Ketika berbicara
mengenai masyarakat Islam tradisional, yang terbayang adalah sebuah gambaran
mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat Islam yang kolot, masyarakat
yang anti atau menolak perubahan (anti progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid.
Mereka adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk
karya al-Ghazali dan ulama’ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman pertengahan
Islam.[1]
Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational,
pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan.
Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen
Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.[2]
Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan
untuk melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa
lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.[3] Menurut Achamad Jainuri, kaum tradisionalis
adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta
kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam
pemikiran serta praktik Islam.[4]
Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang
berdasar pada tradisi. Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme,
dan fundamentalisme.[5]
Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme
adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau
dan sudah diperaktekkan oleh komunitas Agama.[6]
Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu
ajaran yang berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan
secara keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim.[7]
Kaum tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang
konsisten dalam berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran
ulama’-ulama’ terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang
dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik
madzhab empat.[8]
Kaum tradisionalis
meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang dipahami dan dipraktekkan semenjak
beberapa abad silam dan sudah terkristal dalam beberapa madhab fiqh. Dalam
bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang
telah diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu.[9]
Mereka menerima prinsip ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.[10]
Dalam masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai
dimensi terdalam dari ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk
kepada Imam al-Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh sentral, yang muncul pada
abad ke-12/18, seperti ajaran yang disampaikan oleh al-Ghazali.[11]
Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia
sebagai paham yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di kalangan umat
Islam penganut madhab Shafi’i. Kelompok ini, di Indonesia, muncul pada abad
ke-20 sebagai perlawanan terhadap pandangan-pandangan kaum modernis. Sementara
terma modernis menunjukkan pada kelompok yang merasionalkan segala bidang
kehidupan, termasuk Agama, pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul pada
abad ke-20, yang menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan Islam sebagai
senjata dalam melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat muslim.[12]
Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat
pada Islam tradisional Indonesia
meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian kyai yang sangat
menentukan dan kharismatik. Basis masa
kaum tradisionalis semacam ini pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya
Islam tradisionalis di Indonesia
dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan bahwa Islam tradionalis
adalah Islam pedesaan.[13]
Islam tradisional secara religi bersifat kultural,
secara intelektual sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara
politis bersifat oportunis.[14]
Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan
yang konservatif, akan tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di
tingkat lokal.[15]
Kaum tradisionalis sering digolongkan ke dalam
organisasi sosial keagamaan terbesar[16]
bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan pada tahun 1926 di
Surabaya, oleh beberapa ulama’ pengasuh pesantren, di antaranya K.H. Hasyim Asy'ari
(Tebu Ireng) dan K. Wahab Hasbullah (Tambak Beras).[17]
Golongan tradisi banyak menghiraukan soal-soal ibdah belaka. Bagi mereka
Islam seakan sama dengan fiqh, dan dalam hubungan ini mereka mengakui taqlid
dan menolak ijtihad. Sikap ini sering menyebabkan mereka menjadi patuh buta,
sebab imam madzhab fiqh atay kyai dianggap ma'sum, bebas dari kesalahan. Dalam
situasi seperti itu Islam dan tafsiran tentangnya merupakan monopoli kyai
belaka, sehingga fatwa kyai dianggap mutlak, final dan tidak dapat
dipertanyakan lagi.[18]
[2] Fundamentalis”, dalam The Oxford English Dictionary, 1988.
[3] Andrew Rippin, Muslim, 6.
[5] Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English
Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966), 2422.
[6] Ibid.
[7] Daniel Brown, Rethinking
Tradition, 2.
[8] Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan
tradisional adalah digunakannya konsep silsilah;
mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk
sampai pada sumber ajaran. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam, 13.
[9] Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and
Alternative”, International Journal of Middle East Studies (1970), 317-332.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ronald Alan Lukens Bull, A
Peaceful Jihad 125-126.
[13] Kacung Marijan, Quo Vadis NU
Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), 38.
[14] Ibid.
[15] Zainuddin Maliki, Agama
Priyayi (Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2004),
41.
[16] Jumlah anggota NU berkisar 35-40 juta orang, atau 20% dari seluruh
penduduk Indonesia .
Greg Fealy, Percikan Api Muktamar 1994;Gus Dur, Suksesi dan Perlawanan NU Terhadap
Kontrol Negara, dalam Greg Fealy, Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikan;Persinggungan Nahdatul Ulama’ Negara, ter.
Ahmad Suaedy (Yogyakarta;LKiS, 1997), 220.
[17] Ronald Alan Lukens Bull, A
Peaceful Jihad, 124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar