Kamis, 22 Desember 2011

Menuju Dakwah yang Arif dan Transformatif


Berbagai gambaran riil di lapangan menunjukkan bahwa merajut tali kerukunan dan toleransi di tengah pluralitas agama memang bukan perkara mudah. Beberapa faktor berikut jelas merupakan ancaman bagi tercapainya toleransi. Pertama, sikap agresif para pemeluk agama dalam mendakwahkan agamanya. Kedua, adanya organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung berorientasi pada peningkatan jumlah anggota secara kuan­titatif ketimbang melakukan perbaikan kualitas keimanan para peme­luknya. Ketiga, disparitas ekonomi antar para penganut agama yang berbeda.[1]  Guna meminimalisir ancaman seperti ini (terutama ancaman pertama dan kedua), maka mau tidak mau umat Islam, demikian juga umat lain, dituntut untuk  menata aktifitas penyebaran atau dakwah agama secara lebih proporsional dan de­wasa.
Kedewasaan ini perlu mendapat perhatian semua pihak karena upaya membina kerukunan umat beragama seringkali terkendala oleh adanya kenyataan bahwa sosialisasi ajaran keagamaan di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh juru dakwah yang kurang peka terhadap kerukunan umat beragama. Semangat berdakwah yang tinggi dari para pegiat dakwah ini seringkali dinodai dengan cara-cara menjelek-jelekan milik (agama) orang lain.
Terkait dengan ini, beberapa hal berikut tam­paknya merupakan persoalan mendasar yang harus senantiasa diupayakan, jika  Islam diharapkan menjadi rahmah untuk seluruh alam.  Ketiga hal itu adalah  (1), penyiapan da’i yang arif sekaligus bersi­kap inklusif, bukan eksklusif; (2), memilih materi dakwah yang menyejuk­kan dan (3), dakwah berparadigma transformatif sebagai modal menuju kerjasama antar umat beragama. Yang pertama, erat kaitannya dengan penyiapan kompetensi personal seorang dai sedang sisanya kompetensi penunjang yang harus menjadi concern seorang pendak­wah atau muballigh.
Da’i yang Arif lagi Inklusif. Adalah tugas setiap umat Islam untuk tidak hanya melaksanakan ajaran agamanya, tetapi juga mendakwahkannya keada diri sendiri maupun orang lain di manapun dan kapan pun. Dakwah sebagai upaya penyebaran ajaran Islam merupakan misi suci sebagai bentuk keimanan setiap muslim akan kebenaran agama yang dianutnya.  Al-Qur’an dalam surat Al-Nahl (16):  125 secara tegas menyebutkan, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan beragumentasilah dengan mereka dengan yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Demikian juga  sebuah hadis yang sering kita dengar secara eksplisit menyerukan agar kita menyampaikan kebenaran dari nabi meskipun satu ayat (sedikit) serta beberepa beberpa dalil lain yang kompatible dengan anjuran berdakwah.
Dari ayat di atas, satu hal yang pasti dan mesti digarisbawahi adalah bahwa dakwah hendaknya dilakukan secara bijaksana dan penuh kedewasaan. Kedewasaan sebagai umat yang akan mengantarkan keluhuran Islam di mata kelompok lain serta  menjadikan orang lain merasa aman (secure) dan tak terancam dengan Islam. Agar tujuan mulia seperti ini  tercapai maka hal-hal berikut seyogyanya dimiliki oleh seorang da’i dalam melakukan dakwah pada masyarakat plural.
Pertama,  menyadari heterogenitas masyarakat sasaran dakwah (mad’u) yang dihadapinya. Keragaman audiens sasaran dakwah menuntut metode dan materi serta strategi dakwah yang beragam pula sesuai kebutuhan mereka. Nabi sendiri melalui hadisnya menganjurkan pada kita untuk memberi nasehat, informasi kepada orang lain sesuai tingkat kemampuan kognisinya (‘uqulihim).
Kedua,  dakwah hendaknya dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian. Esensi dakwah mestilah melibatkan dialog bermakna yang penuh kebijaksanaan, perhatian, kesabaran dan kasih sayang. Hanya dengan cara demikian audiens akan menerima ajakan seorang dai dengan penuh kesadaran. Harus disadari oleh seorang dai bahwa kebenaran yang ia sampaikan bukanlah satu-satunya kebenaran tunggal, satu-satunya kebenaran yang paling absah. Karena, meskipun kebenaran wahyu agama bersifat mutlak adanya, tetapi keterlibatan manusia dalam memahami dan menafsirkan pesan-pesan agama selalu saja dibayang-bayangi oleh  subyektifitas atau horizon kemanusiaan masing-masing orang.
Ketiga, dakwah hendaknya dilakukan secara persuasif, jauh dari sikap memaksa karena sikap yang demikian di samping kurang arif juga akan berakibat pada keengganan orang mengikuti seruan sang da’i yang pada akhirnya akan membuat misi suci dakwah menjadi gagal. “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, silahkan (secara sukarela) siapa yang hendak beriman berimanlah dan siapa yang ingkar silahkan (Qs. Al-Kahfi (18): 29); “Tiada paksaan dalam memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas perbedaan antara yang benar dan yang sesat. (Qs. Al-Baqoroh (2); 256).
Keempat,   menghindari pikiran dan sikap menghina dan men-jelek-jelekkan agama atau menghujat Tuhan yang menjadi keyakinan umat agama lain. Dalam surat al-An’am (6); 108, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. Tak ada salahnya jika etika berdakwah sedikit meniru  etika periklanan. Salah satu etika yang jamak disepakai dalam kegiatan  menawarkan sebuah produk ini adalah di samping tidak memaksa konsumen untuk membeli produk tertentu, juga  larangan menghina atau menjelek-jelekkan produk lain. Jika hal itu dilakukan tentu  pihak–pihak yang dirugikan akan melakukan somasi, protes dan dapat berakibat pada pengaduan pencemaran nama baik.
Kelima, menenggang perbedaan dan menjauhi sikap ekstrimisme dalam bergama. Prinsip Islam dalam beragama adalah sikap jalan tengah, moderat (umatan wasathon). Sejumlah ayat al-Qura’an dan al-Hadis secara tegas menganjurkan umat Islam untuk mengambil jalan tengah, menjauhi ekstrimisme, menghindari kekakuan atau kerigidan dalam beragama. Sikap ekstrimisme biasanya akan berujung pada sikap kurang toleran, mengklaim pendapat sendiri sebagai paling absah dan  benar (truth claim) sementara yang lain salah, sesat, bid’ah (heterodoks). Alwi Shihab (1989) mengungkapkan pernyataan Abû Ishaq Al-Syatibi yang meyatakan, “Kurangnya pengetahuan agama dan kesombongan adalah akar-akar bid’ah serta perpecahan umat, dan pada akhirnya dapat menggiring kearah perselisihan internal dan perpecahan perlahan-lahan”.[2]
Hal-hal di atas dan tentu saja ditambah dengan kompetensi personal yang harus dimiliki seorang dai, jika dilaksanakan secara sungguh-sungguh maka akan sangat berguna bagi upaya menjaga harmoni di antara semua penganut agama. Sebagai tambahan, kompetensi personal yang harus dimiliki seorang da’i di atas hanya dapat tercapai jika da’i tersebut tidak hanya mempunyai pengetahuan yang banyak tentang agamanya, tetapi juga memiliki pemahaman yang benar dalam menterjemahkan pesan-pesan moral agama Islam.
Di samping itu, tentu saja prinsip-prinsip Islam tentang pluralisme dan penghargaan terhadapnya mestilah terinternalisasi secara baik dalam diri setiap da’i. Prinsip Islam tentang pluralisme tergambar baik dalam landasan etik-normatif yang terdokumentasi dalam al-Qur’an dan al-Hadis maupun rekaman historis pengalaman Nabi Muhammad ketika mengalami perjumpaan dengan agama lain.[3]
Contoh ayat-ayat  al-Qur’an yang dapat dijadikan landas tumpu terhadap penghargaan dan penyikapan yang benar terhadap  pluralisme misalnya, Qs. Al-Baqoroh (2); 62 dan 148; dua ayat ini di samping mengandung kenyataan bahwa pluralitas itu bagian dari Sunnat-u Allâh sekaligus juga melaui pluralitas kita dituntut untuk berlomba dalam kebaikan. (fastabiq al-khairât). Pluralisme juga merupakan kebijakan Tuhan yang berlaku dalam sejarah (Qs. Al-Rum (30): 22 dan al-Baqarah (2): 213. 
Artinya kenyataan pluralitas demikian adalah keinginan Allah sendiri, karena jika Allah menghendaki, tentulah Dia menciptakan  manusia dalam satu komunitas saja. Ide semisal ini diulang-ulang di  banyak tempat dalam al-Qur’an dengan penekanan berbeda semisal pengujian kualitas hamba terhadap pemberian-Nya (Qs.Al-Ma’idah (5): 48);  peringatan bahwa mereka suka berselisih pendapat (Qs. Hûd (11):118); pemberian petunjuk bagi mereka yang mau mengikuti Tuhan (Qs. Al-Nahl (16): 93) dan memasukkan orang yang dikehendaki ke dalam rahmat-Nya (Qs. Al- Syûrâ (42): 8).  
Al-Qur’an juga secara eksplisit mengajarkan bahwa pada dasarnya umat manusia adalah tunggal (Qs. Al-Baqorah (2): 213; Yûnus (10): 19). Agama adalah ‘satu’ dalam dimensi substantif dan esoterisnyanya. Namun penting dicatat bahwah “kesatuan bukan berarti “keseragaman”. Meskipun dari luar tampak berbeda, namun dalam setiap agama terdapat kesamaan yakni kesaman realitas tertinggi yang menjadi tujuan akhirnya (ultimate goal; al-gardh) dari setiap agama. Oleh karena adanya kesamaan inilah maka al-Qur’an mengajak seluruh umat beragama untuk mencari titik temu atau yang lazim dikenal dengan istilah  kalimat- un sawâ itu [4] .
“Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahl al-Kitâb! Marilah menuju ketitik pertemuan (kalimat un sawâ’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allâh dan tidak menyekutukan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebaghian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “Tuhan-Tuhan” selain Allah”.
 Ajakan untuk mencarai titik temu di antara penganut agama di luar Islam yang sering disebut sebagai Ahl al-Kitab[5], memberi implikasi lanjut berupa keyakinan bahwa: siapa pun dapat memperoleh “keselamatan” (salvation) asalkan ia beriman kepada Allah, kepada hari kiamat dan berbuat baik. Karena bagi mereka semua, Allah telah menyediakan pahala masing-masing, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula bersedih hati. (Qs. Al-Baqoroh (2); 62 dan ayat yang mirip dengan ini (Qs. al-Mâi’idah (5); 69).
Menarik untuk disebutkan, bahwa perhatian dan pengakuan Islam akan agama lain seperti di atas sesungguhnya merupakan bagian dan sekaligus sayarat bagi kesempurnaan keimanan seorang Muslim.[6] Artinya jika seseorang ingin imannya sempurna maka wajib baginya mengakui dan menghormati agama lain. Tidak lah mengherankan jika toleransi yang sedemikian tinggi ini menjadi catatan tersendiri bagi para pengamat Isam semisal Cyril Glasse yang menyatakan; “Kenyataan bahwa satu wahyu (Islam) menyebut wahyu-wahyu lain sebagai absah adalah sebuah kejadian yang luar biasa dalam sejarah agama-agama”.[7]
Jelas bahwa perhatian al-Qur’an terhadap adanya pluralitas tidak hanya sebatas pengakuan atau akomodasi akan keberadaannya, tetapi juga kedekatan dan saling menghormati (Qs. Al-Ma’idah (5): 82-83). Lebih dari itu, penghargaan al-Qur’an terhadap agama lain, nabi-nabi lain berikut kitab-kitab sucinya, juga bukan hanya sebatas penghormatan formalitas semata, melainkan pengakuan akan kebenaran mereka juga. Bahkan Islam memandangnya bukan sebagai “agama lain” yang harus ditoleransi tetapi sebagai agama yang benar-benar ada secara hukum dan benar-benar agama wahyu dari Tuhan.[8] Berangkat dari pandangan al-Qur’an yang khas tentang pluralisme ini, sesunguhnya kita dapat menarik `ibrah bahwa pemahaman pluralisme tidak cukup dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, berbeda-beda suku bangsa dan agamanya, yang justru terkesan menyiratkan adanay fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversity within the bonds of civility).[9] Singkatnya, pluralisme tidak bisa dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negatif good). Di mana pluralisme hanya digunakan untuk menghilangkan fanatisme (ta’âshû-biyah).[10]
Materi Dakwah yang Menyejukkan. Setelah memiliki kompetensi (atau lebih tepatnya etika dasar)  personal berikut internalisasi nilai-nilai atau prinsip pluralitas pada diri seorang da’i, maka langkah selanjutnya yang harus diperhatikan oleh seorang da’i adalah memilih  materi dakwah.  Memilih materi dakwah yang dimaksud di sini adalah dengan sebisa mungkin mengedepankan pesan-pesan agama yang memberi kesejukkan dan sejauh mungkin menghindari provokasi massa ke arah yang destruktif.
Untuk memilih materi dakwah seperti termaksud di atas, di samping ditentukan oleh apresiasi  positif kepada ‘yang lain’, juga yang terpenting adalah kematangan para dai dalam memahami pesan-pesan atau ide moral Islam secara keseluruhan. Sekedar ilustrasi sederhana, mengapa kita suka menonjolkan ayat semisal “Tidak akan rela orang-orang Yahudi dan Nasrani (terhadapmu) sampai kamu mengikuti agama mereka” tanpa dibarengi dengan penjelasan terhadap konteks ayat tersebut, sementara masih banyak ayat (pluralis) lainnya yang menghargai agama lain seperti terungkap di atas. Atau contoh lain, kenapa hadis Nabi yang artinya, “Ucapkan salam kepada orang lain baik yang kau kenal maupun yang tidak kau kenal (man arofta wa man lam ta’rif)”[11] justeru terdesak oleh larangan atau fatwa yang mengharamkan umat Islam mengucapkan salam kepada orang (agama) lain.[12]
 Fenomena keberagaman yang lebih menggambarkan wajah kusut hubungan antar umat beragama ini memang tidak hanya diakibatkan pilihan dai akan materi dakwahnya saja, tetapi juga  oleh faktor lain. Salah satu di antaranya adalah kurangnya pemahaman akan dialektika teks dan konteks yang berakibat pada kesalahan pengamalan sekaligus penyebaran syariat Islam.[13] Jika kesalahan ini masih sebatas pada praksis individual tentu tidak ada masalah. Persoalan menjadi kompleks ketika kesalahan pemahaman ini dikomunikasikan dan didakwahkan kepada publik secara luas. Sebabnya jelas, syariat Islam yang kaya akan nilai-nilai dan prinsip-prinsip untuk kemaslahatan manusia akan tereduksi hingga akhirnya hilang sama sekali.
Kemaslahatan adalah  inti dari syariat Islam. Al-Syatibi dengan sangat baik mendiskripsikan hal ini. Menurutnya, agama tidak hanya memuat ajaran yang menekankan aspek peribadatan atau ritual (ta‘âbudiyah) semata, tetapi juga membawa kemaslahatan bagi manusia (al-maslahah al-‘âmmah).[14]
Dakwah Berparadigma Transformatif dan Urgensi Kerjasama. Orientasi dakwah yang lebih mengedepankan perbaikan kualitas keimanan individual dengan tekanan hanya pada ketaatan menjalankan ritual keagamaan telah mengabaikan satu dimensi penting dalam dakwah. Dimensi dakwah yang terabaikan tersebut adalah pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Islam secara menyeluruh.[15] Keterbelakangan, ketertinggalan dan keterpinggiran umat Islam dari percaturan (peradaban) global dewasa ini  adalah beberapa realitas yang kurang tersentuh dalam materi dakwah. Dalam pengertian bukan dakwah yang materi pembicaraannya hanya sekedar menggerutu,  mengumpat dan menyalahkan umat atau orang lain yang menjadikan Islam mundur, tetapi dakwah dimaknai secara lebih luas dengan tekanan pada perbaikan kualitas sosial, pendidikkan  dan ekonomi masyarakat.
Sudah waktunya orientasi dakwah diarahkan untuk sebisa mungkin menyentuh persoalan sosial kemasyarakatan semisal perbaikan gizi anak-anak, pelestarian lingkungan, bahaya penyalah-gunaan obat, pemberantasan korupsi, penciptaan pemerintahan yang bersih (good governance), kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan  dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) serta perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara lebih beradab. Dakwah hendaknya  ditujukan antara lain untuk memecahkan kebutuhan mendasar manusia akan jaminan kesejahteraan yang merupakan norma-norma keadilan sosial dan prinsip-prinsip persaudaraan dalam Islam.
Islam sendiri sering disebut sebagai agama pembebas. Banyak preseden baik yang telah dilakukan oleh Nabi dan generasi awal Islam dalam merealisasikan dakwah dalam pengertian seperti ini. Yakni dakwah yang mampu menstransformasikan nilai-nilai Islam untuk kemaslahatan umat manusia secara lebih luas. Beberapa seruan al-Qur’an dan dokumentasi sunnah rasul dalam Hadis dengan sangat jelas mendorong umat Islam melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap sistem sosial sejajar dengan penguatan tawhîd umat.
“Katakanlah: mari kubacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun; dan berbuat baiklah kepada ibu bapakmu; janganlah membunuh anak-anakmu dengan dalih kemiskinan. Kami memberi rizki kepadamu dan kepada mereka. Janganlah melakukan perbuatan keji yang terbuka ataupun yang tersembunyi; jangan hilangkan nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan adil dan menurut hukum. Demikianlah Dia memerintahkan kamu supaya kamu mengerti”
“Janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali untuk memperbaikinya dengan cara yang lebih baik, sampai ia mencapai usia dewasa. Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil; kami tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya; dan jika kamu berbicara, berbicaralah yang jujur, sekalipun mengenai kerabat; dan penuhilah janji dengan Allah. Dia memerintahkan kamu supaya kamu ingat.[16]


[1] Burhanuddin, et. all., Sistem…., 28.
[2] Lebih lanjut Shihab menyatakan bahwa untuk mencegah ekstrimesme, dan menjaga keseimbangan dan toleransi dalam agama  adalah dengan mengefektifkan dakwah di internal umat Islam terlebih dahulu. Sehingga ketika umat Islam mampu melakukan hal demikian maka orang lain akan apresiatif terhadap ideal-ideal islam seperti tasamuh (toleransi), I’tidal (moderasi) dan adl (keadilan). Ibid., 257
[3] Tentang perjumpaan dengan agama lain, Jacques Waardenburg sebagaiman dikutip oleh Harold Coward menyatakan setidaknya Islam mengalami 6 (enam) tahap perjumpaan tersebut. Salah satunya adalah fase pertama, di mana Muhammad tumbuh menjadi manusia dewasa di Makkah di tengah komunitas Kristen, Yahudi, kaum Mazdean, dan barangkali kaum Manikhean dan kaum Sabian. Lima fase berikutnya dapat di lihat pada Harold Coward, Pluralisme, Tantangan Agama-agama, ter. (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 89.
[4] Istilah yang oleh Profesor Doktor Nurcholis Madjid sering diindonesiakan  dengan “semangat kebenaran yang lapang” ini adalah esensi dari Islam. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara tegas menyebutkan; “Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Nabi s.a.w. ditanya, “Agama mana yang paling dicintai Allah?” Nabi menjawab, “Semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyah al-samhah). Juga sebuah hadis, ‘Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat kebenaran yang lapang (Al-hanifiyah al-samhah)” (HR Imam Ahmad) Dikutip dari Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), 21.
[5] Konsep Ahl al-Kitab dalam Islam sesungguhnya menunjuk semua kelompok agama di luar agama Islam tidak hanya sebatas agama Yahudi dan Nasrani. Termasuk di dalamnya Majusi dan Shabi’in yang secara eksplisit diakui oleh al-Quran sebagai  (Qs.al-Baqarah (2): 62; al-Hajj (22): 17). Bahkan banyak ulama yang menyatakan bahwa konsep ahl al-kitab menunjuk pada semua agama termasuk Budha, Hindu, Kong Hu Cu. Adalah Rasyid Ridho yang secara tegas mengafirmasi hal demikian dengan pernyataannya, “Yang namapak ialah bahwa al-Qur’an menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Sabiin dan Majusi dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha dan para pengikut Konfusius karena (hanya) kaum Sabi’in dan Majusi yang dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran  mula-mula al-Qur’an, karena kaum Majusi dan Shabi’in itu berdekatan  dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka (orang-orang Arab) belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka mengetahui golngan yang lain ….” Dikutip dari Nurcholis Madjid, et. al., Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), 52. Hal senada juga diakui oleh Fazlur Rahman, menurut Rahman, kata ahl al-Kitab sering digunakan dalam al-Qur’an bukan untuk mengacu pada suatu kitab khusus yang diwahyukan, “melainkan sebagai suatu istilah generik yang menunjukkan totalitas wahyu Illahi”. Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), 164.
[6] Azumardi Azra, “Bingkai Teologi Kerukunan: Perspektif Islam” dalam Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), 34.
[7] Ungkapan Glasse ini dapat dijumpai pada Cyril Glasse, “Ahl al-Kitab”, dalam The Concise Enciclopaedia of Islam, (San Francisco: Harper, 1991), 27
[8] Baca, Al-Faruqi, “The Role of Islam in Global Interreligious Dependence” dalam Toward a Global Conggress of the World an Religions, ed. Waren Lewis, (New York: Bary Town, Univication Theological Seminary), 22-23.
[9] Budi Munawar Rahman, Pluralisme..., 31.
[10] Ibid.
[11] Terjemahan hadis yang ini selengkapnya adalah “Memberi makanan  dan membaca salam kepada siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak kau kenal” Makna zahir man arafta wa man lam ta’rif dalam hadis ini menunjukkan keumuman pada seluruh manusia, baik yang beriman maupun yang “kafir”, baik mengadakan perjanjian damai maupun yang berperang, karena makna zahir ini menunjukkan bahwa salam adalah milik Allah bukan untuk pemenuhan hak pengenalan. Lihat Musa Syahin Lasyin, Fath al-Mu’im: Syarh Shahih Muslim, Bagian I (Kairo: Maktabah al-Jâmiat al-Azhârîyah, 1970), 233, 237.
[12] Larangan mengucapkan salam ini biasanya merujuk pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Anas bin Mâlik yang artinya, “Jangan kamu memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desaklah ia sampai ke pinggir”(HR. Bukhari). Penjelasan lebih lanjut mengenai kelemahan dalil ini lihat Madjid, et.al., Fiqh…, 66-78.
[13] Ibid., 263.
[14] Secara lebih detail al-Syâtibi membagi kemaslahatan ini dalam tiga tingkatan, pertama, kemaslahatan yangb bersifat primer (al-maslahah al-dharûriyah), yaitu kemaslahatan yang menjadi orientasi implementasi syariah. Termasuk dalam hal ini yaitu perlunya melindungi agama, melindungi jiwa, melindungi akal, melindungi keturunan dan melindungi harta benda.  Kedua,kemaslahatan yang bersifat sekunder (al-maslahah al-hajiyât), yaitu kemaslahatan yang tidak menyebabnya ambruknya tatanan sosial dan hukum, melainkan justeru untuk meringankan pelaksanaan humum. Ketiga,  kemaslahatan yang bersifat suplementer (al-maslahat al-tahsînîyat), sebuah kemaslahatan yang memberi perhatian pada etiket sekaligus estetika. Disarikan dari Abû Ishaq al-Syâtibi    dalam al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, Jilid I. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt), 3-23
[15] Ibid., 258.
[16] Qs. Al-An’am (6): 151-153.

Tidak ada komentar: