Seperti liberalisme
klasik, neo-liberalisme menolak nilai-nilai moral dan agama yang diangkapkan
dalam slogan Hak Asasi Manusia. Masyarakat tidaklah penting, sebab yang asasi
adalah kebebasan individu. Pendek kata sebagai doktrin ekonomi, neo-liberalisme
menghendaki perluasan perdagangan bebas tanpa kontrol dan regulasi. Idea
utamanya ialah persaingan bebas antara pemilik modal yang satu dengan yang
lain. Tujuannya menciptakan keuntungan sebesar-besarnya bagi penguasa pasar,
yaitu pemilik modal besar. Seperti dikatakan Marcos, pemimpin gerakan Zapatista
di Meksiko, “Kaum neo-liberalis ingin menciptakan seluruh dunia menjadi Mall
raksasa sehingga dengan mudah dapat
membeli penduduk pribumi, wanita dan anak-anak mereka dengan harga murah
sebagai tenaga kerja, berikut tanah milik dan sumber kekayaan alam mereka.”
Sebagai paham
ekonomi jelas neo-liberalisme bukan suatu yang baru. Kebaruannya disebabkan penyebarannya yang
begitu luas ke seluruh dunia,. Walau kata-kata tersebut jarang terdengar di AS,
kata Elizabeth Martinez dan Arnoldo
Garcia (2005), dampak buruknya pada akhirnya dirasakan di negeri asalnya
sendiri. Di sana yang kaya (20%) bertambah kaya, dan yang miskin (80%)
bertambah-tambah miskinnya. Di seluruh dunia kebijakan neo-liberalis dipaksakan melalui tangan lembaga-lembaga
keuangan dan perdagangan dunia seperti IMF, ADB, WTO, IGGI (untuk Indonesia),
Bank Dunia, dan lain-lain. Yang memicu lahirnya kembali liberalisme konomi ini
ialah krisis kapitalis sepanjang 25 tahun terakhir, berupa anjlognya keuntungan
yang mereka peroleh sejak awal dekade 1970an yang menyebabkan meningkatnya
jumlah pengagguran.
Istilah
neo-liberalisme untuk pertama kali memang muncul di Amerika Latin, anak benua
yang paling awal merasakan dampak buruknya. Sejak itu kaum intelektual negeri
itu berkeyakinan bahwa kendati neo-liberalisme merupakan fenomena negara Barat
kapitalis, namun yang paling menderita disebabkan dampaknya ialah negara-negara
berkembang. Secara garis besar pendirian neo-liberalisme dapat digambarkan sebagai
berikut:
Pertama, ia
merupakan paham yang menekankan pada kekuasaan pasar. Menurut paham ini adanya
pasar bebas tanpa pengawasan dan regulasi yang ketat akan memungkinkan pesatnya
pertumbuhan ekonomi. Reagan menyebutnya sebagai kebijakan ekonomi suply side,
yaitu suatu kebijakan yang dapat mengucurkan kemakmuran secara cepat dan meluas
dari atas ke bawah. Dalam perkembangannya terbukti bahwa kemakmuran menumpuk di
atas, sedangkan milik yang di bawah semakin terkuras. Kesenjangan kaya dan
miskin semakin menjadi-jadi. Jika terjadi krisis ekonomi, maka yang menanggung
beban ialah mayoritas penduduk yang miskin,
Kedua, untuk
meminimalkan peranan negara dilakukan pemotongan besar-besaran anggaran negara
untuk sektor-sektor seperti pelayanan
sosial termasuk kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan juga kebudayaan dan
keagamaan. Suplai dan subsidi bahan bakar dan air juga dikurangi, sehingga
beban masyarakat bertambah berat. Biaya pendidikan dan kesehatan bertambah
mahal.
Ketiga, deregulasi.
Perusahan-perusahaan besar wajib mengenyampingkan regulasi dari pemerintah
apabila keuntungan yang mereka peroleh berkurang. Dalam kaitan ini pasar mempunyai kekuasaan
untuk mengatur opini dan pemikiran masyarakat, yaitu melalui media yang mereka
miliki atau kuasai. Termasuk selera seni atau budaya. Pasar juga berusaha
melakukan hegemoni penafsiran terhadap konstitusi, wacana keagamaan, politik,
dan falsafah. Misalnya melalui LSM dan lembaga pendidikan yang mereka danai.
Keempat,
privatisasi. Dengan privatisasi perusahaan negara terbuka peluang bagi investor
asing untuk menguasai dunia perbankan , sarana transportasi, media informasi
dan komunikasi, bahkan media cetak, elektronik, dan penerbitan buku, sekolah,
lembaga penelitian sosial dan keilmuan, lembaga keagamaan, dan lain sebagainya.
Tidak mengherankan di banyak negeri berkembang seperti Indonesia, Filipina,
Thailand, dan lain-lain neo-liberalisme sanggup menjadikan negara sebagai
benar-benar sebuah pasar bebas.
Kelima, tak
kalah penting ialah apa yang disebut penciutan komunitas-komunitas besar dalam
masyarakat menjadi komunitas-komunitas kecil yang terpecah belah serta sukar
terintegrasikan. Neo-liberalisme lihai menciptakan komunitas-komunitas kecil di
bidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi, keuangan, politik, bahkan dalam bidang
keagamaan, seni, dan lain sebagainya. Dengan demikian masyarakat kian terpecah
belah.
Pada peringkat
internasional, neo-liberalisme dapat
disebut sebagai paham yang memberi tekanan kepada: (1) Keleluasan perdagangan
barang komoditi dan jasa, termasuk film, hiburan, senjata, dan lain-lain
kendati komoditi-komoditi tersebut menimbulkan kerusakan moral. Biasanya ini
ditamengi dengan hiruk pikuknya wacana seperti kebebasan berekspresi,
pluralisme, multikulturalisme, relativisme nilai, dan lain sebagainya; (2)
Perputaran modal yang lebih bebas, dengan akibat hancurnya modal kecil dan
menengah dibawah kekuatan modal besar; (3) Kebebasan menanamkan investasi dalam
berbagai sektor kehidupan asal saja mendatangkan keuntungan berlipat ganda.
Termasuk di dalamnya sektor pendidikan, kesehatan, penerbitan buku, massmedia,
telekomunikasi, transportasi, dan lain sebagainya.
Dalam
bukunya La Mondialisation du capital (Penduniaan Modal) Dumeil dan Levy
mengatakan bahwa neoliberalisme telah merebut kekuasaan negara di dunia melalui
modal finansial. Tujuan kudeta itu ialah untuk merintangi negara-negara lain di
dunia menjalankan kebijakan ekonomi yang memihak rakyat. Karena itu ia juga menghalangi bangkitnya
kembali nasionalisme, yang di dalamnya kebudayaan nasional dimungkinkan tumbuh
dengan subur melalui kebijakan yang mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar