Sabtu, 18 Februari 2012

Landasan Menerima Negara Pancasila


Pilihan NU untuk menerima konsep negara bangsa didasarkan pada kenyataan Indonesia sebagai negara pluralistik adalah sulit untuk mendirikan negara Islam formal. Bila negara formal Islam dipaksakan maka akan melahirkan kekerasan-balik (counterviolence) yang mungkin lebih hebat dan berakibat pada peningkatan kekerasan yang tidak terkontrol. Karena itu agama diperankan sebagai penjamin martabat manusia (Wahid, 1998: 72).
Pertimbangan menerima konsep negara bangsa juga didasarkan pada pertimbangan fiqh (hukum Islam). Memang sudah seharusnya sebagai organisasi keagamaan, setiap langkah NU dilakukan untuk mengamalkan dan melaksanakan ajaran Islam. Pilihan mensubordinasikan hukum Islam pada negara didasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang menjadi pedoman NU berikut ini. Dalam mengantisipasi berbagai gejala sosial NU tidak bersikap mutlak-mutlakan. Kewajiban untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan memperhatikan berbagai faktor lain. Jika kemampuan hanya menghasilkan sebagian saja, maka yang sebagian itu tidak ditinggalkan. Orientasinya dalam melaksanakan kewajiban diukur seberapa jauh dampak positif dan negatif itu. Kewajiban tidak bisa dipaksakan jika ternyata dengan itu berakibat munculnya dampak negatif yang menimbulkan kerugian bagi diri atau orang lain. Jika ternyata hal itu harus menghadapi pilihan, langkah yang diutamakan ialah memilih yang paling kecil resiko negatifnya. Tradisi pemikiran ini tidak berarti NU bersifat pesimis, menyerah sebelum bertanding, karena NU juga melakukan jalb al-masalih (melaksanakan kewajiban), tidak dalam kaitannya dengan aspek darurah (temporer) yang mungkin akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) (Haidar, 1998: 6).
Keputusan mensubordinasikan Islam pada negara bangsa didasarkan juga pada tradisi keilmuan yang dianut NU. Tradisi keilmuan NU mempertautkan secara organis antara tauhid, fiqh dan tasauf secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan terpautnya sendiri antara dimensi duniawi dan ukhrowi dari kehidupan. Pada satu sisi NU percaya kepada barokah yang memungkinkan intervensi hubungan seorang hamba kepada Tuhannya. Pada sisi lain, spritualitas yang dikongkritkan kedalam  rangkaian kegiatan ritualistik yang intensif memungkinkan adanya “penyiraman jiwa” dari kekeringan penghayatan iman dan kemiskinan batin, sehingga terpelihara kontinuitas antara pandangan serba fiqih di satu ujung dan intensitas penghayatan iman yang tinggi di ujung lain, membentuk sebuah kesejarahan tersendiri (Wahid, 1999c: 154-5).
Berdasarkan tradisi keilmuan ini, NU memandang persoalan kehidupan (kemasyarakatan/ bernegara) yang tidak bercorak “hitam-putih”, karenanya penerapan hukum Islam tidak mensyaratkan ditegakkannya negara Islam. Walaupun umat Islam tidak dapat mendirikan negara Islam, tetapi itu tidak menghalangi mereka melaksanakan hukum Islam karena perpautan kedua dimensi duniawi dan ukhrowi dalam kehidupan manusia tidak memungkinkan penolakan mutlak kepada kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat. Dengan kata lain, seburuk-buruk kehidupan dunia, ia haruslah dijalani dengan kesungguhan dan ketulusan (Wahid, 1999c: 155).

Tidak ada komentar: