Sabtu, 18 Februari 2012

TIDAK ADA KONSEP NEGARA ISLAM


Interaksi Islam dan politik mengalami pasang surut. Islam bermula dari suatu komunitas umat di bawah bimbingan Nabi Muhammad SAW. Kemudian umat Islam berhasil memperoleh kekuasaan politik dengan membentuk suatu negara dalam bimbingan langsung Nabi. Nabi tidak menyebutnya sebagai negara Islam, sedangkan dasar pendirian negara adalah Konstitusi Madinah, suatu piagam yang dibuat oleh Nabi Muhammad dan disaksikan oleh berbagai kelompok dalam suatu masyarakat yang plural, sebagai rambu-rambu untuk mengatur suatu masyarakat yang plural itu dan mereka secara bersama-sama akan mengahadapi segala ancaman dari luar. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka negara dipimpin oleh seorang khalifah (pengganti Nabi) dan kemudian umat Islam menyebut sistem pemerintahan kekhalifahan. Umat Islam masih memiliki satu negara yang utuh pada masa Khulafaur Rasyidin, namun pada masa berikutnya kekhalifahan tidak lagi tunggal. Bahkan sistem kekhalifahan dihapus pada tahun 1924 ketika kekhalifahan Turki Utsmani diganti menjadi negara modern. Dan sejak itu berdirilah beberapa negara bangsa di daerah yang mayoritas penduduknya umat Islam. Beberapa diantaranya mengatasnamakan sebagai negara Islam walaupun masing-masing memiliki bentuk negara maupun pemerintahan yang berbeda dan mungkin malah saling bertentangan.
Umat Islam di suatu daerah tertentu memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk bersama-sama merumuskan bentuk sistem sosial yang tepat bagi penerapan nilai-nilai Islam. Demikian juga dengan bentuk negara hendaknya dimusyawarahkan oleh sekelompok umat Islam yang berdomisili di suatu daerah tertentu. Dalam kasus minoritas umat Islam di Ethiopia pada zaman Nabi Muhammad SAW tidak dibebani dan memang tidak mungkin bagi mereka mendirikan negara Islam (2000b: 56). Bentuk negara Islam yang ada merupakan hasil ijtihad yang mencari legitimasi pada Islam, dan Gus Dur tidak menentang keberadaan negara yang mengatasnamakan Islam.
Di Indonesia, umat Islam tidak mendirikan negara Islam tetapi negara bangsa yang berdasarkan pada ideologi Pancasila. Negara Pancasila bukan negara agama dan bukan negara sekuler karena Pancasila mengakui adanya Tuhan Yang Esa, disamping adanya suatu kementerian/lembaga yang mengurusi kepentingan umat Islam dalam menjalankan ibadahnya. Keberadaan negara Pancasila dilegitimasi oleh hukum fiqih NU dan diakui eksistensinya selama negara masih diikuti pola perilaku formal negara yang tidak bertentangan dengan hukum fiqh. Kasus-kasus penyimpangan dari “pola umum” perilaku formal negara itu tidaklah sampai kepada penolakan bentuk kenegaraan dan proses pemerintahan yang sudah ada.
Penerimaan bentuk final negara Pancasila didasarkan pada keyakinan Gus Dur kalau Islam tidak punya konsep negara Islam. Dia mengikuti argumen Ali Abdel Raziq dalam bukunya Al-Islam wa Qawa’id al-Sulthanan (Islam dan Sendi-Sendi Kekuasaan). Pertama, dalam Al-Qur’an tidak pernah ada doktrin. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, melainkan moral. Ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya (Wahid, 2000a: 1). Tidak adanya konsep negara dalam Islam karena sesuai dengan pendekatan universalitas agama Islam itu sendiri.
1.                   Maka Bijaksana Allah yang tidak menentukan (secara qath’i) sistem kenegaraan. Karena Maha Mengetahui-Nya, bentuk negara di jagad raya ini bervariasi; sesuai dengan letak geografi dan demografi masing-masing kawasan.
2.                   Tugas para Nabi dan Rasul tidak untuk membentuk negara, tetapi membentuk kemanusiaan manusia; memberi pribadi manusia dan membentuk watak manusia. Hadits: “Antum a’lamu bi umuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan duniamu)”. Meskipun demikian, dasar-dasar pengelolaan negara –jika diinginkan stabil- telah diletakkan sedemikian rupa, dengan signifikan. Dua sisi kecenderungan sebuah negara disiratkan dengan firman Allah: “Wa syaawirhum fil amr” (QS Al-Imran 159), bagi negara monarkhi dan “Wa amruhum syuura bainahum”, bagi negara demokrasi (Bisri, 2000: viii-ix).
Memang sangat ideal bila kita dapat mendirikan negara Islam. Namun caranya harus secara evolusioner agar tidak terjadi kekerasan atas nama Islam. Pemikiran para teoritisi politik terkenal dalam Islam tidaklah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan. Ibn Abi Ruba’i, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan Al-Mawardi jelas-jelas menempuh perbaikan keadaan secara gradual, dengan mencoba mencari masukan dari fiqh untuk menyempurnakan bentuk-bentuk negara yang telah ada. Hanyalah Al-Farabi yang mencoba menyusun sebuah utopia berjudul “Negara utama” (Al-Madinah Al-Fadhilah).
Ada tiga jenis negara menurut mazhab Syafi’i, mazhab Islam yang dominan di Indonesia: dar Islam (negara Islam), dar Harb (negara perang), dan dar Sulf (negara damai). Menurut paham ini, negara Islam harus dipertahankan dari serangan luar, karena ia merupakan perwujudan normatif dan fungsional dari cita-cita kenegaraan dalam Islam, dengan ciri utama berlakunya syariah Islam sebagai undang-undang negara. Negara perang atau anti-Islam, harus diperangi, karena berbahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, dan dengan demikian akan mengakibatkan dihilangkannya pemberlakuan syariah Islam dari undang-undang negara. Negara damai harus dipertahankan, karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara (Wahid, 1989: 10).
Berdasarkan kategori tersebut maka Indonesia bukan termasuk negara Islam, karena syariah tidak dijadikan sebagai dasar negara. Indonesia dapat dikategorikan sebagai dar Sulf (negara damai) sehingga harus dipertahankan karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara. Pada zaman Nabi Muhammad SAW dikenal juga negara damai seperti negara Habsyi (Ethiopia) yang melindungi minoritas umat Islam di dalamnya. Umat Islam di Ethiopia ini tidak dibebani dengan kewajiban mendirikan negara Islam, paling tidak mereka mengikuti hukum agama yang termaktub dalam fiqih. Dari uraian ini kita tahu bahwa jangkauan syariah dapat bersifat sangat luas mencakup semua aspek kehidupan manusia dalam bidang ibadah maupun bidang kehidupan duniawi (muammallah), disamping penerapan hudud law. Sementara jangkauan syariah di Malaysia, suatu negara yang berdasarkan Islam, tidak mencakup hudud law dan pemberlakuannya ditunda. Sementara jangkauan syariah yang berlaku di Indonesia identik dengan yang dijalankan minoritas umat Islam di Ethiopia pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Tidak ada komentar: