Jumat, 20 April 2012

Pendekatan Agama dalam Praktek Pekerjaan Sosial


Berbeda dengan modernisme yang bertumpu pada rasionalitas dengan sistem berfikir bi-logical, agama memiliki nilai spiritualitas yang berfungsi secara transenden; Hanya spiritualitas yang mampu memaafkan kejadian yang menyakitkan dan traumatis. Dalam konteks inilah seorang pekerja sosial melalui pendekatan agama akan mampu sensitive dan responsive terhadap kebutuhan spiritualitas klien sebagai mahluk yang Unik.[1]
Dalam hal intervensi kesehatan mental misalnya, peran spiritualitas sebagai bagian integral dari agama sangat memegang peranan penting untuk keberhasilan intervensi pada klien mengingat dalam spiritulitas sesungguhnya terkandung daya dimana klien dapat beradaptasi dalam menyelesaikan masalah.
Dalam konteks tradisional sendiri, berbagai program kemanusian dimana peran pekerja sosial inklut didalamnya telah banyak dilaksanakan oleh berbagai agama sebagai pembawa misi kemanusiaan. Namun landasan tersebut lebih bersifat karikatif dan belas kasih belaka sehingga yang terjadi kemudian adalah acap kali menimbulkan ketergantungan klien terhadap pekerja sosial. Dengan kata lain tidak menyentuh aspek substansial keberfungsian sosial sebagaimana yang di maksudkan oleh pendekatan modern.
Keberfungsian sosial menitik beratkan pada kemandirian klien dan menjauhkannya pada sifat-sifat ketergantungan. Maka itu, karikatif dan rasa belas kasih semata sangat tidak sejalan dengan ruh pekerjaan sosial sebab pada gilirannya hanya akan menimbulkan sifat ketergantungan dan bukan kemandirian. Hal ini dapat terlihat pada penyaluran zakat misalnya yang kemudian hanya disalurkan secara tradisional-konsumtif sehingga penerima tetap pada posisi sebagai penerima dan tidak berfikir bagaimana pada kesempatan berikutnya dapat menjadi pemberi.


[1] Andayani, Islam Dakwah dan Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Jurusan PMI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Bekerja sama dengan IISEP – CIDA, 2005), h. 143

Tidak ada komentar: