Kebijaksanaan yang kuat
adalah berasal dari Agama, ajaran agama adalah sumber dari kebijaksanaan. Hal
inilah yang hendak digagas oleh Wahid Hasyim mengenai peran nalar dalam
beragama dan dalam kehidupan manusia di dunia.[1]
Lalu bagaimanakah contoh kebijaksanaan atau sikap bijaksana itu?. Dalam hal ini
Wahid Hasyim mencontohkan salah satu ucapan Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi, “bahwasannya
manusia itu adalah bersaudara dengan sesama manusia , baik dia suka atau benci.”[2]
Secara sosiologis, Abdul
Wahid Hasyim menginginkan adanya relasi yang baik antar umat Islam di Indonesia
yang notabene plural dengan perbedaan secara etnis, agama, ras. Ide-ide yang
dikembangkan oleh Wahid Hasyim tidak terlepas dari model berfikirnya yang luas.[3] Abdul Wahid Hasyim dengan model berfikir
“determinisme-historis[4]”nya menghendaki adanya harmoni antar umat Islam
Indonesia yang heterogen. Abdul Wahid Hasyim dan usaha untuk membentuk agama
sebagai model untuk realitas, melazimkan untuk memahami agama tidak hanya
dianggap sebagai doktrin keberagamaan suatu umat akan tetapi, harus pula
dianggap sebagai sebuah sistem sosial (cultural system) sebagaimana
didefinisikan oleh Geertz.[5]
Abdul Wahid Hasyim dengan gagasan Islam sebagai mode terhadap realitas Islam
Indonesia moderen dengan pandangan penuh tentang “kebijaksanaan (wisdom)”
yang sejatinya bersumber dari Agama.
[1] Mohammad
Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953 (Yogyakarta:
Garasi, 2009), hlm.94-97.
[2] Dikutip dari
Bakar, 1957: 689. Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953....hlm.94-97.
[3] Dalam
perjalanan sejarah hidupnya Kyai Wahid Hasyim adalah tokoh yang kondang dengan
pemikiran kependidikannya. Meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan moderen,
wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Hal ini dapat diduga dari
luasnya bacaannya. Wawasan ini diaplikasikannya dalam kegiatan-kegiatan yang
bersifat sosial dan pendidikan. Saiful Umam, “K.H. Wahid Hasyim; Konsolidasi
dan Pembelan Eksistensi” dalam Menteri- Menteri Agama RI: Biografi
Sosial-Politik Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.). (Jakarta: PPIM, 1998),
hlm. 103.
[4] Determinisme
Historis (al-Jabr al-Tarikhi), hal ini memiliki arti bahwa kehidupan
sosial dan tingkah laku perubahan manusia bukan hadir dengan sendirinya, ini
terjadi akibat dari faktor sosial dan alam yang memengaruhinya, determinisme
historis yang memengaruhi pemikiran Wahid Hasyim mengajarkan kepada manusia
bagaimana cara memandang dan bagaimana semestinya seseorang melihat sebuah
realitas. Suatu keteledoran jika seseorang memandang satu realitas yang berdiri
sendiri dan terlepas dari alam sekitarnya, hal ini tergambar dalam pemikiran
pendidikannya sebagai sebuah gagasan yang terorbit dari peristiwa-peristiwa
sebagai hasil pada satu sisi, dan ‘illah atau sebab pada sisi lainnya.
Mardjoko Idris, Kebangkitan Intelektualisme di Mesir: Studi Biografi dan
Pemikiran Thoha Husayn (Yogyakarta: Teras, 2008) p. 42-44.
[5] Bassam Tibi,
Islam and the Cultural Accomodation of Social Change (Oxford: Westview
Press, 1991) , hlm. 8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar