Dalam memberikan
pengantarnya terhadap buku Caputo “ Agama Cinta Agama Masa Depan”, Sugiharto[1]
berargumen bahwa Untuk menjadi sungguh-sungguh berarti kembali, maka agama
perlu melakukan kritik-diri secara structural, mengenali persoalan-persoalan
mendasar dunia modern, dan mampu menawarkan visi peradaban dan kemanusiaan yang
baru. Tanpa itu, ia hanya akan berakhir sebagai kekuatan disintegrasi peradaban
paling mengerikan, atau semangat nostalgis naif yang berbahaya.
Secara substansial
pernyataan tersebut mengandung makna bahwa sesungguhnya peran agama dalam praktek pekerjaan sosial sangat urgen mengingat
adanya tanggung jawab etis peksos terhadap klien dan terhadap masyarakat yang
juga terinternalisasi dalam nilai-nilai universal keagamaan. Namun, hal yang
sangat ironis adalah
tingginya signifikansi agama dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, tidak
dibarengi dengan perkembangan yang memadai dalam hal integrasi pendekatan agama dalam ilmu-ilmu
sosial dan pendampingan masyarakat.
Agama nampaknya hanya bersifat experential,
yang kita dapatkan dan pelajari dari pengalaman, tapi tidak bersifat scientific.
Pendekatan agama dalam terapi
klinikal ataupun pemberdayaan masyarakat secara luas, misalnya, masih bersifat
tradisional karena belum dikembangkan secara
ilmiah. Pendekatan agama, dengan demikian, tidak ”layak” sebagai bagian
dari pendekatan modern dan selanjutnya, tidak mampu menjadi model intervensi dan pendampingan di
masyakarat.
Dengan demikian, integrasi
terhadap kedua jenis pendekatan (modern dan Agama) merupakan sebuah keharusan
dengan mengemukakan beberapa alasan : (1) Secara historis dan filosofis, Peksos
memiliki pertalian erat dengan agama. Sejarah telah membuktikan bahwa pekerjaan
sosial sendiri tumbuh dan berkembang dari kalangan agamais (Kristen katolik di
Inggris). Sedangkan secara filosofis baik peksos dan agama, sama-sama menaruh
perhatian pada aspek mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan tanpa pilih
buluh. (2) Peksos dan spiritualitasdan agama
saling belajar dan memberi kontribusi satu sama lain.(3) Pengetahuan
tentang spiritualitas dan agama membantu
peksos membangun kosmologi dan antropologi spiritual. (4) Tidak ada alasan
peksos dan pemimpin agama untuk tidak berkerjasama. Hal ini dilandasi oleh
keyakinan bahwa sesungguhnya islam baik dan relevan di setiap masa dan tempat
Dalam agama islam sendiri, keterpautan
antara Ilmu pengetahuan dan ajarannya
sangatlah erat (Al–Islam Shalih Li Kulli
Zaman Wa Makan). Bahkan para ilmuan
seperti Ernest Gellner[2]
misalnya, berpendapat bahwa sesungguhnya
Islam merupakan agama yang transformatif dan bahkan menurutnya, Islamlah yang
paling memiliki kedekatan dengan ilmu pengetahuan. Pengakuan ini dijelaskannya
dalam beberapa aspek sebagai berikut: Pertama, universalisme ajaran Islam,
yakni prinsip-prinsip ajaran Islam dapat diterapkan dimana saja dan kapan saja
bahkan Islam mapu menyerap tradisai dan budaya lokal. Kedua, Skripulisme Islam, bahwa Islam mengajarkan bahwa kitab suci
dapat dibaca dan dipelajari oleh siapa saja, bukan monopoli kelompok tertentu
dalam hirarki keagamaan. Ketiga, Egalitarianisme spiritual, dalam arti tidak terdapat sistem kependetaan
atau kerahiban dalam Islam, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk
mencapai prestasi spiritualnya. Keempat, Sistematis rasional dalam kehidupan
sosial. Kelima, Semangat keilmuan yang tinggi, sehingga setiap pemeluk Islam
meyakini betapa tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu.
Dengan penjelasan di atas,
dapat dipahami bahwa pengintegrasian antara pendekatan agama dan pendekatan
moderen dalam pekerjaan sosial merupakan sebuah keniscayaan. Baik ilmu
pengetahuan dan agama yang saling tidak bertegur sapa, telah terbukti secara
faktual mengalami kegagalan dalam melakukan misi kemanusiaannya. Melalui
pembahasan yang komparatif ini, terlihat bahwa integrasi antara keduanya adalah
sebuah keharusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar