Sabtu, 18 Februari 2012

Toleransi (Tasamuh)



Bangsa Indonesia seringkali disebut sebagai negeri dengan masyarakat yang majemuk (plural) disebabkan hampir semua agama-agama besar (Islam, Kristen, Hindu, Buddha) terwakili dikawasan ini.[1] Seperti dicatat oleh In’am Esha bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa paling plural didunia. Kurang lebih  17.000 pulau baik besar ataupun kecil, berpenghuni ataupun tidak telah membentuk Indonesia, hingga dikenal sebagai negara kepualauan terbesar didunia, di samping itu tentu merupakan negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. Indonesia, sebagaiman kita tahu bahwa kurang lebih 400 kelompok etnis, dengan bahasa mereka masing-masing.[2] Kemajemukan ini, jika tidak didasarkan pada asas toleransi pada keragaman Indonesia ini tentu akan mengakibatkan disintegrasi[3] besar-besaran secara internal yang akan mengancam keutuhan berbangsa.      
Dalam pidatonya yang berjudul  Tugas Pemerintah dalam Agama” merupakan bentuk pengenalan kementrian Agama kepada masyarakat karena tidak lain kementrian Agama adalah bagian dari pemerintahan. Maka tugas Agama harus memenuhi bahwa ajaran Agama adalah ajaran yang memberi pedoman orang baik didunia, dan melalui pemeluk agama pula pemerintah berhutang budi atas kemerdekaan Indonesia. wahid Hasyim mencontohkan bagaimana Islam sebagai agama mampu mengedepakan sikap tasammuh/ toleransi, demokrasi sehingga tercipta UUD 1945 dan pancasila, sebagai bentuk rasa nasionalisme, persaudaraan dan demokrasi. Untuk itulah sudah sewajarnya jika kementrian Agama yang merupakan kepanjangan pemerintah memberikan pelayanan terbaik kepada kerukunan antar umat beragama. Dalam hal ini Wahid Hasyim menilai umat beragama di Indonesia harus memiliki semangat keagamaan sangat tinggi hingga ingin menjadikan Indonesia sebagai negara agama: ada pula yang semangat keagamaannya lemah yaitu jarang melakukan pola peribadatan atas kepercayaannya; dan ada pula yang mengalami ketakutan akan keberadaannya karena ia adalah penganut agama yang minoritas. Kondisi ini membuat mereka meminta perhatian yang berbeda-beda pula pada kementrian agama.[4]
Hubungan antara negara dan agama merupakan masalah fundamental dalam sistem kenegaraan moderen . hampir setiap negara muslim terlibat dalam pergumulan intens dalam mecari formulasi yang tepat bagi situasi dan kondisi masing-masing negara dan syariah didunia Islam kontemporer. Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di Dunia, tidak ketinggalan ikut menyumbangkan ijtihadnya sendiri dalam mencari mozaik hubungan ini. Di Indonesia, pola hubungan antara negara dan syari’ah mengalami pasang surut: dari diplomasi halus sampai hal-hal yang anarkis. Salah satu faktor pembeda utama , jika dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya, adalah karena Indonesia terletak dipinggiran Dunia Islam. hal ini seharusnya menjadi pelajaran umat Islam untuk berbudaya toleran dikarenakan Islam dan masih merupakan “ Pendatang baru” ketika gagasan negara moderen diperkenalkan.[5]Dalam tradisi islam Indonesia sifat kegotong royongan merupakan ciri khas orang-orang Indonesia.[6]
Secara sosiologis hal ini harus dipandang sebagai usaha Abdul Wahid untuk menciptakan harmoni antara Islam dan tradisi yang berkembang pra Islam dalam konteks Indonesia yang merupakan Islam diluar perbatasan atau dengan istilah lain disebut “Islam periferal”.[7] Dengan apa yang telah dilakukannnya dalam hal kompromi antara tradisi pra Islam Indonesia dengan Islam sebagai pendatang, abdul Wahid Hasyim telah menjawab teka-teki, meminjam istilah Braudel“dialogue of the deal” antara sejarah dan teori sosial.[8]
Masih dalam kerangka sosiologis, usaha Abdul Wahid Hasyim ini tanpa disadari memberikan spirit kepada umat Islam Indonesia agar bersikap toleran terhadap persilangan antar agama, kebudayaan, dan lain-lain yang merupakan keniscayaan sejarah. Hal ini merupakan salah satu dari inti ajaran Islam tentang kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah ‘ammah), dan keadilan,[9] yang dalam kaidah ushul Fiqh bersifat universal, melintasi ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan).
Kesadaran Abdul Wahid Hasyim tentang Indonesia yang unik dan plural dibawah satu identitas[10] haruslah adanya kesadaran bahwa sebuah identitas dibentuk oleh unsur-unsur yang kompleks yang mengharuskan adanya toleransi antar persilangan kelompok-kelompok. Jika toleransi diindahkan tanpa melihat keragaman yang dimiliki oleh Indonesia hal ini akan mengancam integrasi antar kelompok di Indonesia yang merupakan unsur-unsur pembentuk identitas kebangsaan Indonesia.


[1] Nurcholish Madjid, Islam ,Doktrin dan Peradaban: Sebuah telaah Kritis tentang Masalah keimanan, Kemanusiaan, dan kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 2005), hlm.177.
[2] Muhammad In’am  Esha, Rethingking kalam: Sejarah Sosial Pengetahuan Islam, mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Kontemporer  (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), hlm.124.
[3] Baca: Muhammad In’am  Esha, Rethingking kalam: Sejarah Sosial Pengetahuan Islam, mencermati Dinamika dan Aras Perkembangan Kalam Islam Kontemporer...hlm. 125. 
[4] Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953...hlm.111.

[5] Yudian Wahyudi, Islam: Percikan Sejarah, Filsafat, Politik, Hukum dan Pendidikan (Yogyakarta: Nawesea Press, 2010), hlm. 67.
[6] Rifyal Ka’bah “ Wawasan Islam Keindonesiaan dalam konteks Islam Universal” dalam Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia Akmal Nasery dan A. M. Saefuddin (ed.), (Bandung: 1996), hlm. 29.
[7] Islam pinggiran atau  periphery Islam adalah Islam yang berada pada wilayah pinggiran baik secara geografis maupun pelopornya. Baca: Yudian Wahyudi, Dinamika Politik “ Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah” di Mesir, Maroko dan Indonesia (Yogyakarta: Nawesea Press, 2010), hlm. 24.
[8] Fernand Braudel, “History and Sociology” dalam Fernand Braudel (ed.), On History (Chicago: 1980), hlm. 64-82. dan Peter Burke, History and social theory. Cambridge: Polity Press, 2007.

[9] Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama (Jakarta: KataKita, 2009), hlm. 215.
[10] Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.75.

Tidak ada komentar: