Mencermati
perjalanan umat beragama di Indonesia 30 tahun terakhir, sebagaimana tercermin
dalam tawaran pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para intelektual Muslim
Indonesia, tampak bahwa di kalangan umat beragama ada segudang persoalan.
Persoalan-persoalan itu ada yang sudah terlesesaikan, ada yang masih dalam
proses penyelesaian, dan ada juga yang belum terselesaikan. Beberapa persoalan dalam hubungan antar umat
beragama terasa masih berlanjut sampai masa sekarang dan mungkin sampai masa
yang akan datang. Beberapa kasus yang menimpa umat beragama, seperti di Poso,
adalah satu contoh yang masih hangat di telinga.
Di tengah umat beragama yang terbiasa melihat dunia hanya dari perspektif
agama mereka secara spesifik sehingga memunculkan Kristen-sentris dan
Islam-sentris, maka kebutuhan untuk belajar lebih banyak tentang agama orang
lain adalah sangat penting. Kita perlu mengembangkan kesadaran
konstruktif mengenai “agama-agama lain”. Selain itu, diskusi dan sikap menerima terhadap masyarakat yang pluralistik menjadi sesuatu yang sangat menentukan pada
masa-masa mendatang.
Oleh karena itu,
perlu dilakukan kajian agama (studi agama) terhadap persoalan-persoalan yang
selama ini terabaikan dalam konteks relasi antar umat beragama. Kajian-kajian
itu adalah usaha untuk melakukan kritisisme situasi sejarah yang seringkali
menunjukkan kesalahpahaman antar umat beragama. Melalui kajian-kajian itu
dimungkinkan tidak hanya dapat menemukan fakta-fakta tetapi juga meneliti
fakta-fakta yang berarti pada masa lalu
atau berarti pada masa sekarang. Hendaknya
studi agama-agama tidak hanya berkonsentrasi pada fakta-fakta agama tetapi
juga pada hal-hal yang telah diinterpretasikan oleh pemeluk agama dalam semua
varietasnya. Di Indonesia, perkembangan studi agama di beberapa pendidikan
tinggi dan lembaga-lembaga lain menunjukkan perkembangan yang cukup
menggembirakan, sehingga pencarian titik temu agama-agama bisa lebih banyak
alternatif. Seperti yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah, seorang guru besar UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, bahwa pintu masuk titik temu agama-agama bisa
melalui etika dan spiritualitas. Ia mengemukakan:
“Al-Qur’an hanya
mengajak kepada seluruh penganut agama-agama lain dan penganut agama Islam
sendiri untuk mencari “titik temu” (kalimatun
sawa’) di luar aspek teologis yang memang sudah berbeda sejak semula.
Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif
berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang perenial, abadi, tanpa
henti-hentinya. Pencarian titik temu antar umat beragama dapat dimungkinkan
lewat berbagai cara, salah satunya lewat pintu masuk etika, karena lewat pintu
masuk etika manusia beragama secara universal menemui tantangan-tantangan
kemanusiaan yang sama. Lewat pintu masuk etika ini – untuk tidak mengatakan
lewat pintu teologis—manusia beragama merasa mempunyai puncak-puncak
keprihatinan yang sama. Untuk era sekarang, tantangan scientisme dengan
berbagai implikasinya, tantangan lingkungan hidup, menjunjung tinggi harkat
kemanusiaan (human dignity),
menghormati hak asasi manusia adalah merupakan agenda bersama umat manusia
tanpa pandangan “bulu” keagamaannya. Lewat pintu etika ini, seluruh penganut
agama-agama dapat tersentuh “relijiusitas”nya, untuk tidak hanya menonjolkan “having a religion”nya. Lewat pintu
etika, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih terasa promising and challenging dan bukannya hanya terfokus pada dimensi
formalitas lahiriyah kelembagaan agama.”[1]
Keperluan yang
urgen untuk melakukan studi agama adalah pada tiga aspek. Pertama, mengkaji sejarah
relasi-relasi antar umat beragama. Dialog antar umat beragama, sebagaimana yang
pernah terjadi dalam rentang sejarah, harus dilihat sebagai momen yang istimewa
dalam sejarah relasi umat beragama dan interaksi pada umumnya. Kedua, mengkaji relasi-relasi yang
sedang terjadi pada masa sekarang;
misalnya tentang
perkembangan-perkembangan pada hari-hari ini dan implikasi-implikasinya
bagi relasi mereka. Ketiga, mengkaji
akar-akar konflik antara komunitas-komunitas beragama dan mencari solusi yang tepat untuk memecahkan konflik semacam
itu. Dalam studi semacam itu tentu saja diperlukan kontribusi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora
untuk menghindari konflik-konflik di
masa depan.
Adanya perbedaan agama-agama itu bukan berarti tidak ada “titik temu” yang
dapat melahirkan mutual understanding
di antara mereka. Titik temu itu bisa berupa kesatuan yang bersifat social, teologis dan etis (moral). Selain itu, titik
temu bukan hanya berarti dimensi eksoteris (lahiriyah) agama-agama, tetapi juga
dimensi esoterisnya (batinnya). Dialog antar agama bukanlah sesuatu yang
diharamkan. Al-Qur’an sebagai kitab suci kaum muslimin telah berdialog dengan
agama-agama lain yang hadir sebelum datangnya. Pengakuan dan ajakan dialog itu
bisa dilihat dalam surat Ali Imron ayat 64. Dalam masalah dialog dan hubungan
antar agama, tawaran Al-Qur’an adalah teologi inklusif yang ramah, dan menolak
eksklusivisme. Al-Qur’an bersikap positif terhadap agama-agama lain.
Selain itu, penulis menekankan pentingnya moralitas dan etika dalam mencari
jalan keluar untuk mengembangkan dialog di masa depan. Dalam hal ini umat
beragama, khususnya umat Islam, dapat belajar dari pengalaman Nabi Muhammad
ketika mengimplementasikan pengalaman toleransi, kerukunan antar umat beragama
dan pengakuan akan pluralisme agama yang pernah dialami oleh umat beragama pada
masa Nabi.
Pengalaman Nabi
yang paling awal adalah pengalaman hidup bersama dengan pemeluk agama lain.
Sebagaimana dikatakan Michael H. Hart bahwa di kota Mekkah sebelum datangnya
Islam ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Yahudi dan Nasrani, serta sejumlah
besar penyembah berhala.[2] Di antara mereka adalah Waraqah bin Naufal, Usman ibnu
Huairis, Abdullah ibnu Djahsy dan Zaid ibnu Umar.[3] Kontak
telah terjadi di antara mereka. Di antara pemeluk agama saat itu melihat ada
kesamaan antara agama yang dibawa Musa. Tokoh yang sempat terekam mengakui
kesamaan apa (wahyu) yang diterima oleh Nabi dan Musa adalah Waraqa bin Naufal.
Ketika itu,
Muhammad menceritakan kepada istrinya Khadijah tentang apa yang telah
dialaminya di Gua Hira ketika didatangi Malaikat Jibril dan disampaikan wahyu
dari Allah. Setelah Khadijah mendengar cerita dari Muhammad dan ketika Muhammad
sedang tidur, Khadijah berkonsultasi dengan saudara sepupunya (anak pamannya)
Waraqa bin Naufal[4] perihal apa yang telah dialami Muhammad. Waraqa kemudian
mengakui bahwa Muhammad adalah Nabi umat ini, meski ia belum bertemu dengan
Muhammad.[5] Kemudian ketika Nabi Muhammad bertemua dengan Waraqa bin
Naufal pada saat akan mengelilingi Ka’bah, Waraqa mengingatkan kepada Muhammad
bahwa beliau adalah Nabi atas umat ini. Dikatakannya bahwa Muhammad telah
menerima Namus besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Ia juga
mengingatkan bahwa tantangan Muhammad sangat berat.[6]
Pengalaman yang
sangat berkesan dan memiliki bekas yang sangat berharga adalah ketika Muhammad
menyarankan kaum Muslimin untuk pergi ke Abisinia (Habsyi atau Ethiopia) yang
penguasa dan rakyatnya memeluk agama Kristen.[7] Pengalaman itu menunjukkan betapa antar pemeluk agama
bisa hidup rukun dan saling menerima antara satu dengan lainnya. Mereka tinggal
di Abisinia sampai sesudah hijrah Nabi ke Yatsrib.[8]
Orang-orang Islam
mendapat perlindungan keamanan Raja Najasy dari ancaman kaum kafir Quraisy yang
mengejar sampai ke negeri Abisinia. Raja Najasy sempat berdialog dengan umat
Islam berkenaan dengan keberadaan agama Islam yang menganjurkan untuk berlaku
jujur, dapat dipercaya, bersih,
tidak berdusta, menyambung silaturrahmi,
menyudahi pertumpahan darah dan sebagainya. Dialog tersebut membahas juga
tentang posisi Islam dan Nasrani. Mengenai hal ini, Raja Najasy mengibaratkan
dengan menggoreskan tongkat di tanah dan dia berkata, “Antara agama tuan-tuan
dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini.”[9] Selama di Abisinia kaum muslimin merasa aman dan
tenteram.
Pengalaman ini
menunjukkan bahwa antara agama-agama, terutama agama Ibrahimi (abrahamic religions), memiliki
titik-titik persamaan. Titik-titik persamaan ini bahkan sampai pada hal-hal
yang bersifat teologis, misalnya tentang keesaan Tuhan (tauhid). Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan moralitas dan
etika dalam kehidupan sesama manusia, seperti sopan santun, kejujuran,
keadilan, kesejahteraan, saling menghormati, saling menghargai dan lain-lain.
Pengalaman
berikutnya adalah pengalaman ketika umat beragama (umat Islam, Nasrani dan
Yahudi) menjalin hubungan kehidupan bernegara. Ketika pada periode Madinah,
hubungan umat Islam, umat Nasrani dan Yahudi ditandai terbentuknya negara kota
Madinah yang menjunjung tinggi pluralitas, baik agama, suku dan golongan.
Bahkan sebelumnya, ketika umat Islam baru saja melalukan hijrah ke Madinah,
kesadaran pluralitas ini terlihat sangat menonjol. Hubungan umat beragama waktu
itu diawali dengan kontak damai antara umat Islam dengan penduduk Madinah, baik
yang sudah menjadi muslim maupun yang masih memegang agama dan keyakinan
sebelumnya. Semua penduduk menyambut kedatangan umat Islam dengan damai.
Bahkan, orang-orang musyrik dan Yahudi menyambut kedatangan Muhammad dengan
baik.[10]
Kemudian, dalam
bidang politik kenegaraan, Nabi Muhammad memantapkan suatu tatanan kenegaraan
yang luar biasa dengan mencoba melihat berbagai pihak dan berbagai kepentingan
yang berkembang pada saat itu. Nabi lalu mewujudkan persatuan Madinah dan
meletakkan dasar organisasi politik kenegaraan dengan mengadakan persekutuan
yang kuat. Lalu disepakatilah Piagam Madinah. Dalam Piagam Madinah itu kaum
muslimin –Anshar dan Muhajirin—dengan orang-orang Yahudi dan penduduk Madinah
lainnya membuat perjanjian tertulis yang berisi beberapa hal yang prinsip,
seperti pengakuan atas agama mereka masing-masing dan harta benda mereka. Dalam perjanjian itu disinggung
juga tentang kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, tentang
keselamatan harta benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Itu merupakan
sejarah baru dalam kehidupan politik dunia waktu itu.
Secara lengkap
isi perjanjian Madinah itu dimuat dalam buku Sirah Muhammad karya Ibnu Ishak, yang banyak dinukil oleh
tokoh-tokoh sejarah.[11] Di antara isi Piagam Madinah adalah bahwa negara
mengakui dan melindungi kebebasan menjalankan ibadah agama masing-masing, semua
orang memiliki kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat.[12] Dari situlah penduduk Madinah memiliki rasa nasionalisme
yang tinggi, lintas agama dan lintas suku.
Pengalaman-pengalaman
di atas memberi gambaran bahwa kemajemukan agama tidak menghalangi untuk hidup
bersama, berdampingan secara damai dan aman. Bahkan, kemajemukan agama tidak
menghalangi umat beragama untuk membangun suatu
negara yang bisa mengayomi dan menghargai keberadaan agama-agama
tersebut. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing
menjadi modal dasar yang sangat menentukan. Pengalaman-pengalaman Nabi di atas
mengandung dimensi moral dan etis. Di antara dimensi moral dan etis agama-agama
adalah saling menghormati dan menghargai agama/pemeluk agama lain. Jika
masing-masing pemeluk agama memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka
kerukunan, perdamaian dan persaudaran bisa terwujud.
[1]M. Amin
Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Jurnal
Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. IV. Th. 1993,
hlm. 21.
[2]Michael H. Hart, Seratus
Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi
(Jakarta : Pustaka Jaya, 1990), cet. XII, hlm. 28.
[3]A. Sjalabi, Sedjarah
dan Kebudajaan Islam (Djakarta : Djajamurni, 1970), hlm. 45.
[4]Waraqa adalah seorang
penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bibel dan sudah pula
menerjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab.
[5]Lihat A. Guillaume, The
Life of Muhammad: A Translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah,
(Karachi : Oxford University Press, 1970), hlm. 111-116. Lihat juga Muhammad Husain
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta : Tintamas,
1984), hlm. 93-94. Lihat juga Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
terj. Djah dan Humam (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), hlm. 21.
[6]Ibid. Lihat juga Chadijah
Nasution, Sejarah dan Perkembangan Dakwah Islam (Yogyakarta : Ideal
Offset, 1978), hlm. 1.
[7]Lihat A. Guillaume, The
Life of Muhammad., hlm. 146-148. A.Sjalabi, Sedjarah dan Kebudajaan Islam.,
hlm. 65. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 22.
[8]Muhammad
Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad., hlm. 118.
[10]Lihat W. Montgomery Watt,
Muhammad
at Medina (London : Oxford University Press, 1956), hlm. 195-204.
[11]A. Guillaume, The
Muhammad Life, hlm. 231-233. Lihat juga Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram
Peradaban Muslim (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 84.
[12] Lihat Nourouzzaman
Shiddiqi, Jeram-jeram, hlm. 93-94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar