Berbagai
gambaran riil di lapangan menunjukkan bahwa merajut tali kerukunan dan
toleransi di tengah pluralitas agama memang bukan perkara mudah. Beberapa
faktor berikut jelas merupakan ancaman bagi tercapainya toleransi. Pertama, sikap
agresif para pemeluk agama dalam mendakwahkan agamanya. Kedua, adanya
organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung berorientasi pada peningkatan
jumlah anggota secara kuantitatif ketimbang melakukan perbaikan kualitas
keimanan para pemeluknya. Ketiga, disparitas ekonomi antar para
penganut agama yang berbeda.[1]
Guna meminimalisir ancaman
seperti ini (terutama ancaman pertama dan kedua), maka mau tidak mau umat
Islam, demikian juga umat lain, dituntut untuk
menata aktifitas penyebaran atau dakwah agama secara lebih proporsional
dan dewasa.
Kedewasaan ini
perlu mendapat perhatian semua pihak karena upaya membina kerukunan umat beragama
seringkali terkendala oleh adanya kenyataan bahwa sosialisasi ajaran keagamaan
di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh juru dakwah yang kurang peka
terhadap kerukunan umat beragama. Semangat berdakwah yang tinggi dari para
pegiat dakwah ini seringkali dinodai dengan cara-cara menjelek-jelekan milik
(agama) orang lain.
Terkait dengan
ini, beberapa hal berikut tampaknya merupakan persoalan mendasar yang harus
senantiasa diupayakan, jika Islam
diharapkan menjadi rahmah untuk seluruh alam. Ketiga hal itu adalah (1), penyiapan da’i yang arif sekaligus bersikap
inklusif, bukan eksklusif; (2), memilih materi dakwah yang menyejukkan dan
(3), dakwah berparadigma transformatif sebagai modal menuju kerjasama antar
umat beragama. Yang pertama, erat kaitannya dengan penyiapan kompetensi
personal seorang dai sedang sisanya kompetensi penunjang yang harus menjadi concern
seorang pendakwah atau muballigh.
Da’i yang
Arif lagi Inklusif. Adalah tugas setiap umat Islam
untuk tidak hanya melaksanakan ajaran agamanya, tetapi juga mendakwahkannya
keada diri sendiri maupun orang lain di manapun dan kapan pun. Dakwah sebagai
upaya penyebaran ajaran Islam merupakan misi suci sebagai bentuk keimanan
setiap muslim akan kebenaran agama yang dianutnya. Al-Qur’an dalam surat Al-Nahl (16): 125 secara tegas menyebutkan, “Serulah
(manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
beragumentasilah dengan mereka dengan yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Demikian juga sebuah hadis yang sering kita dengar
secara eksplisit menyerukan agar kita menyampaikan kebenaran dari nabi meskipun
satu ayat (sedikit) serta beberepa beberpa dalil lain yang kompatible dengan
anjuran berdakwah.
Dari ayat di
atas, satu hal yang pasti dan mesti digarisbawahi adalah bahwa dakwah hendaknya
dilakukan secara bijaksana dan penuh kedewasaan. Kedewasaan sebagai umat yang
akan mengantarkan keluhuran Islam di mata kelompok lain serta menjadikan orang lain merasa aman (secure)
dan tak terancam dengan Islam. Agar tujuan mulia seperti ini tercapai maka hal-hal berikut seyogyanya
dimiliki oleh seorang da’i dalam melakukan dakwah pada masyarakat plural.
Pertama, menyadari heterogenitas
masyarakat sasaran dakwah (mad’u) yang dihadapinya. Keragaman audiens
sasaran dakwah menuntut metode dan materi serta strategi dakwah yang beragam
pula sesuai kebutuhan mereka. Nabi sendiri melalui hadisnya menganjurkan pada
kita untuk memberi nasehat, informasi kepada orang lain sesuai tingkat
kemampuan kognisinya (‘uqulihim).
Kedua, dakwah hendaknya dilakukan
dengan menafikan unsur-unsur kebencian. Esensi dakwah mestilah melibatkan
dialog bermakna yang penuh kebijaksanaan, perhatian, kesabaran dan kasih
sayang. Hanya dengan cara demikian audiens akan menerima ajakan seorang dai
dengan penuh kesadaran. Harus disadari oleh seorang dai bahwa kebenaran yang ia
sampaikan bukanlah satu-satunya kebenaran tunggal, satu-satunya kebenaran yang
paling absah. Karena, meskipun kebenaran wahyu agama bersifat mutlak adanya,
tetapi keterlibatan manusia dalam memahami dan menafsirkan pesan-pesan agama
selalu saja dibayang-bayangi oleh
subyektifitas atau horizon kemanusiaan masing-masing orang.
Ketiga, dakwah hendaknya dilakukan secara persuasif, jauh dari sikap
memaksa karena sikap yang demikian di samping kurang arif juga akan berakibat
pada keengganan orang mengikuti seruan sang da’i yang pada akhirnya akan
membuat misi suci dakwah menjadi gagal. “Dan katakanlah, kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu. Maka, silahkan (secara sukarela) siapa yang hendak
beriman berimanlah dan siapa yang ingkar silahkan (Qs. Al-Kahfi (18): 29);
“Tiada paksaan dalam memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas perbedaan
antara yang benar dan yang sesat. (Qs. Al-Baqoroh (2); 256).
Keempat, menghindari pikiran dan
sikap menghina dan men-jelek-jelekkan agama atau menghujat Tuhan yang menjadi
keyakinan umat agama lain. Dalam surat al-An’am (6); 108, Allah berfirman, “Dan
janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. Tak ada salahnya jika
etika berdakwah sedikit meniru etika periklanan.
Salah satu etika yang jamak disepakai dalam kegiatan menawarkan sebuah produk ini adalah di
samping tidak memaksa konsumen untuk membeli produk tertentu, juga larangan menghina atau menjelek-jelekkan
produk lain. Jika hal itu dilakukan tentu
pihak–pihak yang dirugikan akan melakukan somasi, protes dan dapat
berakibat pada pengaduan pencemaran nama baik.
Kelima, menenggang perbedaan dan menjauhi sikap ekstrimisme dalam bergama.
Prinsip Islam dalam beragama adalah sikap jalan tengah, moderat (umatan
wasathon). Sejumlah ayat al-Qura’an dan al-Hadis secara tegas menganjurkan
umat Islam untuk mengambil jalan tengah, menjauhi ekstrimisme, menghindari
kekakuan atau kerigidan dalam beragama. Sikap ekstrimisme biasanya akan
berujung pada sikap kurang toleran, mengklaim pendapat sendiri sebagai paling
absah dan benar (truth claim)
sementara yang lain salah, sesat, bid’ah (heterodoks). Alwi Shihab
(1989) mengungkapkan pernyataan Abû Ishaq Al-Syatibi yang meyatakan,
“Kurangnya pengetahuan agama dan kesombongan adalah akar-akar bid’ah serta
perpecahan umat, dan pada akhirnya dapat menggiring kearah perselisihan
internal dan perpecahan perlahan-lahan”.[2]
Hal-hal di atas
dan tentu saja ditambah dengan kompetensi personal yang harus dimiliki seorang
dai, jika dilaksanakan secara sungguh-sungguh maka akan sangat berguna bagi
upaya menjaga harmoni di antara semua penganut agama. Sebagai tambahan,
kompetensi personal yang harus dimiliki seorang da’i di atas hanya dapat
tercapai jika da’i tersebut tidak hanya mempunyai pengetahuan yang banyak
tentang agamanya, tetapi juga memiliki pemahaman yang benar dalam
menterjemahkan pesan-pesan moral agama Islam.
Di samping itu,
tentu saja prinsip-prinsip Islam tentang pluralisme dan penghargaan terhadapnya
mestilah terinternalisasi secara baik dalam diri setiap da’i. Prinsip Islam
tentang pluralisme tergambar baik dalam landasan etik-normatif yang
terdokumentasi dalam al-Qur’an dan al-Hadis maupun rekaman historis pengalaman
Nabi Muhammad ketika mengalami perjumpaan dengan agama lain.[3]
Contoh
ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan
landas tumpu terhadap penghargaan dan penyikapan yang benar terhadap pluralisme misalnya, Qs. Al-Baqoroh (2); 62
dan 148; dua ayat ini di samping mengandung kenyataan bahwa pluralitas itu
bagian dari Sunnat-u Allâh sekaligus juga melaui pluralitas kita
dituntut untuk berlomba dalam kebaikan. (fastabiq al-khairât).
Pluralisme juga merupakan kebijakan Tuhan yang berlaku dalam sejarah (Qs.
Al-Rum (30): 22 dan al-Baqarah (2): 213.
Artinya
kenyataan pluralitas demikian adalah keinginan Allah sendiri, karena jika Allah
menghendaki, tentulah Dia menciptakan
manusia dalam satu komunitas saja. Ide semisal ini diulang-ulang di banyak tempat dalam al-Qur’an dengan penekanan
berbeda semisal pengujian kualitas hamba terhadap pemberian-Nya (Qs.Al-Ma’idah
(5): 48); peringatan bahwa mereka suka
berselisih pendapat (Qs. Hûd (11):118); pemberian petunjuk bagi mereka yang mau
mengikuti Tuhan (Qs. Al-Nahl (16): 93) dan memasukkan orang yang dikehendaki ke
dalam rahmat-Nya (Qs. Al- Syûrâ (42): 8).
Al-Qur’an juga secara eksplisit
mengajarkan bahwa pada dasarnya umat manusia adalah tunggal (Qs. Al-Baqorah
(2): 213; Yûnus (10): 19). Agama adalah ‘satu’ dalam dimensi substantif dan
esoterisnyanya. Namun penting dicatat bahwah “kesatuan bukan berarti “keseragaman”.
Meskipun dari luar tampak berbeda, namun dalam setiap agama terdapat kesamaan
yakni kesaman realitas tertinggi yang menjadi tujuan akhirnya (ultimate
goal; al-gardh) dari setiap agama. Oleh karena adanya kesamaan inilah maka
al-Qur’an mengajak seluruh umat beragama untuk mencari titik temu atau yang
lazim dikenal dengan istilah kalimat-
un sawâ’ itu [4] .
“Katakanlah
olehmu (Muhammad): Wahai Ahl al-Kitâb! Marilah menuju ketitik pertemuan (kalimat
un sawâ’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah
selain Allâh dan tidak menyekutukan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebaghian
dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “Tuhan-Tuhan” selain
Allah”.
Ajakan untuk mencarai titik temu di antara
penganut agama di luar Islam yang sering disebut sebagai Ahl al-Kitab[5],
memberi implikasi lanjut berupa keyakinan bahwa: siapa pun dapat memperoleh
“keselamatan” (salvation) asalkan ia beriman kepada Allah, kepada hari
kiamat dan berbuat baik. Karena bagi mereka semua, Allah telah menyediakan pahala
masing-masing, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula bersedih hati.
(Qs. Al-Baqoroh (2); 62 dan ayat yang mirip dengan ini (Qs. al-Mâi’idah (5);
69).
Menarik untuk
disebutkan, bahwa perhatian dan pengakuan Islam akan agama lain seperti di atas
sesungguhnya merupakan bagian dan sekaligus sayarat bagi kesempurnaan keimanan
seorang Muslim.[6]
Artinya jika seseorang ingin imannya sempurna maka wajib baginya mengakui dan
menghormati agama lain. Tidak lah mengherankan jika toleransi yang sedemikian tinggi
ini menjadi catatan tersendiri bagi para pengamat Isam semisal Cyril Glasse
yang menyatakan; “Kenyataan bahwa satu wahyu (Islam) menyebut wahyu-wahyu lain
sebagai absah adalah sebuah kejadian yang luar biasa dalam sejarah
agama-agama”.[7]
Jelas bahwa perhatian
al-Qur’an terhadap adanya pluralitas tidak hanya sebatas pengakuan atau
akomodasi akan keberadaannya, tetapi juga kedekatan dan saling menghormati (Qs.
Al-Ma’idah (5): 82-83). Lebih dari itu, penghargaan al-Qur’an terhadap agama
lain, nabi-nabi lain berikut kitab-kitab sucinya, juga bukan hanya sebatas
penghormatan formalitas semata, melainkan pengakuan akan kebenaran mereka juga.
Bahkan Islam memandangnya bukan sebagai “agama lain” yang harus ditoleransi
tetapi sebagai agama yang benar-benar ada secara hukum dan benar-benar agama
wahyu dari Tuhan.[8]
Berangkat dari pandangan al-Qur’an yang khas tentang pluralisme ini,
sesunguhnya kita dapat menarik `ibrah bahwa pemahaman pluralisme tidak
cukup dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam,
berbeda-beda suku bangsa dan agamanya, yang justru terkesan menyiratkan adanay
fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian
sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of
diversity within the bonds of civility).[9]
Singkatnya, pluralisme tidak bisa dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negatif
good). Di mana pluralisme hanya digunakan untuk menghilangkan fanatisme (ta’âshû-biyah).[10]
Materi Dakwah yang Menyejukkan. Setelah memiliki kompetensi (atau lebih tepatnya etika dasar) personal berikut internalisasi nilai-nilai
atau prinsip pluralitas pada diri seorang da’i, maka langkah selanjutnya yang
harus diperhatikan oleh seorang da’i adalah memilih materi dakwah. Memilih materi dakwah yang dimaksud di sini
adalah dengan sebisa mungkin mengedepankan pesan-pesan agama yang memberi
kesejukkan dan sejauh mungkin menghindari provokasi massa ke arah yang
destruktif.
Untuk memilih
materi dakwah seperti termaksud di atas, di samping ditentukan oleh apresiasi positif kepada ‘yang lain’, juga yang
terpenting adalah kematangan para dai dalam memahami pesan-pesan atau ide moral
Islam secara keseluruhan. Sekedar ilustrasi sederhana, mengapa kita suka
menonjolkan ayat semisal “Tidak akan rela orang-orang Yahudi dan Nasrani
(terhadapmu) sampai kamu mengikuti agama mereka” tanpa dibarengi dengan
penjelasan terhadap konteks ayat tersebut, sementara masih banyak ayat
(pluralis) lainnya yang menghargai agama lain seperti terungkap di atas. Atau
contoh lain, kenapa hadis Nabi yang artinya, “Ucapkan salam kepada orang lain
baik yang kau kenal maupun yang tidak kau kenal (man arofta wa man lam
ta’rif)”[11] justeru
terdesak oleh larangan atau fatwa yang mengharamkan umat Islam mengucapkan
salam kepada orang (agama) lain.[12]
Fenomena keberagaman yang lebih menggambarkan
wajah kusut hubungan antar umat beragama ini memang tidak hanya diakibatkan
pilihan dai akan materi dakwahnya saja, tetapi juga oleh faktor lain. Salah satu di antaranya
adalah kurangnya pemahaman akan dialektika teks dan konteks yang berakibat pada
kesalahan pengamalan sekaligus penyebaran syariat Islam.[13]
Jika kesalahan ini masih sebatas pada praksis individual tentu tidak ada
masalah. Persoalan menjadi kompleks ketika kesalahan pemahaman ini dikomunikasikan
dan didakwahkan kepada publik secara luas. Sebabnya jelas, syariat Islam yang
kaya akan nilai-nilai dan prinsip-prinsip untuk kemaslahatan manusia akan
tereduksi hingga akhirnya hilang sama sekali.
Kemaslahatan
adalah inti dari syariat Islam. Al-Syatibi
dengan sangat baik mendiskripsikan hal ini. Menurutnya, agama tidak hanya
memuat ajaran yang menekankan aspek peribadatan atau ritual (ta‘âbudiyah) semata,
tetapi juga membawa kemaslahatan bagi manusia (al-maslahah al-‘âmmah).[14]
Dakwah
Berparadigma Transformatif dan Urgensi Kerjasama. Orientasi
dakwah yang lebih mengedepankan perbaikan kualitas keimanan individual dengan
tekanan hanya pada ketaatan menjalankan ritual keagamaan telah mengabaikan satu
dimensi penting dalam dakwah. Dimensi dakwah yang terabaikan tersebut adalah
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Islam secara menyeluruh.[15]
Keterbelakangan, ketertinggalan dan keterpinggiran umat Islam dari percaturan
(peradaban) global dewasa ini adalah
beberapa realitas yang kurang tersentuh dalam materi dakwah. Dalam pengertian
bukan dakwah yang materi pembicaraannya hanya sekedar menggerutu, mengumpat dan menyalahkan umat atau orang
lain yang menjadikan Islam mundur, tetapi dakwah dimaknai secara lebih luas
dengan tekanan pada perbaikan kualitas sosial, pendidikkan dan ekonomi masyarakat.
Sudah waktunya
orientasi dakwah diarahkan untuk sebisa mungkin menyentuh persoalan sosial
kemasyarakatan semisal perbaikan gizi anak-anak, pelestarian lingkungan, bahaya
penyalah-gunaan obat, pemberantasan korupsi, penciptaan pemerintahan yang
bersih (good governance), kemitrasejajaran antara laki-laki dan
perempuan dan penghargaan terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM) serta perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat secara lebih beradab. Dakwah hendaknya ditujukan antara lain untuk memecahkan
kebutuhan mendasar manusia akan jaminan kesejahteraan yang merupakan
norma-norma keadilan sosial dan prinsip-prinsip persaudaraan dalam Islam.
Islam sendiri
sering disebut sebagai agama pembebas. Banyak preseden baik yang telah
dilakukan oleh Nabi dan generasi awal Islam dalam merealisasikan dakwah dalam
pengertian seperti ini. Yakni dakwah yang mampu menstransformasikan nilai-nilai
Islam untuk kemaslahatan umat manusia secara lebih luas. Beberapa seruan al-Qur’an
dan dokumentasi sunnah rasul dalam Hadis dengan sangat jelas mendorong
umat Islam melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap sistem sosial sejajar
dengan penguatan tawhîd umat.
“Katakanlah:
mari kubacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Janganlah
mempersekutukan-Nya dengan apa pun; dan berbuat baiklah kepada ibu bapakmu;
janganlah membunuh anak-anakmu dengan dalih kemiskinan. Kami memberi rizki
kepadamu dan kepada mereka. Janganlah melakukan perbuatan keji yang terbuka
ataupun yang tersembunyi; jangan hilangkan nyawa yang diharamkan Allah kecuali
dengan adil dan menurut hukum. Demikianlah Dia memerintahkan kamu supaya kamu
mengerti”
“Janganlah kamu dekati harta anak yatim,
kecuali untuk memperbaikinya dengan cara yang lebih baik, sampai ia mencapai
usia dewasa. Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil; kami tidak membebani
seseorang kecuali menurut kemampuannya; dan jika kamu berbicara, berbicaralah
yang jujur, sekalipun mengenai kerabat; dan penuhilah janji dengan Allah. Dia
memerintahkan kamu supaya kamu ingat.[16]
[1] Burhanuddin, et. all., Sistem…., 28.
[2] Lebih lanjut Shihab menyatakan bahwa untuk
mencegah ekstrimesme, dan menjaga keseimbangan dan toleransi dalam agama adalah dengan mengefektifkan dakwah di
internal umat Islam terlebih dahulu. Sehingga ketika umat Islam mampu melakukan
hal demikian maka orang lain akan apresiatif terhadap ideal-ideal islam seperti
tasamuh (toleransi), I’tidal (moderasi) dan adl (keadilan).
Ibid., 257
[3] Tentang perjumpaan dengan agama lain,
Jacques Waardenburg sebagaiman dikutip oleh Harold Coward menyatakan setidaknya
Islam mengalami 6 (enam) tahap perjumpaan tersebut. Salah satunya adalah fase
pertama, di mana Muhammad tumbuh menjadi manusia dewasa di Makkah di tengah
komunitas Kristen, Yahudi, kaum Mazdean, dan barangkali kaum Manikhean dan kaum
Sabian. Lima fase berikutnya dapat di lihat pada Harold Coward, Pluralisme,
Tantangan Agama-agama, ter. (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 89.
[4] Istilah yang oleh Profesor Doktor Nurcholis
Madjid sering diindonesiakan dengan
“semangat kebenaran yang lapang” ini adalah esensi dari Islam. Sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara tegas menyebutkan; “Ibn ‘Abbas
menuturkan bahwa Nabi s.a.w. ditanya, “Agama mana yang paling dicintai Allah?”
Nabi menjawab, “Semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyah al-samhah).
Juga sebuah hadis, ‘Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hari
ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan.
Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat kebenaran yang lapang (Al-hanifiyah
al-samhah)” (HR Imam Ahmad) Dikutip dari Budi Munawar Rachman, Islam
Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), 21.
[5] Konsep Ahl al-Kitab dalam Islam
sesungguhnya menunjuk semua kelompok agama di luar agama Islam tidak hanya
sebatas agama Yahudi dan Nasrani. Termasuk di dalamnya Majusi dan Shabi’in yang
secara eksplisit diakui oleh al-Quran sebagai (Qs.al-Baqarah (2): 62; al-Hajj (22): 17).
Bahkan banyak ulama yang menyatakan bahwa konsep ahl al-kitab menunjuk
pada semua agama termasuk Budha, Hindu, Kong Hu Cu. Adalah Rasyid Ridho yang
secara tegas mengafirmasi hal demikian dengan pernyataannya, “Yang namapak
ialah bahwa al-Qur’an menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Sabiin
dan Majusi dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha dan para pengikut
Konfusius karena (hanya) kaum Sabi’in dan Majusi yang dikenal oleh bangsa Arab
yang menjadi sasaran mula-mula
al-Qur’an, karena kaum Majusi dan Shabi’in itu berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka
(orang-orang Arab) belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina
sehingga mereka mengetahui golngan yang lain ….” Dikutip dari Nurcholis Madjid,
et. al., Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, (Jakarta:
Paramadina, 2004), 52. Hal senada juga diakui oleh Fazlur Rahman,
menurut Rahman, kata ahl al-Kitab sering digunakan dalam al-Qur’an bukan
untuk mengacu pada suatu kitab khusus yang diwahyukan, “melainkan sebagai suatu
istilah generik yang menunjukkan totalitas wahyu Illahi”. Lihat Fazlur Rahman, Major
Themes of The Qur’an (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), 164.
[6] Azumardi Azra, “Bingkai Teologi Kerukunan:
Perspektif Islam” dalam Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta:
Paramadina, 1999), 34.
[7] Ungkapan Glasse ini dapat dijumpai pada
Cyril Glasse, “Ahl al-Kitab”, dalam The Concise Enciclopaedia of Islam,
(San Francisco: Harper, 1991), 27
[8] Baca, Al-Faruqi, “The Role of Islam in
Global Interreligious Dependence” dalam Toward a Global Conggress of the
World an Religions, ed. Waren Lewis, (New York: Bary Town, Univication
Theological Seminary), 22-23.
[9] Budi Munawar Rahman, Pluralisme...,
31.
[10] Ibid.
[11] Terjemahan hadis yang ini selengkapnya
adalah “Memberi makanan dan membaca
salam kepada siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak kau kenal” Makna zahir
man arafta wa man lam ta’rif dalam hadis ini menunjukkan keumuman pada
seluruh manusia, baik yang beriman maupun yang “kafir”, baik mengadakan
perjanjian damai maupun yang berperang, karena makna zahir ini menunjukkan
bahwa salam adalah milik Allah bukan untuk pemenuhan hak pengenalan. Lihat Musa
Syahin Lasyin, Fath al-Mu’im: Syarh Shahih Muslim, Bagian
I (Kairo: Maktabah al-Jâmiat al-Azhârîyah, 1970), 233, 237.
[12] Larangan mengucapkan salam ini biasanya
merujuk pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Anas bin Mâlik yang artinya,
“Jangan kamu memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desaklah ia sampai ke
pinggir”(HR. Bukhari). Penjelasan lebih lanjut mengenai kelemahan dalil ini
lihat Madjid, et.al., Fiqh…, 66-78.
[13] Ibid., 263.
[14] Secara lebih detail al-Syâtibi membagi
kemaslahatan ini dalam tiga tingkatan, pertama, kemaslahatan yangb
bersifat primer (al-maslahah al-dharûriyah), yaitu
kemaslahatan yang menjadi orientasi implementasi syariah. Termasuk dalam hal
ini yaitu perlunya melindungi agama, melindungi jiwa, melindungi akal,
melindungi keturunan dan melindungi harta benda. Kedua,kemaslahatan yang bersifat
sekunder (al-maslahah al-hajiyât), yaitu
kemaslahatan yang tidak menyebabnya ambruknya tatanan sosial dan hukum,
melainkan justeru untuk meringankan pelaksanaan humum. Ketiga, kemaslahatan yang bersifat suplementer (al-maslahat
al-tahsînîyat), sebuah kemaslahatan yang memberi perhatian pada etiket
sekaligus estetika. Disarikan dari Abû Ishaq al-Syâtibi dalam al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, Jilid
I. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt), 3-23
[15] Ibid., 258.
[16] Qs. Al-An’am (6): 151-153.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar