Bangsa Indonesia seringkali
disebut sebagai negeri dengan masyarakat yang majemuk (plural) disebabkan
hampir semua agama-agama besar (Islam, Kristen, Hindu, Buddha) terwakili
dikawasan ini.[1] Seperti dicatat oleh In’am Esha bahwa Indonesia
merupakan salah satu bangsa paling plural didunia. Kurang lebih 17.000 pulau baik besar ataupun kecil,
berpenghuni ataupun tidak telah membentuk Indonesia, hingga dikenal sebagai
negara kepualauan terbesar didunia, di samping itu tentu merupakan negara
dengan kebudayaan yang sangat beragam. Indonesia, sebagaiman kita tahu bahwa
kurang lebih 400 kelompok etnis, dengan bahasa mereka masing-masing.[2] Kemajemukan ini, jika tidak didasarkan pada asas
toleransi pada keragaman Indonesia ini tentu akan mengakibatkan disintegrasi[3] besar-besaran secara internal yang akan mengancam
keutuhan berbangsa.
Dalam pidatonya yang
berjudul “Tugas Pemerintah dalam
Agama” merupakan bentuk pengenalan kementrian Agama kepada masyarakat
karena tidak lain kementrian Agama adalah bagian dari pemerintahan. Maka tugas
Agama harus memenuhi bahwa ajaran Agama adalah ajaran yang memberi pedoman
orang baik didunia, dan melalui pemeluk agama pula pemerintah berhutang budi
atas kemerdekaan Indonesia. wahid Hasyim mencontohkan bagaimana Islam sebagai
agama mampu mengedepakan sikap tasammuh/ toleransi, demokrasi sehingga
tercipta UUD 1945 dan pancasila, sebagai bentuk rasa nasionalisme, persaudaraan
dan demokrasi. Untuk itulah sudah sewajarnya jika kementrian Agama yang
merupakan kepanjangan pemerintah memberikan pelayanan terbaik kepada kerukunan
antar umat beragama. Dalam hal ini Wahid Hasyim menilai umat beragama di
Indonesia harus memiliki semangat keagamaan sangat tinggi hingga ingin menjadikan
Indonesia sebagai negara agama: ada pula yang semangat keagamaannya lemah yaitu
jarang melakukan pola peribadatan atas kepercayaannya; dan ada pula yang
mengalami ketakutan akan keberadaannya karena ia adalah penganut agama yang
minoritas. Kondisi ini membuat mereka meminta perhatian yang berbeda-beda pula
pada kementrian agama.[4]
Hubungan antara negara dan
agama merupakan masalah fundamental dalam sistem kenegaraan moderen . hampir
setiap negara muslim terlibat dalam pergumulan intens dalam mecari formulasi
yang tepat bagi situasi dan kondisi masing-masing negara dan syariah didunia
Islam kontemporer. Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di
Dunia, tidak ketinggalan ikut menyumbangkan ijtihadnya sendiri dalam mencari
mozaik hubungan ini. Di Indonesia, pola hubungan antara negara dan syari’ah
mengalami pasang surut: dari diplomasi halus sampai hal-hal yang anarkis. Salah
satu faktor pembeda utama , jika dibandingkan dengan negara-negara Muslim
lainnya, adalah karena Indonesia terletak dipinggiran Dunia Islam. hal ini
seharusnya menjadi pelajaran umat Islam untuk berbudaya toleran dikarenakan
Islam dan masih merupakan “ Pendatang baru” ketika gagasan negara moderen
diperkenalkan.[5]Dalam
tradisi islam Indonesia sifat kegotong royongan merupakan ciri khas orang-orang
Indonesia.[6]
Secara sosiologis hal ini
harus dipandang sebagai usaha Abdul Wahid untuk menciptakan harmoni antara
Islam dan tradisi yang berkembang pra Islam dalam konteks Indonesia yang
merupakan Islam diluar perbatasan atau dengan istilah lain disebut “Islam
periferal”.[7] Dengan apa yang telah dilakukannnya dalam hal
kompromi antara tradisi pra Islam Indonesia dengan Islam sebagai pendatang,
abdul Wahid Hasyim telah menjawab teka-teki, meminjam istilah Braudel“dialogue
of the deal” antara sejarah dan teori sosial.[8]
Masih dalam kerangka
sosiologis, usaha Abdul Wahid Hasyim ini tanpa disadari memberikan spirit
kepada umat Islam Indonesia agar bersikap toleran terhadap persilangan antar
agama, kebudayaan, dan lain-lain yang merupakan keniscayaan sejarah. Hal ini
merupakan salah satu dari inti ajaran Islam tentang kasih (rahmah),
kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah ‘ammah),
dan keadilan,[9] yang dalam kaidah ushul Fiqh bersifat
universal, melintasi ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan).
Kesadaran Abdul Wahid Hasyim
tentang Indonesia yang unik dan plural dibawah satu identitas[10] haruslah adanya kesadaran bahwa sebuah identitas
dibentuk oleh unsur-unsur yang kompleks yang mengharuskan adanya toleransi
antar persilangan kelompok-kelompok. Jika toleransi diindahkan tanpa melihat
keragaman yang dimiliki oleh Indonesia hal ini akan mengancam integrasi antar
kelompok di Indonesia yang merupakan unsur-unsur pembentuk identitas kebangsaan
Indonesia.
[1] Nurcholish
Madjid, Islam ,Doktrin dan Peradaban: Sebuah telaah Kritis tentang
Masalah keimanan, Kemanusiaan, dan kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2005),
hlm.177.
[2] Muhammad
In’am Esha, Rethingking kalam:
Sejarah Sosial Pengetahuan Islam, mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan
Kalam Islam Kontemporer (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2006), hlm.124.
[3] Baca:
Muhammad In’am Esha, Rethingking
kalam: Sejarah Sosial Pengetahuan Islam, mencermati Dinamika dan Aras
Perkembangan Kalam Islam Kontemporer...hlm. 125.
[4] Mohammad
Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953...hlm.111.
[5] Yudian
Wahyudi, Islam: Percikan Sejarah, Filsafat, Politik, Hukum dan Pendidikan
(Yogyakarta: Nawesea Press, 2010), hlm. 67.
[6] Rifyal
Ka’bah “ Wawasan Islam Keindonesiaan dalam konteks Islam Universal” dalam
Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia Akmal Nasery dan A. M. Saefuddin
(ed.), (Bandung: 1996), hlm. 29.
[7] Islam
pinggiran atau periphery Islam
adalah Islam yang berada pada wilayah pinggiran baik secara geografis maupun
pelopornya. Baca: Yudian Wahyudi, Dinamika Politik “ Kembali Kepada
Al-Qur’an dan Sunnah” di Mesir, Maroko dan Indonesia (Yogyakarta: Nawesea
Press, 2010), hlm. 24.
[8] Fernand
Braudel, “History and Sociology” dalam Fernand Braudel (ed.), On History
(Chicago: 1980), hlm. 64-82. dan Peter Burke, History and social theory.
Cambridge: Polity Press, 2007.
[9] Moqsith
Ghazali, Argumen Pluralisme Agama (Jakarta: KataKita, 2009), hlm. 215.
[10] Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam:
Representasi dan Ideologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar