“Kaum Muslimin Indonesia
sekarang ini telah mengalami kejumudan kembali dalam pengembangan ajaran-ajaran
Islam, dan kehilangan psychological stricking force atau daya dobrak
psikologis dalam perjuangannya.”[1] Harus diakui bahwa “daya dobrak” yang diistilahkan
oleh Nurcholish Madjid ini adalah bagian penting penghadapan Islam terhadap
modernitas. Kebangkitan kembali Islam ini diwarnai dengan sikap sebagian umat
Islam Indonesia yang akrab dengan “kemapanan” tanpa mau menerima gagasan lain
yang datang atau dengan istilah lain hal ini disebut fanatisme. Ketertutupan
sikap ini hanya akan melahirkan kemunduran umat.
Secara sadar Abdul Wahid
Hasyim berpendapat bahwa perjuangan umat Islam tidak akan berkembang secara baik
jika sikap fanatisme yang menghinggapi umat Islam, khususnya kaum pergerakan
Islam. hal ini tidak lain karena fanatisme memiliki pengertian kepercayaan
membabi buta terhadap suatu ajaran dan menolak segala pendapat yang lain.
Fanatisme ini harus dibedakan dengan pemaknaan teguh kepada pendirian. Penyakit
fanatisme ini celakanya menghinggapi pergerakan kaum Muslimin. Penyakit ini
akhirnya mengakibatkan perselisihan dari kaum pergerakan Islam yang terbagi
menjadi dua, yaitu satu golongan yang teguh memegang pendiriannya. Kalangan ini
sering dicap fanatik oleh kaum barat.[2] Hal ini oleh Farid Esack dikategorikan sebagai “
pecinta yang terpelajar” atau dengan
kata lain ulama konfessional yaitu level interaksi pecinta (Ulama konfessional)
yang ingin menjelaskan pada dunia, terkait dengan model pemahaman yang dipegang
teguh olehnya serta menginginkan adanya penerimaan dan pengakuan secara
universal dengan memaparkan keutamaan-keutamaan apa yang menjadi keyakinannya.[3]
Sedangkan, golongan yang kedua adalah golongan moderen yang menjadi makmum bagi
orang Barat dengan fanatiknya pula. Golongan kedua ini fanatiknya bukan pada
Islam, melainkan pada Barat.[4]
Sebagaimana dengan
ide-idenya dapat difahami bahwa Abdul Wahid Hasyim ingin memosisikan dirinya
secara moderat dengan tidak cenderung pada dua kutub ekstrim. Sikap moderatnya
ini jika dilihat secara sosiologis bisa dipandang sebagai keteguhannya dalam
bersikap tanpa mengidentitaskan diri hanya pada satu golongan saja, hal inilah
yang nampaknya mewarnai pemikiran Abdul Wahid Hasyim yang telah memberikan
keluwesan dalam berfikir dan jauh dari kesan ekstrim. Kolaborasi pemahaman
keagamaan yang terbuka akan membuka jalan bagi tercapainya percepatan
pembangunan Islam indonesia yang inklusif. Kesan Wahid Hasyim yang moderat,
yang tidak dapt dilihat sebagai fundamentalis-tradisionalis atau bahkan
liberalis. Dari pendapatnya tentang fanatisme yang terjadi pada sebagian umat
Islam yang hal tersebut menurutnya berbeda dengan teguh pendirian, melainkan
sebagai sebuah “pembeoan” secara membabi buta terhadap doktrin Agama. Sikap
seperti ini menurutnya hanya akan stagnasi pemikiran umat Islam.
Terkait dengan penolakannya
terhadap fanatisme ini, Abdul Wahid Hasyim secara tersirat ingin menyampaikan
gagasannya tentang cita-cita Islam Indonesia yang ideal yang terlepas dari
keterikatan satu kelompok saja. Untuk mencapai cita-cita Islam sangat
diperlukan pemahaman keagamaan yang holistik hal ini dikarenakan karakteristik
Islam yang tidak monodimensional melainkan multidimensional.[5] Secara adil bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan
oleh Abdul Wahid Hasyim adalah sintesis antara doktrin dan ekspresi, antara
ajaran dan amalan[6] yang secara sadar merupakan hasil dari pembacaan
terhadap realitas sosial keagamaannya yang matang tanpa terpaku pada satu
kepengikutan saja dalam beragama.
[1] M. Syafi’i
Anwar, “ Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid” dalam Jurnal
Ilmu dan Kebudayaan...hlm. 51
[2] Dikutip dari
Bakar, 1957: 749-750, lihat: Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat
1914-1953....hlm.110
[3] Farid Esack,
Samudera Al-Qur’an terj. Nuril Hidayah (Yogyakarta: Diva press), hlm.
16-17.
[4] Dikutip dari
Bakar, 1957: 749-750, lihat: Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat
1914-1953 ... hlm.110
[5] Ulya,
“Anatomi Pemikiran Islam Modern: Telaah
terhadap pemikiran Mukti Ali” dalam Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam...
hlm. 19.
[6] Hal ini
dilakukan dalam rangka pencarian masa depan yang lebih baik, kesadaran ini
dimiliki oleh Kyai Wahid Hasyim yang secara cerdas menyadari dan menyikapi,
bagaimana seharusnya pendidikan Islam diterapkan. Najib Mahfuz, Hawl al-‘Ilm wa al-‘Amal (Cairo: Dar al-Misriyyah, 1996), p.141.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar