Interaksi Islam dan politik mengalami pasang
surut. Islam
bermula dari suatu komunitas umat di bawah bimbingan Nabi Muhammad SAW.
Kemudian umat Islam berhasil memperoleh kekuasaan politik dengan membentuk
suatu negara dalam bimbingan langsung Nabi. Nabi tidak menyebutnya sebagai
negara Islam, sedangkan dasar pendirian negara adalah Konstitusi Madinah, suatu
piagam yang dibuat oleh Nabi Muhammad dan disaksikan oleh berbagai kelompok
dalam suatu masyarakat yang plural, sebagai rambu-rambu untuk mengatur suatu
masyarakat yang plural itu dan mereka secara bersama-sama akan mengahadapi
segala ancaman dari luar. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka negara dipimpin
oleh seorang khalifah (pengganti Nabi) dan kemudian umat Islam menyebut sistem
pemerintahan kekhalifahan. Umat Islam masih memiliki satu negara yang utuh pada
masa Khulafaur Rasyidin, namun pada masa berikutnya kekhalifahan
tidak lagi tunggal. Bahkan sistem kekhalifahan dihapus pada tahun 1924 ketika
kekhalifahan Turki Utsmani diganti menjadi negara modern. Dan sejak itu
berdirilah beberapa negara bangsa di daerah yang mayoritas penduduknya umat
Islam. Beberapa diantaranya mengatasnamakan sebagai negara Islam walaupun
masing-masing memiliki bentuk negara maupun pemerintahan yang berbeda dan
mungkin malah saling bertentangan.
Umat Islam di suatu daerah tertentu memiliki kebebasan dan
tanggung jawab untuk bersama-sama merumuskan bentuk sistem sosial yang tepat
bagi penerapan nilai-nilai Islam. Demikian juga dengan bentuk negara hendaknya dimusyawarahkan
oleh sekelompok umat Islam yang berdomisili di suatu daerah tertentu. Dalam
kasus minoritas umat Islam di Ethiopia pada zaman Nabi Muhammad SAW tidak
dibebani dan memang tidak mungkin bagi mereka mendirikan negara Islam (2000b: 56). Bentuk negara Islam
yang ada merupakan hasil ijtihad yang mencari legitimasi pada Islam, dan Gus
Dur tidak menentang keberadaan negara yang mengatasnamakan Islam.
Di Indonesia, umat Islam tidak mendirikan negara
Islam tetapi negara bangsa yang berdasarkan pada ideologi Pancasila. Negara
Pancasila bukan negara agama dan bukan negara sekuler karena Pancasila mengakui
adanya Tuhan Yang Esa, disamping adanya suatu kementerian/lembaga yang
mengurusi kepentingan umat Islam dalam menjalankan ibadahnya. Keberadaan negara
Pancasila dilegitimasi oleh hukum fiqih NU dan diakui eksistensinya selama negara
masih diikuti
pola perilaku formal negara yang tidak bertentangan dengan hukum fiqh.
Kasus-kasus penyimpangan dari “pola umum” perilaku formal negara itu tidaklah
sampai kepada penolakan bentuk kenegaraan dan proses pemerintahan yang sudah
ada.
Penerimaan bentuk final negara Pancasila didasarkan pada keyakinan Gus
Dur kalau Islam tidak punya konsep negara Islam. Dia mengikuti argumen Ali
Abdel Raziq dalam bukunya Al-Islam wa Qawa’id
al-Sulthanan (Islam dan Sendi-Sendi Kekuasaan). Pertama, dalam Al-Qur’an tidak pernah ada doktrin. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri
tidak memperlihatkan watak politis, melainkan moral. Ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme
penggantian jabatannya (Wahid, 2000a: 1). Tidak adanya konsep negara dalam
Islam karena sesuai dengan pendekatan universalitas agama Islam itu sendiri.
1.
Maka Bijaksana Allah yang tidak menentukan (secara qath’i) sistem kenegaraan. Karena Maha
Mengetahui-Nya, bentuk negara di jagad raya ini bervariasi; sesuai dengan letak
geografi dan demografi masing-masing kawasan.
2.
Tugas para Nabi dan Rasul tidak untuk membentuk negara,
tetapi membentuk kemanusiaan manusia; memberi pribadi manusia dan membentuk
watak manusia. Hadits: “Antum a’lamu bi
umuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan duniamu)”. Meskipun demikian,
dasar-dasar pengelolaan negara –jika diinginkan stabil- telah diletakkan
sedemikian rupa, dengan signifikan. Dua sisi kecenderungan sebuah negara disiratkan
dengan firman Allah: “Wa syaawirhum fil
amr” (QS Al-Imran 159), bagi negara monarkhi dan “Wa amruhum syuura bainahum”, bagi negara demokrasi (Bisri, 2000:
viii-ix).
Memang sangat ideal bila kita dapat mendirikan negara Islam. Namun
caranya harus secara evolusioner agar tidak terjadi kekerasan atas nama Islam.
Pemikiran para teoritisi politik terkenal dalam Islam tidaklah mencari pola
idealisasi bentuk kenegaraan. Ibn Abi Ruba’i, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Ibn
Khaldun dan Al-Mawardi jelas-jelas menempuh perbaikan keadaan secara gradual,
dengan mencoba mencari masukan dari fiqh untuk menyempurnakan bentuk-bentuk
negara yang telah ada. Hanyalah Al-Farabi yang mencoba menyusun sebuah utopia
berjudul “Negara utama” (Al-Madinah
Al-Fadhilah).
Berdasarkan kategori tersebut maka Indonesia bukan termasuk negara
Islam, karena syariah tidak dijadikan sebagai dasar negara. Indonesia dapat
dikategorikan sebagai dar Sulf (negara
damai) sehingga harus dipertahankan karena syariah (dalam bentuk hukum
agama/fiqih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di
dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW dikenal juga negara damai seperti negara Habsyi (Ethiopia ) yang
melindungi minoritas umat Islam di dalamnya. Umat Islam di Ethiopia ini tidak
dibebani dengan kewajiban mendirikan negara Islam, paling tidak mereka
mengikuti hukum agama yang termaktub dalam fiqih. Dari uraian ini kita tahu
bahwa jangkauan syariah dapat bersifat sangat luas mencakup semua aspek
kehidupan manusia dalam bidang ibadah maupun bidang kehidupan duniawi (muammallah), disamping penerapan hudud law. Sementara jangkauan syariah
di Malaysia ,
suatu negara yang berdasarkan Islam, tidak mencakup hudud law dan pemberlakuannya ditunda. Sementara jangkauan syariah
yang berlaku di Indonesia
identik dengan yang dijalankan minoritas umat Islam di Ethiopia pada zaman Nabi
Muhammad SAW.