Masalah kebudayaan nasional tidak menjadi kendala bagi
Jepang, sehingga dia berhasil memodernisasi negerinya secara cepat, disamping
adanya komitmen yang kuat terhadap kepercayaan yang diyakininya kalau
pendidikan merupakan kunci bagi kemajuan suatu bangsa. Jepang tidak menghadapi
ketegangan yang berarti antara agama dengan nasionalisme. Tidak mengherankan
bila dalam upaya menanamkan semangat nasionalisme, guru menyuruh murid-muridnya
mengunjungi tempat-tempat ibadah agama Shinto.
Gejala perkawinan agama dan nasionalisme seperti itu
tidak dijumpai di Indonesia ,
dimana guru sejarah mengajak murid-muridnya mengunjungi masjid atau tempat
ibadah lainnya dalam rangka menanamkan semangat nasionalisme. Yang terjadi
bahkan sebaliknya, pemerintah berusaha memperlemah posisi kelompok-kelompok
umat beragama vis-à-vis pemerintah (Rochmat, 2005a: 136). Hal ini jelas
merugikan bangsa secara keseluruhan, karena posisi kelompok-kelompok umat
beragama yang lemah menjadikan mereka tidak berdaya menjalankan fungsi kontrol
terhadap jalannya pemerintahan. Tidak heran bila praktek KKN mewabah di
kalangan birokrasi pemerintah kita, suatu yang tidak dijumpai di Jepang
(Rochmat, 2004: 8).
Praktek KKN di negara kita, negeri Muslim terbesar di
dunia, jelas memberi citra negatif Islam pada dunia. Penyakit KKN ini
disinyalir terjadi karena kita sedang mengalami split identity
(kepribadian terbelah) karena agama dan nasionalisme belum dapat melangsungkan
perkawinan seperti yang terjadi di Jepang. Agama jalan sendiri dan nasionalisme
juga jalan sendiri, bahkan keduanya saling mencurigai dan kadang terjadi
konflik yang tidak perlu.
Berdasarkan kenyataan di atas, kebudayaan nasional
merupakan faktor kunci bagi pembangunan suatu bangsa. Kebudayaan nasional
merupakan identitas bangsa yang harus kita gali dari khasanah budaya bangsa.
Yang menjadi masalah, Indonesia
sebagai suatu bangsa (nation state) adalah suatu yang baru, secara legal
baru diproklamasikan 17 Agustus 1945. Bangsa bukan hanya merupakan material identity, tetapi juga harus
termanifestasi dalam bentuk kebudayaan dan kita belum memiliki wujud kongkrit
dari kebudayaan nasional itu. Padahal, budaya inilah yang merupakan elan vital suatu masyarakat, sehingga
menjadi penentu bagi kesuksesan suatu bangsa.
Memang tidak mudah merumuskan budaya nasional ini,
karena harus melalui proses panjang mewujudkan solidaritas sosial; baru dapat
dirumuskan suatu budaya nasional sebagai suatu bentuk dari kesadaran bersama (conscience collective). Kesadaran
bersama inilah yang merupakan moralitas suatu bangsa, yang akan menjadi pedoman
bagi semua komponen bangsa dalam berinteraksi satu dengan lainnya. Bila hal ini
sudah berhasil dirumuskan akan memungkinkan semua komponen bangsa
berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan (Bellah, 1973: ix).
Sebenarnya soal kebudayaan nasional ini tidak menjadi
masalah karena kita sudah punya pedoman normatif berupa ideologi bangsa
Pancasila dan UUD 1945. Memang dari pedoman normatif ini perlu disusun rumusan
operasionalnya berdasarkan pendekatan induktif, melalui observasi terhadap
kondisi sosologis, historis, maupun warisan budaya yang ada.
Titik awal bagi bergulirnya proses pembentukan budaya
nasional ini adalah komitmen semua komponen bangsa untuk mengamalkan perjanjian
luhur yang termuat dalam dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Semua komponen
bangsa harus terlibatkan dan atau dilibatkan secara aktif dalam penafsiran
Pancasila ini. Pada kenyataannya, rezim Soekarno dan Soeharto telah memonopoli
penafsiran ideologi Pancasila bagi kelanggengan kekuasaannya. Dengan demikian,
pendidikan sejarah telah dikooptasi oleh pemerintah agar mendukung legitimasi
kekuasaannya.
Pemerintah Order Baru, misalnya, akan menuduh siapa saja
yang berani mengkritisi pemerintahannya dengan sebutan yang tidak membangkitkan
buku kuduk sebagai ekstrim kanan bagi mereka dari kalangan kelompok agama
maupun ekstrim kiri bagi mereka yang mendasarkan diri pada ideologi sosialisme
dan komunisme. Memang nasionalisme, agama, sosialisme, maupun komunisme
berangkat dari dasar pijakan yang berbeda, kalau bukan saling bertolak
belakang, tetapi hal tersebut jangan sampai menuduh kelompok lain sedang
melakukan makar terhadap Pancasila bila mereka tidak nyata-nyata
menginjak-injak hukum positif negara melalui tindakan kekerasaan. Dan bila
inipun terjadi maka hendaknya diperlakukan sebagai tindakan oknum, tidak bisa
dinisbatkan kepada semua anggota organisasi itu, apalagi kepada isme-isme yang
ada.
Perbedaan titik tolak semua isme tersebut jangan sampai
menciutkan hati untuk mengembangkan rasa saling percaya antar sesama komponen
bangsa. Atas dasar keyakinan ini dikembangkan dialog yang sebenarnya. Dialog
tidak dijadikan sarana untuk meyakinkan keberanaran pendirian kelompoknya, yang
tentunya didukung berbagai klaim superioritas kelompoknya tersebut. Dialog
hendaknya berangkat dari pengakuan yang setara atas eksistensi kelompok lain,
lalu ada kesediaan take and give (memberi
dan menerima) sebagai syarat bagi tersusunnya program bersama yang operasional.
Dengan demikian, kebenaran tidak didasarkan pada klaim kebenaran masing-masing
kelompok yang masih bersifat normatif itu, apalagi bila subyektif sifatnya. Kebenaran
hendaknya dirumuskan bersama oleh semua komponen bangsa dalam bentuk tindakan
bersama yang bermanfaat bagi kemanusiaan (Rochmat, 2005a: 65).
Adapun arah bagi proses dialog itu adalah merealisasikan
nilai-nilai universal, yang akan menjadi landasan bagi fondasi kebudayaan nasional
yang baru. Sebenarnya nilai-nilai universal ini sudah disebutkan dalam
sila-sila Pancasila, namun Pancasila memiliki keterbatasan, karena sifatnya
sebagai suatu kontrak sosial, sehingga perlu bantuan dari agama maupun budaya
lokal dalam mengela-borasikannya secara operasional di masyarakat. Memang agama
dan budaya dimaksudkan sebagi sumber nilai! Sedangkan Pancasila sebagai kontrak
sosial lebih merupakan suatu kompromi, yang tentunya akan dimaknai sesuai
dengan keyakinan masing-masing berdasarkan agama atau budaya yang dianutnya.
Bila kita bicara masalah nasionalisme dan agama maka
sebenarnya kita membicarakan dua komponen dasar yang membentuk pendidikan
identitas itu, yaitu pendidikan sejarah/PPKn/PSPB di satu pihak dan pendidikan
agama pada pihak lain. Selama ini kedua pihak berjalan sendiri-sendiri. Hal ini
menunjukkan pendidikan kita mengikuti paham sekulerisme, yaitu memisahkan
pendidikan “keduniawian” dengan pendidikan agama. Padahal agama tidak mengenal
pemisahan tegas semacam itu, karena hal yang bersifat keduniawiaan akan
bermakna ibadah (kegiatan agama) bila memang kita niatkan sebagai wujud
pengabdian kepada Tuhan atau wujud pelaksanaan amanah Tuhan sebagai khalifah fil ardhi (penguasa di bumi).
Selama ini pendidikan identitas, yaitu pendidikan yang
berusaha menanamkan semangat nasionalisme, hanya diemban oleh pendidikan
sejarah/PPKn/PSPB. Hal ini jelas berbeda dengan pengalaman Jepang yang
dicontohkan di atas, dimana pendidikan sejarah dan pendidikan agama saling
bersinergi, bila tidak disatukan. Yang terjadi di Indonesia , pemerintah mengklaim
dirinya sebagai vanguard nasionalisme
yang sebenarnya karena sebagai pembela NKRI
yang didasarkan pada ideologi nasional Pancasila. Secara tidak langsung,
pemerintah memaknai Pancasila dengan nasionalisme. Ini jelas suatu wujud
sekulerisme. Bukankah sila pertama Pancasila, Ketuhanan YME, mengamanatkan
Ketuhanan itu menjiwai sila-sila yang lain!
Dalam sejarahnya, Pancasila, terutama aspek
nasionalismenya, sering salah paham dengan agama, karena keduanya memiliki
sejarah yang berbeda-beda dan keduanya telah berselingkuh dengan politik, yaitu
berusaha menguasai suatu daerah tertentu sebagai lahan untuk
mengimplementasikan sistem politik yang diyakininya. Sebagai suatu konsep,
keduanya bisa diimplementasikan secara berbeda dalam sistem politik yang sama
maupun berbeda, sesuai dengan situasi dan kondisi khas suatu daerah. Oleh karena
itu keduanya tidak layak mengklaim dirinya secara eksklusif. Apalagi bagi agama
yang memiliki kebenaran universal, sangat tidak layak bila mencari kekuatan
politik tertentu untuk mendukung kebenarannya. Kepentingan politik justru akan
membiaskan kebenaran agama yang universal itu (Rochmat, 2005b: 67).
Seharusnya nasionalisme tidak menentang agama, karena
sudah diamanatkan Pancasila bahwa sila pertama menjiwai sila-sila yang lain.
Dengan demikian, Pancasila sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang mengakui eksistensi
Tuhan, sehingga semua aktivitas manusia harus mengarah kepada-Nya. Sebaliknya,
agama hendaknya melepaskan klaim politik yang tidak layak itu agar dapat
membimbing nasionalisme menuju kebenaran yang universal. Bila agama dapat
memerankan misi mulia ini dampaknya sangat besar: (1) nasionalisme terhindar
dari sekulerisme, (2) nasionalisme terhindar dari chauvinism, (3) dan
kita terhindar dari split identity.
Agar pendidikan agama bisa mengemban misi pendidikan
identitas, pendidikan agama harus meninggalkan paradigma lama yang menekankan
pendekatan doktriner normatif. Memang pendekatan ini tidak bisa ditinggalkan
sama sekali, tetapi doktrin-doktrin yang normatif itu mungkin hanya meliputi
10% dan 90%-nya berupa deskripsi analitis kritis praktek pengamalan beragama
dalam kehidupan masyarakat (Abdullah, 2001: 7). Hal ini menuntut penggunaan
pendekatan induktif dalam pendidikan agama, yang akan menjelaskan penerapan
suatu doktrin agama dalam praktek kehidupan keagamaan di suatu daerah, dengan
mengingat situasi, kondisi, dan sejarah
daerah tersebut sebagai tempat kontekstualisasi ajaran agama. Lalu
praktek kehidupan beragama itu dibandingkan atau dievaluasi berdasarkan suatu
doktrin tertentu, dan keterkaitannya dengan doktrin-doktrin yang lain, sehingga
pengamalan agama tidak bersifat monoton dan kita akan mendapatkan berbagai
alternatif dalam pengamalan agama itu, disamping kita akan mendapatkan
penilaian yang obyektif dengan mengetahui kelebihan dan kelemahan dari suatu
pengamalan agama itu.
Inti pendidikan agama adalah pembelajaran tauhid (sila
ke-1 Pancasila), yaitu menumbuhkan kesadaran dan komitmen ketuhanan melalui
pengkayaan pengalaman ketuhanan dan pengalaman mengalahkan tradisi setan atau
kekafiran, bukan isolasi siswa dari segala persoalan kekafiran dan tradisi
setan. Hal ini menuntut pendidikan agama yang tidak doktriner, tetapi agama
sebagaimana diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai peperangan abadi
antara kekuatan Tuhan dengan kekuatan setan (Mulkhan, 2001: 20).
Pendidikan agama juga jangan terjebak oleh pola
pengajaran konvensional, dimana hubungan antar agama ditandai oleh antagonisme
polemik dan upaya menundukkan dan mengajak pihak lain ke agama kita. Hendaknya
pendidikan agama menekankan dialog dan dijelaskan sebagai upaya membangun saling
pengertian antara umat beragama maupun sesama umat beragam yang berbeda
alirannya. Pola pendekatan konservatif yang antagonis tidak dapat mendorong
timbulnya conscience collective (kesadaran
bersama) karena agama telah terseret ke arah kepentingan politik tertentu
(Zada, 2001: 3). Agar bisa keluar dari jebakan itu maka agama harus dibebaskan
dari kepentingan politik, disamping umat beragama dituntut dapat merumuskan
musuh bersama agama di era modern sekarang ini, lalu mereka baru bisa
merumuskan program bersama, sebagai perekat conscience
collective itu. Hemat saya, musuh bersama agama di era modern ini adalah
sekulerisme (Rochmat, 2005c: 67).
Dengan demikian, pendidikan identitas yang berpretensi
dengan pewarisan dan sosialisasi semangat nasionalisme tidak bisa dilepaskan
dari pendidikan agama atau budaya sebagai pemberi makna dari nasionalisme itu.
Pendidikan sejarah/PPKn/PSPB harus dikaitkan dengan nilai-nilai agama; dan
sebaliknya pendidikan agama harus tidak melulu doktriner tetapi pengamalan
agama yang aplikatif di masyarakat, termasuk juga ditampilkan sebagai wujud
penanaman semangat nasionalisme. Perkawinan antara pendidikan nasionalisme
dengan pendidikan agama akan memfasilitasi lahirnya budaya nasional, sebagai elan vital bagi usaha-usaha modernisasi.
Secara kuantitatif, modernisasi Indonesia sudah
cukup berhasil. Bukankah kita memiliki jumlah lulusan sarjana, master, dan
doktor yang cukup banyak! Hanya saja mereka belum diberdayakan secara optimal
bagi kemajuan bangsa, sehingga mereka dimanfaatkan oleh negara lain yang
membutuhkan keahliannya. Namun bila dibandingkan dengan negara lain,
modernisasi Indonesia
berjalan lambat karena kita belum berhasil merumuskan kebudayaan nasional.
Padahal kebudayaan nasional merupakan fondasi bagi berlangsungnya modernisasi.
Berikut penilaian kritis Tony Barnet (1995: vii) terhadap modernisasi di dunia
ketiga:
The
main problems in the Third World are not, by
and large, the absence of technical specialists –countries such as India and Pakistan have
these aplenty; … The main problems are sociological and political problems,
the contexts within which apparently “technical” decision are taken [garis
tebal adalah penekanan penulis].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar