Gus Dur mengemukakan
konsep dualisme legitimitas antara agama dan negara, yakni negara memberikan
legitimasi pada agama-agama yang ada, termasuk agama Islam, dan agama Islam
yang dipeluk mayoritas bangsa ini memberikan legitimasi pada negara. Gus Dur
dengan tegas menandaskan negara Pancasila tidak berkepentingan dengan negara
agama, dalam hal ini negara Islam. Karena itu negara Pancasila tidak
dimaksudkan untuk menerapkan hukum-hukum Islam (Wahid, 2000b: 11). Komitmen
umat Islam pada negara Pancasila berkaitan dengan urusan keduniawian
(muamalah), yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian hal ini
mempunyai dimensi ibadah, karena umat Islam melakukan semua urusaan keduniawian
itu sebagai bagian dari pengabdiaannya kepada Allah. Mereka ikhlas melakukan
semua urusan keduniawian demi kemaslahatan umum, menciptakan masyarakat adil
dan makmur.
Sebaliknya negara tidak
perlu terlalu jauh mencampuri urusan agama. Karena itu Gus Dur tidak setuju
dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan suatu agama sebagai agama resmi.
Pemerintah Orde Baru hanya mengakui 5 agama resmi, yaitu Islam, Katholik,
Protestan, Hindu, dan Budha, disamping diakui juga aliran kepercayaan kepada
Tuhan YME. Dengan hal ini pemerintah Orde Baru sudah terlalu jauh memasuki
wilayah keyakinan pemeluk agama. Kebijakan seperti ini jelas sangat berbahaya
bila digunakan oleh pemerintah untuk mengadu domba kekuatan di dalam masyarakat
demi mempertahankan kekuasaannya. Bila suatu lembaga keagamaan bentukan
pemerintah seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi Islam dan PGI (Persekuan
Gereja Indonesia) bagi Protestan, diberi legitimasi oleh pemerintah untuk menindas
suatu cabang yang tumbuh dalam suatu agama maka kehancuran suatu cabang itu
berarti juga akan melemahkan kekuatan umat beragama itu secara keseluruhan;
lalu pemerintah akan dengan mudah mengendalikan dan mengontrol umat beragama
tersebut. Ketika muncul kasus Kong Hu Cu misalnya, Gus Dur termasuk salah seorang yang menentang sikap
pemerintah yang terlampau jauh menggunakan otoritasnya sampai memasuki wilayah
keyakinan pemeluk agama. Pada waktu itu pemerintah, dalam hal ini catatan
sipil, tidak mau mengakui perkawinan dua warga Kong Hu Chu karena Kong Hu Chu
bukanlah agama yang diakui secara resmi negara.
Dalam pandangan Gus
Dur, negara hendaknya hanya bertugas mengatur jalannya kehidupan antar maupun
inter umat beragama. Karenanya negara dituntut bersikap adil dan tidak boleh
berpihak kepada salah satu agama. Dalam pandangan Gus Dur, pemerintah bertindak
sebagai polisi lalulintas, yang mengatur jalannya lalu lintas hubungan antara
umat beragama. Dasar untuk mengatur hubungan itu adalah dasar negara Pancasila.
Negara tidak boleh memonopoli penafsiran Pancasila, mengingat Pancasila adalah
ideologi terbuka, sebagai suatu kompromi politik dari
berbagai kekuatan, sehingga semua umat beragama diberi kebebasaan untuk
berpartisipasi dalam memaknai ideologi Pancasila. Gus Dur menyakini demokrasi adalah
nilai yang paling prinsip dalam Pancasila dan harus dijunjung tinggi untuk
menyelesaikan berbagai persoalan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
maupun bermasyarakat. Termasuk persoalan ideologi. Pancasila sebagai ideologi
terbuka harus mengakomodasi semua ideologi/isme yang berkembang di masyarakat,
termasuk politik Islam (Wahid, 1991).
Dualisme hubungan agama
dan negara sepintas nampak bersifat sekuler. Tapi jika kita coba memahami lebih
mendalam lagi, justru Gus Dur ingin mengembalikan agama kepada keadaannya yang
genuine dan autentik. Yaitu agama yang bersifat memperibadi, sebagai tindakan
privat yang lebih menekankan pada pencapaian pengalaman spiritual. Keadaan
seperti ini dapat dicapai jika agama terbebaskan dari segala bentuk
objektivikasi yang biasanya muncul dari wilayah publik. Bisa jadi yang publik
itu berasal dari habitat yang sama seperti organisasi keagamaan, maupun dari
wilayah publik lain seperti politik. Dalam konteks kehidupan agama di Indonesia ,
realitas publik yang disebut terakhir patut memperoleh perhatian mengingat daya
penetrasinya yang kuat, terutama ketika dalam suatu epoch politik menjadi
sesuatu yang paling dominan. Apa pun wilayah politiknya, baik yang ada dalam
lingkup negara maupun masyarakat, resistensi agama seringkali kurang begitu
kokoh dalam menghadapi praktek manipulasi, seperti kecenderungan
mengatasnamakan tindakan politik tertentu dengan simbol agama.
Gus Dur sangat menyadari
kalau agama tidak bisa dipisahkan dari politik karena agama merupakan sumber
nilai. Apalagi Islam sebagai agama hukum sangat berkepentingan untuk
menundukkan semua persoalan kepada syariah (hukum agama). Oleh karena itu, agar
politik dapat memberikan kemaslahatan kepada publik maka agama perlu diperankan,
bukan dalam wujudnya yang bersifat formalistik, melainkan yang substantif dalam
pengertian agama diarahkan pada upaya pemberian dasar-dasar etik dan moral
terhadap seluruh proses politik.
Ini berarti jalannya pemerintahan tidak lalu terlepas sama sekali dari
kendali keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijakan pemerintah
senantiasa disesuaikan kepada ketentuan-ketentuan fiqih, sehingga sikap itu
sendiri sering diterima oleh kalangan pemerintah sendiri sebagai hambatan di
kala melaksanakan wewenangnya. Untuk kepentingan penilaian apakah jalannya
pemerintahan tidak bertentangan dengan ketentuan fiqh, digunakan tolok ukur
sejumlah kaidah fiqh, seperti “kebijakan kepada pemerintahan harus mengikuti
kesejahteraan rakyat” (tasharruful imam
‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah) (Wahid, 1999c: 159).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar