Sabtu, 18 Februari 2012

Islam as Source of Wisdom



Kebijaksanaan yang kuat adalah berasal dari Agama, ajaran agama adalah sumber dari kebijaksanaan. Hal inilah yang hendak digagas oleh Wahid Hasyim mengenai peran nalar dalam beragama dan dalam kehidupan manusia di dunia.[1] Lalu bagaimanakah contoh kebijaksanaan atau sikap bijaksana itu?. Dalam hal ini Wahid Hasyim mencontohkan salah satu ucapan Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi, “bahwasannya manusia itu adalah bersaudara dengan sesama manusia , baik dia suka  atau benci.”[2]
Secara sosiologis, Abdul Wahid Hasyim menginginkan adanya relasi yang baik antar umat Islam di Indonesia yang notabene plural dengan perbedaan secara etnis, agama, ras. Ide-ide yang dikembangkan oleh Wahid Hasyim tidak terlepas dari model berfikirnya yang luas.[3] Abdul Wahid Hasyim dengan model berfikir “determinisme-historis[4]”nya menghendaki adanya harmoni antar umat Islam Indonesia yang heterogen. Abdul Wahid Hasyim dan usaha untuk membentuk agama sebagai model untuk realitas, melazimkan untuk memahami agama tidak hanya dianggap sebagai doktrin keberagamaan suatu umat akan tetapi, harus pula dianggap sebagai sebuah sistem sosial (cultural system) sebagaimana didefinisikan oleh Geertz.[5] Abdul Wahid Hasyim dengan gagasan Islam sebagai mode terhadap realitas Islam Indonesia moderen dengan pandangan penuh tentang “kebijaksanaan (wisdom)” yang sejatinya bersumber dari Agama.      


[1] Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953 (Yogyakarta: Garasi, 2009), hlm.94-97.
[2] Dikutip dari Bakar, 1957: 689. Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953....hlm.94-97.
[3] Dalam perjalanan sejarah hidupnya Kyai Wahid Hasyim adalah tokoh yang kondang dengan pemikiran kependidikannya. Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan moderen, wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Hal ini dapat diduga dari luasnya bacaannya. Wawasan ini diaplikasikannya dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Saiful Umam, “K.H. Wahid Hasyim; Konsolidasi dan Pembelan Eksistensi” dalam Menteri- Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.). (Jakarta: PPIM, 1998), hlm. 103.
[4] Determinisme Historis (al-Jabr al-Tarikhi), hal ini memiliki arti bahwa kehidupan sosial dan tingkah laku perubahan manusia bukan hadir dengan sendirinya, ini terjadi akibat dari faktor sosial dan alam yang memengaruhinya, determinisme historis yang memengaruhi pemikiran Wahid Hasyim mengajarkan kepada manusia bagaimana cara memandang dan bagaimana semestinya seseorang melihat sebuah realitas. Suatu keteledoran jika seseorang memandang satu realitas yang berdiri sendiri dan terlepas dari alam sekitarnya, hal ini tergambar dalam pemikiran pendidikannya sebagai sebuah gagasan yang terorbit dari peristiwa-peristiwa sebagai hasil pada satu sisi, dan ‘illah atau sebab pada sisi lainnya. Mardjoko Idris, Kebangkitan Intelektualisme di Mesir: Studi Biografi dan Pemikiran Thoha Husayn (Yogyakarta: Teras, 2008)  p. 42-44.
           
[5] Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change (Oxford: Westview Press, 1991) , hlm. 8.

Tidak ada komentar: