Kamis, 22 Desember 2011

Urgensi Studi Agama


Mencermati perjalanan umat beragama di Indonesia 30 tahun terakhir, sebagaimana tercermin dalam tawaran pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh para intelektual Muslim Indonesia, tampak bahwa di kalangan umat beragama ada segudang persoalan. Persoalan-persoalan itu ada yang sudah terlesesaikan, ada yang masih dalam proses penyelesaian, dan ada juga yang belum terselesaikan.  Beberapa persoalan dalam hubungan antar umat beragama terasa masih berlanjut sampai masa sekarang dan mungkin sampai masa yang akan datang. Beberapa kasus yang menimpa umat beragama, seperti di Poso, adalah satu contoh yang masih hangat di telinga.
Di tengah umat beragama yang terbiasa melihat dunia hanya dari perspektif agama mereka secara spesifik sehingga memunculkan Kristen-sentris dan Islam-sentris, maka kebutuhan untuk belajar lebih banyak tentang agama orang lain adalah sangat penting. Kita perlu mengembangkan   kesadaran  konstruktif mengenai “agama-agama lain”. Selain itu,  diskusi dan sikap menerima terhadap  masyarakat yang pluralistik  menjadi sesuatu yang sangat menentukan pada masa-masa mendatang.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agama (studi agama) terhadap persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan dalam konteks relasi antar umat beragama. Kajian-kajian itu adalah usaha untuk melakukan kritisisme situasi sejarah yang seringkali menunjukkan kesalahpahaman antar umat beragama. Melalui kajian-kajian itu dimungkinkan tidak hanya dapat menemukan fakta-fakta tetapi juga meneliti fakta-fakta  yang berarti pada masa lalu atau berarti pada masa sekarang. Hendaknya  studi agama-agama tidak hanya berkonsentrasi pada fakta-fakta agama tetapi juga pada hal-hal yang telah diinterpretasikan oleh pemeluk agama dalam semua varietasnya. Di Indonesia, perkembangan studi agama di beberapa pendidikan tinggi dan lembaga-lembaga lain menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan, sehingga pencarian titik temu agama-agama bisa lebih banyak alternatif. Seperti yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah, seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bahwa pintu masuk titik temu agama-agama bisa melalui etika dan spiritualitas. Ia mengemukakan:
“Al-Qur’an hanya mengajak kepada seluruh penganut agama-agama lain dan penganut agama Islam sendiri untuk mencari “titik temu” (kalimatun sawa’) di luar aspek teologis yang memang sudah berbeda sejak semula. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang perenial, abadi, tanpa henti-hentinya. Pencarian titik temu antar umat beragama dapat dimungkinkan lewat berbagai cara, salah satunya lewat pintu masuk etika, karena lewat pintu masuk etika manusia beragama secara universal menemui tantangan-tantangan kemanusiaan yang sama. Lewat pintu masuk etika ini – untuk tidak mengatakan lewat pintu teologis—manusia beragama merasa mempunyai puncak-puncak keprihatinan yang sama. Untuk era sekarang, tantangan scientisme dengan berbagai implikasinya, tantangan lingkungan hidup, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan (human dignity), menghormati hak asasi manusia adalah merupakan agenda bersama umat manusia tanpa pandangan “bulu” keagamaannya. Lewat pintu etika ini, seluruh penganut agama-agama dapat tersentuh “relijiusitas”nya, untuk tidak hanya menonjolkan “having a religion”nya. Lewat pintu etika, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih terasa promising and challenging dan bukannya hanya terfokus pada dimensi formalitas lahiriyah kelembagaan agama.”[1]

Keperluan yang urgen untuk melakukan studi agama adalah pada tiga aspek. Pertama,  mengkaji sejarah relasi-relasi antar umat beragama. Dialog antar umat beragama, sebagaimana yang pernah terjadi dalam rentang sejarah, harus dilihat sebagai momen yang istimewa dalam sejarah relasi umat beragama dan interaksi pada umumnya. Kedua, mengkaji relasi-relasi yang sedang terjadi pada masa sekarang; misalnya tentang  perkembangan-perkembangan pada hari-hari ini dan implikasi-implikasinya bagi relasi mereka. Ketiga, mengkaji akar-akar konflik antara komunitas-komunitas beragama dan mencari solusi  yang tepat untuk memecahkan konflik semacam itu. Dalam studi semacam itu tentu saja diperlukan kontribusi  ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora untuk menghindari konflik-konflik di  masa depan.
Adanya perbedaan agama-agama itu bukan berarti tidak ada “titik temu” yang dapat melahirkan mutual understanding di antara mereka. Titik temu itu bisa berupa kesatuan yang bersifat social, teologis dan etis (moral). Selain itu, titik temu bukan hanya berarti dimensi eksoteris (lahiriyah) agama-agama, tetapi juga dimensi esoterisnya (batinnya). Dialog antar agama bukanlah sesuatu yang diharamkan. Al-Qur’an sebagai kitab suci kaum muslimin telah berdialog dengan agama-agama lain yang hadir sebelum datangnya. Pengakuan dan ajakan dialog itu bisa dilihat dalam surat Ali Imron ayat 64. Dalam masalah dialog dan hubungan antar agama, tawaran Al-Qur’an adalah teologi inklusif yang ramah, dan menolak eksklusivisme. Al-Qur’an bersikap positif terhadap agama-agama lain.
Selain itu, penulis menekankan pentingnya moralitas dan etika dalam mencari jalan keluar untuk mengembangkan dialog di masa depan. Dalam hal ini umat beragama, khususnya umat Islam, dapat belajar dari pengalaman Nabi Muhammad ketika mengimplementasikan pengalaman toleransi, kerukunan antar umat beragama dan pengakuan akan pluralisme agama yang pernah dialami oleh umat beragama pada masa Nabi.
Pengalaman Nabi yang paling awal adalah pengalaman hidup bersama dengan pemeluk agama lain. Sebagaimana dikatakan Michael H. Hart bahwa di kota Mekkah sebelum datangnya Islam ada sejumlah kecil pemeluk-pemeluk Yahudi dan Nasrani, serta sejumlah besar penyembah berhala.[2] Di antara mereka adalah Waraqah bin Naufal, Usman ibnu Huairis, Abdullah ibnu Djahsy dan Zaid ibnu Umar.[3] Kontak telah terjadi di antara mereka. Di antara pemeluk agama saat itu melihat ada kesamaan antara agama yang dibawa Musa. Tokoh yang sempat terekam mengakui kesamaan apa (wahyu) yang diterima oleh Nabi dan Musa adalah Waraqa bin Naufal.
Ketika itu, Muhammad menceritakan kepada istrinya Khadijah tentang apa yang telah dialaminya di Gua Hira ketika didatangi Malaikat Jibril dan disampaikan wahyu dari Allah. Setelah Khadijah mendengar cerita dari Muhammad dan ketika Muhammad sedang tidur, Khadijah berkonsultasi dengan saudara sepupunya (anak pamannya) Waraqa bin Naufal[4] perihal apa yang telah dialami Muhammad. Waraqa kemudian mengakui bahwa Muhammad adalah Nabi umat ini, meski ia belum bertemu dengan Muhammad.[5] Kemudian ketika Nabi Muhammad bertemua dengan Waraqa bin Naufal pada saat akan mengelilingi Ka’bah, Waraqa mengingatkan kepada Muhammad bahwa beliau adalah Nabi atas umat ini. Dikatakannya bahwa Muhammad telah menerima Namus besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Ia juga mengingatkan bahwa tantangan Muhammad sangat berat.[6]
Pengalaman yang sangat berkesan dan memiliki bekas yang sangat berharga adalah ketika Muhammad menyarankan kaum Muslimin untuk pergi ke Abisinia (Habsyi atau Ethiopia) yang penguasa dan rakyatnya memeluk agama Kristen.[7] Pengalaman itu menunjukkan betapa antar pemeluk agama bisa hidup rukun dan saling menerima antara satu dengan lainnya. Mereka tinggal di Abisinia sampai sesudah hijrah Nabi ke Yatsrib.[8]
Orang-orang Islam mendapat perlindungan keamanan Raja Najasy dari ancaman kaum kafir Quraisy yang mengejar sampai ke negeri Abisinia. Raja Najasy sempat berdialog dengan umat Islam berkenaan dengan keberadaan agama Islam yang menganjurkan untuk berlaku jujur, dapat dipercaya,  bersih, tidak  berdusta, menyambung silaturrahmi, menyudahi pertumpahan darah dan sebagainya. Dialog tersebut membahas juga tentang posisi Islam dan Nasrani. Mengenai hal ini, Raja Najasy mengibaratkan dengan menggoreskan tongkat di tanah dan dia berkata, “Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini.”[9] Selama di Abisinia kaum muslimin merasa aman dan tenteram.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa antara agama-agama, terutama agama Ibrahimi (abrahamic religions), memiliki titik-titik persamaan. Titik-titik persamaan ini bahkan sampai pada hal-hal yang bersifat teologis, misalnya tentang keesaan Tuhan (tauhid). Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan moralitas dan etika dalam kehidupan sesama manusia, seperti sopan santun, kejujuran, keadilan, kesejahteraan, saling menghormati, saling menghargai dan lain-lain.
Pengalaman berikutnya adalah pengalaman ketika umat beragama (umat Islam, Nasrani dan Yahudi) menjalin hubungan kehidupan bernegara. Ketika pada periode Madinah, hubungan umat Islam, umat Nasrani dan Yahudi ditandai terbentuknya negara kota Madinah yang menjunjung tinggi pluralitas, baik agama, suku dan golongan. Bahkan sebelumnya, ketika umat Islam baru saja melalukan hijrah ke Madinah, kesadaran pluralitas ini terlihat sangat menonjol. Hubungan umat beragama waktu itu diawali dengan kontak damai antara umat Islam dengan penduduk Madinah, baik yang sudah menjadi muslim maupun yang masih memegang agama dan keyakinan sebelumnya. Semua penduduk menyambut kedatangan umat Islam dengan damai. Bahkan, orang-orang musyrik dan Yahudi menyambut kedatangan Muhammad dengan baik.[10]
Kemudian, dalam bidang politik kenegaraan, Nabi Muhammad memantapkan suatu tatanan kenegaraan yang luar biasa dengan mencoba melihat berbagai pihak dan berbagai kepentingan yang berkembang pada saat itu. Nabi lalu mewujudkan persatuan Madinah dan meletakkan dasar organisasi politik kenegaraan dengan mengadakan persekutuan yang kuat. Lalu disepakatilah Piagam Madinah. Dalam Piagam Madinah itu kaum muslimin –Anshar dan Muhajirin—dengan orang-orang Yahudi dan penduduk Madinah lainnya membuat perjanjian tertulis yang berisi beberapa hal yang prinsip, seperti pengakuan atas agama mereka masing-masing dan harta  benda mereka. Dalam perjanjian itu disinggung juga tentang kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, tentang keselamatan harta benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Itu merupakan sejarah baru dalam kehidupan politik dunia waktu itu.
Secara lengkap isi perjanjian Madinah itu dimuat dalam buku Sirah Muhammad karya Ibnu Ishak, yang banyak dinukil oleh tokoh-tokoh sejarah.[11] Di antara isi Piagam Madinah adalah bahwa negara mengakui dan melindungi kebebasan menjalankan ibadah agama masing-masing, semua orang memiliki kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat.[12] Dari situlah penduduk Madinah memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, lintas agama dan lintas suku.
Pengalaman-pengalaman di atas memberi gambaran bahwa kemajemukan agama tidak menghalangi untuk hidup bersama, berdampingan secara damai dan aman. Bahkan, kemajemukan agama tidak menghalangi umat beragama untuk membangun suatu  negara yang bisa mengayomi dan menghargai keberadaan agama-agama tersebut. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing menjadi modal dasar yang sangat menentukan. Pengalaman-pengalaman Nabi di atas mengandung dimensi moral dan etis. Di antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah saling menghormati dan menghargai agama/pemeluk agama lain. Jika masing-masing pemeluk agama memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka kerukunan, perdamaian dan persaudaran bisa terwujud.



[1]M. Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. IV. Th. 1993, hlm. 21.
[2]Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi (Jakarta : Pustaka Jaya, 1990), cet. XII, hlm. 28.
[3]A. Sjalabi, Sedjarah dan Kebudajaan Islam (Djakarta : Djajamurni, 1970), hlm. 45.
[4]Waraqa adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bibel dan sudah pula menerjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab.
[5]Lihat A. Guillaume, The Life of Muhammad: A Translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah, (Karachi : Oxford University Press, 1970), hlm. 111-116. Lihat juga Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta : Tintamas, 1984), hlm. 93-94. Lihat juga Hasan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djah dan Humam (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), hlm. 21.
[6]Ibid. Lihat juga Chadijah Nasution, Sejarah dan Perkembangan Dakwah Islam (Yogyakarta : Ideal Offset, 1978), hlm. 1.
[7]Lihat A. Guillaume, The Life of Muhammad., hlm. 146-148. A.Sjalabi, Sedjarah dan Kebudajaan Islam., hlm. 65. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 22.
[8]Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad., hlm. 118.
[9]Ibid., hlm. 122.
[10]Lihat W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (London : Oxford University Press, 1956), hlm. 195-204.
[11]A. Guillaume, The Muhammad Life, hlm. 231-233. Lihat juga Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 84.
[12] Lihat Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram, hlm. 93-94.

Tidak ada komentar: