Dari paparan di atas,
ditemukan bagaiman Islam harus berhadapan dengan dinamika tiga lapisan
realitas, yaitu lapisan-lapisan universal dan internasional, nasional dan
lokal. Kenyataan di atas juga berarti bahwa Islam tidak mengenal doktrin
tunggal, apalagi mutlak. Masing-masing dari kelompok di atas tentu sangat
dipengaruhi oleh situasi sosial-ekonomis, masalah penghayatan agama serta
kecenderungan doktrin dalam proses pembentukannya. Maka perubahan sosial-ekonomis
bisa mempengaruhi perubahan pemahaman seseorang terhadap agamanya.
Menurut Taufik Abdullah, agama tidak sekedar gejala sosiologis yang
bisa dikategorikan begitu saja menurut pengamat seorang pengamat. Sebab bagi
penganutnya, agama menyangkut masalah makna sebagai landasan untuk melihat dan
mengerti realitas. Dalam kaitan inilah terdapat adanya hubungan dialektis
antara system makna yang dipercayakan agama dan pengertian yang dihayati oleh
para pemeluk, yang secara obyektif juga terkait oleh konteks relitasnya.
Perubahan sosial-ekonomi dapat merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya
kemajemukan pemahaman terhadap doktrin yang utuh itu.[1]
Dalam
proses dialektis antara doktrin agama sebagai landasan sistem makna dan
pengertian pemeluk ini, para pemeluk juga secara aktif memberi makna terhadap
perbuatannya. Jadi bukan saja perbuatan itu muncul sebagai hasil interpretasi
terhadap struktur situasi, tetapi perbuatan itu juga diberi nilai dan makna
oleh mereka yang melakukannya. Maka proses sakralisasi dari perbuatan pun bisa
pula terjadi.[2]
Perubahan
ekonomi, spesialisasi kerja dan mobilitas sosial, serta perubahan politik ikut
menjadi faktor utama dalam pembentukan pemahaman seseorang terhadap suatu
ajaran agama. Maka tidak mustahil jika ideology seseorang akan selalu mengalami
perubahan, karena adanya perubahan pengetahuan yang dimilikinya (pendidikan),
perubahan lingkungan di sekitarnya, dan perbuahan pekerjaan atau ekonomi yang
dialaminya.
Hal ini bisa dilihat
dari penelitian Munir Mulkhan tentang Islam murni dalam masyarakat petani, yang
menemukan adanya empat varian masyarakat Muhammadiyah berdasarkan pada
aspek-aspek sosiologis yang mengitarinya; yaitu Islam murni (kelompok
al-Ikhlas), Islam murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai
Dahlan), Islam neo-tradisionalis (kelompok MUNU, Muhammadiyah-NU), dan Islam
neosinkretis (kelompok MUNAS, Muhammadiyah-Nasionalis).[3]
Kenyataan
ini penting, karena semula beberapa orang termasuk penulis melihat bahwa
Muhammadiyah hanya terdiri dari satu kelompok saja, yaitu Islam murni. Padahal
kenyataan di lapangan tidak demikian.
Kenyataan
semacam ini mungkin tidak saja terjadi dalam masyarakat Muhammadiyah, tetapi
juga dalam masyarakat NU, di mana terdapat beragam varian mengenai masyarakat
NU yang tradisional, ada NU yang sinkretik, seperti yang digambarkan oleh
Geertz, ada NU yang akulturatif seperti yang digambarkan oleh Muhaimin, ada NU
yang Muhammadiyah (NUMU) karena sudah terpengaruh oleh kondisi sosial dan
ekonomi yang lebih modern
Tidak ada komentar:
Posting Komentar