Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan
sendirinya bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Eksistensi
negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme
pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam
kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan
tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. Konsekuensi
pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan
penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah utama yang
dihadapi suatu bangsa yang telah membentuk negara. Dengan demikian, cara-cara
yang digunakan dalam melakukan perbaikan keadaan senantiasa bercorak gradual.
Pandangan tentang negara barulah akan bersifat penolakan bentuk yang ada, jika
keseluruhan tradisi keilmuagamaan yang dianut NU telah memberi legitimasi untuk
itu, seperti terjadi dengan fatwa “perang jihad” yang dikeluarkan Rais Akbar NU
K.H. Hasyim Asy’ari pada permulaan perang kemerdekaan, yang mendukung bentuk
negara baru RI (Wahid, 1999c:
156).
Bagi NU, siapa yang memegang pemerintahan tidak
penting karena yang harus dijaga adalah tetapnya negara. Prinsip adanya negara
harus diterima terhadap kenyataan tidak adanya negara (faudla) (Wahid, 2000b:
9). Karena tujuan didirikannya negara
adalah untuk mencegah anarkhi, dimana tertib sosial sebagai prasyarat bagi
tertib agama. Bahkan Imam Ghazali mengatakan seratus hari pemerintahan yang
otoriter adalah lebih baik daripada keadaan anarkhis.
Dengan maksud mencegah anarkhi maka pada tahun
1936 Muktamar NU di Banjarmasin membuat keputusan yang sangat unik, yang
nantinya akan melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik dan pemerintahan di
Indonesia, yakni mengklasifikasikan Indonesia yang sedang diperintah Hindia
Belanda sebagai negara Muslim (dar
al-Islam). Hal itu sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai status tanah
Hindia Belanda yang sedang diperintah oleh para penguasa non-Muslim Belanda,
apakah harus dipertahankan dan dibela dari serangan luar. Karena statusnya
sebagai dar al-Islam maka wajib hukumnya
secara fiqih untuk membela dari serangan luar. Jawabannya diambil dari salah
satu kitab kuning yang berjudul Bughyatul
Mustarsyidin karya Syaikh Hasan Al-Hadhrami, dikemukakan alasan pendapat
berikut: negara ini pernah mengenal adanhya kerajaan-kerajaan Islam;
penduduknya masih menganut dan melaksanakan ajaran Islam; dan Islam sendiri
tidak sedang dalam keadaan diganggu atau diusik (Wahid, 1989: 9).
Justifikasi Hindia Belanda sebagai dar al-Islam (negeri muslim), padahal dalam kenyataannya
pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah Hindia Belanda yang kafir, memiliki
dua makna yang sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa atau masyarakat. Di
satu pihak, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan
ajaran agamanya, sebagai condition sine
qua non bagi penerimaan Islam atas esksistensi negara tersebut, dan dengan
demikian memberikan tolak ukur yang jelas bagi kaum Muslimin dalam
kehidupannya. Di lain pihak, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan
bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi
politiknya ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu langsung memungkinkan
kaum Muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada ajaran Islam, disamping
kesetiaan pada negara yang bukan negara Islam. Dengan demikian, pola yang
berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi keagamaan
yang kuat (Wahid, 2004: 1).
Selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan
kehidupan beragamanya secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi
menjadi pusat perhatian. Pemikiran seperti ini pula yang melandasi pandangan
dasar kaum Al-ahlus sunnah wa al-jama’ah,
seperti penerimaan mereka atas Kekhalifahan Usmaniyah di Turki atas seluruh
dunia Islam, padahal mereka bukan dari suku Quraisy. (Menurut pandangan klasik
paham Sunni, kepemimpinan negara (imamah),
termasuk yang berbentuk kekhalifahan, haruslah berada di tangan orang Quraisy,
karena adanya hadits tentang hal ini). Dengan kata lain, pemerintahan ditilik dan
dinilai dari fungsionalisasinya, bukan dari norma formal dari eksistensinya,
negara Islam atau bukan.
Dasar NU melegitimasi keberadaan suatu negara
didasarkan pada kesediaan negara memfasilitasi suatu lembaga yang akan mengurus
kepentingan hukum Islam. Pada zaman Hindia Belanda, adanya lembaga kepenghuluan
yang memungkinkan umat Islam menjalankan syariat agama, walaupun bersifat
sebagian, dan sangat terbatas, menjadi alasan adanya celah kelembagaan yang
dapat mengatur kehidupan syariat Islam dijalankan oleh orang-orang Islam
sendiri (Haidar, 1998: 95). Kebijakan
yang serupa juga dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Setelah
Indonesia merdeka dan menjadi negara Pancasila maka eksistensinya dilegitimasi
oleh fiqih NU, dengan konsekuensi Menteri Agama pertama KH A. Wachid Hasyim
(1946-1956) mensubordinasikan syariah (hukum agama) pada supremasi ideologi
Pancasila. Kalau mempertahankan pemerintahan nonmuslim dilihat
dari sudut pandang agama adalah kewajiban utama, maka mempertahankan pemerintah
oleh kaum muslimin (Soekarno, Hatta, dan Syahrir) adalah kewajiban agama juga.
Ketentuan yang sama itu juga yang membuat NU
menolak kehadiran “NII” yang didirikan oleh Kartosuwiryo, bahkan sejak semula
para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat
(pemberontak) yang harus dibasmi. Untuk keperluan itulah, dikukuhkan kedudukan
Kepala Negara RI menjadi waliyyul amri
dharuri bissyaukah (pemegang pemerintahan sementara dengan kekuasaan
penuh), oleh sebuah pertemuan ulama yang didominir ulama NU. Presiden RI diterima
sebagai pemegang pemerintahan, karena negara telah ada dan harus ada yang
memimpin. Kedudukannya bersifat sementara (hingga hari kiamat), karena ia tidak
dipilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu (halul halli wal aqdi), melainkan melalui proses lain, sehingga
tidak sepenuhnya memiliki keabsahan di mata hukum fiqh. Namun kekuasaannya
harus tetap efektif, karenanya ia berkuasa penuh. Atas dasar kekuasaannya itu,
ia berwewenang mengangkat pejabat-pejabat agama melalui pendelegasian wewenang
itu kepada menteri agama (Wahid, 1999c:
156-164).
Pemikiran progresif KH A. Wachid Hasyim diteruskan dan dikembangkan lebih jauh lagi oleh duet kepemimpinan KH Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang
masing-masing terpilih sebagai Rais `Am NU dan Ketua Umum PBNU
NU dalam Mukhtamar NU ke-27 di Situbondo tahun
1984. Perlu diketahui KH Achmad Siddiq pernah menjadi sekretaris pribadi Menteri
Agama KH Wachid Hasyim; sedangkan Gus Dur mewarisi pemikiran progressif ayahnya
KH Wachid Hasyim. Kebijakan NU menyangkut hubungan Islam dengan
negara Pancasila cenderung bersifat pragmatis, mengikuti perkembangan yang
terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam mensikapi perkembangan
tersebut NU hanya mendasarkan pada prinsip-prinsip fiqih (hukum agama) seperti
yang saya kemukakan di atas, terutama mencegah kerusakan lebih diutamakan
daripada menegakkan kewajiban agama. Karena itu NU tidak memaksakan pendirian
negara Islam, baik pada waktu menjelang kemerdekaan maupun dalam sidang-sidang
Dewan Konstituante (1957-1959); tetapi NU tidak pernah berhenti berusaha di
dalam usahanya memberikan penerangan agama supaya umat siap menerima negara
Islam. Bisa diibaratkan hubungan agama dan negara seperti hubungan pesantren
dan masyarakat sekitarnya. Pesantren puas dengan kedudukannya sebagai
sub-kultur yang menjadi panutan bagi masyarakat di sekitarnya; dan pihak
masyarakat cukup mengakui peranan sentral ini. Pesantren merumuskan
produk-produk hukum agama yang tidak bersikap mengikat semua masyarakat, dan
pesantren memberi teladan pelaksanaan hukum-hukum agama di dalam masyarakat
tersebut.
Hubungan Islam dan negara
Pancasila dirumuskan secara jelas pada tahun 1984 dalam Mukhtamar NU yang
dikomandoi oleh KH Ahmad Siddiq dan Gus Dur. Hal ini dilakukan sebagai jawaban
terhadap kebijakan deideologisasi partai politik Islam yang dilancarkan oleh
regim Soeharto yang otoriter. Diputuskan bahwa negara Pancasila adalah bentuk
final perjuangan umat Islam di Indonesia. Akhirnya dengan kesadaran NU menolak
strategi perjuangan Islam dan mengikuti strategi
pembangunan nasional yang diprakarsai oleh
Abdurrahman Wahid. Dia menolak kecenderungan monolitik untuk
menegaskan kembali nilai-nilai Islam karena hanya akan mengalienasi
gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga negara yang lebih
luas. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak
menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan
(sense of exclusion), sehingga
melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Karena itu Gus
Dur mengajak untuk menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada
Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih
besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan
yang lain dan kepribadian global (Wahid, 1998: 72).
Gus Dur sejalan dengan Asghar Ali Engineer dalam papernya Islamic State dan the Secular State .
Tujuan berdirinya negara Islam sudah penuhi oleh gagasan negara modern yang
bersifat sekuler karena persamaan tujuan antara negara sekuler dan negara
Islam, yaitu sama-sama melindungi hak-hak pribadi para warga negaranya,
sedangkan masalah selainnya itu hanya bentuk luar yang dapat saja diubah oleh
rakyat melalui lembaga perwakilan (Wahid, 1999b : 22). Gus Dur juga sejalan
dengan mantan Mahkamah Agung di Mesir, Muhammad Said Al-Ashmawi, bahwa hukum
Napoleon dari Barat yang menjadi landasan Hukum Pidana Mesir saat ini telah
memenuhi ketentuan-ketentuan syariah karena hukum itu telah menampung dua hal
penting dari syariah, yaitu unsur ketahanan (detterence) dan hukumnya (punitive)
(Wahid, 2000b: 7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar