Sampai saat ini belum ada
suatu pola sosial budaya yang dapat dipandang sebagai bentuk permanen
keindonesiaan, baik sebagai sistem nilai maupun pranata. Dengan demikian untuk
pertumbuhan, perkembangan, pertumbuhan dan masa depan Indonesia sendiri, umat
Islam sebagai mayoritas diharapkan memberikan kontribudi dan tanggung jawabnya
sesuai dengan posisi dan jumlahnya.[1] Dalam pada ini kesadaran sosiologis adalah bagian
penting yang tidak bisa tidak untuk menjadi object matter dalam rangka
menciptakan model yang sesuai atau khas Indonesia yang ditinjau secara sosiologis.
Abdul Wahid Hasyim adalah salah satu tokoh Islam Indonesia yang layak untuk
menjadi objek penelitian dalam rangka melakukan framing (pembingkaian)
pemikiran besarnya berdasar perspektif sosiologis.
Sebagai seorang
tradisionalis, Abdul Wahid Hasyim meskipun terikat dengan kultur tradisi yang
merupakan representasi dari NU (Nahdlatul Ulama) memiliki pemikiran yang sangat
khas dimana isu kolaborasi antara tradisi dan komederenan menjadi tema penting
yang sering diangkatnya.[2] Oleh karena itulah, pembacaan sosiologi pembaharuan
pemikirannya dikemukakan disini melalui teori tertib sosial Weber, agar tidak
terjadi justifikasi sepihak yang tidak adil.
Dalam Sosiologi Moderen yang
diusung oleh Webber, adalah penting mengemukakan tentang usaha menampilkan
tertib realitas sosial seorang pelaku masyarakat beserta penafsiran subjektif
si pelaku sendiri. dengan metodologi interpretatif (Verstehende Sociology)
sebagai sebuah kritik tajam terhadap keragaman positivisme yang tidak
mengindahkan batasan si pelaku tentang realitas yaitu dengan mendesakkan
sekehendak hatinya tafsiran dan kategori-kategori tentang realitas sosial itu.
Untuk menindaklanjuti model ini maka penulis perlu untuk melakukan beberapa hal
terkait dengan menyusun runutan sebagai berikut, tentang Islam dan perubahan di
Indonesia, Menyusun fakta-fakta yang sudah diketahui tentang tokoh yang akan
merangsang perhatian sosiologis.[3] Dalam pada ini, akan dapat diketahui sumbangan
penting Abdul wahid Hasyim terkait gagasan-gagasan pembaharuannya terhadap
persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh umat Islam, pemerintah dan
bangsa Indonesia secara keseluruhan. Isu-isu sentral yang hendak dibangunnya
akan terlihat jika penelitian dilakukan dalam bingkai sosiologis, yaitu dengan
menafsirkan ulang ide-ide pemikiran Abdul Wahid Hasyim, berikut adalah beberapa
pokok pemikirannya yang memungkinkan untuk dielaborasi lebih jauh berdasarkan
Sosiologi Weber. Berikut adalah ide-ide pembaharuan Wahid Hasyim dalam proses
pembentukan model Islam Indonesia yang diinginkannya, sebagai arti penting dari
Islam as model for Reality, untuk menghilangkan kesan dangkal pemahaman
Agama, dengan menggunakan runutan Sosiologi Agama Weber, penulis akan mengurai
beberapa sosiologi pembaharuan Islam Indonesia ala Wahid Hasyim dengan beberapa
analisis tentang Islam Indonesia dan respon terhap perubahan, ketokohan Wahid
Hasyim dan gagasan-gasan Praksisnya. Dalam masalah ini, perlu dikemukakan Islam
dan responnya terhadap pembaharuan yang menjadi prasyarat teori sosial Weber.
[1] M. Syafi’i
Anwar, “ Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid” dalam Jurnal
Ilmu dan Kebudayaan, No. 3, vol. IV. 1993
[2] Sebagai
tokoh tradisionalis akan dapat diketahui pemikirannya dalam ranah kultural yang
ingin menciptakan sebuah tatanan moral terhadap perubahan perkembangan Islam
Indonesia. Sebagai tokoh NU, sangat memungkinkan pemikiran Abdul Wahid Hasyim
yang terpengaruh dari organisasi Islam tradisional yang berafiliasi aktif
dengan negara dewasa ini. Inti dari tradisi tradisi keilmuan NU adalah
perpautan organis antara tauhid, fiqh, tasawuf, secara
tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan tersendiri
antara dimensi duniawi dan ukhrawi dari kehidupan. Yang paling disukai
dilingkungan NU adalah ungkapan berikut: “ Hidup didunia sangatlah penting,
kalau dijadikan persiapan untuk kebahagian akhirat, dan akan kehilangan artinya
jika tidak diperlakukan seperti itu”. Perpautan dimensi duniawi dan ukhrawi
dari kehidupan ini merupakan mekanisme kejiwaan yang berkembang dilingkungan NU
untuk menghadapi tantangan sekularisme terang-terangan (blatant) yang
timbul dari proses modernisasi.
[3] Bryan S.
Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber
(Jakarta: Rajawali, 1992 ), hlm. xiii-xiv.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar