Identik dengan
istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, pendapat orang tentang istilah
ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak,
beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu
dikatakan plural pasti terdiri dari
banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang. [1]
Istilah
pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang hari-hari ini kian
mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dikatakan istilah lama karena
perbincangan mengenai pluralitas telah dielaborasi secara lebih jauh oleh para
pemikir filsafat Yunani secara konseptual dengan aneka ragam alternatif
memecahkannya. Para pemikir tersebut mendefinisikan pluralitas secara
berbeda-beda lengkap dengan beragam tawaran solusi menghadapi pluralitas.
Permenides menawarkan solusi yang berbeda dengan Heraklitos, begitu pula
pendapat Plato tidak sama dengan apa
yang dikemu-kakan Aristoteles.[2]
Hal itu berarti bahwa isu pluralitas sebenarnya setua usia manusia.
Sebelum
pertimbangan-pertimbangan atau interrest-interrest yang bersifat
politis, ideologis dan ekonomis menyertai kehidupan seseorang, dalam kehidupan
praktis sehari-hari, umat manusia telah menjalani kehidupan yang pluralistik
secara alamiah dan wajar-wajar saja. Kehidupan mengalir apa adanya tanpa ada
prasangka dan perhitungan-perhitungan lain yang lebih rumit. Persoalan
menyeruak ketika berbagai kepentingan dan pertimbangan tadi menempel dalam pola
interaksi antar manusia. Apalagi jika kepentingan yang disebut di atas lebih
menonjol, maka gesekan dan konflik adalah sesuatu yang tak terelakkan.
Bangsa
Indonesia sendiri adalah bangsa yang sering disebut sebagai bangsa paling
majemuk di dunia. Di negara dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa
ini, berdiam tidak kurang dari 300 etnis dengan identitas kulturalnya
masing-masing, lebih dari 250 bahasa dipakai,
beraneka adat istiadat serta beragam agama di anut. Kendati demikian kehidupan berjalan apa
adanya selama bertahun-tahun. Orang dengan suku berbeda dapat hidup rukun
dengan suku lain yang berbeda adat, bahasa, agama dan kepercayaan. Gesekan dan
konflik memang kerap terjadi kerena memang hal itu bagian dari dinamika
masyarakat, namun semua gesekan yang ada masih dalam tahap terkendali. Keadaan
berubah ketika masyarakat pendukung tak mampu menyikapi dan mengelola segala
perbedaan dan konflik yang ada menjadi “energi sosial” bagi pemenuhan
kepentingan bersama.
Konflik sendiri sebagaimana dipaparkan di
bagian lain tulisan ini, merupakan keniscayaan. Keberadaannya senantiasa
mengiringi masyarakat plural. Hampir tidak mungkin sebuah masyarakat yang
plural tak terlibat dan mengalami konflik. Konflik di sini memang tidak identik
dengan kerusuhan dan pertikaian. Konflik bisa saja tidak muncul kepermukaan
karena diredam sebagaimana selama ini efektif dimainkan oleh rezim pemerintah
Orde Baru, tetapi keberadaannya tak akan hilang sama sekali. Jika keadaan
memungkinkan konflik terselubung (hidden conflict) itu akan meledak
seperti saat ini. Dengan kata lain, akibat tersumbatnya konflik secara tidak
proporsional maka akan lahir konflik yang distruktif dan berpotensi
disintegratif bagi kelangsungan sebuah bangsa.
Jika pluralisme
itu given, sementara konflik adalah sesuatu yang inhern di dalamnya. Pertanyaan selanjutnya bagaimana
mengelola pluralitas dan konflik yang
ada sehingga menjadi sebuah energi sosial bagi penciptaan tatanan bangsa yang
lebih baik. Jawabannya tentu panjang dengan melibatkan pengkajian seluruh
faktor yang ada. Akan tetapi terkait dengan kajian ini (memahami
pluralitas), ternyata menjaga kerukunan
tidak cukup hanya memahami keanekaragaman yang ada di sekitar kita secara
apatis dan pasif. Memahami pluralisme
meski melibatkan sikap diri secara pluralis pula. Sebuah sikap penuh empati,
jujur dan adil menempatkan kepelbagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu dengan
menghomati, memahami dan mengakui eksistensi orang lain, sebagaimana
menghormati dan mengakui eksistensi diri sendiri.
Demikian juga
dalam menyikapi pluralisme beragama. Sikap yang seyogyanya dilakukan seseorang
adalah dengan memahami dan menilai “yang” (agama) lain berdasarkan standar mereka sendiri serta memberi peluang bagi
mereka untuk mengartikulasikan keyakinannya secara bebas. Alwi Shihab memberi
gabaran cukup baik dalam mengartikulasikan pluralisme agama. Menurutnya, “Pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk
agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga
terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya
kerukunan dalam kebhinekaan”[3].
Melalui pemahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewujudkan
kehidupan yang damai seperti inilah akan tercipta toleransi antar umat beragama
di Indonesia.
Toleransi yang
dimaksud tentu saja bukan toleransi negatif (negatif tolerance)
sebagaimana yang dulu pernah dijalankan oleh pemerintah orde baru, tetapi
toleransi yang benar adalah toleransi positif (positive tolerance).
Sikap toleran yang disebut pertama adalah sikap toleransi semu dan penuh dengan
kepura-puraan. Toleransi jenis pertama ini menganjurkan seseorang untuk tidak
menonjolkan agamanya di hadapan orang yang beragama lain. Jika Anda Kristen,
maka jangan menonjol-nonjolkan ke-Kristenan Anda di hadapan orang Muslim,
demikian pula sebaliknya. Sementara
toleransi yang tersebut kedua adalah toleransi yang sesungguhnya, yang mengajak
setiap umat beragama untuk jujur mengakui dan mengekspresikan keberagamaannya
tanpa ditutup-tutupi. Dengan demikian identitas masing-masing umat beragama
tidak tereliminasi, bahkan masing-masing agama dengan bebas dapat
mengembangkannya. Inilah toleransi yang
dulu pernah dianjurkan oleh Kuntowijoyo.[4]
Meskipun konsep
toleransi positif seperti di atas terbilang konsep lama, tetapi
implemenetasinya bukanlah perkara mudah. Sebuah survey mutaakhir yang
dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta
terhadap Sikap Komunitas Pendidikkan Islam dan Toleransi dan Pluralisme
memperlihatkan beberapa gambaran yang cukup mengkhawatirkan. Survey yang
dilakukan di awal tahun 2006 ini secara umum menunjukkan bahwa komunitas
pendidikkan Islam Indonesia memperlihatkan sikap kurang bahkan tidak toleran.[5]
Hal ini bisa dilihat dari besarnya responden (85,7%) yang tidak setuju anggota
keluarganya menikah dengan non-muslim, anggota keluarga boleh menikah dengan
non muslim, asal masuk Islam lebih dulu (88%). Sementara terhadap pertanyaan; dibanding umat lain, umat Islam
adalah sebaik-baik umat sebanyak 92,5%
karenanya non-Islam harus masuk agama Islam (58,7%). Tidak boleh mengucapkan
salam “assalamualaikum” dan selamat hari natal (“selamat natal”) kepada
non-Muslim (73,5%) dan setiap Muslim berkewajiban mendakwahkan agamanya kepada
orang-orang non muslim (73%).[6]
Adanya fakta seperti ini tentu merupakan sesuatu sangat memprihatinkan karena
hal ini terjadi di komunitas pendidikkan agama Islam. Artinya jika komunitas
pendidikkan saja -sebagai bagian dari transmisi ajaran Islam- menunjukkan sikap
demikian, maka bisa dibayangkan bagaimana dengan komunitas awam.
[1] Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme,
Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), 7.
[2]Perbincangan pluralisme menurut Amin
Abdullah sesungguhnya tak lebih seperti put a new wine in the old bottle (memasukkan
minuman anggur baru dalam kemasan lama). Baca M. Amin Abdullah, Dinamika
Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung: Mizan,
2000), 68.
[3] Alwi Shihab, Islam…,340
[4] Bachtiar Effendi, “Menyoal Pluralisme di
Indonesia” dalam Living Together in Plural Societies; Pengalaman Indonesia
Inggris, ed. Raja Juli Antoni
(Yogyakarta: Pustaka Perlajar, 2002), 239-249.
[5] Lihat “Kekerasan Keagamaan di Kalangan
Muslim: Mempertimbangkan Faktor Pendidikkan” dalam Buletin Islam & Good
Governance, Edisi XIII, September (Jakarta, PPIM UIN Jakarta, 2006), 1 – 8.
[6] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar