Pilihan NU untuk menerima konsep negara bangsa
didasarkan pada kenyataan Indonesia sebagai negara pluralistik adalah sulit
untuk mendirikan negara Islam formal. Bila negara formal Islam dipaksakan maka
akan melahirkan kekerasan-balik (counterviolence)
yang mungkin lebih hebat dan berakibat pada peningkatan kekerasan yang tidak
terkontrol. Karena itu agama diperankan sebagai penjamin martabat manusia
(Wahid, 1998: 72).
Pertimbangan menerima konsep negara bangsa juga
didasarkan pada pertimbangan fiqh (hukum Islam). Memang sudah seharusnya
sebagai organisasi keagamaan, setiap langkah NU dilakukan untuk mengamalkan dan
melaksanakan ajaran Islam. Pilihan mensubordinasikan hukum Islam pada negara
didasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang menjadi pedoman NU berikut ini. Dalam
mengantisipasi berbagai gejala sosial NU tidak bersikap mutlak-mutlakan. Kewajiban
untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan
memperhatikan berbagai faktor lain. Jika kemampuan hanya menghasilkan sebagian saja,
maka yang sebagian itu tidak ditinggalkan. Orientasinya dalam melaksanakan
kewajiban diukur seberapa jauh dampak positif dan negatif itu. Kewajiban tidak
bisa dipaksakan jika ternyata dengan itu berakibat munculnya dampak negatif
yang menimbulkan kerugian bagi diri atau orang lain. Jika ternyata hal itu
harus menghadapi pilihan, langkah yang diutamakan ialah memilih yang paling
kecil resiko negatifnya. Tradisi pemikiran ini tidak berarti NU bersifat
pesimis, menyerah sebelum bertanding, karena NU juga melakukan jalb al-masalih (melaksanakan
kewajiban), tidak dalam kaitannya dengan aspek darurah (temporer) yang mungkin akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) (Haidar, 1998: 6).
Keputusan
mensubordinasikan Islam pada negara bangsa didasarkan juga pada tradisi
keilmuan yang dianut NU. Tradisi keilmuan NU mempertautkan secara organis
antara tauhid, fiqh dan tasauf secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka
panjang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan
ukhrowi dari kehidupan. Pada satu sisi NU percaya kepada barokah yang
memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba kepada Tuhannya. Pada sisi lain,
spritualitas yang dikongkritkan kedalam
rangkaian kegiatan ritualistik yang intensif memungkinkan adanya
“penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin,
sehingga terpelihara kontinuitas antara pandangan serba fiqih di satu ujung dan
intensitas penghayatan iman yang tinggi di ujung lain, membentuk sebuah
kesejarahan tersendiri (Wahid, 1999c:
154-5).
Berdasarkan tradisi keilmuan ini, NU memandang
persoalan kehidupan (kemasyarakatan/ bernegara) yang tidak bercorak
“hitam-putih”, karenanya penerapan hukum Islam tidak mensyaratkan ditegakkannya
negara Islam. Walaupun umat Islam tidak dapat mendirikan negara Islam, tetapi
itu tidak menghalangi mereka melaksanakan hukum Islam karena perpautan kedua
dimensi duniawi dan ukhrowi dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan
penolakan mutlak kepada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Dengan kata
lain, seburuk-buruk kehidupan dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguhan
dan ketulusan (Wahid, 1999c:
155).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar