Berbeda dengan
modernisme yang bertumpu pada rasionalitas dengan sistem berfikir bi-logical,
agama memiliki nilai spiritualitas yang berfungsi secara transenden; Hanya
spiritualitas yang mampu memaafkan kejadian yang menyakitkan dan traumatis.
Dalam konteks inilah seorang pekerja sosial melalui pendekatan agama akan mampu
sensitive dan responsive terhadap kebutuhan spiritualitas klien sebagai mahluk yang
Unik.[1]
Dalam hal
intervensi kesehatan mental misalnya, peran spiritualitas sebagai bagian
integral dari agama sangat memegang peranan penting untuk keberhasilan
intervensi pada klien mengingat dalam spiritulitas sesungguhnya terkandung daya
dimana klien dapat beradaptasi dalam menyelesaikan masalah.
Dalam konteks
tradisional sendiri, berbagai program kemanusian dimana peran pekerja sosial
inklut didalamnya telah banyak dilaksanakan oleh berbagai agama sebagai pembawa
misi kemanusiaan. Namun landasan tersebut lebih bersifat karikatif dan belas
kasih belaka sehingga yang terjadi kemudian adalah acap kali menimbulkan
ketergantungan klien terhadap pekerja sosial. Dengan kata lain tidak menyentuh
aspek substansial keberfungsian sosial sebagaimana yang di maksudkan oleh
pendekatan modern.
Keberfungsian
sosial menitik beratkan pada kemandirian klien dan menjauhkannya pada
sifat-sifat ketergantungan. Maka itu, karikatif dan rasa belas kasih semata
sangat tidak sejalan dengan ruh pekerjaan sosial sebab pada gilirannya hanya
akan menimbulkan sifat ketergantungan dan bukan kemandirian. Hal ini dapat
terlihat pada penyaluran zakat misalnya yang kemudian hanya disalurkan secara
tradisional-konsumtif sehingga penerima tetap pada posisi sebagai penerima dan
tidak berfikir bagaimana pada kesempatan berikutnya dapat menjadi pemberi.
[1] Andayani, Islam Dakwah dan
Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta : Jurusan
PMI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Bekerja sama dengan IISEP – CIDA, 2005),
h. 143
Tidak ada komentar:
Posting Komentar