Kamis, 22 Desember 2011

Dialog dan Tantangan Umat Beragama


Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di antara mereka. Yang paling aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan penting.[1] Secara tidak sadar, manusia terkelompok ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Dari klasifikasi di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya. Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar umat  beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
Dialog adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Dialog memang bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar apa yang harus digunakan untuk mencakup beragam peradaban yang ada di dunia. Menurut hemat penulis, perlu adanya standar yang bisa diterima semua pihak. Dengan kata lain, perlu ada standar universal untuk semua. Standar itu hendaknya bermuara pada moralitas internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi, keadilan dan perdamaian. Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu.[2]
Standar universal ini memang bukan persoalan mudah, karena ia adalah gagasan teoritis yang mungkin berbeda dengan kenyataan-kenyataan di lapangan. Namun, sebagai nilai-nilai universal yang bisa melindungi hak-hak semua masyarakat dunia tampaknya nilai-nilai itu bisa mewakili kebutuhan bersama manusia, paling tidak dari stadar kemanusiaan (manusiawi).
Di sinilah kemudian diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang proporsional baik secara intra-agama maupun antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan memperuncing benturan. Tawaran-tawaran yang telah dikemukakan oleh para cendekiawan muslim Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat menjadi moralitas yang bersifat universal atau menjadi global etik yang dapat dipakai oleh semua orang. Apa yang dikemukakan oleh Rasjidi dengan pluralisme agama secara sosiologis, toleransi agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan konsep modus vivendi dan persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama, Mukti Ali dengan agree in disagreement, Djohan Effendi dengan dimensi moral dan etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan pluralisme dalam bertindak dan berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah al-hanîfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap toleransi dan  sikap pluralisme serta perlunya memahami pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat beragama bisa hidup damai dan harmonis. 
Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau  mendengarkan semua pihak secara proporsional,  adil dan setara. Dialog bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga  bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai “agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.[3] 
Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan memang merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada yang berhak menghakimi atas suatu kebenaran atau tidak ada “truth claim” dari salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam memperbincangkan tentang kebenaran agamanya.[4] 
Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. Dengan kata lain, dialog ibarat pedang bermata dua; sisi pertama mengarah pada diri sendiri atau otokritik, dan sisi kedua mengarah pada suatu percakapan kritis yang sifatnya eksternal, yaitu untuk saling memberikan pertimbangan serta memberikan pendapat kepada orang lain berdasarkan keyakinannya sendiri. Agama bisa berfungsi sebagai kritik, artinya kritik pada pemahaman dan perilaku umat beragama sendiri.[5] 
Keempat adalah adanya persamaan. Suatu dialog tidak dapat berlangsung dengan sukses apabila satu pihak menjadi “tuan rumah” sedangkan lainnya menjadi “tamu yang diundang”. Tiap-tiap pihak hendaknya merasa menjadi tuan rumah. Tiap-tiap pihak hendaknya bebas berbicara dari hatinya., sekaligus membebaskan dari beban: misalnya kewajiban terhadap pihak lainnya, maupun kesediaannya pada organisasinya dan pemerintahannya. Suatu dialog hendaknya tidak ada  “tangan di atas’ dan “tangan di bawah”, semuanya harus sama.[6]  
Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar. Masing-masing pihak harus mau berusaha melakukan itu agar pemahaman terhadap orang lain tidak hanya di permukaan saja tetapi bisa sampai pada bagiannya yang paling dalam (batin).  Dari situlah bisa ditemukan dasar yang sama sehingga dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai, meskipun adanya perbedaan juga menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.[7] 
Namun demikian, penulis melihat adanya berbagai permasalahan yang dapat menjadi penghambat dialog antar umat beragama. Di antara sesuatu yang dapat menjadi penghambat itu adalah sebagai berikut: (1)  kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang berlainan. Hal ini  akibat adanya truth claim, atau sesuatu yang akan mengakibatkan adanya truth claim.[8] (2) Faktor-faktor sosial politik dan trauma akan konflik-konflik dalam sejarah, misalnya Perang Salib atau konflik antar agama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu. (3) Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran hitam-putih. (4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan golongan tertentu.[9] (5) Masih adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu. (8) Penafsiran tentang misi atau dakwah yang konfrontatif.  (9) Ketegangan politik yang melibatkan kelompok agama.[10]


[1]Samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993, hlm. 12.
[2]Lihat Bassam Tibi, “Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 163. Lihat juga Parliament of the World’s Religions, Declaration Toward a Global Ethic (Chicago : t.t.), hlm. 5. Lihat juga Zainul Abas, “Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian”, dalam Kompas, No. 213 Tahun Ke-32, 31 Januari 1997.
[3] Ibid.
[4]Lihat Tarmizi Thaher, “Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999), hlm. 2-3. Lihat juga Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama, hlm. 35-36.
[5] Lihat Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama”, hlm. 42.
[6]Ismail Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen, Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya : Pustaka Progressif, 1994), hlm. 12.
[7]Lihat St. Sunardi, “Dialog:Cara Baru Beragama”, hlm. 76.
[8] Hal ini adalah antitesis dari prasyarat dialog yang mengharuskan adanya saling pemahaman terhadap berbagai macam agama. Jika masing-masing tidak memahami secara benar terhadap agama orang  lain maka ini akan menjadi penghambat dialog, karena akan muncul kecurigaan-kecurigaan.
[9]Poin 3 dan 4 lihat A. Ligoy, CP, “Gereja Indonesia”, hlm. 131.
[10]Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.), hlm. 350-351.

Tidak ada komentar: