Anggapan
bahwa kebudayaan Barat lebih unggul dibanding peradaban Islam telah lama ada
dalam benak sebagian ummat Islam, dan akhir-akhir ini anggapan itu terasa
semakin kuat sehingga mereka menganggap Islam perlu belajar dari Barat dalam
segala hal, bahkan termasuk dalam memahami Islam. Sementara itu terdapat pula
kalangan ummat Islam yang bersikap sebaliknya, yaitu menganggap kebudayaan
Barat tidak sesuai dengan peradaban Islam dan segala sesuatu yang berasal dari
Barat harus ditolak, padahal orang-orang ini pada saat yang sama sedang
menikmati hasil kepesatan teknologi Barat yang dimanfaatkan oleh hampir seluruh
Negara di dunia. Kedua anggapan diatas sama ekstrimnya dan sudah dapat diduga
bahwa keduanya tidak berangkat dari pemahaman yang akurat tentang peradaban
Islam dan kebudayaan Barat.
Kebudayaan
Barat & Problem ummat Islam
Kebudayaan Barat (Western Civilization), sejarahnya, adalah warisan yang
dikembangkan oleh bangsa Eropah dari akar kebudayaan Yunani kuno, yang kaya
dengan konsep filsafat, ilmu pengetahuan, politik, pendidikan dan kesenian,
yang dicampur dengan kebudayaan Romawi yang terkenal dengan rumusan
undang-undang dan hukum serta prinsip ketatanegaraan, dan unsur-unsur lain dari
budaya bangsa-bangsa Eropah, khususnya bangsa Jerman, Inggeris dan Perancis.
Agama Kristen yang tersebar ke Eropah justru lebih banyak dipengaruhi oleh
kebudayaan Barat daripada mempengaruhi, sehingga dalam agama ini unsur-unsur
kepercayaan Yunani kuno, Rumawi, Mesir dan Persia. Inilah agama satu-satunya
yang pusat asalnya berpindah, yaitu dari Yerussalam ke Roma, Italy. Ini
pertanda bahwa agama ini telah diambil alih oleh bangsa Eropah. Jadi kebudayaan
Barat bukan berdasarkan pada agama Kristen, ia adalah kebudayaan yang
berdasarkan pada filsafat.
Oleh
sebab itu perlu dicatat disini adalah bahwa kepesatan perkembangan kebudayaan,
ilmu pengetahuan dan teknologi Barat tidak berangkat dari ajaran agama. Ia
adalah kebudayaan yang bersendikan pandangan hidup sekuler. Pengaruh gelombang
kebudayaan Barat melalui kolonialisme dan imperialisme telah membawa dampak
yang cukup serius terhadap negara-negara dunia ketiga yang terjajah. Pandangan
hidupnya yang sekuler dan kultural itu mengandung elemen-elemen yang efektif
merubah atau sekurang-kurangnya mengacaukan pandangan hidup masyarakat yang
menjadi obyek westernisasi.
Gelombang
modernisme ini mengingatkan kita pada gelombang Hellenisme yang mengepakkan
sayapnya ke berbagai pusat kebudayaan dunia masa itu, termasuk ke dalam peradaban
Islam. Dan untuk itu perlu dibandingkan bagaimana kondisi ummat Islam ketika
gelombang itu melanda mereka. Di zaman Hellenisme ummat Islam memiliki
kemampuan dan kekuatan konseptual untuk mengadapsi atau mengislamkan filsafat
Yunani. Kekuatan konseptual itu untuk mengadapsi itu tidak lain adalah ilmu
pengetahuan yang berakar pada pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Sedangkan di zaman modern-postmodern ini ummat Islam tidak memiliki kekuatan
seperti dizaman menyebarnya gelombang Hellenisme.
Mengapa
ummat Islam dizaman sekarang ini tidak mempunyai kekuatan itu lagi? Jawabannya
sungguh kompleks yang intinya berkisar pada problem ilmu pengetahuan dan
hal-hal yang diakibatkannya dalam bentuk lingkaran setan. Jika sebab-sebab itu
ditelusur dari sejak kejatuhan Baghdad dan kelemahan kekuasaan politik Islam di
berbagai pelosok dunia, dampak yang mendasar adalah timbulnya problem Ilmu.
Kondisi politik saat itu tidak kondusif untuk pengembangan ilmu, banyak ulama
yang harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga struktur
masyarakt tidak lagi mendukung untuk kelanjutan tradisi intelektual. Meskipun
kegiatan dalam skala kecil masih dapat terus berlangsung hingga kini.
Jika
kita lacak dari problem ilmu yang berarti juga problem pendidikan maka akibat
langsungnya adalah rendahnya kualitas pemimpin dan kondisi politik Islam yang
akhirnya juga kembali lagi berdampak kepada proses pengembangan ilmu
pengetahuan di masyarakat. Terlepas dari mana kita mencari sebab sebab utama
kelemahan ummat, tapi yang jelas situasi yang tidak kondusif bagi pengembangan
ilmu pengetahuan itu telah mengakibatkan lemahnya penguasaan ummat Islam
terhadap konsep-konsep sentral dan fundamental yang digali dari dalam ajaran
dan pandangan hidup Islam.
Selain
jawaban dari kondisi internal ummat Islam, terdapat pula bukti-bukti adanya
faktor eksternal yang menjadi penyebab kelemahan ummat. Selain sebab invasi
militer yang kasat mata, juga terdapat sebab non-fisik yang mempengaruhi
pemikiran ummat Islam. Sebab-sebab itu tidak lain dari pemikiran Barat yang
merasuk kedalam dan merusak pemikiran ummat Islam melalui berbagai bentuk dan
medium. Dalam bidang pendidikan, misalnya, konsep pendidikan sekuler yang
dibawa bersama dengan proses penjajahan membawa serta penyebaran prinsip-prinsip
ilmu, filsafat dan pandangan hidup Barat; tradisi-tradisi kebudayaan sekuler
disebarkan melalui medium hiburan, nilai-nilai postmodernisme dengan konsep
liberalismenya dibawa bersama dengan konsep pasar bebas, teknologi informasi
dan pemikiran filsafat.
Dalam
bidang pemikiran Islam kajian Orientalisme memang sudah lama dikenal sebagai
kajian atau pemikiran Islam ala Barat, yang tidak saja sarat dengan
"religious prejudice" tapi juga diwarnai oleh mind-set up yang
sekuler dan cara brefikir yang dikotomis. Bagi cendekiawan Muslim yang tidak
memiliki framework kajian Islam yang mapan dan juga tidak mempunyai pemahaman
yang jeli tentang karakter berfikir dikotomis Barat, tentu akan mengagumi
pemikiran para orientalis itu dan serta merta memakainya dalam pemikiran
keagamaan mereka. Karena memang teknik penulisan para Orientalis itu
benar-benar mengikuti standar ilmiah. Tapi bukankah kebohongan dan kepalsuan
itu juga dapat terjadi dalam dunia ilmiah?
Kini
jelaslah bahwa berbeda dari kondisi ummat dizaman gelombang Hellenisme, dizaman
modern-postmodern ini kondisi ummat Islam sangat lemah, khususnya dibidang ilmu
pengetahuan. Dalam kondisi yang lemah inilah arus pemikiran Barat telah masuk
kedalam pemikiran ummat Islam melalui berbagai bidang kehidupan dan keilmuan,
sehingga konsep-konsep mereka merembes kedalam pemikiran ummat Islam tanpa
proses adaptasi secara konseptual. Akibatnya, konsep-konsep Islam dan Barat
difahami secara tumpang tindih (overlapp) dalam skala luas. Bahkan diantara
kalangan muda Muslim ada yang beranggapan bahwa Islamisasi adalah sekularisasi.
Ketika konsep-konsep dari kedua kebudayaan itu telah dianggap sama, maka
masyarakat Muslim terkondisi untuk menyimpulkan bahwa "antara Islam dan
Barat tidak ada perbedaan yang berarti"; "keduanya adalah produk
manusia dan untuk kebaikan nasib ummat manusia"; "tidak semua yang
dari Barat harus kita tolak", "agar dapat maju Islam harus belajar
dari Barat" dan ungkapan-ungkapan kesimpulan yang serupa.
Persoalannya
kesimpulan-kesimpulan yang menganggap Barat adalah sama dengan Islam itu timbul
dari pikiran ummat Islam disaat mereka berada pada kondisi yang lemah secara
konseptual dan dari pemahaman yang kurang akurat tentang esensi kebudayaan
Barat. Dalam situasi seperti ini apa yang diperlukan adalah ekposisi secara apa
adanya tentang hakekat pandangan hidup Barat yang menjadi dasar kebudayaannya.
Karya Prof.Dr.S.M.N.al-Attas, yang berjudul "Risalah Untuk Kaum
Muslimin", menjelaskan dengan sangat komprehensif esensi kebudayaan Barat
dan perbedaannya dengan Islam.
Oleh
karena itu terapi yang tepat untuk membangun peradaban Islam adalah melalui
pembenahan dalam bidang ilmu pengetahuan dimana konsep-konsep yang asli Islam
digali kembali. Disinilah konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan kontemporer
merupakan jawaban yang tepat untuk menghadapi arus modernisme, sekularisme,
liberalisme dan lain-lain yang berasal dari Barat.
Peradaban Islam
Berbeda dari kebudayaan Barat yang berasaskan pada filsafat, peradaban Islam
berlandaskan pada agama Islam yang berasal dari wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw. Esensi peradaban Islam dapat ditelusur melalui kajian
konsep-konsep kunci didalamnya, seperti 'ilm, 'amal, adab, din dan sebagainya.
Berfikir dan berilmu dalam Islam adalah kewajiban yang sama derajatnya dengan
kewajiban beramal saleh, bahkan iman merupakan sesuatu yang concomitant pada
kesemua kegiatan berfikir dan beramal, dalam artian keberadaan yang satu tidak
sempurna tanpa disertai oleh yang lain. Proses psikologis dan psikis yang
terpadu ini sudah di set dalam diri manusia sebagai potensialitas yang jika
diaktualisasikan secara proporsional ia akan memenuhi tujuan penciptaannya
sebagai sebaik-baik makhluk Tuhan (ahsunu taqwim) dan sebaliknya ia akan
menjadi makhluk yang paling hina (asfala safilin). Di Barat berfikir rasional
yang membawa kepada doktrin rasionalisme tidak memiliki dimensi iman dan amal.
Lagipun, konsep akal bukan sekedar bermakna mind, ia meliputi qalb, fuad,
bashar, aql dan sebagainya; dan karena itu konsep berfikir dalam Islam bukan sekedar
bermakna reasoning dalam pengertian Barat, tapi lebih kaya dari itu dan
meliputi unsur-unsur kejiwaan yang lebih menyeluruh seperti tafakkur, tadabbur,
ta'aqqul.
Konsep berfikir ini juga berkaitan dengan konsep 'ilmu yang merupakan pemberian
Allah Yang Maha Suci kepada manusia. Jika rasionalitas adalah esensi Islam,
maka para filosof Barat yang menjunjung prinsip rasionalitas itu dapat disebut
Ulama yang dapat dipastikan takut kepada Allah (yakhshallah), padahal sejatinya
tidak. Jika rasionalitas dikaitkan dengan 'ilm maka ia tidak dapat dipisahkan
dari iman, dan orang yang berilmu itu menjadi superior jika ia berangkat dari
atau berdasarkan pada iman kepada Allah (Lihat Qur'an 58:11).
Sebelum
seseorang beriman ia perlu mengetahui apa yang diimaninya, dan seorang mukmin
harus berilmu agar dapat beramal. Ilmu tanpa amal adalah gila, kata
al-Ghazzali, dan amal tanpa ilmu adalah sombong. Amal tanpa ilmu lebih banyak
merusak daripada memperbaiki dan amal tanpa ilmu akan menyesatkan, kata para
ahli hikmah. Jadi ilmu adalah prasyarat bagi amal dan memiliki peranan sentral
dalam peradaban Islam.
Peradaban
adalah derivasi dari kata adab. Adab sesungguhnya berarti jamuan makan yang
dalam konteks ini al-Qur'an merupakan jamuan spiritual (ma'dubah) yang terbaik
bagi ummat manusia. Maka para ulama terdahulu mengartikan adab sebagai ilmu,
ta'dib adalah pendidikan atau pananaman ilmu dan konsekuensi terkati seperti
iman, amal, dan akhlak. Ta'dib adalah usaha pengkaderan manusia-manusia
beradab, yaitu manusia yang mempunyai ilmu dan mempunyai moralitas yang tinggi
atau manusia-manusia yang ilmunya disertai amal dan sebaliknya. Manusia beradab
adalah individu yang dapat menempatkan sesuatu sesuai dengan kedudukan dan
tempatnya; individu yang dapat menempatkan kedudukan dirinya dihadapan
Penciptanya dan dikalangan masyarakatnya. Jika ia seorang rakyat jelata ia
mengetahui hak dan kewajibannya, jika ia seorang pemimpin ia mengerti arti
keadilan dan berlaku adil, jika ia seorang ulama ia berani mengatakan yang hak
dan yang batil kepada siapapun dan dimanapun, jika ia seorang seorang wakil
rakyat (politisi) ia dapat meletakkan (memilih) seseorang sesuai dengan
kapasitas dan keutamaannya baik dihadapan Tuhan maupun dan dihadapan manusia
(rakyat).
Jika
kita memahami adab seperti itu, maka kita harus merubah pemahaman kita terhadap
makna peradaban selama ini. Peradaban adalah suatu struktur sosial dan
spiritual yang merupakan sumbangan Islam yang berharga bagi ummat manusia.
Realitas sosial dan spiritual itu harus difahami secara integral, tidak dapat
dipisah-pisahkan atau dilihat secara sendiri-sendiri tanpa saling-berkaitan
seperti dalam tradisi dan kebudayaan Barat.
Oleh
sebab itu peradaban Islam tidak sama dengan kebudayaan Barat atau kebudayaan
asing lainnya, karena akarnya memang berbeda. Di Barat masyarakat berbudaya
atau civil society hanya menggambarkan kedudukan individu-individu itu
dihadapan Negara, sedang masyarakat beradab menggambarkan kedudukan individu
dihadapan Tuhan dan didepan masyarakatnya sekaligus. Struktur civil society
tidak melibatkan unsur-unsur spiritual, sedang struktur masyarakat beradab
adalah kombinasi aspek-aspek fisikal dan spiritual yang sesuai dengan esensi
kemanusiaannya. Manusia berbudaya adalah manusia yang tunduk pada aturan-aturan
Negara, sedang manusia beradab tunduk pada perintah Tuhan, aturan Negara dan
masyarakatnya sekaligus. Dalam civil society Tuhan "tidak boleh campur
tangan" mengenai urusan negara, sedang dalam masyarakat beradab
aturan-aturan dan perintah Tuhan mengejawantah dalam setiap gerak individu
masyarakat dan pemimpin Negara dan menghiasai berbagai gerak dan kegiatan
institusi negara, dalam suatu bangunan peradaban yang manusiawi.
Atas
dasar itu iman, ilmu dan amal setiap individu masyarakat adalah sine qua non
dalam bangunan peradaban Islam, yang aktualisasinya pasti tercermin secara
institusional dan tak terbantahkan, baik dalam bentuk organisasi sosial, partai
politik, lembaga pendidikan, bahkan Negara. Sebaliknya, organisasi sosial,
partai politik, lembaga pendidikan dan juga Negara yang dibentuk oleh
individu-individu Muslim yang tidak beradab atau yang memenuhi prasyarat bagi
pembentukan bangunan peradaban Islam hanya akan menjadi simbol-simbol dan
wadah-wadah yang secara substantif tidak mencerminkan wajah peradaban Islam
bahkan mungkin malah merusaknya.
Kesimpulan
Ringkasnya, Islam adalah agama yang berangkat dari kebenaran mutlak dari wahyu
Tuhan yang dalam dirinya terdapat nilai universal yang dapat mengakomodir
kebudayaan dan pemikiran asing dengan melalui proses Islamisasi. Sedangkan
Barat adalah kebudayaan yang bermula dari spekulasi akal belaka yang tiada
memiliki rujukan kepada kebenaran mutlak dan tiada akan pernah mencapai
kebenaran. Masalah yang dihadapi kebudayaan Islam hakekatnya bukanlah
kemunduran dalam bidang-bidang yang sifatnya fisikal, akan tetapi adalah
kerancuan (tumpah tindih) pemikiran, yaitu antara konsep-konsep Islam dan
konsep-konsep Barat sekuler. Karena itu perbedaan dan pembedaan Islam dan Barat
perlu dilakukan secara konsisten, agar dapat mengenali asal usul suatu konsep
dan pemikiran dan mengetahui proses ilmiah selanjutnya, apakah harus diadapsi
atau ditolak. Islamisasi bukanlah adopsi pemikiran asing kedalam Islam, tapi
lebih merupakan adapsi pemikiran luar dengan proses epistemologis yang meletakkan
realitas dan kebenaran dalam suatu kesatuan tawhidi. Kita tidak anti Barat tapi
bukan pula menganggap Barat sama atau bahkan lebih unggul dalam segala segi
dari Islam. Kita dapat mengambil manfaat dari kemajuan teknologi Barat, tapi
tidak dapat meniru pandangan hidup Barat yang sama sekali berbeda dari
pandangan hidup Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar