Di dalam konteks keindonesiaan, dikotomi antara kaum tradisional
dengan modernis bisa kita lihat di antaranya dari bentuk cara melakukan
beberapa praktek ritual keagamaan serta penggunaan simbol yang berbeda satu
sama lainnya.
Kaum tradisional adalah mereka yang gemar dengan ritual diba’iyah, tahlilan, ziarah kubur,
sholat subuh dengan menggunakan qunut, membaca pujian setelah adzan, dan
mengeraskan bacaan setelah sholat, serta bentuk masjid yang memiliki beduk,
kentongan, dan mimbar khotib yang menggunakan tongkat dan kursi singgasana
layaknya seorang raja. Sementara kaum modernis adalah mereka yang anti slametan,
tahlilan, ziarah kubur untuk meminta berkah, tidak memakai sorban atau peci
haji dalam sholat, membaca dzikir setelah sholat sendiri-sendiri, tanpa suara
keras, menolak qunut di waktu sholat subuh, tidak menggunakan pujian setelah
adzan, serta bentuk masjid yang tidak menggunakan beduk, kentongan serta mimbar
khotib yang lebih modern dan tanpa tongkat.[1]
Beberapa hal lain yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah
adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan), syarat dengan simbol
tradisional (dulu disimbolkan dengan pakaian sarung dan serban), berlebihan
dalam pengamalan ibadah, lebih mempercayai kata ulama’, lebih terikat dengan
jama’ah, lemah inisiatif dan lebih hirarkis-struktural dalam hal status sosial,[2]
tidak menolak beberapa praktek ritual yang tidak tertulis di dalam hadith sahih, atau tidak sesuai dengan
pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang tidak
tercantum di dalam hadith sahih itu
bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip
kaum tradisionalis adalah ‘adam al wujûd
lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.[3]
Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala perkotaan)
yang sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan dengan
memakai dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus perhatian,
penuh inisiatif, menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih dianggap sebagai sesuatu
yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan
berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.[4]
Dalam bentuk peraktek ritual di waktu sholat jum’at misalnya, NU menggunakan
dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan satu adzan. Bentuk mimbar yang
digunakan juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkat, sementara
Muhammadiyyah menggunakan bentuk mimbar modern.[5]
Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan
awal puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok NU
dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah
berpegang pada hisâb. Dalam
pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20 raka’at,
sementara Muhammadiyyah berpegang pada jumlah 8 raka’at. Dalam pelaksanaan
sholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid, sementara orang Muhammadiyyah di
lapangan terbuka.[6]
Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab kuning
sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir
lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik.[7]
Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyyah, menggunakan sistem
klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari kitab kuning.[8]
Kelompok tradisionalis ini mengklaim
bahwa pintu interpretasi telah tertutup, sementara kaum modernis menganggap
bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka.[9]
Proses
individu melakukan identifikasi diri di dalam dunia sosio-kulturalnya tadi bisa
disebut sebagai internalisasi. Secara kodrati memang manusia memiliki
kecenderungan untuk mengelompok. Artinya, manusia akan selalu berada di dalam
kelompoknya yang kebanyakan didasarkan atas rasa seidentitas. Sekat interaksi
tidak dijumpai jika manusia berada di dalam identitas yang sama. Jika sesama
warga NU, maka secara leluasa juga dapat melakukan interaksi yang intensif.
Demikian pula sesame warga Muhammadiyah. Interaksi antara orang Muhammadiyah
dan NU akan sangat terbatas pada persoalan-persoalan segmental. Dalam segmen
tertentu bisa berkomunikasi tetapi dalam segmen lain akan membatasi diri.
Itulah
sebabnya terdapat penggolongan sosial, misalnya orang NU dan orang
Muhammadiyah. Penggolongan sosial itu tentunya memiliki basis nilai dan
historis yang bisa dirujuk pada sejarah panjang dua organisasi sosial keagamaan
ini. Muhammadiyah ofensif untuk memberantas tradisi lokal yang tidak genuine,
sedangkan NU sibuk untuk melakukan resistensi dengan mempertahankan
tradisi-tradisi lokalnya. Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal termasuk
dalam kategori furu'iyat, sementara orang Muhammadiyah beranggapan bahwa
tradisi lokal adalah persoalan teologis, dan sangat menentukan Islam yang
genuine atau Islam yang ditambah-tambah. Orang NU beranggapan bahwa tradisi lokal
adalah persoalan 'urf, sementara orang Muhammadiyah menggapnya sebagai
penyimpangan dari genuinitas Islam.
[2] Muhammad Azhar, Fiqh
Peradaban, 88.
[3] Seyyed Hossein Nasr, Traditional
Islam, 14-15.
[4] Arbiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyah, 19.
[5] Deliar Noer, Gerakan Modern, 108.
[6] Ibid.
[7] Ronald Alan Lukens Bull, A
Peaceful Jihad, 126.
[8] Arbiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyyah, 107-108.
[9] Andrew Rippin, Muslim,
127.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar