Selasa, 03 April 2012

Sejarah Neo-liberalisme



Istilah neo-liberalisme sebenarnya telah lama diperkenalkan di Indonesia, yaitu oleh Mohammad Hatta dalam bukunya Ekonomi Terpimpin (1959). Sebutan ini merujuk kepada pemikiran tiga filosof ekonomi terkemuka pasca-Perang Dunia II – Walter Euchen, Friedrich von Hayek, dan Wilhelm Ropke.  Mereka menuntut adanya peraturan yang menjamin lancarnya persaingan bebas dapalm kehidupan ekonomi seperti ketetapan nilai mata uang, adanya pasar terbuka di banyak negara, pemilikan swasta atas sarana produksi, kebebasan membuat perjanjian yang tepat mengenai tanggung jawab perusahaan dan politik perekonomian sesuai.           
            Secara umum paham ini lahir dari rahim aliran filsafat liberalisme atau paham serba bebas. Pencetusnya dua filosof Inggeris abad ke-17 M, Thomas Hobbes dan John Locke.  Aliran ini berkembang pasat pada abad ke-18 M. Menurut dua filosof ini dalam kodratnya manusia bukanlah mahluk altruistik atau cinta kepada masyarakat. Karena itu cenderung pula tidak kooperatif atau bekerja sama dengan sesama anggota masyarakat. Bawaan manusia sebagai hewan berakal (animal rationale)  adalah mengutamakan kepentingan pribadi.
Dalam bukunya Leviathan Thomas Hobbes mengatakan bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” (homo homini lopus). Semboyannya yang lain yang terkenal ialah “a war of all against all”. Untuk mengatasi situasi hukum rimba yang serba kejam itu harus ada negara yang dikuasai oleh satu orang secara mutlak, yaitu monarki absolute. Bentuk kekuasaan absolut ini dijumpai dalam pribadi Raja Louis IX yang terkenal dengan semboyannya “Le`etat est moi” (negara adalah saya).  
            Dengan jalan piikiran yang sama John Locke membawa liberalismenya ke tempat lain. Kebebasan, menurutnya, tak punya nilai instrinsik. Nilai ditambahkan manusia dalam kehidupan sosialnya. Ia menunjuk property sebagai sumber nilai yang membawa manusia mau hidup bermasyarakat. Hanya hal-hal yang bersifat kebendaan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun suatu masyarakat. Lebih jauh baginya kehidupan sosial tak lebih daripada gelanggang persaingan bebas antar individu. Sebaik-baiknya cara agar masyarakat maju dan berkembang ialah dengan membiarkan persaingan itu berlangsung tanpa campur tangan negara.
Berdasarkan pemkiran dua fiolosof abad ke-17 itu Adam Smith (1723-1790) mengembangkannya menjadi aliran pemikiran ekonomi. Menurutnya pusat kehidupan sosial yang ideal adalah pasar. Di sini liberalisme, dalam pengertian ekonomi, ia artikan sebagai  pemeliharaan kebebasan individu untuk berjual beli dan saling bersaing dengan bebas di pasar. Motivasi jual beli bukan kerjasama, melainkan kepentingan pribadi. Hasil akhir persaingan yang fair ialah keadilan, asal saja setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk bersaing (Mead 1972:14-6).
Dalam bukunya An Enquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) Adam Smith mengatakan bahwa sebagai mahluk ekonomi manusia cenderung memburu kenikmatan dan keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya. Jika tabiat bawaan manusia yang individualistik, egosentrik dan condong pada kebebasan ini dibiarkan berkembang tanpa campur tangan pemerintah/negara, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang memadai dari faktor-faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan,  dan dengan demikian inovasi dan kreativitas dapat  berkembang.
Bersumber dari pemikiran Adam Smith, pada akhir abad ke-18 bersamaan dengan berkobarnya Revolusi Perancis dan lahirnya Revolusi Industri di Inggeris,  lahir pula dua aliran pemikiran yang dominan.  Yaitu  individualisme di bidang hukum dan anthropologi filsafat, dan ide psar terbuka yang berkaitan dengan perkembangan industri.  Menurut paham inidividualisme, manusia yang lahir dengan bawaan bebas dan hidup bebas, tidak boleh dikekang kebebasannya. Paham ini sangat dominant pada abad ke-20 dalam kehidupan politik, ekoomi, dan seni.
Aliran kedua berkenaan dengan berpindahnya pusat usaha dari kaum merkantilis (pedagang) ke tangan kaum industrialis. Kaum industri yang menguasai modal ini pantang berkoalisi seperti partai-partai politik, dan hanya bisa membuat persekutuan modal dalam bentuk perseroan terbatas. Semakin lama persekutuan ini kian kuat dan mengancam kehidupan kaum pekerja yang dilarang berserikat. Dari perkembangan inilah lahir badan-badan monopoli atau oligopoly yang begitu berkuasa. Tetapi sebagai hasil dari perjuangan kaum sosialis, negara-negara industri di Eropa memperkenankan kaum buruh membentuk serikat pekerja untuk memperjuangkan nasibnya.
Pada awal abad ke-20 zaman keemasan individualisme ekonomi mulai pudar. Perag Dunia I (1914-1918) mendorong negara-negara kapitalis memberlakukan banyak auran yang mengekang sistem pasar bebas. Krisos ekonomi pada decade 1920an juga mendorong negara-negara Eropa untuk menyusun industrinya masing-masing dengan berbagai proteksi. Pada tahun 1929 krisis hebat melanda kapitalisme disusul dengan bayangan bangkitnya kembali Fascisme Jerman dan Italia. Berbagai regulasi diberlakukan agar ekonomi rakyat tidak ambrug. Pada masa inilah gagasan Ekonomi Terpimpin atau yang semacam itu mulai diterapkan di beberapa negara Eropa.
            Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, seorang ahli ekonomi terkenal Karl Polanyi menerbitkan buku yang kemudian masyhur The Great Transformation (1944). Dia mengecam keras masyarakat industri kaplitalis yang mendasarkan perkembangan ekonominya pada sistem pasar bebas. “Dengan mengakui mekanisme pasar sebagai satu-satunya penentu nasib manusia dan kondisi alam lingkungannya,” kata Polanyi, “kerusakan besar akan menimpa masyarakat.” (hal 73).  “Kerusakan itu tidak akan terjadi jika kepentingan masyarakat tidak diabaikan di atas kepentingan individu.”
            Pandangan Polanyi dan lain-lain berpengaruh besar di dunia, ditopang lagi dengan Perang Dingin antara Blok Barat yang kapitalis dengan Bolok Timur yang sosialis-komunis. Neo-liberalisme untuk sementara waktu harus bertiarap.
Memasuki dekade 1970an sistem sosialisme mulai memperlihatkan kegagalan dan negara-negara industri mulai mengalami krisis. Keyakinan akan keunggulan sistem pasar bebas mulai bertunas kembali. Pada tahun 1974 Robert Nozick, seorang filosof politik Amerika, menerbitkan buku Anarchy, State and Utopia yang kemudian masyhur dan dianggap sebagai tanda nyata lahirnya kembali liberalisme dalam bentuknya baru. Dalam bukunya itu Nozick mengatakan bahwa tugas negara bukanlah memaksakan sistem dan pola tertentu bagi kehidupan warna negara, termasuk kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaannya.
Menurutnya, gagasan tentang keadilan dan pemerataan bertentangan dengan kodrat manusia yang menginginkan kebebasan penuh. Negara karenanya tidak boleh melakukan intervensi atas apa yang berlalu di pasar. Biarkan pemodal dengan modalnya saling bersaing. Peranan negara dengan demikian harus ditekan seminimal mungkin dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Urusan negara yang terpenting adalah menentukan kebijakan luar negeri. Berdasar pemikiran Nozick, seorang ahli ekonomi terkenal dari Universitas Chicago Friedrich von Hayek dan para pengikutnya seperti Milton Friedman mengembangkan pemikiran yang dikenal dengan sebutan ekonomi pasar bebas atau neo-liberalisme
Pada akhir 1970an gagasan neo-liberalisme mulai tersebar luas dan diterima banyak sarjana dan pemimpin negara maju. Antara lain Ronald Reagan dan Margareth Tatcher. Tatcher sendiri adalah seorang pengikut von Hayek, yang meyakini kebenaran teori Darwin tentang survival of the fittest.  Begitu terpilih jadi PM Inggeris pada tahun 1979, ia mencanangkan doktrin neo-liberalismenya yang dikenal dengan sebutan TINA (There is No Alternative). Dalam doktrinnya itu dikemukakan keutamaan persaingan bebas dalam kehidupan manusia, termasuk persaingan antar bangsa, negeri, perusahaan besar, dan umat berbeda agama, serta persaingan antar individu dalam masyarakat (Susan George 1999).
Persaingan bagi Tatcher adalah kebajikan tertinggi. Akibat-akibat daripadanya tidak boleh dipandang buruk. Pasar adalah pusat kebijakan dan kebajikan tertinggi, menggantikan peranan Tuhan. Sebagaimana Tuhan pula ia dapat menelorkan kebaikan dari sesuatu yang tampaknya jahat dan buruk. Melalui kebijakannya itu sector public dihancurkan. Akibatnya antara tahun 1979-1995 jumlah pekerja di Inggris dikurangi dari 7 juta menjadi 5 juta. Sementara itu income yang diperoleh negara dari pajak bukannya digunakan untuk kepentingan public, melainkan untuk menutupi hutang perusahan-perusahaan besar dan memberikan suntikan modal baru agar bangkit kembali dari kebangkrutan.

Tidak ada komentar: