Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang
diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang
mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional harus dipertanyakan dan
diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa lampau tidak relevan
lagi di masa sekarang.[1]
Kata modern,
modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah yang terkait
dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena perubahan
makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki makna
yang kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna baru
lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun
demikian, apa yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya
dengan budaya, tidak akan memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan
datang atau dalam konteks yang lain.
Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan
perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20
tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri dari
penjajahan Barat, tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat
dari kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat, tantangan sosial-ekonomi adalah
bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan tantangan keagamaan
adalah bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta mendorong umat
untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.[2]
Bagi
muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan manusia di
dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang dipandang selalu sesuai dengan
semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi kaum modernis tugas setiap muslim
adalah mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan nyata.
Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam memiliki watak
ajaran yang universal. Universalitas ajaran Islam ini dilihat dari sapek isi
mencakup semua dasar norma bagi semua aspek kehidupan, baik yang berkaitan
dengan persoalan ritual maupun sosial, dari aspek waktu, Islam berlaku
sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk, Islam berlaku untuk semua umat
manusia tanpa memandang batasan etnik maupun geografis.
Dalam masalah ijtihad kaum modernis menganggap bahwa
kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka, sehingga kelompok
ini mengajak kepada seluruh ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu
melakukan interpretasi sepanjang masa.[3]
Rumusan
modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi,
dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan mengalami perkembangan yang luar
biasa di tangan Muhammd ‘Abduh. Tokoh terakhir ini disebut inspirator gerakan
pembaharuan dalam Islam yang sampai ke Indonesia . Kaum modernis di Indonesia
sering digolongkan kepada organisasi sosial keagamaan bernama Muhammadiyyah,
PERSIS, al-Irsyad dan sejenisnya.[4]
Di antara cirri dari gerakan
Islam modern adalah menghargai rasionalitas dan nilai demokratis. Semua anggota
memiliki hak yang sama dan semua tingkat kepemimpinan dipilih tidak diangkat.
Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan ulama menyangkut hak dan kewajiban
organisasi.[5]
Gerakan
ini di Indonesia memiliki
pengaruh kuat di kalangan kelas menengah kota ,
mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para professional. Sebagai
sebuah fenomena kota ,
di antara karakteristik gerakan ini adalah "melek huruf", yang pada
akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan. Sehingga pendidikan merupakan
program yang paling utama.[6]
Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus
diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini
cenderung menginterpretasikan ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai
pendekatan, termasuk dari Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola pikir
rasional,[7]
memiliki sikap untuk mengikuti model Barat di bidang pendidikan, teknologi, dan
industri atau telah terbawa oleh arus modernisasi.[8]
Pemikiran kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang teknologi ataupun
industri, akan tetapi juga merambah ke dalam bidang pemikiran Islam yang
bertujuan untuk mengharmonikan keyakinan Agama dengan pemikiran modern.
Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam ditandai
oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang
memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada
persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan social
kemasyarakatan.
Dikotomi di atas sering kita kelompokkan dalam dua organisasi besar
yaitu Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai representasi
kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah sebagai representasi kelompok
modernis.[9]
Namun dikotomi ini kemudian dianggap
tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih
terbuka terhadap modernitas.[10]
Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan
bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Menurutnya,
Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam
memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada
dalam kelompok tradisonalis.[11]
Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyyah,
menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yaitu paham
Jabariyyah yang mengakui kehendak mutlak Tuhan, ketidak bebasan manusia dalam
memilih perbuatannya dan memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi
masalah-masalah akidah.[12]
Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan
bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern
ketimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila,
pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.[13]
Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa
pola pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya
khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan
munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh
kalangan pemuda NU.
[3] Ibid., 127.
[4] Zainuddin Maliki, Agama
Priyayi, 41.
[6] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta:
LP3S, 1996).
[7] Kacung Marijan, Quo Vadis NU.
[8] Akbar S. Ahmed, Post
Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31.
[9] Ibid., 125.
[10] Azyumardi Azra, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7.
[11] Arbiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyah, 185.
[12] Ibid., 183.
[13] Muhammad Azhar, Fiqh
Peradaban (Yogyakarta : Ittaqa Press,
2001), 89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar