Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan
atau konflik di antara mereka. Yang
paling aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso. Potensi pecahnya konflik sangatlah
besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif
dan subjektif peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas
objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga.
Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar
pembatas itu adalah nyata dan penting.[1] Secara tidak sadar,
manusia terkelompok ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu
dengan lainnya.
Dari klasifikasi di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban.
Artinya, umat manusia terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong
Hucu dan sebagainya. Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh
karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar umat beragama perlu dikembangkan upaya-upaya
dialog untuk mengeliminir perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
Dialog adalah upaya
untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Dialog memang bukan
tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar apa yang harus digunakan
untuk mencakup beragam peradaban yang ada di dunia. Menurut hemat penulis,
perlu adanya standar yang bisa diterima semua pihak. Dengan kata lain, perlu
ada standar universal untuk semua. Standar itu hendaknya bermuara pada
moralitas internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan,
demokrasi, keadilan dan perdamaian. Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui kepentingan
umat tertentu.[2]
Standar universal ini memang bukan persoalan mudah, karena ia adalah
gagasan teoritis yang mungkin berbeda dengan kenyataan-kenyataan di lapangan.
Namun, sebagai nilai-nilai universal yang bisa melindungi hak-hak semua
masyarakat dunia tampaknya nilai-nilai itu bisa mewakili kebutuhan bersama
manusia, paling tidak dari stadar kemanusiaan (manusiawi).
Di sinilah kemudian diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang
proporsional baik secara intra-agama maupun antar agama untuk menghindari
lahirnya truth claim yang mungkin
justru akan memperuncing benturan. Tawaran-tawaran yang telah dikemukakan oleh
para cendekiawan muslim Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat
menjadi moralitas yang bersifat universal atau menjadi global etik yang dapat
dipakai oleh semua orang. Apa yang dikemukakan oleh Rasjidi dengan pluralisme
agama secara sosiologis, toleransi agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan
konsep modus vivendi dan persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa
hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama, Mukti Ali dengan agree in disagreement, Djohan Effendi
dengan dimensi moral dan etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan pluralisme
dalam bertindak dan berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah al-hanîfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap
toleransi dan sikap pluralisme serta
perlunya memahami pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana
umat beragama bisa hidup damai dan harmonis.
Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan
apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti
mau mendengarkan semua pihak secara
proporsional, adil dan setara. Dialog
bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai
“agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.[3]
Kedua adalah menyadari adanya
perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan memang merupakan suatu realitas
yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada yang berhak menghakimi atas
suatu kebenaran atau tidak ada “truth claim” dari salah satu pihak.
Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam memperbincangkan
tentang kebenaran agamanya.[4]
Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis
terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan
mendiskreditkan orang lain. Dengan kata lain, dialog ibarat pedang bermata dua;
sisi pertama mengarah pada diri sendiri atau otokritik, dan sisi kedua mengarah
pada suatu percakapan kritis yang sifatnya eksternal, yaitu untuk saling
memberikan pertimbangan serta memberikan pendapat kepada orang lain berdasarkan
keyakinannya sendiri. Agama bisa berfungsi sebagai kritik, artinya kritik pada
pemahaman dan perilaku umat beragama sendiri.[5]
Keempat adalah adanya persamaan. Suatu
dialog tidak dapat berlangsung dengan sukses apabila satu pihak menjadi “tuan
rumah” sedangkan lainnya menjadi “tamu yang diundang”. Tiap-tiap pihak
hendaknya merasa menjadi tuan rumah. Tiap-tiap pihak hendaknya bebas berbicara
dari hatinya., sekaligus membebaskan dari beban: misalnya kewajiban terhadap
pihak lainnya, maupun kesediaannya pada organisasinya dan pemerintahannya.
Suatu dialog hendaknya tidak ada “tangan
di atas’ dan “tangan di bawah”, semuanya harus sama.[6]
Kelima, adalah ada kemauan untuk
memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama dalam rangka untuk memahami orang
lain secara benar. Masing-masing pihak harus mau berusaha melakukan itu agar
pemahaman terhadap orang lain tidak hanya di permukaan saja tetapi bisa sampai
pada bagiannya yang paling dalam (batin).
Dari situlah bisa ditemukan dasar yang sama sehingga dapat menjadi
landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai, meskipun adanya
perbedaan juga menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.[7]
Namun demikian, penulis melihat adanya berbagai permasalahan yang dapat
menjadi penghambat dialog antar umat beragama. Di antara sesuatu yang dapat
menjadi penghambat itu adalah sebagai berikut: (1) kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, akibatnya kurang
penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang berlainan. Hal ini akibat adanya truth claim, atau sesuatu yang akan mengakibatkan adanya truth claim.[8] (2) Faktor-faktor
sosial politik dan trauma akan konflik-konflik dalam sejarah, misalnya Perang
Salib atau konflik antar agama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu. (3)
Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap kompromistik dengan
memakai ukuran kebenaran hitam-putih. (4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis
dan golongan tertentu.[9] (5) Masih adanya
kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain,
kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu. (8) Penafsiran tentang misi atau
dakwah yang konfrontatif. (9) Ketegangan
politik yang melibatkan kelompok agama.[10]
[1]Samuel P. Huntington,
“Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal
Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993, hlm. 12.
[2]Lihat Bassam Tibi,
“Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya”, dalam M. Nasir Tamara
dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban
(Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 163. Lihat juga Parliament of the
World’s Religions, Declaration Toward a Global Ethic (Chicago : t.t.), hlm. 5. Lihat juga Zainul
Abas, “Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian”, dalam Kompas,
No. 213 Tahun Ke-32, 31 Januari 1997.
[3] Ibid.
[4]Lihat Tarmizi Thaher,
“Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia” dalam
Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan
Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI,
1998/1999), hlm. 2-3. Lihat juga Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi
Studi Agama-Agama” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama, hlm.
35-36.
[5] Lihat
Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama”, hlm. 42.
[6]Ismail
Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen,
Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya : Pustaka
Progressif, 1994), hlm. 12.
[7]Lihat St. Sunardi,
“Dialog:Cara Baru Beragama”, hlm. 76.
[8] Hal ini adalah antitesis
dari prasyarat dialog yang mengharuskan adanya saling pemahaman terhadap
berbagai macam agama. Jika masing-masing tidak memahami secara benar terhadap
agama orang lain maka ini akan menjadi
penghambat dialog, karena akan muncul kecurigaan-kecurigaan.
[9]Poin 3 dan 4 lihat A.
Ligoy, CP, “Gereja Indonesia ”,
hlm. 131.
[10]Umar
Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju
Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.), hlm.
350-351.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar