misi mulia ini dampaknya sangat besar: (1) nasionalisme terhindar dari sekulerisme, (2) nasionalisme terhindar dari chauvinism, (3) dan kita terhindar dari split identity.
Agar pendidikan agama bisa mengemban misi pendidikan identitas, pendidikan agama harus meninggalkan paradigma lama yang menekankan pendekatan doktriner normatif. Memang pendekatan ini tidak bisa ditinggalkan sama sekali, tetapi doktrin-doktrin yang normatif itu mungkin hanya meliputi 10% dan 90%-nya berupa deskripsi analitis kritis praktek pengamalan beragama dalam kehidupan masyarakat (Abdullah, 2001: 7). Hal ini menuntut penggunaan pendekatan induktif dalam pendidikan agama, yang akan menjelaskan penerapan suatu doktrin agama dalam praktek kehidupan keagamaan di suatu daerah, dengan mengingat situasi, kondisi, dan sejarah  daerah tersebut sebagai tempat kontekstualisasi ajaran agama. Lalu praktek kehidupan beragama itu dibandingkan atau dievaluasi berdasarkan suatu doktrin tertentu, dan keterkaitannya dengan doktrin-doktrin yang lain, sehingga pengamalan agama tidak bersifat monoton dan kita akan mendapatkan berbagai alternatif dalam pengamalan agama itu, disamping kita akan mendapatkan penilaian yang obyektif dengan mengetahui kelebihan dan kelemahan dari suatu pengamalan agama itu.
Inti pendidikan agama adalah pembelajaran tauhid (sila ke-1 Pancasila), yaitu menumbuhkan kesadaran dan komitmen ketuhanan melalui pengkayaan pengalaman ketuhanan dan pengalaman mengalahkan tradisi setan atau kekafiran, bukan isolasi siswa dari segala persoalan kekafiran dan tradisi setan. Hal ini menuntut pendidikan agama yang tidak doktriner, tetapi agama sebagaimana diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai peperangan abadi antara kekuatan Tuhan dengan kekuatan setan (Mulkhan, 2001: 20).
Pendidikan agama juga jangan terjebak oleh pola pengajaran konvensional, dimana hubungan antar agama ditandai oleh antagonisme polemik dan upaya menundukkan dan mengajak pihak lain ke agama kita. Hendaknya pendidikan agama menekankan dialog dan dijelaskan sebagai upaya membangun saling pengertian antara umat beragama maupun sesama umat beragam yang berbeda alirannya. Pola pendekatan konservatif yang antagonis tidak dapat mendorong timbulnya conscience collective (kesadaran bersama) karena agama telah terseret ke arah kepentingan politik tertentu (Zada, 2001: 3). Agar bisa keluar dari jebakan itu maka agama harus dibebaskan dari kepentingan politik, disamping umat beragama dituntut dapat merumuskan musuh bersama agama di era modern sekarang ini, lalu mereka baru bisa merumuskan program bersama, sebagai perekat conscience collective itu. Hemat saya, musuh bersama agama di era modern ini adalah sekulerisme (Rochmat, 2005c: 67).
Dengan demikian, pendidikan identitas yang berpretensi dengan pewarisan dan sosialisasi semangat nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari pendidikan agama atau budaya sebagai pemberi makna dari nasionalisme itu. Pendidikan sejarah/PPKn/PSPB harus dikaitkan dengan nilai-nilai agama; dan sebaliknya pendidikan agama harus tidak melulu doktriner tetapi pengamalan agama yang aplikatif di masyarakat, termasuk juga ditampilkan sebagai wujud penanaman semangat nasionalisme. Perkawinan antara pendidikan nasionalisme dengan pendidikan agama akan memfasilitasi lahirnya budaya nasional, sebagai elan vital bagi usaha-usaha modernisasi.
Secara kuantitatif, modernisasi Indonesia sudah cukup berhasil. Bukankah kita memiliki jumlah lulusan sarjana, master, dan doktor yang cukup banyak! Hanya saja mereka belum diberdayakan secara optimal bagi kemajuan bangsa, sehingga mereka dimanfaatkan oleh negara lain yang membutuhkan keahliannya. Namun bila dibandingkan dengan negara lain, modernisasi Indonesia berjalan lambat karena kita belum berhasil merumuskan kebudayaan nasional. Padahal kebudayaan nasional merupakan fondasi bagi berlangsungnya modernisasi. Berikut penilaian kritis Tony Barnet (1995: vii) terhadap modernisasi di dunia ketiga:
The main problems in the Third World are not, by and large, the absence of technical specialists –countries such as India and Pakistan have these aplenty; … The main problems are sociological and political problems, the contexts within which apparently “technical” decision are taken [garis tebal adalah penekanan penulis].

Tidak ada komentar: